Jumat, 30 September 2011

Problematika Madrasah


Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional. Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Kata madrasah dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata darasa. Secara harfiah madrasah diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat".
Kata madrasah juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu darasa, yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata madrasah mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata madrasah memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara  formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
Para ahli sejarah pendidikan seperti Tibawi dan Nakosteen (1962:227) mengatakan bahwa:
Madrasah (bahasa Arab) merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang luas di dunia Islam (klasik) pra-modern. Artinya, secara istilah madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam menulis kata tersebut secara bervariasi misalnya, schule atau hochschule (Jerman), school, college atau academy (Inggris).

Nakosteen (1996:6) menerjemahkan madrasah dengan kata university (universitas). Ia juga menjelaskan bahwa:
Madrasah-madrasah di masa klasik Islam itu didirikan oleh para penguasa Islam ketika itu untuk membebaskan masjid dari beban-beban pendidikan sekuler-sektarian. Sebab sebelum ada madrasah, masjid ketika itu memang telah digunakan sebagai lembaga pendidikan umum. Tujuan pendidikan menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk-pikuk, sementara beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhusukan beribadah.

Itulah sebabnya, kata Nakosteen, pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Maka dicarilah lembaga pendidikan alternatif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum, dengan tetap berpijak pada motif keagamaan. Lembaga itu ialah madrasah. Makdisi (1970:257-2650 berpendapat bahwa:
Terjemahan kata "madrasah" dapat disimpulkan dengan tiga perbedaan mendasar yaitu: Pertama, kata universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas atau sekelompok sarjana dan mahasiswa, Kedua; merujuk pada sebuah bangunan tempat kegiatan pendidikan setelah pendidikan dasar (pendidikan tinggi) berlangsung. Ketiga; izin mengajar (ijazah al-tadris, licentia docendi) pada madrasah diberikan oleh syaikh secara personal tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan.

Erat kaitannya dengan penggunaan istilah '''madrasah" yang menunjuk pada lembaga pendidikan, dalam perkembangannya kemudian istilah "madrasah" juga mempunyai beberapa pengertian di antaranya: aliran, mazhab, kelompok atau golongan filosof dan ahli pikir atau penyelidik tertentu pada metode dan pemikiranyang sama.
Munculnya pengertian ini seiring dengan perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menjadi lembaga penganut dan mengembangkan pandangan atau aliran dan mazdhab pemikiran (school of thought) tertentu. Pandangan-pandangan atau aliran-aliran itu sendiri timbul sebagai akibat perkembangan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan ke berbagai bidang yang saling mengambil pengaruh di kalangan umat Islam, sehingga mereka dan berusaha untuk mengembangkan aliran atau mazhabnya masing-masing, khususnya pada periode Islam klasik. Maka, terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pemikiran, mazhab, atau aliran tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagian besar madrasah yang didirikan pada masa klasik itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang terkenal, misalnya madrasah Safi'iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah. Hal ini juga berlaku bagi madrasah-madrasah di Indonesia, yang kebanyakan menggunakan nama orang yang mendirikannya atau lembaga yang mendirikannya.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan simbiosis mutualistis antara masyarakat Muslim dan madrasah itu sendiri. Secara historis kelahiran madrasah tidak bisa dilepaskan dari peran atau partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan. Pendidikan madrasah di Indonesia yang lahir pada awal abad ke-20 dengan munculnya Madrasah Mambaul Ulum di Keraton Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Kuntowijoyo; 1994). Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan Islam yang telah ada, yakni antara pengaruh pembaharuan Islam di Timur Tengah, pendidikan Barat dan tradisi pendidikan Islam di Indonesia (baca pesantren). Pembaharuan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: usaha penyempurnaan sistem pendidikan pesantren, penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat (Karel Stenbrink, 1984).
Dengan kata lain, munculnya sistem pendidikan madrasah juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan Hindia Belanda pada saat itu. Politik pendidikan Hindia Belanda yakni dengan membuka lebih luas kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula hanya terbatas pada kaum bangsawan, di samping merupakan politik etik, balas budi, juga merupakan salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan masyarakat pribumi melalui jalur pendidikan (Zamakhsyari Dhofier, 1984).
Melihat fenomena ini, maka pada awal abad ke-20 dalam kehidupan pesantren terjadi suatu perubahan penting, yakni dimasukkannya sistem madrasah/klasikal ke dalam pesantren. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan agama. Hal ini dianggap sebagai imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan Barat (Ensiklopedi Islam, 1993).
Madrasah di Indonesia dalam sejarahnya yang cukup panjang telah mengalami gelombang pasang surut dan benturan-benturan kepentingan tertentu. Kadang-kadang madrasah dijadikan anak emas yang dielu-elukan sebagai pengawal moralitas. Pada saat pemilihan anggota legislatif, pemilihan calon presiden dan pemilihan calon kepala daerah, komunitas madrasah menjadi primadona, mereka datang silih berganti, ada yang minta doa sekaligus menarik simpati para kyai dan ustadz untuk kepentingan politik. Namun setelah usai dan berhasil, terkadang madrasah ditendang, dipaku dan dianaktirikan dengan alasan otonomi daerah dan tidak ada payung hukum untuk membantu madrasah.
Sebenarnya, dengan kehadiran UU Nomor 20 tahun 2003, madrasah mendapatkan legitimasi yang cukup meyakinkan, yang diantaranya bahwa madrasah disejajarkan dengan lembaga pendidikan umum.
Penamaan lembaga pendidikan di Indonesia dewasa ini pada umumnya merupakan pinjaman dari bahasa Barat, seperti universitas (dari university), sekolah (dari school), akademi (dari academy), dan lain-lain. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan madrasah. Penerjemahan kata madrasah ke dalam bahasa Indonesia dengan mengaitkan pada bahasa Barat dianggap tidak tepat. Di Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata aslinya, madrasah, kendatipun pengertiannya tidak lagi persis dengan apa yang dipahami pada masa klasik, yaitu lembaga pendidikan tinggi, karena bergeser menjadi lembaga pendidikan tingkat dasar sampai menengah. Pergeseran makna dari lembaga pendidikan tinggi menjadi lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah itu, tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Timur Tengah sendiri.
Sejauh ini tampaknya belum ada data yang pasti kapan istilah madrasah, yang mempunyai pengertian sebagai lembaga pendidikan, mulai digunakan di Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam pun pada umumnya lebih tertarik membicarakan sistem pendidikan atau pengajaran tradisional Islam yang digunakan baik di masjid, surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), dan lain-lain, daripada membicarakan madrasah.
Dalam beberapa hal, penyebutan istilah madrasah di Indonesia juga seringkali menimbulkan konotasi "ketidakaslian", dibandingkan dengan sistem pendidikan Islam yang dikembangkan di masjid, dayah (Aceh), surau (Minang-kabau), atau pesantren (Jawa), yang dianggap asli Indonesia. Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke-20 M ini, memang merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan para cendikiawan Muslim Indonesia, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam "asli" (tradisional) tersebut dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Di samping itu, kedekatan sistem belajar-mengajar ala madrasah dengan sistem belajar-mengajar ala sekolah yang, ketika madarash mulai bermunculan, memang banyak dikembangkan oleh pemerintah Belanda, membuat banyak orang berpandangan bahwa madrasah sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi muatan dan corak keislaman.
Pandangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa masuknya Islam ke bumi Nusantara ini, baik pada gelombang pertama (abad ke-7 M) maupun gelombang ke-2 (abad ke-13) tidak diikuti oleh muncul atau berdirinya madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang bermunculan seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa, ketika itu ialah pesantren. Dengan alasan itu pula pesantren secara historis seringkali disebut tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
Karena itu membicarakan madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah munculnya lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai pesantren sebagai cikal-bakalnya. Dengan kata lain, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren. Karena itu menjadi penting untuk mengamati proses historis sebagai mata rantai yang menghubungkan perkembangan pesantren di masa lalu dengan munculnya madrasah di kemudian hari. Menurut Madjid (1997:3) bahwa:
Lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada itu. Namun demikian dalam proses pengislaman itu tidak bisa dihindari terjadinya akomodasi dan adaptasi. Tegasnya, karena lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren itu di masa Hindu-Budha lebih bernuansa mistik, maka ajaran Islam yang disampaikan di pesantren pun pada mulanya bercorak atau bernuansa mistik pula, yang dalam khasanah Islam lebih dikenal dengan sebutan tasawuf. Pada masa perkembangan Islam di Indonesia itu, tasawuf memang merupakan gejala umum dan sangat dominan di Dunia Islam pada umumnya. Karena penduduk Nusantara sebelum Islam memiliki kecenderungan yang kuat terhadap mistik, maka agama Islam yang disampaikan dengan pendekatan mistik atau tasawuf itu lebih mudah diterima dan dianut.

Contoh dari segi mistik ini misalnya adalah adanya konsep "wirid" dalam pengajian. Seorang kyai secara konsisten mengaji kitab tertentu pada saat tertentu, misalnya kitab Sanusiyah pada malam Kamis. Hal itu adalah sebagai wirid yang dikenakan kepada dirinya sendiri, sehingga menjadi semacam wajib hukumnya yang kalau ditinggalkan dengan sengaja dianggap akan mendatangkan dosa. Contoh lain dari suasana mistik ini terlihat pula dalam hubungan kyai-santri yang lebih merupakan kelanjutan dari konsep hubungan "guru-cantrik" yang telah ada sebelum Islam datang ke Jawa, yang banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Hindu-Budha, atau sekurang-kurangnya konsep stratifikasi masyarakat Jawa sendiri.
Tetapi lambat laun gejala itu semakin berkurang bersamaan dengan semakin  mendekatnya pesantren ke dalam jaringan Islam di Haramain, tempat sumber Islam yang "asli" yang di akhir masa pertengahan menjadi pusat reformasi Islam, dengan munculnya gagasan rekonsiliasi antara tasawuf dan syari'at. Persentuhan global dengan pusat Islam di Haramain di akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M itulah, menurut Fadjar (1994:114) bahwa:
Yang memungkinkan para pelaku pendidikan Islam melihat sistem pembelajaran yang lebih terprogram. Maka diawal abad ke-20 M di Indonesia secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang pola pembelajaran Islam yang dikelola dengan sistem madrasi yang lebih modern, yang kemudian dikenal dengan nama "madrasah". Karena itu sejak awal kemunculannya, madrasah di Indonesia sudah mengadopsi sistem sekolah modern dengan ciri-ciri: digunakannya sistem kelas, pengelompokkan pelajaran-pelajaran, penggunaan bangku, dan dimasuk-kannya pengetahuan umum sebagai bagian dari kurikulumnya.

Ciri-ciri itu tidak terdapat dalam pesantren yang semula lebih bersifat individual, seperti terdapat pada sistem weton dan sorogan. Akan tetapi, dalam kurun waktu terakhir, ketika modernisasi pendidikan masuk ke dunia pesantren, dan melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai "pesantren modern", maka semua ciri madrasah yang disebutkan di atas sudah menjadi bagian dari keberadaan pesantren.
Sebagaimana telah dikemukakan, secara harfiah madrasah bisa diartikan dengan sekolah, karena secara teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar secara formal. Namun demikian Steenbrink (1986) membedakan madrasah dan sekolah karena keduanya mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda.
Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.
Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan tujuan antara keduanya secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan, sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen, di samping untuk mencegah memudarnya semangat keagamaan penduduk akibat meluasnya lembaga pendidikan Belanda itu. Sekolah untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar dasawarsa 1870-an bertujuan untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial, dengan maksud untuk melestarikan penjajahan.
Dalam lembaga pendidikan yang didirikan Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali. Karena itu tidak heran jika di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika itu muncul resistensi yang kuat terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk "mem-Belanda-kan" anak-anak mereka.
Pesantren memiliki tujuan yang lain lagi. Menurut Junus, Djumhur, dan Steenbrink (1982:160), bahwa:
Pesantren didirikan untuk menjadi basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah. Pesantren merupakan upaya kalangan pribumi untuk mengem-bangkan sistem pendidikan sendiri yang sesuai dengan tuntunan agama dan kebudayaan daerah untuk melindungi diri dari pengaruh sistem pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik balas budi", atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis".

Namun, meskipun pesantren berperan lebih dahulu dalam membendung pengaruh pendidikan kolonial, dibandingkan dengan madrasah, para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tampaknya mengakui bahwa dalam banyak hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini mengandung banyak kelemahan, sementara pada sisi lain lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda harus diakui memiliki banyak kelebihan. Madrasah yang, seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu. Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum itu di madrasah sejak awal perkembangannya telah mengalami kegagalan. Sebab, penekanan pada ilmu-ilmu agama (al-'ulum al-diniyyah) terutama pada bidang fikih, tafsir, dan hadits, ternyata lebih dominan, sehingga ilmu-ilmu non-agama khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam posisi pinggiran atau marjinal. Hal itu berbeda dengan madrasah di Indonesia yang sejak awal pertumbuhannya telah dengan sadar menjatuhkan pilihan pada (a) madrasah yang didirikan sebagai lembaga pendidikan yang semata-mata untuk mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang biasa disebut madrasah diniyah salafiyah; dan (b) madrasah yang didirikan tidak hanya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, tapi juga memasukkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda, seperti Madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di Majalengka.
Menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhan-nya ialah bahwa di dalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Perselisihan pendapat itu biasanya terjadi antara satu organisasi keagamaan dengan organisasi keagamaan lain yang memiliki faham keagamaan yang berbeda, dan mereka sama-sama mendirikan madrasah. Misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Tarbiyah Islamiyah, dan lain-lain, memiliki madrasahnya sendiri-sendiri untuk mensosialisasikan dan mengembangkan faham keagamaan mereka masing-masing.
Madrasah di Indonesia secara historis juga memiliki karakter yang sangat populis (merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban atau kota. Madrasah pertama kali didirikan oleh Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M) di Naisapur kota yang kemudian dikenal sebagai daerah kelahiran madrasah. Daerah Naisapur mencakup sebagian Iran, sebagian Afghanistan dan bekas Uni Soviet antara laut Kaspia dan laut Aral. Dengan inisiatif yang datang dari penguasa ketika itu, maka praktis madrasah tidak kesulitan menyerap hampir segenap unsur dan fasilitas modern, seperti bangunan yang permanen, kurikulum yang tertata rapi, pergantian jenjang pendidikan, dan tentu saja anggaran atau dana yang dikucurkan oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan madrasah di Indonesia. Kebanyakan madrasah di Indonesia pada mulanya tumbuh dan berkembang atas inisiatif tokoh masyarakat yang peduli, terutama para ulama yang membawa gagasan pembaharuan pendidikan, setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Dana pembangunan dan pen-didikannya pun berasal dari swadaya masyarakat. Karena inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat, maka masyarakat sendiri diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dengan biaya ringan.
Sebagai lembaga pendidikan swadaya, madrasah menampung aspirasi sosial-budaya-agama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Tumbuh dan berkembangnya madrasah di pedesaan itu menjadi petunjuk bahwa masyarakat Indonesia ternyata memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap pendidikan putra-putri mereka. Dari sudut pandang lain, hal itu juga berarti ikut meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan. Dalam hal ini patut dicatat bahwa dari 36.000 jumlah madrasah yang ada (yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum), 96% diantaranya dikelola oleh masyarakat secara swadaya, atau madrasah swasta. Sementara itu madrasah yang mengkhususkan diri pada mata pelajaran agama, yaitu madrasah diniyah yang dikelola masyarakat, jumlahnya telah mencapai 22.000 madrasah.
Kini madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen Agama. Lembaga pendidikan madrasah ini telah tumbuh dan berkembang sehingga merupakan bagian dari budaya Indonesia, karena ia tumbuh dan berproses bersama dengan seluruh proses perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Kurun waktu cukup panjang yang dilaluinya, yakni kurang lebih satu abad, membuktikan bahwa lembaga pendidikan madrasah telah mampu bertahan dengan karakternya sendiri, yakni sebagai lembaga pendidikan untuk membina jiwa agama dan akhlak anak didik. Karakter itulah yang membedakan madrasah dengan sekolah umum. Sehingga dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 1989, madrasah didefinsikan sebagai "sekolah umum dengan ciri khas Islam", sebuah pengakuan atau sebutan yang cukup simpatik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...