Jumat, 30 Desember 2011

Teori Motivasi


Teori harapan (expectancy theory) yang dikemukakan Victor H. Vroom dalam Gibson (1991:147), menjelaskan bahwa “orang-orang atau pegawai akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu, jika mereka yakin bahwa dan presentasinya itu mereka akan dapat mengharapkana imbalan yang besar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa “Motivation as a process governing choices among alternative form of Voluntary activity, in his view, most behaviors are under the voluntary Activily. ln his view, most behaviors are under the voluntary control of the person and are consequently motivated”. Motivasi sebagai proses pengaturan pilihan di antara sejumlah altematif aktivitas kerja, perilaku berada dalam kendali individu dan melalui hal tersebut individu dimotivasi. Ditegaskan lebih lanjut oleh Greenberg (1995: 159) bahwa:
Theory expectancy asserts that people are motivated to work when they expect that they will be able to achieve the things they want from their jobs. Expectancy theory characterizes people as rational beings who think about what they have to do in rewarded and how much the reward means to them before they perform their jobs     
Menurut pendapat Greenberg, teori harapan menegaskan bahwa individu termotivasi untuk bekerja jika punya harapan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dan pekerjaannya. Individu mempertirnbangkan pekerjaan yang akan dilakukan dengan melihat berbagai kemungkinan ganjaran dan pekerjaan tersebut. Motivasi kerja pegawai dalam organisasi tergantung pada harapannya. Seseorang mungkin melihat kernungkinan adanya suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat, jika seseorang bekerja dengan giat. Kenaikan pangkat atau gaji inilah menjadi perangsang (stimulus) seseorang dalarn bekerja giat. Dengan demikian seseorang memilih cara bertingkah laku diantara alternatif tindakan, berdasarkan harapan yang bagaimana akan diperoleh dan setiap tindakan yang akan dilakukan.
David Nadler dan Edward Lawler dalam Stoner (1998: 448) menguraikan empat macam asumsi mengenai tingkah laku pegawai dalam organisasi yang menjadi dasar pendekatan harapan yaitu:
1.      Behavior is determined by a combinatoin off actors in the individual and in the environment,
2.      Individuals make conscious decisions about their behavior in the organization;
3.      Individuals have dfferent needs, desires, and goals; and
4.      Individuals decide between alternative behaviors an the basis of their expectations that a given behavior will lead to a desired outcome.

Tingkah laku individu dalam organisasi ditentukan oleh bagaiman perpaduan antara faktor-faktor dalam diri dan faktor dan lingkungan kerja, berapa besar keyakinannya organisasi akan memberikan pemuasan bagi keinginannya sebagai imbalan atas usaha yang dilakukannya itu, kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam mengerjiakan pekerjaannya berbeda-beda tergantung dan hubungan timbal balik antara apa yang diinginkan dan butuhkan dan hasil pekerjaan itu, dan keyakinan yang diharapkan cukup besar untuk memperoleh kepuasannya, maka seseorang akan bekerja keras, dan sebaliknya.
Rumusan teori harapan (expectancy theory) V. H Vroom dikemukakan dalam Robins (1996:215):
“Teori harapan berargumen bahwa kekuata suatu kecenderungan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu itu. Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan mengatakan bahwa seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja  yang baik; suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional seperti suatu bonus, kenaikan gaji, atau suatu promosi dan ganjaran-ganjaran itu akan memuaskan tujuan-tujuan pribadi karyawan itu. Oleh karena itu, teori itu memfokuskan pada tiga hubungan yaitu:
1.      Hubungan upaya – kinerja: Prioritas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja
2.      Hubungan kinerja – ganjaran: Derajat sejauhmana individu itu meyakin bahwa berkinerja pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu keluaran yang diinginkan.
3.      Hubungan ganjaran – tujuan pribadi: Derajat sejahmana ganjaran-ganjaran organisasional memenuhi tujuan-tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan daya tarik ganjaran-ganjaran potensial tersebut untuk individu itu”.

Inti teori harapan adalah kuatnya kecenderungan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan daya tarik dan keluaran tersebut bagi individu. Teori ini berfokus pada tiga hubungan yaitu: hubungan upaya kinerja, adaiah berkenaan dengan harapan kemungkinan individu mencapai apa yang diinginkan dengan melakukan upaya tertentu. Hubungan kinerja-ganjaran, yaitu indeks yang merupakan tolak ukur berapa besarnya organisasi akan memberikan penghargaan atas hasil usahanya untuk pemuasan kebutuhannya; dan hubungan ganjaran-tujuan pribadi, adalah suatu intensitas kebutuhan untuk mencapai hasil, berkenaan dengan preferensi basil yang dapat dilihat oleh setiap individu. Greenberg (1993:159) selanjutnya menambahkan: “Expectancy theorists agree that motivation is the result of three diferent types of beliefs that people have. These are as follows Expectancy Instrumentality Valence”.  
Menurut teori harapan, motivasi adalah hasil dan tiga macam perasaan yaitu harapan, instrumental dan valensi. Harapan (expectancy) adalah keyakinan individu bahwa suatu, perilaku tertentu (effort) akan diikuti oleh tertentu (perfonmance) Instrumentalitas (instrumentality) adalah kenyakinan individu bahwa kerjanya yang sukses (Performance). Menjadikan ia menerima imbalan (reward) dan valensi imbalan (valence of reward) adalah imbalan atau hasil yang paling dibutuhkan seseorang yang menjadi kekuatan dan pilihan seseorang terhadap suatu hasil tertentu. Teori juga mengakui bahwa motivasi salah satu dan sejumlah faktor lain yang ikut membentuk prestasi kerja. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dinyatakan bahwa formula yang digunakan mengukur motivasi kerja pegawai berdasarkan teori harapan adalah: Motivasi = Valensi x Harapan x Instrumen. Untuk menjelaskan teori harapan, perlu diuraikan beberapa istilah penting dalam teori tersebut.
1.  Valensi
            Valensi yang dimaksudkan dan teori harapan, mengacu pada pendapat Davis and Newstrom  (1993:148) yakni, valance refert to strength of a person’s preference for receiving a reward. It is an expression of the amaunt of one’s desire of the goal. Valensi mengacu pada kekuatan preverensi seseorang terhadap perolehan imbalan. Ini  merupakan ungkapan kadar keinginan dan kebutuhan seseorang yang paling dibutuhkan, dan valensi setiap pegawai berbeda-beda yang dikondisikan oleh pengalaman masing-masing individu. Individu yang memiliki preferensi positif atau negatif terhadap suatu hasil akan berakibat pada valensi yang positif atau negatif.
Selanjutnya Gibson (1996:355) menambahkan bahwa “valensi merupakan nilai yang diletakkan oleh seseorang pada berbagai hasil hasil (pengharapan atau hukuman)”.   Valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang pegawai untuk mencapai tujuan kerja. Valensi lebih menguatkan pilihan seorang pegawai untuk suatu hasil jika seorang pegawai mempunyai keinginan yang kuat untuk suatu kemajuan suatu valensi dikatakan nihil, jika seorang pegawai tidak peduli akan pencapaian tujuan tertentu, dan valensi negatif adalah jika seorang pegawai lebih suka untuk tidak mencapai tujuan tertentu, akibatnya tidak ada motivasi kerja Sebaiknya valensi dikatakan positif, jika pegawai dapat memilih dan lebih menyenangi pencapaian tertentu.
Valensi lebih menguatkan pilihan seorang pegawai untuk mencapai tujuan kerja, jika seorang pegawai mempunyai hasrat yang kuat untuk mencapai prestasi kerja, maka berarti valensi pegawai tersebut tinggi untuk mencapai tujuan organisasi. Valensi tersebut timbul dan dalam diri pegawai yang dikondisikan melalui pengalaman. Artinya jika seorang pegawai mempunyai keinginan yang kuat untuk suatu kemajuan, maka dinilai positif jika ia berhasil, jika tidak dinilai negatif, dan jika hasilnya berbeda dinilai nol.
2.  Harapan (Expectancy)
            Harapan (Expectancy) merupakan kemungkinan pegawai organisasi mencapai apa yang diinginkannya dngari melakukan upaya tertentu. Gibson et al. (1996:355) mengemukakan sebagai berikut:
“Bahwa individu termotivasi pada pekerjaan untuk membuat pilihan di antara perilaku yang berbeda, contohnya tingginya upah kerja. Seseorang mungkin memilih untuk bekerja pada suatu tingkat rata-rata atau tingkat yang dipercepat. Pilihan ditentukan oleh individu tersebut. Jika seseorang percaya bahwa upaya bekerjanya akan cukup dihargai, akan terdapat upaya yang termotivasi; sebuah pilihan akan dibuat untuk bekerja sehingga imbalan yang diinginkan akan diterima. Logikanya motivasi pengharapan adalah bahwa individu mengerahkan upaya kerja mereka untuk mencapai kinerja yang menghasilkan imbalan yang dinginkan”.

            Harapan ditujukan pada keyakinan seseorang berkaitan dengan kemungkinan bahwa suatu perilaku tertentu akan diikuti oleh hasil tertentu. Harapan, adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi karena suatu perilaku Harapan mempunyai nilai berkisar antara nol sampai positif satu. Harapan nol menunjukan bahwa tidak kemungkinan sesuatu hasil akan muncul sesudah perilaku atau tindakan tertentu dilakukan. Harapan positif satu menjukan kepastian bahwa hasil tertentu akan muncul mengikuti suatu tindakan atau perilaku yang telah dilakukan Harapan ini dinyatakan dalam kemungkinan (probabilitas). Harapan merupakan kemungkinan pegawai mencapai apa yang diinginkannya dengan melakukan upaya tertentu. Harapan pegawai berhubungan dengan keyakinan pegawai pada suatu perilaku tertentu yang memungkinkannya mencapai hasil yang diharapkan. Suatu harapan dikatakan nihil, menunjukan tidak adanya kemungkinan bahwa suatu hasil akan muncul sesudah tindakan dilakukan.
Setiap individu dalam lingkungañ kerja mempunyai suatu harapan usaha prestasi (effort-prformance). Harapan ini menunjukan persepsi individu mengenai beratnya mencapai perilaku tertentu, dan mengenai probabilitas dan tercapainya perilaku tersebut. Disamping hal ini, ada juga harapan tentang prestasi perolehan (performance-outcome), artinya dalam setiap pikiran individu dan perilaku dihubungkan dengan perolehan (imbalan atau hukuman).
3.  Instrumentalitas
Instrumentalitas merupakan gambaran keyakinan pegawai bahwa suatu imbalan atau hadiah akan diterima apabila tugas diselesaikan dengan baik. Keyakinan individu tersebut dikaitkan pula bahwa apa diperoleh sebagai hasil langsung dan prestasi kerja (hasil tingkat prtama) akan berhubungan dengan perolehan pada hasil tingkat kedua. Gibson et al. (1996:355) mengemukakan bahwa “instrumentalis adalah keyakinan bahwa perilaku tertentu akan atau tidak akan membawa keberhasilan. Hal ini merupakan kemungkinan subyektif”.
Sedangkan menurut Davis & Newstrom (1985:91) menyatakan bahwa:
“Instrumentalitas menunjukkan keyakinan pegawai bahwa ia akan memperoleh suatu imbalan apabila tugas dapt diselesaikan. Di sini pegawai melakukan kata putus (judgement) subyektif lainnya tentang kemungkinan bahwa organisasi menghargai prestasi itu dan akan memberikan imbalan jasa atas dasar kemungkinan”.
Instrumentalitas adalah konsep dimana seseorang menganggap bahwa ada hubungan antara hasil tingkat pertama dan hasil tingkat kedua. Nilai instrumentalitas negatif jika seseorang berpersepsi hasil tingkat kedua dapat tercapai tanpa hasil tingkat pertama. Dan positif jika menunjukan bahwa hasil tingkat pertama itu perlu agar hasil tingkat kedua dapat tercapai. Hasil tingkat pertama berkaitan dengan kinerja, yaitu berkenaan dengan tingkat perbandingan antara kinerja dan hasil yang selayaknya langsung diperoleh nilai perolehan imbalan seseorang langsung dikaitkan pula dengan harapan pencapaian hasil yang lebih tinggi (hasil tingkat kedua) untuk mencapal rasa kepuasan. Hubungan hasil tingkat kedua dengan keinginan, erat kaitannya dengan prestasi kerja yang dicapai pada hasil tingkat pertama, dimana seseorang nantinya menerima imbalan yang lebih baik tergantung apa yang telah dicapai pada usaha kerja keras seseorang.
Kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam mengerjakan pekerjaan tergantung dan hubungan (Bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang akan diperoleh) antara apa yang diinginkan dan butuhan dengan hasil dan pekerjaan tersebut (effort-expended). Individu mengharapkan (expectancy) konsekuensi tertentu dan pekerjaannya, harapan ini nantinya akan mempengaruhi keputusan cara bekerja (level of peformance). Nilai tertentu dari imbalan yang diharapkan individu mengenai upaya yang dilibatkan untuk memperoleh imbalan tersebut dan kemungkinan pencapaiannya, untuk menghasilkan upaya ke arah tingkat prestasi tertentu (high productivity). Tingkat prestasi yang dihasilkan ini menyebabkan imbalan yang inheren dalam pelaksanaan tugas (first-level outcomes) Individu mempunyai persepsi (intrumentality) mengenai kepantasan seluruh perangkat imbalan yang telah diterima, apabila diukur dengan imbalan yang sesungguhnya akan diterima berüpa ganjaran organisasional (second level outcomes) berupa: penghargaan, promosi, kenaikan gaji, kesetiakawanan dan dan lain-lain, dan ganjaran tersebut akan mernuaskan tujuan individu. Bila keyakinan yang diharapkan untuk memperoleh kepuasannya maka pegawai akan bekerja keras pula.

Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Pegawai


A.   Latar Belakang Penelitian 
Institut  Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) adalah sebuah  lembaga pendidikan tinggi kedinasan yang sistem pendidikannya disebut Tri Tunggal Pusat yang berjalan secara simultan antara Pengajaran, Pelatihan dan Pengasuhan disingkat JarLatSuh. Sebagai suatu lembaga kedinasan di bawah Kementerian Dalam Negeri, IPDN bertugas menyiapkan sumberdaya manusia yang digunakan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Hal tersebut secara eksplisit terlihat dalam visi IPDN yaitu “Unggul dalam menyiapkan Kader Pamong Praja yang berwawasan negarawan, ilmuwan, professional dan demokratis dengan berdasarkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan memperhatikan lingkungan lokal nasional dan global.”
Penyelenggaraan pendidikan IPDN dilakukan pemberdayaan untuk mengubah peserta didik menjadi kader pemerintahan dalam negeri yang berkualitas, guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan didaerah dan dipusat serta memberikan pelayanan prima pada masyarakat luas. Pola pendidikan kedinasan dalam wadah IPDN dirancang untuk menghasilkan kader yang memililki keahlian dan disiplin dengan jiwa pengabdian yang tinggi, serta memiliki wawasan akademis.
   Dari visi IPDN, terdapat tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan IPDN yaitu kepemimpinan (leadership), kepelayanan (stewardship) dan kenegarawanan (statesmanship). Ketiga kompentensi dasar tersebut merupakan produk unggulan bagi lulusan/alumni IPDN.
   Agar setiap lulusan/alumni IPDN memiliki ketiga dasar kompentensi tersebut maka semua aset sumberdaya manusia (dosen, pelatih, pengasuh maupun tenaga administrasi)  merupakan pegawai Negeri di Institut Pemerintahan Dalam Negeri dibebankan melaksanakan tugas berdasarkan struktur organisasi  dan kompentensi bidang keahlian untuk mencapai tujuan dan sasaran yang lebih efisien dan efektif.
   Sumber daya manusia merupakan salah komponen yang dibutuhkan dalam mengatur dan menggerakkan roda organisasi yang harus mendapat perhatian penuh, Pemerintah kini mengadakan perubahan yang mendorong pada sikap dan perilaku pegawai kearah hasil kerja yang lebih baik. Perhatian pemerintah tersebut ditopang dengan penciptaan kinerja pegawai yang diarahkan pada peningkatan prestasi kerja dan dapat tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan pendapat Malayu H.S Hasbuan (2006 :235) yang menyatakan bahwa:
”Kemampuan (ability) menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan pekerjaan. Kemampuan ini mungkin dimanfaatkan sepenuhnya atau mungkin juga tidak. Kemampuan ini berhubungan erat dengan totalitas daya pikir dan daya fisik yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan pekerjaan.”

   Berdasarkan uraian tersebut, persyaratan yang sangat mendasar bagi pegawai adalah kemampuan intelektual dengan motivasi kerja yang tinggi sehingga tercipta kinerja pegawai yang kondusif untuk merealisasikan potensi kerja yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan organisasi.  
   Bintoro (1998:120) mengatakan, yang perlu diperhatikan dalam pembinaan aparatur pemerintah yang produktif adalah:
1.        Keterampilan dan kemampuannya, yang dapat disebut sebagai kemampuan professional dan manajerial.
2.        Motivasi dan dedikasinya. Dorongan untuk  berkarya, mengabdi, melaksanakan tugas dan menyelesaikan amanat. Dalam hal ini adalah orientasi pengabdian untuk Negara, bangsa dan masyarakat.
3.        Sikap mental, etos kerja misalnya disiplin, kerja keras, produktif, jujur, tertib.
 
Pendapat ini pada dasarnya untuk mewujudkan tingkat  produktivitas  kerja pengawai yang tinggi. Pengawai yang memiliki kerja yang relatif tinggi akan selalu giat dan aktif bekerja yang menjurus kepada pencapai produktivitas kerja yang tinggi, dan akhirnya tujuan organisasi dapat  tercapai secara optimal. Untuk mengetahui kinerja haruslah diperhatikan sikap sikap individu dalam hubungannya dengan organisasi, karena kinerja merupakan akibat adanya kemampuan individu, kelompok dan organisasi. Dengan demikian di dalam proses pencapaian tujuan organisasi perlu kondisi yang kondusif, yang merupakan fungsi organisasi dalam pelaksanaan administrasi. Ini berarti faktor pembinaan dan pendayagunaan pegawai merupakan bagian yang  tidak terpisahkan dengan faktor kinerja pengawai. Dengan mengembangkan kinerja yang positif, pengawai akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan yang baik untuk memacu tercapainya tujuan organisasi.
Perilaku yang berbeda dari setiap pegawai sebagai individu dapat dilihat dari tingkatan kemampuan kerja pengawai dalam proses pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Asumsi tersebut apabila dikaitkan  dengan perilaku pegawai pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri, adanya kesamaan bahwa perilaku pegawai yang berbeda telah merefleksikan kepada tingkat kemampuan kerja yang berbeda pula. Hal tersebut akan membawa konsekuensi terhadap tingkat efektivitas organisasi.
Berdasarkan  pengamatan awal penelitian di Institut Pemerintahan Dalam Negeri ditemukan beberapa permasalahan yaitu masih kurang efektifnya pegawai melaksanakan melaksanakan tugas-tugas dalam memberikan pelayanan pada umumnya serta pada anak didik (praja) pada khususnya yang merupakan fungsi dari instansi Pemerintahan, dimana masih adanya pegawai yang tidak hadir di tempat kerja, ketidaktepatan waktu masuk dan cepat pulang, selain itu menyerahkan kerja pada orang lain yang bukan tugasnya, menunda pekerjaan merupakan hal yang dilakukan oleh sebagian pegawai di lingkungan IPDN yang dapat mengakibatkan kurang efektifnya pelaksanaan pelayanan administrasi khususnya terhadap praja IPDN.
Setiap pegawai yang bekerja mempunyai motif dan harapan tertentu, maka dalam pemberian  motivasi harus dapat mencerminkan motif serta harapan pengawai, terhadap kemungkinan memperoleh balasan (reward) yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari  perilaku pegawai. Kebutuhan seseorang berubah dari waktu kewaktu dan dari individu ke individu lainnya, dan tentunya diperlukan penyelarasan sehingga tujuan (harapan) pengawai dan tujuan organisasi secara keseluruhan dapat saling menunjang, sehingga tujuan kedua belah pihak dapat sama sama tercapai.
Kenyataan sering terjadi benturan kepentingan antara bawahan dengan atasan yang seringkali bawahan menjadi terpojok dan pada akhirnya frustasi dan stress sehingga tidak termotivasi. Selain itu tidak jelasnya reward dan punishment yang diterima. Tidak jelasnya evaluasi yang dilakukan tentang prestasi kerja, serta penempatan karyawan yang kurang tepat dapat mengakibatkan menurunnya motivasi kerja pegawai administrasi khususnya di lingkungan IPDN Jatinangor, karena prestasi kerja akan meningkat apabila pegawai berkeyakinan bahwa dari prestasi akan mendapatkan imbalan yang lebih besar. Seorang pegawai yang tidak memiliki harapan bahwa prestasi kerja akan dihargai lebih tinggi, tidak akan termotivasi untuk berusaha meningkatkan kemampuan kerjanya.
Kemampuan kerja yang dimiliki oleh seorang individu pada dasarnya merupakan bekal yang sangat mendasar dalam kehidupan. Sebagaimana dinyatakan oleh Gibson et.al (1996:98) bahwa:
”Manusia akan dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya dengan menggunakan potensi yang ada dan akan tetap terbuka kesempatan untuk berkembang dan berubah jika potensi meraka digali secara terus menerus, tentunya potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu adalah berbeda, tergantung pada kemampuannya. Perbedaan dalam hal kemampuan akan berpengaruh terhadap perilaku kerja serta kinerja individu”.
Meskipun karyawan memiliki kemampuan kerja yang tingi tetapi tidak didukung motivasi kerja yang memadai, maka kinerjanya akan rendah dalam memberikan pelayanan. Pelayanan sering diartikan sebagai kaitan mengurus, menyiapkan sesuatu baik berupa barang ataupun jasa terhadap pengguna (stakeholder), pelanggan (user), konsumen dan semacamnya. Pelayanan tersebut identik dengan kegiatan organisasi atau lembaga yang mengabdi atau berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pihak yang membutuhkan pelayanan. Kegiatan pelayanan dalam suatu organisasi memiliki peran penting dan strategis, terutama bagi organisasi yang berorientasi pada pelayanan jasa.
Efektivitas pelayanan merupakan pengukuran dalam arti tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Efektivitas organisasi pada dasarnya adalah efektivitas perorangan yang melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik.
Berdasarkan pengertian pelayanan tersebut  di atas, maka dapat dipahami bahwa instansi pemerintah yang berorientasi kepada pelayanan jasa harus memberikan pelayanan prima kepada yang dilayani. Artinya pelayanan yang berkualitas adalah suatu tanggung jawab (kewajiban) pihak memberi pelayanan dan merupakan hak dari pihak penerima pelayanan. Pelayanan bagi instansi atau lembaga pemerintah khususnya yang bergerak dalam pelayanan jasa, maka sudah merupakan kewajiban setiap aparat atau karyawannya memberikan pelayan terbaik. Suatu instansi atau lembaga dalam operasionalnya tidak terlepas dari penilaian atau respon konsumen maupun posisinya sebagai mitra dalam hal mewujudkan efektifitas pelayanan.
Pada dasarnya setiap pelayanan, senantiasa harus selalu ditingkatkan kinerjanyanya sesuai dengan keinginan klien atau pengguna jasa. Akan tetapi kenyataannya untuk mengadakan perbaikan terhadap kinerja pelayanan bukanlah sesuatu yang mudah, sehingga motivasi dan kemampuan pegawai yang perlu mendapatkan prioritas di dalam meningkatkan pelayanan, oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada pengukuran pengaruh kedua faktor tersebut terhadap efektivitas pelayanan di lingkungan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor. Berdasarkan uraian di atas, maka judul penelitian mandiri ini adalah Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Kerja Pegawai Terhadap Efektivitas Pelayanan Kepada Praja (Studi Kasus Pada IPDN Jatinangor).
B.    Rumusan Masalah
            Berdasar latar belakang penelitian di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah:
1.        Sejauhmana pengaruh motivasi kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan kepada praja di IPDN Jatinangor .
2.        Sejauhmana pengaruh kemampuan kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan kepada praja di IPDN Jatinangor .
3.        Sejauhmana motivasi kerja dan kemampuan kerja pegawai secara bersama-sama berpengaruh terhadap efektivitas pelayanan kepada praja  di IPDN Jatinangor .
4.        Kebijakan apa saja yang harus dilakukan untuk meningkatkan motivasi, kemampuan kerja dan efektivitas pelayanan kepada praja di IPDN Jatinangor.

C.  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian mandiri ini adalah untuk mengetahui:
1.        Pengaruh motivasi kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan kepada praja di IPDN Jatinangor
2.        Pengaruh kemampuan kerja pegawai terhadap efektivitas pelayanan kepada praja di IPDN Jatinangor.
3.        Pengaruh motivasi kerja dan kemampuan kerja pegawai secara bersama-sama terhadap efektivitas pelayanan kepada praja di lingkungan IPDN Jatinangor.
4.        Kebijakan yang harus dilakukan lembaga IPDN untuk meningkatkan motivasi, kemampuan kerja dan efektivitas pelayanan kepada praja.

Rabu, 28 Desember 2011

Ideologi Negara


Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, secara umum dan beberapa arah filosofis, atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat.
Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.
Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekereja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.
Teori komunis Karl Marx, Friedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada abad 20. Contoh ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, Demokrasi Islam, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial.
Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang kadangkala bertindak dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan budaya yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.
Secara fungsional, ideologi diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan bersama (common good). Dalam hal ini ideologi bisa muncul karena kekecewaan pada saat ini dan mempunyai niat untuk memperbaiki di zaman akan datang. Jhon Storey (2007:32) telah mengupas lima konsep ideologi yang banyak digunakan yaitu:
1.      Ideologi mengacu pada suatu pelembagaan gagasan secara sistematis yang diartikulasikn oleh sekelompok masyarakat tertentu.
2.      Ideologi sebagai penopengan dan penyembunyian realitas tertentu. Disini ideologi digunakan sebagai alat untuk mengungkap bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu digunakan untuk menghadirkan citra-citra tertentu yang sudah diseleksi, direduksi dan didistorsi yang kemudian memproduksi apa yang disebut oleh Marx dan Engels sebagai “kesadaran palsu” distorsi ini sengaja dilakukan seculas mungkin guna mengamankan kepentingan kelas penguasa untuk mengendalikan sepenuhnya kelas yang disukai.
3.      Definisi negara yang terkait erat dan dalam beberapa hal tergantung pada-definisi kedua, yakni ideologi yang mengejawantahkan dalam bentuk-bentuk ideologis. Dalam hal ini ideologi dimanfaatkan sebagai alat untuk menarik dan memikat perhatian publik terhadap teks-teks yang ditampilkan dalam bentuk fiksi televisi, lagu pop, novel, film dan hiburan lainnya yang dapat mempengaruhi masyarakat.
4.      Ideologi bukan hanya sebagai pelembagaan ide sebagaimana konsep pertama, tapi juga sekaligus sebagai praktik material. Disini ideologi sesungguhnya dapat dijumpai dalam praktek kehidupan sehari-hari dan bukan hanya pada ide-ide tertentu  tentang kehidupan sehari-hari.
5.      Ideologi yang difungsikan pada level konotasi (tersirat), makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari yang tidak terdapat pada teks dan praktik kehidupan. Ideologi pada konsep ini mengarahkan kita pada perjuangan hegemonik untuk membatasi makna konotatif, menetapkan konotasi-konotasi partikuler, dan memproduksi konotasi-konotasi baru.

Berkaitan dengan di atas, ideologi sesungguhnya dapat diketahui secara struktural dan secara fungsional. Ideologi secara struktural diartikan sebagai item kepercayaan dan pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Sedangkan ideologi secara fungsional dimaknai sebagai perangkat gagasan tentang kebaikan bersama, atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik.
Ideologi dalam arti fungsional ini digolongkan secara tipologi dengan dua tipe, yakni ideologi yang doktriner dan ideologi yang pragmatis.  Suatu ideologi dapat dikatakan doktriner apabila ajaran-ajaran yang dikandung di dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, dan pelaksanaanya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Sedangkan ideologi yang bersifat pragmatis sebaliknya dari ideologi yang bersifat doktriner yaitu bersifat tidak sistematis dan tidak terperinci.
Sementara itu beberapa ideologi mutakhir yang berkembang di beberapa negara antara lain:
1.      Liberalisme
Ideologi ini sama dengan ideologi individualisme, paham ini menempatkan kepentingan kebebasan individu sebagai inti pemikiran, dan pusat tujuan manusia. Paham ini tumbuh dan berkembang sebagai respons terhadap pola kekuasaan negara yang absolut. Liberalisme tumbuh dari konteks masyarakat Eropa pada abad pertengahan. 
Menurut Sukarna (1981:17) liberalisme adalah sebuah  ideologi  yang mengagungkan kebebasan.  Ada dua macam liberalisme, yakni liberalisme klasik dan liberallisme modern.  Liberalisme klasik timbul pada awal abad ke 16,  sedangkan liberalisme modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada liberalisme modern, liberalisme klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh liberalisme modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari liberalisme klasik itu masih ada.  Liberalisme modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalamversi yang baru.  Jadi sesungguhnya, masa liberalisme klasik itu tidak pernah berakhir (Deliar Noor, 1998:102).
Dalam liberalisme klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan.  Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni  demokrasi (politik) dan  kapitalisme (ekonomi).  Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawab-kan.  Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
2.      Konservatisme
Konteks kelahiran dari ideologi ini adalah ketika liberalisme mulai menggoncang struktural kaum feodal yang mapan, di mana golongan feodal berusaha mencari ideologi tandingan untuk menghadapi kekuasaan persuasif liberalisme. Di sinilah muncul konservatisme sebagai reaksi atas paham liberal. Inti pemikiran dari pahan ini adalah memelihara kondisi yang ada, mempertahankan kesetabilan, pemikiran demikian dilandasi oleh pengaruh kepuasaan mengenai kondisi kini, dapat pula dilandasi oleh romantisme masa lalu. Identitas dari paham ini adalah pertama; perubahan tidak selalu berarti maju, kedua; mempertahankan agar sistem ekonomi dan pertanian tidak berubah drastis sebagai dampak revolusi Perancis. Ketiga; mempertahankan pola dominasi  monarki dan aristokrasi. 
Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin,  conservāre,  yang artinya melestarikan; "menjaga, memelihara, mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau (Suhelmi, 2007:90).
Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang otentik sebagai bertahannya dan penguatan orang-orang tertentu dan ungkapan-ungkapan kebudayaannya yang dilembagakan. Roger Scruton menyebutnya sebagai pelestarian ekologi sosial dan politik penundaan, yang tujuannya adalah mempertahankan, selama mungkin, keberadaan sebagai kehidupan dan kesehatan dari suatu organisme sosial. (Suhelmi, 2007:98).
3.      Sosialisme
Paham ini merupakan antitesis dari paham liberalisme. Sosialisme merupakan suatu paham yang menjadikan kepentingan bersama atau kebersamaan sebagai inti pemikiran. Identitas dari paham ini adalah pertama; berpegang pada prinsip-prinsip kesederajatan dan pemerataan. kedua; memiliki pemikiran ekonomi yang negara centris. ketiga; negara sangat diperlukan guna membina dan mengkoordinasikan kebersamaan.
Istilah sosialisme atau sosialis dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan dengan ideologi atau kelompok ideologi, sistemekonomi, dan negara. Istilah ini mulai digunakan sejak awal abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, istilah ini digunakan pertama kali untuk menyebut pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Penggunaan istilah sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian yang dengan sistem ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite. Menurut penganut Marxisme, terutama Friedrich Engels, model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial.  
4.      Komunisme
Ideologi ini hampir sama dengan sosialisme, di mana komunisme menghendaki penguasaan sarana-sarana produksi yang vital oleh negara. Dalam paham ini pribadi tidak diperbolehkan memiliki sarana produksi sebagai hak milik, apalagi sarana bagi kepentingan umum. Ada juga perbedaanya dengan sosialisme, komunisme memandang negara diperlukan untuk mengendalikan perjuangan kelas dan menghapus perbedaan kelas, jika sudah tercapai maka negara tidak diperlukan lagi. Sosialisme tetap menganggap negara diperlukan, sosialisme bersifat evolusioner sedangkan komunisme bersifat revolusioner. 
Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas(sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik.
Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap paham kapitalisme di awal abad ke-19, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dariproduksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangan yang berbeda dalam pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia.
Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan  komunis internasional. Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. Sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme" (Deliar Noor, 1997:167).
Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari pengambil alihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil dengan melalui perjuangan partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi "tumpul" dan tidak lagi diminati karena korupsi yang dilakukan oleh para pemimpinnya.
Komunisme sebagai anti-kapitalisme menggunakan sistem partai  komunis  sebagai alat pengambil alihan kekuasaan dan sangat menentang kepemilikan akumulasi modal atas individu. pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai milik rakyat dan oleh karena itu, seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata akan tetapi dalam kenyataannya hanya dikelolah serta menguntungkan para elit partai, Komunisme memperkenalkan penggunaan sistem demokrasi keterwakilan yang dilakukan oleh elit-elit partai komunis oleh karena itu sangat membatasi langsung demokrasi pada rakyat yang bukan merupakan anggota partai komunis karenanya dalam paham komunisme tidak dikenal hak perorangan sebagaimana terdapat pada paham liberalisme.
Secara umum komunisme berlandasan pada teori Dialektika materi oleh karenanya tidak bersandarkan pada kepercayaan agama dengan demikian pemberian doktrin pada rakyatnya, dengan prinsip bahwa "agama dianggap candu" yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran ideologi lain karena dianggap tidak rasional serta keluar dari hal yang nyata (kebenaran materi).
5.      Fasisme
Fasisme merupakan reaksi kekecewaan kedua setelah komunisme, terhadap akibat negatif dari paham liberalisme. Walaupun keduanya sama-sama reaksi dari kekecewaan dari paham liberalisme namun keduanya berbeda, komunisme lahir dari tatanan masyarakat yang masih terbelakang secara teknologi atau masyarakat yang belum mengalami proses industrialisasi. Sementara fasisme muncul dari tatanan masyarakat yang relatif maju dan sudah masuk dalam tahap industrialisasi merupakan prasyarat lahirnya Fasisme.
Fasisme adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa suatu bangsa dan terciptanya "manusia baru" yang ideal untuk membentuk suatu elit pemerintahan melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan eugenika kebijakan keluarga termasuk. Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan akan dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat.
Pemerintah Fasis melarang dan menekan oposisi terhadap negara. Fasisme didirikan oleh sindikalis nasional Italia dalam Perang Dunia I yang menggabungkan sayap kiri dan sayap kanan pandangan politik, tapi condong ke kanan di awal 1920-an. Para sarjana umumnya menganggap fasisme berada di paling kanan. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai memberikan perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk mendominasi dalam karakter orang, dan menciptakan persaudaraan nasional melalui dinas militer. Fasis kekerasan melihat dan perang sebagai tindakan yang menciptakan regenerasi semangat, nasional dan vitalitas.
Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis, anti-individualis, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis Fasisme. menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hirarki, semangat, dan akan. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme (sebagai gerakan borjuis) dan Marxisme (sebagai sebuah gerakan proletar) untuk menjadi eksklusif ekonomi berbasis kelas gerakan Fasis ini. ideologi mereka seperti yang dilakukan oleh gerakan ekonomi trans-kelas yang mempromosikan menyelesaikan konflik kelas ekonomi untuk mengamankan solidaritas nasional mereka mendukung, diatur multi-kelas, sistem ekonomi nasional yang terintegrasi.
6.      Fundamentalisme
Kebangkitan kembali suatu isme atau suatu gerakan muncul dikarenakan adanya satu atau beberapa momentum. Perang Salib misalnya menjadi salah satu peristiwa atau momentum bagi lahirnya militan atau fundamentalisme Kristen Barat. Menurut Jhon L. Esposito, setidaknya terdapat dua mitos yang meliputi persepsi barat mengenai Perang Salib. Pertama; kemenangan Kristen dan  kedua; Perang Salib itu dilakukan hanya untuk pembebasan Jerusalem. 
Menurut Steve (2000:34), fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran,  paham  atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah "tercemar".
Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga mencoba meraih kekuasaan politik demi mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi mereka.
7.      Kapitalisme Global
Munculnya kapitalisme di dunia merupakan kelanjutan dari sebuah proses perubahan sosial yang ada, salah satunya merupakan akibat langsung dari adanya gerakan liberalisme. Teori moderenisasi yang muncul sekitar tahun 1950-an di Amerika Serikat menjadi teori terpenting dari perjalanan kapitalisme.
Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untung kepentingan-kepentingan pribadi. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas.
Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.
Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka. Peleburan kapitalisme dengan sosialisme tanpa adanya pengubahan menjadikan kapitalisme lebih lunak daripada dua atau tiga abad yang lalu.


KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...