Paradigma pembelajaran di kelas dewasa ini telah mengalami pergeseran orientasi. Semula, orientasi pembelajaran itu tidak lebih sekedar penyampaian informasi kepada peserta didik. Namun sekarang, pembelajaran lebih diutamakan untuk menggali potensi peserta didik, sehingga memancar daripadanya pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilannya (psikomotor). Strategi yang digunakan pun tidak lagi sekedar pemberian materi, tetapi juga menstimulasi peserta didik agar mampu merumuskan sendiri konsep-konsep yang dipelajarinya.
Adanya pergeseran paradigma itu mejadikan peran guru di kelas berubah, dari peran yang hanya penyampai informasi (transformator) kepada peran sebagai perantara (fasilitator dan mediator). Dengan kata lain, pergeseran dari “teacher centered” ke “student centered“. Adanya pergeseran paradigma tersebut, menuntut guru untuk lebih meningkatkan kompetensinya, baik sebagai seorang profesionalisme maupun sebagai seorang craftmant (tenaga ahli dan terampil).
Meningkatkan kompetensi dilakukan oleh guru baik secara mandiri maupun dengan teman sejawat di sekolahnya. Namun adakalanya upaya secara mandiri dan dengan teman sejawat dalam satu sekolah pun seringkali tidak berjalan efektif dan kurang berkembang. Oleh karena itu diperlukan upaya lain yaitu melalui kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), yang biasanya terdiri dari guru mata pelajaran yang sejenis dari beberapa sekolah dalam satu kawasan.
Selama ini kegiatan MGMP ternyata belum berjalan optimal dan masih bersifat insidental, terutama bila sudah mendekati pelaksanaan Ujian Nasional. Sehingga MGMP hanya sebatas mencari strategi-strategi untuk penyelesaian soal-soal ujian belaka, belum menyentuh pada pembahasan menyeluruh untuk menemukan pemecahan dalam kesulitan belajar. Tidak berjalannya kegiatan MGMP secara optimal belakangan ini terpecahkan dengan digulirkannya kegiatan pelatihan guru berbasis sekolah yang dinamakan dengan Lesson Study.
Kelebihan dari metode ini adalah, peran guru yang dapat berubah-ubah: siapapun dapat berperan sebagai guru pengajar dalam satu waktu dan menjadi guru pengamat di lain waktu. Pergantian peran ini menciptakan rasa saling mengerti serta mendukung di antara guru dan secara efektif meningkatkan mutu proses belajar-mengajar. Bermacam-macam istilah yang digunakan untuk metode sejenis ini di berbagai sumber pustaka, misalnya ”action research“, “coaching“, dan “clinical supervision“. Dalam program ini, lesson study akan digunakan sebagai istilah umum untuk kegiatan yang berusaha untuk mengembangkan profesi guru.
Revolusi pembelajaran yang dilakukan melalui kegiatan Lesson Study telah menunjukkan hasil yang luar biasa. Indikator keberhasilannya dapat dilihat diantaranya:
1. Tumbuhnya semangat guru dalam mencari dan menerapkan berbagai metoda atau strategi pembelajaran. Hal ini dikarenakan setiap dilaksanakan implementasi lesson study, guru dituntut untuk memilih metoda atau strategi pembelajaran yang lain dari yang pernah dipakai dalam implementasi-implementasi sebelumnya.
2. Tumbuhnya prinsip kolegalitas diantara guru-guru mata pelajaran, khususnya yang sejenis. Hal ini ditunjukkan dengan semakin efektifnya kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sebelumnya, kegiatan MGMP hanya terbatas bila menghadapi Ujian Nasional saja. Bahkan kegiatan MGMP pun biasanya diselenggarakan oleh sub rayon, bahkan rayon, yang tentu secara domisili kesulitan dijangkau oleh transportasi, terutama di sekolah-sekolah yang berada di pinggiran. Melalui kegiatan MGMP yang diselenggarakan di Base Camp, lebih mudah dijangkau oleh guru-guru anggota MGMP, sehingga silaturrahmi dan kolegalitas, sebagai ruh lesson study.
3. Dukungan moril dan materil dari pimpinan sekolah semakin kuat. Hal ini bisa dilihat pada setiap kegiatan lesson study melalui MGMP mendapat dukungan dari kepala sekolah. Bahkan hampir setiap kegiatan lesson study dihadiri langsung oleh kepala sekolah-kepala sekolah, khususnya dalam satu base camp. Tentunya dengan dukungan yang besar dari pimpinan akan memberi motivasi bagi untuk mengikuti kegiatan MGMP. Tetapi sebaliknya bila pimpinan sekolah tidak memberi motivasi, maka gurunya pun tidak akan semangat mengikuti kegiatan MGMP.
4. Guru mendapat banyak pencerahan, selain dari teman sejawat, juga dari para dosen pembimbing (fasilitator) yang setiap pertemuan selalu hadir untuk memberikan dukungan, baik ketika melakukan PLAN (perencanaan), DO (pelaksanaan/implementasi) dan SEE (refleksi). Dengan kehadiran para dosen tersebut, guru semakin banyak mendapat pencerahan serta termotivasi untuk melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran. Hal ini tentu berbeda bila melalui kegiatan MGMP konvensional.
Di samping
itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan
pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut
Rosenberg (2001:87), sebagai berikut:
Dengan
berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran
yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan
kapan saja, (3) dari kertas ke “online”
atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu
siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan
menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail,
dsb.
Interaksi
antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi
juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan
layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat
memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan
menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah
berkembangnya apa yang disebut “cyber
teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan
dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran
dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet.
Menurut
Rosenberg (2001; 28), e-learning
merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran
dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu: (1) e-learning merupakan jaringan dengan
kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar
atau informasi, (2) pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer
dengan menggunakan teknologi internet yang standar, (3) memfokuskan pada pandangan
yang paling luas tentang pembelajaran dibalik paradigma pembelajaran
tradisional. Saat ini e-learning
telah berkembang dalam berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti:
CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education,
CLE (Cybernetic Learning Environment),
Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning Syatem), LCC (Learner-Cemterted Classroom),
Teleconferencing, WBT (Web-Based
Training), dan sebagainya.
Untuk dapat
memanfaatkan TIK dalam memperbaiki mutu pembelajaran, ada tiga hal yang harus
diwujudkan yaitu (1) siswa dan guru harus memiliki akses kepada teknologi
digital dan internet dalam kelas, sekolah, dan lembaga pendidikan guru, (2)
harus tersedia materi yang berkualitas, bermakna, dan dukungan kultural bagi
siswa dan guru, dan (3) guru harus memilikio pengetahuan dan ketrampilan dalam
menggunakan alat-alat dan sumber-sumber digital untuk membantu siswa agar
mencaqpai standar akademik.
Sejalan dengan
pesatnya perkembangan TIK, maka telah terjadi pergeseran pandangan tentang
pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam pandangan tradisional di
masa lalu, proses pembelajaran dipandang sebagai: (a) sesuatu yang sulit dan
berat, (b) upaya mengisi kekurangan siswa, (c) satu proses transfer dan
penerimaan informasi, (d) proses individual atau soliter, (e) kegiatan yang
dilakukan dengan menjabarkan materi pelajaran kepada satuan-satuan kecil dan
terisolasi, (f) suatu proses linear.
Sejalan
dengan perkembangan TIK telah terjadi perubahan pandangan mengenai pembelajaran
yaitu pembelajaran sebagai: (1) proses alami, (2) proses sosial, (3) proses
aktif dan pasif, (4) proses linear dan atau tidak linear, (5) proses yang
berlangsung integratif dan kontekstual, (6) aktivitas yang berbasis pada model
kekuatan, kecakapan, minat, dan kulktur siswa, (7) aktivitas yang dinilai
berdasarkan pemenuhan tugas, perolehan hasil, dan pemecahan masalah nyata baik
individual maupun kelompok.
Semua hal itu
tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang
berbeda antara satu dengan lainnya. Siswa memerlukan bimbingan baik dari guru
maupun dari orang tuanya dalam melakukan proses pembelajaran dengan dukungan
TIK. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting dan harus menguasai
seluk beluk TIK dan yang lebih penting lagi adalah kemampuan memfasilitasi
pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus
bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu,
karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu
sumber informasi.
Kemajuan
teknologi komunikasi ini dikemukakan oleh Gerstmer, Jr. dkk (1995), bahwa:
Di masa-masa
mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer
pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang
yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya
sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan
prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal
ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan
petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para
pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang
ada.
Sebagai
konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar,
di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang
kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru. Disamping itu, guru
diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah
perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan
otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan
belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang
pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan
tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini
mengandung makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak,
akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa.
Di samping
sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya
sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luar
mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam
rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.
Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai
karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru
yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku
petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu
menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus didukung
oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas
profesionaliemenya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar