Ada beberapa alasan mengapa penilaian kinerja harus
dievaluasi secara terus menerus. Pertama, dengan penilaian kinerja terhadap personilnya,
lembaga atau sistem mengetahui dengan tepat hasil apa saja yang telah dicapai oleh personilnya, yang
mana pencapaian hasil-hasil (outcomes)
ini akan memberikan sumbangan terhadap pencapaian tujuan-tujuan lembaga atau
sistem. Penilaian kinerja seperti ini dilakukan untuk memperoleh gambaran
tentang kinerja lembaga atau sistem secara makro (keseluruhan).
Kedua, penilaian kinerja dilakukan oleh lembaga atau
sistem untuk memperoleh data sebagai dasar bagi pengambilan keputusan mengenai
promosi, melepaskan jabatan, hingga pemberhentian personil. Penilaian kinerja
seperti ini merupakan penilaian secara
mikro (khusus) dan lebih bersifat teknis.
Riset oleh Hackman dan Lawler, Hackman dan Oldham, dan
Wanous yang dikutip oleh Wexley dan Yuki
(1988: 149) tentang:
Para pekerja yang memiliki kebutuhan yang
lebih tinggi, maka kinerjanya akan lebih baik jika dimensi-dimensi inti dari
pekerjaannya juga tinggi. Ada lima dimensi-dimensi inti suatu pekerjaan, yaitu:
(a)
Ragam keterampilan (skill
variety), merupakan tingkat pekerjaan yang menuntut berbagai jenis
aktivitas yang membutuhkan banyak jenis keterampilan dan bakat dari pekerja
untuk menyelesaikan pekerjaannya.
(b)
Identitas pekerjaan (task identity), merupakan tingkat pekerjaan yang menuntut
kelengkapan dalam “suatu kesatuan”, yang mana pekerjaan tersebut mulai dari
permulaan hingga berakhir dengan hasil
yang nyata dan setiap bagiannya dapat diidentifikasi.
(c)
Kepentingan pekerjaan (task significance), merupakan tingkat pekerjaan yang memiliki
dampak penting bagi kehidupan atau pekerjaan orang lain apakah dalam lingkungan
organisasi maupun lingkungan luar.
(d)
Otonomi (autonomy),
merupakan tingkat pekerjaan yang memberikan kebebasan, kemandirian, serta
keleluasaan substansial bagi pekerja.
(e)
Umpan balik dari pekerjaan itu (feedback from the job itself).
Dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa seseorang
dapat memahami kinerja personil jika orang tersebut memahami kinerja unit dan
organisasi di mana si personil bekerja. Kinerja personil dapat dikatakan baik
jika kinerja tersebut memberi manfaat bagi kinerja unit, organisasi, dan juga
bagi diri personil tersebut.
Ansoff dan McDonnel (1990: 44) mengungkapkan bahwa "Since management is a pragmatic
result-oriented activity, the question needs to be asked whether an abstract
concept, such as strategy, can usefully contibute to the firm's performance".
Ansoff dan McDonnel (1990: 45) memberikan sebuah
jawaban dari pertanyaan di atas dapat dicari melalui resolusi/keputusan
paradoks yang nampak jelas seperti:
Strategy is a system concept which gives coherence and direction to
growth of a complex organization. How is it possible, then, for a large and
complex organization such as a business firm, to attain coordination and
coherence without making strategy explicit?
Dari apa yang diungkapkan dan dijawab sendiri oleh Ansoff
dan McDonnel di atas, penyusunan strategi peningkatan kinerja personil pada
tingkat Unit Bisnis Strategik seperti pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi
Sumatera Utara dan pada tingkat Area Bisnis Strategik (fungsional) seperti pada
Madrasah Aliyah di Kabupaten Tapanuli Tengah perlu dibuat sebagai bentuk yang
tersurat agar dapat meningkatkan koordinasi dan memandu sistem tersebut dalam
mencapai tujuan-tujuannya.
Raynolds (2005: 102) mengemukakan strategi
mengembangkan kepercayaan dan menciptakan iklim organisasi yang positif sebagai
berikut: (a) Berinteraksi secara
reguler dengan semua anggota organisasi, (b) Memberikan keteladanan sikap yang
diharapkan pada orang lain.
Jadi menurut Kaplan
dan Norton (2004 : 29),
Strategi bukanlah
proses manajemen yang berdiri sendiri; namun merupakan sebuah langkah dalam
sebuah urutan logis yang menggerakkan sebuah organisasi dari sebuah pernyataan
misi di level atas sampai pada kinerja dari semua orang yang berperan sebagai
ujung tombak hingga karyawan yang berada di garis belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar