Senin, 20 Februari 2012

Intervensi Terhadap Kemiskinan


Pemerintah, sebagai institusi yang memiliki pe-rangkat kekuasaan, merupakan pihak yang harus ber-tanggungjawab terhadap pemberdayaan masyarakat guna mengentaskan kemiskinannya. Kekuatan pemerintah untuk hal itu sesungguhnya sangat komprehensif. Selain sebagai pembuat regulasi, pemerintah mempunyai sum-ber daya yang semestinya mampu mengentaskan ke-miskinan rakyatnya. Berkembangnya fenomena kemiskin-an akibat krisis yang berkepanjangan membutuhkan intervensi pemerintah yang komprehensif.  Hanya dengan cara itu dampak yang ditimbulkan dapat ditekan. Salah satu agenda pembangunan sebagaimana tertuang dalam Pembangunan Nasional (Propenas) 2004-2009 adalah menyelesaikan masalah rendahnya kesejahteraan rakyat.
Pemerintah mempunyai kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program nasional penanggulangan kemiskinan. Itulah sebabnya, buku ini mencoba menjadi semacam pemantik agar masyarakat menjadi sejahtera dengan cara, pertama dan terutama, pemerintah berupaya mengeluarkan masyarakat dari lingkaran kemiskinan yang membelitnya.
Sebenarnya, program-program penanggulangan ma-salah kemiskinan di kawasan perdesaan sudah banyak dilakukan sejak lama, seperti Inpres Desa Tertinggal  (IDT), Program Pengadaan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Program Raksa Desa, Usaha Ekonomi Desa Sim-pan Pinjam (UED-SP), Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Usaha Berbasis Kelompok (UBK), Program Pemberdayaan Petani Kelompok Usaha, dan  Program Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Dalam situasi krisis ekonomi, penanggulangan kemiskinan di-laksanakan melalui Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pada prinsipnya program JPS bertujuan untuk membantu penduduk miskin agar tidak menjadi miskin dan terpuruk serta agar dapat hidup layak.
Berbagai penelitian yang bersifat evaluasi terhadap pelaksanaan program-program tersebut telah banyak dilakukan, diantaranya penelitian terhadap program JPS, Inpres Desa Tertinggal (IDT), dan Program Pemberdaya-an Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE). Hasil penelitian tersebut menghasilkan fakta yang beragam, dari yang menunjukan program tersebut tidak berhasil sampai yang menunjukan program tersebut berhasil.
Secara umum, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa program-program tersebut belum mampu menum-buh kembangkan ketahanan sosial masyarakat secara optimal, walaupun tidak dapat dipungkiri ada juga di beberapa tempat yang secara ekonomi berhasil mening-katkan pendapatan masyarakatnya.
Ketidakberhasilan program-program tersebut di-sebabkan oleh program-program  yang dilakukan terlalu berorientasi pada pemberdayaan ekonomi yang bersifat sektoral dan cakupan pelayanannya sangat terbatas, serta bukan bertumpu pada pemberdayaan sosial dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat atau pengem-bangan manusia (human development oriented). Sungguh pun program itu telah dilakukan secara masif dan terpadu (Hikmat, 2001: 138).
Di samping itu, berdasarkan hasil penelitian lain-nya, program-program yang bertujuan meningkatkan pemerataan pembangunan dan mengurangi tingkat ke-miskinan selama ini kurang mampu mengatasi kemis-kinan secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena program lebih berorientasi pada pemenuhan target group pembangunan dan tidak memperhatikan kelangsungan program, proses pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pelembagaan sistem pem-bangunan partisipatif.
Dengan kata lain, program pembangunan kurang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, pelembaga-an sistem pembangunan partisipatif dan peningkatan kemampuan kelembagaan dalam menciptakan kualitas sumber daya yang memiliki kemandirian, namun malah menciptakan ketergantungan (Supriatna, 1997:21).

Implementasi Azas Dekonsentrasi


Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, secara normatif ketiga asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi serta tugas pembantuan dilaksanakan secara berimbang. Meskipun dalam kenyataannya, pelaksanaan asas dekonsentrasi jauh lebih dominant dibandingkan pelaksanaan kedua asas lainnya. Sedemikian besar peranan asas dekonsentrasi sehingga otonomi yang diberikan kepada Daerah Otonom sebenarnya hanyalah otonomi semu (quasi autonomy). Hal ini terlihat dari beberapa cirri antara lain :
1)      Daerah tidak diberi hak-hak otonomi secara penuh;
2)      Campur tangan pemerintah Pusat atau pejabat pemerintah Pusat terhadap isi otonomi yang sudah diserahkan sangat besar. Campur tangan tersebut terutama dilakukan pada tingkatan menteri ke bawah;
3)      Anggaran dekonsentrasi masih lebih besar dibandingkan anggaran desentralisasi, disamping sebagian besar APBD masih berasal dari subsidi pemerintah pusat.
4)      Pemerintah pusat “menguasai” daerah melalui tiga jalur yakni jalur keuangan, jalur personil serta jalur kewenangan.

Seperti telah diketahui bersama bahwa daerah otonom sekurang-kurangnya
memiliki empat hak dasar yakni :

1)      hak memilih pemimpinnya sendiri secara bebas;
2)      hak memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas;
3)      hak membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas;
4)      hak kepegawaian.

Pengaturan pelimpahan wewenang pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 cukup
dilakukan dengan keputusan menteri bersangkutan, sehingga banyak sekali peraturan pada tingkatan menteri dan atau direktur jenderal yang “mengintervensi” pelaksanaan otonomi di daerah.

            Berbeda dengan UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 yang disusun sebagai kontra-konsep dari UU sebelumnya, justru sangat membatasi penggunaan asas dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan – karena lebih mengutamakan penggunaan asas desentralisasi. Asas dekonsentrasi hanya dilaksanakan secara terbatas pada Kabupaten/Kota – terutama menyangkut lima kewenangan utama pemerintah pusat sesuai pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999, yakni kewenangan politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan keamanan, peradilan, agama serta kewenangan bidang lainnya. Di sisi lain, pelaksanaan asas dekonsentrasi dikehendaki justru lebih diperkuat pada tingkat Propinsi. Hanya saja, UU Nomor 22 Tahun 1999 setengah hati dalam mengatur pelaksanaan asas dekonsentrasi karena ada kekhawatiran asas ini akan kembali mendominasi pelaksanaan desentralisasi di daerah. Sebab berdasarkan disain awalnya (by design), pemerintahan dalam negara kesatuan bersifat sentralistik karena sumber kewenangan yang dipencarkan memang berasal dari tangan pemerintah pusat  (dalam hal ini eksekutif).
            Disebut dekonsentrasi setengah hati karena :

1)      Di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, tidak pernah disebut Gubernur sebagai Kepala Wilayah Administrasi, tetapi sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Sebutan Kepala Wilayah Administrasi baru muncul pada penjelasan PP Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekosentrasi;
2)      Pengaturan tentang dekonsentrasi di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 juga sangat terbatas, dan kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden;
3)      Adanya kerancuan penggunaan asas penyelenggaraan pemerintahan Daerah, yakni antara asas dekonsentrasi dengan asas desentralisasi. Pada pasal 63 UU Nomor 22 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pelaksanaan asas dekonsentrasi oleh Gubernur dijalankan oleh Dinas Propinsi, padahal Dinas Propinsi adalah alat desentralisasi. Secara teoretis, pelaksanaan asas dekonsentrasi seharusnya dijalankan oleh aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Dengan adanya pemisahan secara jelas akan mempermudah dalam hal penggunaan hak, wewenang dan tanggung jawab.
4)      Di dalam menjalankan asas dekonsentrasi, Gubernur hanya dibantu oleh Sekretaris Daerah yang karena jabatannya adalah juga Sekretaris Wilayah Administrasi. Tetapi berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri - Sekretaris Daerah Propinsi kemudian disebut Sekda, bukan Sekwilda. Hal ini memarginalisasi peranan Sekda Propinsi sebagai Sekretaris Wilayah Administrasi.

Dilihat  dari  segi  manajemen  pemerintahan,  kewenangan luas,  utuh   dan  bulat
yang diberikan kepada Daerah Kabupaten/Kota seharusnya diimbangi dengan pengawasan yang setara dengan kewenangannya. Dalam hal ini Gubernur sebagai Kepala Wilayah maupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dapat diberi peranan yang lebih besar – sebagai kompensasi dari pengurangan isi otonomi daerah propinsi. Penguatan tersebut dapat berupa pelimpahan kewenangan dalam bidang pembinaan dan pengawasan jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dengan membatasi hubungan langsung antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dewasa ini terdapat 371 Daerah Kabupaten/Kota, dan jumlah ini dari waktu ke waktu cenderung terus bertambah. Apabila semuanya harus melapor dan diawasi langsung oleh Pemerintah Pusat, jelas tidak akan efektif dan efisien. Secara teoretis rentang kendali (span of control) seseorang atau sesuatu instansi jumlahnya terbatas. Apabila rentang kendalinya terlampau luas akan timbul gejala lepas kendali (out of control), dengan ciri-ciri tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat. Di sisi lain, apabila terlampau banyak mengurusi masalah-masalah internal, pemerintah pusat akan kehilangan momentum untuk berkiprah di dunia internasional yang mengakibatkan citra negara dan bangsa menjadi semakin terpuruk.

Dengan adanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, sebenarnya sudah sangat membatasi campur tangan pemerintah pusat terhadap implementasi desentralisasi di Daerah – yang selama ini memang datang dari pejabat tingkat menteri ke bawah. Hal tersebut diperkuat lagi dengan isi dan jiwa PP Nomor 39 Tahun 2001 yang menegaskan pelimpahan kewenangan dalam rangka dekonsentrasi hanya dapat dilakukan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden. Apabila para Menteri mempunyai inisiatif untuk melakukan pelimpahan kewenangan, materinya disampaikan kepada Presiden setelah lebih dahulu berkonsultasi dengan pihak-pihak yang akan diberi delegasi kewenangan.

Memahami Azas Dekonsentrasi


Dari  berbagai  literatur  tentang   pemerintahan   daerah   dapat   diketahui  bahwa
dekonsentrasi merupakan salah satu jenis desentralisasi.  Menurut Litvack & Seddon (1992 :2), desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawa fungsi-fungsi public, dari pemerintah pusat kepada pihak lain – baik kepada daerah bawahan, organisasi pemerintahan semibebas ataupun kepada sektor swasta. Selanjutnya Litvack & Seddon ( 1992 :2) membagi desentralisasi menjadi :

1)      desentralisasi politik;
2)      desentralisasi administratif, yang memiliki tiga bentuk utama yaitu :
a)      dekonsentrasi;
b)      delegasi;
c)      devolusi.
3)      desentralisasi fiskal;
4)       desentralisasi ekonomi atau pasar.

Pada  sisi  lain  Vista-Baylon  ( dalam Campo & Sundaram, 2001 : 155-159)
mengemukakan bahwa desentralisasi dapat dilihat dari dimensi dan derajatnya. Dilihat dari dimensinya, desentralisasi mencakup desentralisasi geografik, fungsional, politik/ administrasi serta fiskal. Sedangkan dilihat dari derajatnya, desentralisasi mencakup dekonsentrasi, delegasi serta devolusi. Masih menurut Vista-Baylon, dekonsentrasi adalah pengalihan beban kerja administrative dari pejabat pemerintah pusat yang ada di ibukota pemerintahan kepada staf lapangan bawahan yang berada di propinsi, kabupaten ataupun distrik. Dekonsentrasi secara mendasar bertujuan untuk membuat efisiensi internal yang menjadi entitas pemerintah pusat. Di dalamnya tidak melibatkan adanya pengalihan kewenangan pembuatan keputusan dan otonomi dari pemerintah pusat.

            Smith ( 1985 : 9) mengemukakan bahwa dekonsentrasi adalah desentralisasi birokratik, yang seringkali digunakan untuk mengurangi kekuatan pandangan lokal dan memperkuat keseragaman di dalam pengambilan keputusan antar-daerah, berbeda dengan desentralisasi politik yang didisain untuk menggambarkan karakteristik yang unik, masalah dan kebutuhan yang berbeda dari setiap daerah.

            Dikaitkan dengan tujuan desentralisasi, dekonsentrasi lebih diarahkan pada upaya pencapaian tujuan administratif yakni untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Selain tujuan administratif, desentralisasi mempunyai tujuan politik yakni demokratisasi kehidupan infrastruktur dan suprastruktur politik serta tujuan sosial ekonomi yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

            Berbeda dengan pandangan ilmiah di atas, menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan dekonsentrasi adalah : “ pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabatnya di Daerah (pasal 1 huruf  f UU Nomor 5/1974). Sedangkan menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, yang dimaksud dengan dekonsentrasi adalah : “ pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan atau perangkat Pusat di Daerah “(pasal 1 huruf f UU Nomor 22/1999).

Kamis, 16 Februari 2012

Strategi Pengembangan Pegawai


Ada beberapa alasan mengapa penilaian kinerja harus dievaluasi secara terus menerus. Pertama, dengan penilaian kinerja terhadap personilnya, lembaga atau sistem mengetahui dengan tepat hasil apa saja  yang telah dicapai oleh personilnya, yang mana pencapaian hasil-hasil (outcomes) ini akan memberikan sumbangan terhadap pencapaian tujuan-tujuan lembaga atau sistem. Penilaian kinerja seperti ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kinerja lembaga atau sistem secara makro (keseluruhan).
Kedua, penilaian kinerja dilakukan oleh lembaga atau sistem untuk memperoleh data sebagai dasar bagi pengambilan keputusan mengenai promosi, melepaskan jabatan, hingga pemberhentian personil. Penilaian kinerja seperti ini merupakan penilaian  secara mikro (khusus) dan lebih bersifat teknis.
Riset oleh Hackman dan Lawler, Hackman dan Oldham, dan Wanous  yang dikutip oleh Wexley dan Yuki (1988: 149) tentang:
 Para pekerja yang memiliki kebutuhan yang lebih tinggi, maka kinerjanya akan lebih baik jika dimensi-dimensi inti dari pekerjaannya juga tinggi. Ada lima dimensi-dimensi inti suatu pekerjaan, yaitu:
(a)    Ragam keterampilan (skill variety), merupakan tingkat pekerjaan yang menuntut berbagai jenis aktivitas yang membutuhkan banyak jenis keterampilan dan bakat dari pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya.
(b)   Identitas pekerjaan (task identity), merupakan tingkat pekerjaan yang menuntut kelengkapan dalam “suatu kesatuan”, yang mana pekerjaan tersebut mulai dari permulaan  hingga berakhir dengan hasil yang nyata dan setiap bagiannya dapat diidentifikasi.
(c)    Kepentingan pekerjaan (task significance), merupakan tingkat pekerjaan yang memiliki dampak penting bagi kehidupan atau pekerjaan orang lain apakah dalam lingkungan organisasi maupun lingkungan luar.
(d)   Otonomi (autonomy), merupakan tingkat pekerjaan yang memberikan kebebasan, kemandirian, serta keleluasaan substansial bagi pekerja.
(e)    Umpan balik dari pekerjaan itu (feedback from the job itself).

Dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa seseorang dapat memahami kinerja personil jika orang tersebut memahami kinerja unit dan organisasi di mana si personil bekerja. Kinerja personil dapat dikatakan baik jika kinerja tersebut memberi manfaat bagi kinerja unit, organisasi, dan juga bagi diri personil tersebut.
Ansoff dan McDonnel (1990: 44) mengungkapkan bahwa "Since management is a pragmatic result-oriented activity, the question needs to be asked whether an abstract concept, such as strategy, can usefully contibute to the firm's performance".
Ansoff dan McDonnel (1990: 45) memberikan sebuah jawaban dari pertanyaan di atas dapat dicari melalui resolusi/keputusan paradoks yang nampak jelas seperti:
 Strategy is a system concept which gives coherence and direction to growth of a complex organization. How is it possible, then, for a large and complex organization such as a business firm, to attain coordination and coherence without making strategy explicit?

Dari apa yang diungkapkan dan dijawab sendiri oleh Ansoff dan McDonnel di atas, penyusunan strategi peningkatan kinerja personil pada tingkat Unit Bisnis Strategik seperti pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara dan pada tingkat Area Bisnis Strategik (fungsional) seperti pada Madrasah Aliyah di Kabupaten Tapanuli Tengah perlu dibuat sebagai bentuk yang tersurat agar dapat meningkatkan koordinasi dan memandu sistem tersebut dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Raynolds (2005: 102) mengemukakan strategi mengembangkan kepercayaan dan menciptakan iklim organisasi yang positif sebagai berikut: (a) Berinteraksi secara reguler dengan semua anggota organisasi, (b) Memberikan keteladanan sikap yang diharapkan pada orang lain.
Jadi menurut Kaplan dan Norton (2004 : 29),
 Strategi bukanlah proses manajemen yang berdiri sendiri; namun merupakan sebuah langkah dalam sebuah urutan logis yang menggerakkan sebuah organisasi dari sebuah pernyataan misi di level atas sampai pada kinerja dari semua orang yang berperan sebagai ujung tombak hingga karyawan yang berada di garis belakang.

 Jika demikian, maka strategi dapat digunakan dalam manajemen pengembangan personil, karena sebagaimana telah dijelaskan bahwa kinerja sebagai bagian dari manajemen personil merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perencanaan strategik suatu organisasi.

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...