Kamis, 13 Februari 2014

Penanganan Guru Mismatch



Menurut Undang Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, peningkatan kompetensi guru guru dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat) dan bukan diklat, antara lain seperti berikut:
1.         Pendidikan dan Pelatihan
a.    Inhouse training (IHT). Pelatihan dalam bentuk IHT adalah pelatihan yang dilaksanakan secara internal di KKG/MGMP, sekolah atau tempat lain yang ditetapkan untuk menyelenggarakan pelatihan. Strategi pembinaan melalui IHT dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karir guru tidak harus dilakukan secara eksternal, tetapi dapat dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi kepada guru lain yang belum memiliki kompetensi. Dengan strategi ini diharapkan dapat lebih menghemat waktu dan biaya.
b.    Program magang. Program magang adalah pelatihan yang dilaksanakan di institusi/industri yang relevan dalam rangka meningkatkan kompetensi professional guru. Program magang ini terutama diperuntukkan bagi guru kejuruan dan dapat dilakukan selama priode tertentu, misalnya, magang di industri otomotif dan yang sejenisnya. Program magang dipilih sebagai alternatif pembinaan dengan alasan bahwa keterampilan tertentu khususnya bagi guru-guru sekolah kejuruan memerlukan pengalaman nyata.
c.    Kemitraan sekolah. Pelatihan melalui kemitraan sekolah dapat dilaksanakan bekerjasama dengan institusi pemerintah atau swasta dalam keahlian tertentu. Pelaksanaannya dapat dilakukan di sekolah atau di tempat mitra sekolah. Pembinaan melalui mitra sekolah diperlukan dengan alasan bahwa beberapa keunikan atau kelebihan yang dimiliki mitra dapat dimanfaatkan oleh guru yang mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi profesionalnya.
d.   Belajar jarak jauh. Pelatihan melalui belajar jarak jauh dapat dilaksanakan tanpa menghadirkan instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat tertentu, melainkan dengan sistem pelatihan melalui internet dan sejenisnya. Pembinaan melalui belajar jarak jauh dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak semua guru terutama di daerah terpencil dapat mengikuti pelatihan di tempat-tempat pembinaan yang ditunjuk seperti di ibu kota kabupaten atau di propinsi.
e.    Pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus. Pelatihan jenis ini dilaksanakan di P4TK dan atau LPMP dan lembaga lain yang diberi wewenang, di mana program pelatihan disusun secara berjenjang mulai dari jenjang dasar, menengah, lanjut dan tinggi. Jenjang pelatihan disusun berdasarkan tingkat kesulitan dan jenis kompetensi. Pelatihan khusus (spesialisasi) disediakan berdasarkan kebutuhan khusus atau disebabkan adanya perkembangan baru dalam keilmuan tertentu.
f.     Kursus singkat di LPTK atau lembaga pendidikan lainnya. Kursus singkat di LPTK atau lembaga pendidikan lainnya dimaksudkan untuk melatih meningkatkan kompetensi guru dalam beberapa kemampuan seperti melakukan penelitian tindakan kelas, menyusun karya ilmiah, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, dan lain-lain sebagainya.
g.    Pembinaan internal oleh sekolah. Pembinaan internal ini dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru-guru yang memiliki kewenangan membina, melalui rapat dinas, rotasi tugas mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, diskusi dengan rekan sejawat dan sejenisnya.
h.    Pendidikan lanjut. Pembinaan profesi guru melalui pendidikan lanjut juga merupakan alternatif bagi pembinaan profesi guru di masa mendatang. Pengikutsertaan guru dalam pendidikan lanjut ini dapat dilaksanakan dengan memberikan tugas belajar, baik di dalam maupun di luar negeri, bagi guru yang berprestasi. Pelaksanaan pendidikan lanjut ini akan menghasilkan guru-guru pembina yang dapat membantu guru-guru lain dalam upaya pengembangan profesi.
2. Kegiatan Selain Pendidikan dan Pelatihan
a.    Diskusi masalah pendidikan. Diskusi ini diselenggarakan secara berkala dengan topik sesuai dengan masalah yang di alami di sekolah. Melalui diskusi berkala diharapkan para guru dapat memecahkan masalah yang dihadapi berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah ataupun masalah peningkatan kompetensi dan pengembangan karirnya.
b.    Seminar. Pengikutsertaan guru di dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah juga dapat menjadi model pembinaan berkelanjutan profesi guru dalam meningkatkan kompetensi guru. Melalui kegiatan ini memberikan peluang kepada guru untuk berinteraksi secara ilmiah dengan kolega seprofesinya berkaitan dengan hal-hal terkini dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
c.    Workshop. Workshop dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi pembelajaran, peningkatan kompetensi maupun pengembangan karirnya. Workshop dapat dilakukan misalnya dalam kegiatan menyusun KTSP, analisis kurikulum, pengembangan silabus, penulisan RPP, dan sebagainya.
d.   Penelitian. Penelitian dapat dilakukan guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas, penelitian eksperimen ataupun jenis yang lain dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran.
e.    Penulisan buku/bahan ajar. Bahan ajar yang ditulis guru dapat berbentuk diktat, buku pelajaran ataupun buku dalam bidang pendidikan.
f.     Pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat guru dapat berbentuk alat peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik (animasi pembelajaran).
g.    Pembuatan karya teknologi/karya seni. Karya teknologi/seni yang dibuat guru dapat berupa karya teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat dan atau pendidikan dan karya seni yang memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat.
Penetapan Permenneg PAN dan RB Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, dilatarbelakangi bahwa guru memiliki peran strategis dalam meningkatkan proses pembelajaran dan mutu peserta didik. Perubahan mendasar yang terkandung dalam Permenneg PAN dan RB Nomor 16 tahun 2009 dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, di antaranya dalam hal penilaian kinerja guru yang sebelumnya lebih bersifat administratif menjadi lebih berorientasi praktis, kuantitatif, dan kualitatif, sehingga diharapkan para guru akan lebih bersemangat untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitasnya.
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan dikembangkan atas dasar profil kinerja guru sebagai perwujudan hasil PK Guru dan didukung dengan hasil evaluasi diri. Apabila hasil PK Guru masih berada di bawah standar kompetensi yang ditetapkan atau berkinerja rendah, maka guru diwajibkan untuk mengikuti program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan yang diorientasikan sebagai pembinaan untuk mencapai kompetensi standar yang disyaratkan.
Sementara itu, guru yang hasil penilaian kinerjanya telah mencapai standar kompetensi yang disyaratkan, maka kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan diarahkan kepada pengembangan kompetensi agar dapat memenuhi tuntutan masa depan dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kebutuhan sekolah dalam rangka memberikan layanan pembelajaran yang berkualitas kepada peserta didik.
Dalam Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009, PKB diakui sebagai salah satu unsure utama yang diberikan angka kredit untuk pengembangan karir guru dan kenaikan pangkat/jabatan fungsional guru, selain kegiatan pembelajaran/pembimbingan dan tugas tambahan lain yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah. Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan diharapkan dapat menciptakan guru yang profesional, yang bukan hanya sekadar memiliki ilmu pengetahuan yang luas, tetapi juga memiliki kepribadian yang matang. Dengan kepribadian yang prima dan penguasaan IPTEK yang kuat, guru diharapkan terampil dalam menumbuhkembangkan minat dan bakat peserta didik sesuai dengan bidangnya.
Secara umum, keberadaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah/madrasah yang berimbas pada peningkatan mutu pendidikan. Secara khusus, tujuan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan disajikan berikut ini:
1.         Meningkatkan kompetensi guru untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan.
2.         Memutakhirkan kompetensi guru untuk memenuhi kebutuhan guru dalam memfasilitasi proses belajar peserta didik dalam memenuhi tuntutan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni di masa mendatang.
3.         Mewujudkan guru yang memiliki komitmen kuat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional.
4.         Menumbuhkan rasa cinta dan bangga sebagai penyandang profesi guru.
5.         Meningkatkan citra, harkat, dan martabat profesi guru di masyarakat.
Manfaat PKB bagi peserta didik yaitu memperoleh jaminan kepastian mendapatkan pelayanan dan pengalaman belajar yang efektif untuk meningkatkan potensi diri secara optimal, sehingga mereka memiliki kepribadian kuat dan berbudi pekerti luhur untuk berperan aktif dalam pengembangan iImu pengetahuan, teknologi dan seni sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Bagi guru hal ini dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta memiliki kepribadian yang kuat sesuai dengan profesinya; sehingga selama karirnya mampu menghadapi perubahan internal dan eksternal dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik menghadapi kehidupan di masa datang.
Dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan untuk guru, bagi sekolah/madrasah diharapkan mampu menjadi sebuah organisasi pembelajaran yang efektif; sehingga sekolah/madrasah dapat menjadi wadah untuk peningkatan kompetensi, dedikasi, dan komitmen guru dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada peserta didik. Bagi orang tua/masyarakat, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan untuk guru bermakna memiliki jaminan bahwa anak mereka di sekolah akan memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas sesuai kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Bagi pemerintah, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan untuk guru dimungkinkan dapat memetakan kualitas layanan pendidikan sebagai dasar untuk menyusun dan menetapkan kebijakan pembinaan dan pengembangan profesi guru dalam menunjang pembangunan pendidikan; sehingga pemerintah dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas, kompetitif dan berkepribadian luhur.
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah bentuk pembelajaran berkelanjutan untuk memelihara dan meningkatkan standar kompetensi secara keseluruhan, mencakup bidang-bidang yang berkaitan dengan profesi guru. Dengan demikian, guru secara profesional dapat memelihara, meningkatkan, dan memperluas pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu. Pembelajaran yang bermutu diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman peserta didik.
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan mencakup kegiatan-kegiatan yang didesain untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan guru. Kegiatan dalam Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan membentuk suatu siklus yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi.
Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan untuk pengembangan diri dapat dilakukan di sekolah, baik oleh guru secara mandiri, maupun oleh guru bekerja sama dengan guru lain dalam satu sekolah. Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan melalui jaringan sekolah dapat dilakukan dalam satu rayon (gugus), antarrayon dalam kabupaten/kota tertentu, antarprovinsi, bahkan dimungkinkan melalui jaringan kerjasama sekolah antarnegara serta kerjasama sekolah dan industri, baik secara langsung maupun melalui teknologi informasi. Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan melalui jaringan antara lain dapat berupa: kegiatan KKG/MGMP; pelatihan/seminar/lokakarya; kunjungan ke sekolah lain, dunia usaha, industri, dan sebagainya; mengundang nara sumber dari sekolah lain, komite sekolah, dinas pendidikan, pengawas, asosiasi profesi, atau dari instansi lain yang relevan.
Jika kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan di sekolah dan jaringan sekolah belum memenuhi kebutuhan pengembangan keprofesian guru, atau guru masih membutuhkan pengembangan lebih lanjut, kegiatan ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan sumber kepakaran luar lainnya. Sumber kepakaran lain ini dapat disediakan melalui LPMP, P4TK, Perguruan Tinggi atau institusi layanan lain yang diakui oleh pemerintah, atau institusi layanan luar negeri melalui pendidikan dan pelatihan jarak jauh dengan memanfaatkan jejaring virtual atau TIK.

Guru Mismatch



Mismatch adalah ketidaksesuaian antara kompetensi dan latar pendidikan guru dengan bidang yang diajarkannya. Problema ini terjadi karena munculnya bidang-bidang baru dari kurikuler tidak cepat disuplai oleh lembaga penyedia guru atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan kata lain, adjusment (penyesuaian diri) dari LPTK tidak cepat dalam merespon perubahan kurikulum. (Ditjen Dikti, 2010).
Sebagai contoh, meskipun matapelajaran di SD/ MI dan SMP/MTs untuk rumpun ilmu-ilmu social (IPS) dan untuk rumpun ilmu-ilmu alam dinamakan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), namun sampai sekarang di LPTK masih belum menggambarkan sebagai sebuah program studi IPS atau IPA yang terintegrasi. Program studi yang dikembangkan masih terpisah sendiri-sendiri, misalnya Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia, Pendidikan Biologi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Geograsi, Pendidikan Sejarah, dan lain-lain. Belum lagi kalau kita bicara kebutuhan baru tentang teknologi komunikasi dan informasi (TIK), juga kebutuhan terhadap kemampuan bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar.
Jadi ada gap yang mencolok antara suplai dengan demand. Tuntutan perkembangan yang dicerminkan oleh kurikulum tampak semakin beragam, namun LPTK tidak mampu memberikan suplai dengan cepat. Khusus di pendidikan madrasah, kondisi mismatch ini lebih berat dibanding di sekolah umum. Hal ini karena pendidikan di madrasah dulu selalu diidentikkan dengan pendidikan agama. Oleh karena itu, kebanyakan guru yang direkrut adalah lulusan pendidikan agama Islam. Ketika masuk dalam system pendidikan nasional yang memasukkan matapelajaran umum, maka madrasah tersebut memanfaatkan guru berlatar belakang pendidikan agama Islam yang dimilikinya untuk mengajar matapelajaran-matapelajaran lain, walaupun bukan keahliannya.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menegaskan bahwa guru harus bersertifikat profesi pendidik, termasuk guru-guru madrasah, maka masalah mismatch ini harus dicari terobosan untuk mengatasinya. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah mismatch guru-guru madrasah, Departemen Agama menggulirkan program yang disebut dengan dual competency (kompetensi ganda). Kompetensi pertama sebagai sarjana pendidikan agama tetap mereka miliki, lalu diperkuat kompetensi kedua.  
Data Ditjen PMPTK Depdiknas, lebih sepertiga dari 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar karena mismatch, ialah kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar. Mismatch dari sisi kualifikasi akademik dapat dirujuk pada UU Guru dan Dosen. Pasal 9 menyebutkan, kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan program sarjana atau diploma empat. Dengan kata lain, guru dikatakan memenuhi kualifikasi akademik apabila berpendidikan serendah-rendahnya S-1 atau D-IV. Ketentuan UU ini tidak memandang apakah ia guru TK, SD, SMP ataupun SMA/K.
Fakta di lapangan menunjukkan, rata-rata guru TK dan SD berpendidikan SPG, D-I atau D-II. Bahkan dapat ditemukan guru TK dan SD lulusan SMA atau SMK. Tidak sedikit guru SMP dan SMA/K yang berpendidikan D-I, D-II, PGSLP, PGSLA, sarjana muda dan D-III. Ditjen Dikti, 2010).
Terlebih jika ketidaksesuaian mengampu matapelajaran dijadikan indikator mismatch. Banyak guru yang mengampu matapelajaran tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Guru matematika dengan latar belakang pendidikan fisika, atau guru sosiologi berasal dari latar belakang pendidikan geografi masih banyak ditemukan di sekolah. Guru bimbingan dan konseling yang tidak berpendidikan bimbingan dan konseling hampir dapat ditemui di setiap sekolah.
Seringnya kurikulum dirubah diperkirakan menjadi salah satu sebab guru mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan. Perubahan kurikulum selalu diikuti oleh hilangnya matapelajaran tertentu dan munculnya matapelajaran baru. Ketika matapelajaran baru muncul dan LPTK belum menyiapkan guru untuk matapelajaran dimaksud, maka dengan terpaksa sekolah memanfaatkan guru yang ada, termasuk di dalamnya untuk maksud memberi tugas kepada guru yang matapelajarannya hilang.
Jika dicermati pada banyak kasus, sebenarnya bukan kekurangan guru yang terjadi, tetapi pendistribusian guru yang tidak efektif. Beberapa guru mempunyai kelas yang sangat kecil dan yang lainnya ada guru yang mempunyai kelas yang terlalu banyak siswa, dan kedua-duanya tidak efektif dan efisien. Umumnya,  jumlah guru pada daerah perkotaan cukup bahkan pada beberapa sekolah berlebih. Terkonsentrasinya guru di perkotaan menyebabkan sekolah di pedesaan mengalami kekurangan guru. Kenyataan sekarang ini, rasio guru dan siswa di Indonesia 1 : 14, berarti sudah ideal karena melampaui rasio guru dan murid di negara maju seperti Korea Selatan 1 : 30, Jepang 1 : 20, dan Malaysia 1 : 25. Namun, karena pendistribusian guru yang tidak merata mengakibatkan menumpuknya guru-guru di sekolah perkotaan, sedangkan di sekolah pedesaan masih kekurangan guru. Sekitar 76 % sekolah di perkotaan mengalami kelebihan guru, sementara 83 % sekolah di pelosok dan pedesaan kekurangan guru (Ditjen Dikti, 2010).
Persoalan distribusi guru hampir terjadi di seluruh Indonesia. Akibatnya, pada daerah yang kekurangan guru, guru harus mengajarkan beberapa mata pelajaran dan harus mengajar lebih dari satu kelas. Sebaliknya, pada daerah yang kelebihan guru, pemberlakuan jumlah jam mengajar 24 jam tatap muka per minggu bagi guru bersertifikat pendidik tidak dapat terpenuhi. Jumlah guru yang telah lulus sertifikasi sampai dengan tahun 2010 sebanyak 753.155 orang (PMPTK, 2010). Ternyata bagi guru yang sudah disertifikasi pun muncul masalah karena kesulitan memenuhi jumlah jam mengajar yang merupakan kewajibannya sebanyak 24 jam mengajar per minggu. Akibat lain dari persoalan distribusi dan kesulitan pemenuhan 24 jam tatap muka per minggu tersebut adalah terjadinya mismatch. Menurut data yang dikeluarkan PMPTK (2007) terdapat  16,22% guru-guru yang mismatch. Dari lima bidang studi yang diteliti saat itu terdapat mismatch pada PKN 15,22%; Pendidikan Agama sebesar 20,80%; Tata Niaga sebesar 27,88%; Fisika sebesar 15,53%; dan Seni sebesar 52,93%. (Ditjen Dikti, 2010).
Dampak tidak terpenuhinya kewajiban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu produktivitas guru menjadi rendah dan ketidakefisienan anggaran. Selain itu, mismatch berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan secara nasional.
Alternatif solusi yang dapat ditempuh adalah menambah jumlah rombongan belajar (rombel) dan atau guru mencari (sendiri) tambahan jam mengajar ke sekolah lain. Dari dua alternatif itu, solusi pertama adalah yang paling tepat, namun sulit untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan penambahan rombel akan berdampak pada diperlukannya ruang kelas baru, perangkat teknis lain, seperti sarana pembelajaran seperti buku penunjang, laboratorium, dan alat-alat peraga pembelajaran. Selain itu, pemekaran jumlah rombel juga berdampak pada membengkaknya dana operasional  sekolah dan rendahnya tingkat ketercapaian proses pembelajaran.

Pembinaan Profesi Guru



Profesi pendidik merupakan profesi yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, hal ini tidak lain karena posisi pendidikan yang sangat penting dalam konteks kehidupan bangsa. Pendidik merupakan unsur dominan dalam suatu proses pendidikan, sehingga kualitas pendidikan banyak ditentukan oleh kualitas pendidik dalam menjalankan peran dan tugasnya di masyarakat.  Dengan mengingat hal tersebut, maka jelas bahwa upaya-upaya untuk terus mengembangkan profesi pendidik (Guru) menjadi suatu syarat mutlak bagi kemajuan suatu bangsa, meningkatnya kualitas pendidik akan mendorong pada peningkatan kualitas pendidikan baik proses maupun hasilnya.
Dalam konteks Indonesia dewasa ini, nampak kecenderungan makin menguatnya upaya pemerintah untuk terus mengembangkan profesi pendidik sebagai profesi yang kuat dan dihormati sejajar dengan profesi lainnya yang sudah lama berkembang, hal ini terlihat dari lahirnya UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini jelas menggambarkan bagaimana pemerintah mencoba mengembangkan profesi pendidik melalui perlindungan hukum dengan standard tertentu yang diharapkan dapat mendorong pengembangan profesi pendidik.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Profesi guru menurut Undang-Undang tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu: ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut:
1.         Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
2.         Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya.
3.         Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
4.         Mematuhi kode etik profesi.
5.         Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
6.         Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
7.         Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara
berkelanjutan.
8.         Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas
profesisionalnya.
9.         Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi.
Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Untuk mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin berat, maka profesionalime guru harus dikembangkan. Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam pengembangan profesionalitas guru menurut Balitbang Diknas (2003:15) antara lain adalah:
a.       Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata;
b.      Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya;
c.       Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan;
d.      Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No.22/1999.
e.       Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran;
f.       Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru;
g.      Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan Kanwil-Kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru;
h.      Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya;
i.        Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru;
j.        Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran.
k.      Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan.
l.        Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK);
m.    Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier;
n.      Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran”.

Untuk lebih mendorong tumbuhnya profesionlisme guru selain apa yang telah disebutkan oleh Balitbang Diknas, tentunya penghargaan yang profesional terhadap profesi guru masih sangat penting. Seperti yang diundangkan bahwa guru berhak mendapat tunjangan profesi. Realisasi pasal ini tentunya akan sangat penting dalam mendorong tumbuhnya semangat profesionlisme pada diri guru.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998:46-48) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu;
1.         Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam;
2.         Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
3.         Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar;
4.         Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.

Pembangunan guru yang berkualitas guna menunjang pembentukan pendidikan bermutu tidak sebatas bergatung pada program pendidikan guru yang ditempuhnya. Pengembangan kualitas guru sesungguhnya adalah terletak pada kemauan dan kemampuan guru untuk mengembangkan dirinya ketika mereka sudah menduduki jabatan guru. Dengan kata lain, pembangunan kualitas guru terletak pula pada usaha membangun kapabilitas guru itu sendiri.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat, maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi, 1998:63) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
1.    Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
2.    Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
3.    Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
4.    Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
5.    Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Untuk menjadi guru profesional, perlu perjalanan panjang. Dengan demikian, kenijakan pembinaan dan pengmbangan profesi guru harus dilakukan secara kontinyu, dengan serial kegiatan tertentu. Diawali dengan penyiapan calon guru, rekruitmen, penempatan, penugasan, pengembangan profesi dan karir, hingga menjadi guru profesional sejati, yang menjalani profesionalisasi secara terus-menerus. Merujuk pada alur berpikir ini, guru profesional sesungguhnya adalah guru yang di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya bersifat otonom, menguasai kompetensi secara komprehensif, dan daya intelektual tinggi.
Pengembangan keprofesian guru adakalanya diawali dengan penilaian kinerja dan uji kompetensi. Untuk mengetahui kinerja dan kompetensi guru dilakukan penilaian kinerja dan uji kompetensi. Atas dasar itu dapat dirumuskan profil dan peta kinerja dan kompetensinya. Kondisi nyata itulah yang menjadi salah satu dasar peningkatan kompetensi guru. Dengan demikian, hasil penilaian kinerja dan uji kompetensi menjadi salah satu basis utama desain program peningkatan kompetensi guru.

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...