Rabu, 15 April 2015

Pemetaan Sekolah (School Mapping)

Pemetaan sekolah (School Mapping) dalam perencanaan pendidikan, semula dikembangkan oleh perencana pendidikan di Perancis tahun 1959, dalam usaha memecahkan persoalan pembaharuan struktur pendidikan di negara tersebut serta kegiatan riset untuk memenuhi kebutuhan riil. Kemudian secara intensif diuji coba oleh IIEP (International Institute for Education Planning). Akhirnya disadari dan diakui kegunaannya oleh UNESCO baik dalam rangka penggunaan sumber-sumber pembiayaan pendidikan yang terbatas secara seefisien mungkin, maupun untuk mendorong meningkatkan perlakuan yang sama atau pemerataan dalam suatu sistem pendidikan.
Pemetaan sekolah merupakan suatu usaha yang membantu dalam perencanaan pendidikan daerah. Di dalamnya mencakup dua pengertian, yaitu proses dan produk atau hasil, jadi bukan hanya peta. Produk pemetaan yaitu gambaran tentang situasi pendidikan suatu daerah dalam hal variabel pendidikan yang kuantitatif, data demografi, keadaan geografis dan keadaan yang diharapkan pada masa yang akan datang. Proses pemetaan merupakan kegiatan yang tahapannya meliputi:
1.         Penyusunan data statistik yang diperlukan, data rutin dan yang bukan rutin;
2.         Pengadaan peta dalam skala tertentu;
3.         Penetapan standar tentang sekolah, luas ruangan dan peralatan yang diperlukan, sasaran yang harus dicapai pada waktu tertentu dan standar lain yang relevan;
4.         Kegiatan mempersiapkan format-format;
5.         Penganalisaan data yang dikumpulkan dan membandingkannya dengan standar untuk menyusun rekomendasi-rekomendasi tentang upaya pengembangan sarana dan prasarana pendidikan secara kuantitatif dan kualitatif (pada tahap kegiatan inilah lokasi sekolah ditentukan).
Melihat luasnya masalah yang digarap dalam pemetaan sekolah dapat dipikirkan betapa banyaknya jenis disiplin atau ilmu pengetahuan yang turut memberikan bantuan. Pemetaan sekolah sangat tergantung kepada sistem pendidikan, peraturan-peraturan atau ketetapan yang ada, keadaan sosial ekonomi dan sebagainya.
School Mapping erat hubungannya dengan perencanaan alokasi dan lokasi sekolah. Yang dimaksud dengan alokasi sekolah adalah jumlah sekolah tertentu yang telah direncanakan atau ditentukan bagi suatu daerah untuk mencapai targetnya. Sedangkan yang dimaksud dengan lokasi sekolah yaitu letak atau site sekolah. Artinya menentukan letak fasilitas sekolah yang baru agar fasilitas itu dapat dipergunakan secara optimal sesuai dengan keadaan setempat. Perencanaan lokasi dan alokasi sekolah dapat mencapai sasaran yang optimal jika memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) membangun Sekolah Dasar (SD) di tempat yang banyak anak usia SD, (b) membangun Sekolah Menengah Pertama (SMP) di mana terdapat banyak lulusan SD, dan (c) membangun Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/SMK) pada jaringan yang terdapat banyak lulusan SMP.
Pemetaan sekolah dalam rangka penyediaan tempat belajar bagi mereka yang tergolong usia sekolah dan merencanakan perubahan struktur organisasi sistem persekolahan. Pemetaan sekolah adalah suatu pendekatan perencanaan makro atau regional yang mempergunakan peta geografis sebagai alat untuk meragakan dan menjelaskan rencana.
Pemetaan sekolah merupakan suatu usaha membantu perencanaan pendidikan di daerah. Produk pemetaan sekolah berupa gambaran tentang situasi persekolahan suatu daerah secara kuantitatif, data demografi, keadaan geografis dan keadaan (sekolah) yang diharapkan pada masa yang akan datang.

Proses pemetaan sekolah meliputi hal-hal sebagai berikut: (a) penyusunan data statistik persekolahan, (b) pembuatan peta, (c) Penetapan standar tentang persekolahan, dan (d) menganalisis data tentang pengembangan sarana dan prasarana sekolah. Luasnya lingkup yang digarap pemetaan sekolah terkadang tergantung pada sistem persekolahan, peraturan atau ketetapan, keadaan sosial ekonomi, dan perencanaan yang lebih rasional.

Dikutip dari berbagai sumber

Senin, 06 April 2015

Langkah-Langkah Pendidikan Karakter



Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah, tetapi mencakup proses pembiasaan (habituation) tentang perilaku yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik. Sehingga tebentuklah tabi’at  yang baik. Menurut ajaran Islam, pendidikan karakter identik dengan pendidikan ahlak. Walaupun pendidikan ahlak sering disebut tidak ilmiah karena terkesan bukan sekuler, namun sesungguhnya antara karakter dengan spiritualitas memiliki keterkaitan yang erat. Dalam prakteknya, pendidikan akhlak berkenaan dengan kriteria ideal dan sumber karakter yang baik dan buruk, sedangkan pendidikan karakter berkaitan dengan metode, strategi, dan teknik pengajaran secara operasional.
Unsur-unsur ideal dalam pendidikan karakter berkenaan dengan moral knowing, moral loving dan moral doing (acting). Moral knowing berkenaan dengan kesadaran (awareness), nilai-nilai (values), sudut pandang (perspective taking), logika (reasoning), menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral loving berkenaan dengan kepercayaan diri (self esteem), kepekaan terhadap orang lain (emphaty), mencintai kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Moral doing berkenaan dengan perwujudan dari moral knowing dan moral loving yang berbentuk tabi’at reflektif dalam perilaku keseharian.
Prinsip-prinisip dalam penerapan pendidikan karakter sebagaimana diungkapkan dalam Character Education Quality Standards  merekomendasikan sebelas prinsip untuk dijadikan panduan masyarakat dunia untuk dijadikan landasan pendidikan karakter yang efektif. Unsur-unsur  dan prinsip-prinsip tersebut sebetulnya dalam ajaran Islam berkenaan dengan nilai-nilai dan moral mengenai  mukasyafah, musyahadah, dan  muqarabah,  dalam bentuk tahaqquq, ta’alluq, dan takhalluq. Jadi, tidak ada bedanya dengan konsep dan teori yang dikembangkan di dunia barat. Mengapa kita tidak kembali ke nilai-nilai dan moral yang diajarkan agama? Bukankah ajaran agama sudah tidak diragukan lagi kebenarannya?
Untuk sampai kepada bentuk karakter reflektif diperlukan strategi manajemen pembelajaran yang logis dan sistematis. Berdasarkan pengamatan saya pada sekolah terdapat dua pendekatan dalam proses pendidikan karakter, sekolah berbasis akhlak, yaitu: (1) Akhlak yang diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri; dan (2) Akhlak yang built-in  dalam setiap mata pelajaran. Sampai saat ini, pendekatan pertama ternyata lebih efektivitas dibandingkan pendekatan kedua. Salah satu alasan pendekatan kedua kurang efektif, karena para guru mengajarkan masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran mencakup aspek konsep, teori, metode dan aplikasi. Sama halnya dalam pengajaran dalam ajaran Islam yang mensyaratkan unttuk memahami hakekat, syare’at, tharekat, dan ma’rifat dari setiap aspek yang dipelajarinya. Atau dalam pandangan nilai dan moral tentang kepribadian harus memahami zat, sifat, asma dan af’al-nya. Jika para guru sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif melalui konsep, teori, metodologi dan aplikasi setiap mata pelajaran atau bidang studi, maka kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektifi dalam menunjang pendidikan karakter. 
Kerangka pembelajaran dalam pendidikan karakter dapat dilakukan dengan tiga langkah, yaitu: membekali siswa dengan alat dan media untuk memiliki pengetahuan, kemauan dan keterampilan; membekali siswa pemahaman tentang berbagai kompetensi tentang nilai dan moral;  dan membiasakan  siswa untuk selalu melakukan keterampilan-keterampilan berperilaku baik.
Langkah ke-1,  dimaksudkan agar siswa memahami secara benar dan menyeluruh tentang potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Potensi diri difokuskan kepada nilai dan moral yang dapat didayagunakan untuk belajar, berhubungan dan berusaha. Sedangkan peluang yang ada di lingkungan dijadikan sumber motivasi agar siswa mau melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran atau merekayasa sendiri proses pembelajaran yang dibutuhkannya.
Potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitar meliputi segenap nilai dan moral yang ada dan diperkirakan dapat dicapai dan didayagunakan untuk pembelajaran dan penerapan hasil pembelajaran yang diikutinya.  Berdasarkan pemahaman ini, peserta didik difasilitasi untuk memiliki dan mengembangkan kerangka atau pola pikir yang komprehensif tentang pendayagunaan dan pengembangan potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya bagi perilakunya kesehariannya. Dalam tahapan ini tujuan pembelajaran di arahkan pada kompetensi dalam membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela, memahami secara logis tentang pentingnya akhlak mulia dan bahayanya akhlak tercela dalam kehidupan, mengenal sosok manusia yang berakhlak mulia untuk diteladai dalam kehidupan. Kegiatan utama guru pada tahap ini adalah:
a.    merancang proses pembelajaran yang diarahkan pada pemahaman tentang klarifikasi nilai (value clarification), dan
b.    membekalinya berbagai alat (instrument) dan media yang dapat digunakan secara mandiri baik secara individual ataupun kelompok.
Langkah ke-2,  diarahkan pada kepemilikan kepekaan kemampuan dalam mendayagunakan dan mengembangkan potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Kompetensi dalam arti nilai-nilai dan moral yang dituntut untuk dimiliki oleh para siswa yang sesuai dengan kondisi dan peluang yang dihadapinya. Berbagai kompetensi itu perlu dikaji dan diapresiasi oleh para siswa sampai mereka memiliki cukup pilihan dalam menetapkan keputusan kompetensi mana yang paling dibutuhkan sesuai kondisi potensi dan peluang yang sedang dihadapinya. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Sasarannya ialah dimensi-dimensi emosional siswa yaitu  qolbu dan jiwa, sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, kebutuhan dan kemauan untuk memiliki dan mempraktekan nilai-nilai akhlak tersebut. Melalui tahap ini pun siswa diharapkan mampu menilai dirinya sendiri (muhasabah), semakin tahu kekurangan-kekurangannya. Proses pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh guru ialah belajar menemukan (learning discovery) sehingga nilai-nilai dan moral yang dipelajari itu dapat dihayati. Proses penemuan dan penghayatan itu akan membentuk kedalaman apresiasi, sehingga nilai-nilai dan moral yang dimilikinya itu benar-benar dibutuhkan dalam kehidupannya.
Langkah ke-3,  merupakan muara penerapan kompetensi-kompetensi yang telah dimiliki para siswa melalui proses pembelajaran pada tahapan sebelumnya. Arah pembelajaran pada tahap ini adalah pendampingan kemandirian siswa agar memiliki kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai dan moral dalam perilaku keseharian sampai berbentuk tabi’at reflektif pribadi. Ruang lingkup nilai dan moral yang perlu dikuasai murid pada tahap ini erat kaitannya dengan instrumen pendukung dalam berperilaku bagi para siswa. Pendampingan terutama diarahkan untuk menguatkan kemampuan mereka tentang nilai dan moral dalam berperilaku sehingga berdampak positif terhadap sikap dan kemandiriannya di lingkungan hidup dan kehidupannya.

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...