Sabtu, 26 Maret 2016

Kewirausahaan di Madrasah

       Madrasah atau pondok adalah lembaga yang merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Sebagai bagian lembaga pendidikan nasional, kemunculan madrasah dalam sejarahnya telah berusia puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun, dan disinyalir sebagai lembaga yang memiliki kekhasan, keaslian (indegeneous) Indonesia. Sebagai institusi indegeneous, madrasah muncul dan terus berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat di sekitar lingkungannya. Akar kultural ini barangkali sebagai potensi dasar yang telah menjadikan madrasah dapat bertahan, dan sangat diharapkan masyarakat dan pemerintah.
Madrasah sebagai sebuah institusi budaya yang lahir atas prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak awal berdirinya merupakan potensi strategis yang ada di tengah kehidupan sosial masyarakat. Kendati kebanyakan madrasah hanya memposisikan dirinya sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa madrasah telah berusaha melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan sosial masyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Madrasah dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan kepadanya, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diembannya, yaitu: (1) sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (centre of exellence), (2) sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource), (3) sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development). Selain ketiga fungsi tersebut madrasah juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial (social change) di tengah perubahan yang terjadi.
Dalam keterlibatannya dengan peran, fungsi, dan perubahan yang dimaksud, madrasah memegang peranan kunci sebagai motivator, inovator, dan dinamisator masyarakat. Hubungan interaksionis-kultural antara madrasah dengan masyarakat menjadikan keberadaan dan kehadiran institusi madrasah dalam perubahan dan pemberdayaan masyarakat menjadi semakin kuat. Namun demikian harus diakui, belum semua potensi besar yang dimiliki madrasah tersebut dimanfaatkan secara maksimal, terutama yang terkait dengan konstribusi madrasah dalam pemecahan masalah-masalah sosial ekonomi umat.
Pada batas tertentu madrasah tergolong di antara lembaga pendidikan keagamaan swasta yang leading, dalam arti berhasil merintis dan menunjukkan keberdayaan baik dalam hal kemandirian penyelenggaraan maupun pendanaan (self financing). Tegasnya selain menjalankan tugas utamanya sebagai kegiatan pendidikan Islam yang bertujuan regenerasi ulama, madrasah telah menjadi pusat kegiatan pendidikan yang konsisten dan relatif berhasil menanamkan semangat kemandirian, kewiraswastaan, semangat berdikari yang tidak menggantungkan diri kepada orang lain.
Pengembangan ekonomi masyarakat madrasah mempunyai andil besar dalam menggalakkan wirausaha. Di lingkungan madrasah para santri dididik untuk menjadi manusia yang bersikap mandiri dan berjiwa wirausaha. Madrasah giat berusaha dan bekerja secara independen tanpa menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah swasta. Secara kelembagaan madrasah telah memberikan tauladan, contoh riil (bi al-haal) dengan mengaktualisasikan semangat kemandirian melalui usaha-usaha yang konkret dengan didirikannya beberapa unit usaha ekonomi mandiri madrasah. Secara umum pengembangan berbagai usaha ekonomi di madrasah dimaksudkan untuk memperkuat pendanaan madrasah, latihan bagi para santri, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Perubahan dan pengembangan madrasah terus dilakukan, termasuk dalam menerapkan manajemen yang profesional dan aplikatif dalam pengembangannya. Karena istilah manajemen telah membaur ke seluruh sektor kehidupan manusia. Di antara pengembangan yang harus dilakukan madrasah adalah, pengembangan sumber daya manusia madrasah, pengembangan komunikasi madrasah, pengembangan ekonomi madrasah, dan pengembangan teknologi informasi madrasah.
Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau suatu kegiatan yang mengarah pada pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangkap memberikan pelayanan yang lebih baik atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Wirausaha adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
Menurut John Hornaday, sebagaimana yang dikutip oleh Winardi, ciri-ciri wirausahawan yang berhasil adalah mereka yang memiliki sifat-sifat: kepercayaan pada diri sendiri (self-confidence), penuh energi, dan bekerja dengan cermat, kemampuan untuk menerima resiko yang diperhitungkan, memiliki kreativitas, fleksibilitas, reaksi positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi, jiwa dinamis dan jiwa kepemimpinan, kemampuan bergaul dengan orang lain, kepekaan untuk menerima saran-saran dari orang lain, menerima kepekaan terhadap kritik-kritik yang dilontarkan terhadapnya, memiliki pengetahuan (memahami) pasar, dan  keuletan serta kebulatan tekad untuk mencapai sasaran-sasaran (perseverance, determination), banyak akal (resourcefulness), rangsangan/kebutuhan akan prestasi, inisiatif, memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri (independent) dan pandangan tentang masa yang akan datang (foresight), berorientasi pada laba, memiliki sikap perseptif (perceptivness), berjiwa optimisme, memiliki keluwesan (versatility) dan pengetahuan/pemahaman tentang produk dan teknologi.  
Berpedoman pada anggapan dasar bahwa tidak semua lulusan atau alumni madrasah akan menjadi ulama atau kiai, dan memilih lapangan pekerjaan di bidang agama, maka keahlian-keahlian lain seperti pendidikan ketrampilan perlu diberikan kepada santri sebelum santri itu terjun ke tengah-tengah masyarakat yang sebenarnya. Di pihak lain, guna menunjang suksesnya pembangunan, diperlukan partisipasi semua pihak, termasuk pihak madrasah sebagai suatu lembaga yang cukup berpengaruh di tengah-tengah masyarakat ini merupakan potensi yang dimiliki oleh madrasah secara historis dan tradisi. Urgensi pengelolaan dan pengembangan mengingat banyaknya potensi ekonomi yang dimiliki oleh madrasah.   
Kualitas SDM di Indonesia yang dinilai masih sangat minim, secara objektif harus diakui bahwa sebagian di antaranya adalah sumber daya manusia madrasah. SDM di sini tentu saja tidak hanya meliputi kemampuan dasar akademis, tetapi juga kemampuan skill individual-kolektif. Perpaduan antara kemampuan akademis dan skill individual-kolektif inilah yang pada saatnya sangat menentukan terhadap kualitas suatu produk. Terbatasnya sumber daya manusia madrasah inilah yang menjadi problem pengembangan wirausaha di madrasah. 
Model kelembagaan integrated structural adalah semua unit/bidang yang ada dalam madrasah merupakan bagian tak terpisahkan dalam madrasah. Model seperti ini, sebenarnya tidak terlalu bermasalah, dengan syarat masing-masing bagian mempunyai job description yang jelas, termasuk hak dan kewenangannya. Sebaliknya, apabila tanpa adanya job description yang jelas, sementara kendali organisasi berpusat hanya pada satu orang, maka dapat dipastikan bahwa sistem keorganisasian dan kelembagaan sulit untuk berkembang.[1][30] 
Model kelembagaan madrasah integrated non structural adalah unit atau bidang-bidang, misalnya bidang usaha ekonomi, bidang pengabdian masyarakat, dan bidang kesehatan yang dikembangkan madrasah terpisah secara struktural organisatoris. Artinya, setiap bidang mempunyai struktur tersendiri yang independen. Meski demikian, secara emosional dan ideologis tetap menyatu dengan madrasah. Pemisahan lembaga ini dimaksudkan sebagai upaya kemandirian lembaga, baik dalam pengelolaan atau pengembangannya. Model kelembagaan seperti ini biasanya mengadopsi sistem manajemen modern. Karenanya tolok ukurnya adalah profesionalisme.
Problem ketiga yang dirasa mendasar adalah kurangnya keberanian dari madrasah untuk melakukan terobosan ke luar, atau membuat jaringan, baik antara madrasah, maupun antara madrasah dengan institusi lain. Pentingnya madrasah untuk membina hubungan dengan institusi lain adalah untuk memahami eksistensinya sebagai agent of development. Sebab, untuk menjadi agen perubahan dan pemberdayaan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antar lain: wawasan, komunikasi, kekuasaan/kekuatan, politik, dan modalitas ekonomi. Dengan jaringan dan kerjasama yang dijalin, madrasah diharapkan mampu meningkatkan komunikasi, wawasan, dan kekuatan yang dimilikinya. 
Secara umum dapat digambarkan bahwa lembaga pendidikan yang telah banyak berhasil dalam mengembangkan wirausaha dan mengelola berbagai bidang unit usaha adalah madrasah. Hal ini merupakan upaya nyata dari para pimpinan madrasah dalam menerapkan nilai-nilai wirausaha dalam mengelola lembaga pendidikannya seperti kemampuan melihat peluang, keberanian dan bertanggungjawab atas usaha yang dilakukan, serta memanfaatkan potensi yang dimiliki atau yang diupayakan oleh madrasah menjadi kegiatan ekonomi sehingga menghasilkan laba yang dapat digunakan untuk mendukung eksistensi madrasah. Inilah makna manajemen kewirausahaan dalam lembaga pendidikan
Beberapa model pengembangan usaha ekonomi madrasah di antaranya adalah; usaha ekonomi yang berpusat pada kiai, usaha ekonomi madrasah untuk memperkuat biaya operasional madrasah, usaha ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari madrasah, dan usaha ekonomi bagi para alumni madrasah. 

Agama dan Humanisme (2)





A.      Pendahuluan
Jargon humanisme lazim digunakan dalam pengertian tatanan nilai yang mengaksentuasikan kompetensi kepribadian setiap individu manusia. Namun jargon ini tidak mengandung keimanan kepada Tuhan.  Kendati dalam humanisme terlihat bingkai transparan yang berlandaskan paham ateisme, namun para humanis juga menggunakan berbagai format religius untuk mempromosikan norma-norma kemanusiaan.  Contohnya, pada abad ke 19 Auguste Comte, seorang positivis Perancis, sengaja mendirikan agama kemanusiaan yang berlandaskan ateisme hanya dengan tujuan membenahi situasi sosial.  Kecuali itu, serangkaian doktrin humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat minat dari kalangan elit agama.
Humanisme dipahami sebagai suatu ajaran yang tidak menggantungkan diri pada doktrin-doktrin yang tidak memberikan kebebasan kepada individu. Doktrin-doktrin yang bersifat otoritatif sangat bertentangan dengan prinsip dasar humanisme religius, yang senantiasa memberikan kebebasan kepada setiap individu dalam menentukan pilihan hidup, baik dalam beragama, berpendapat maupun dalam menuntut haknya, tetapi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan hak-hak orang lain tetap diperhatikan.
Humanisme berasal dari Barat dan mengalami perkembangan dalam lingkungan pemikiran filsafat Barat. Karena itu, untuk mengkaji dan menganalisis gerakan humanisme beserta pengaruhnya pada dasar-dasar epistemologi Barat sudah seharusnya kita merujuk ke berbagai Ensiklopedia Barat yang akurat agar kajian bisa dilakukan secara ilmiah dan bebas dari berbagai kecenderungan subyektif antara lain Encyclopedia of Philoshopy karya Paul Edward yang menjelaskan tentang humanisme sebagai berikut: Humanisme adalah sebuah gerakan filsafat dan literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-14 kemudian menjalar ke negara-negara Eropa lainnya.  Gerakan ini menjadi salah satu faktor munculnya peradaban baru.  Humanisme adalah paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria segala sesuatu.  Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek. Pada arti awalnya, humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi aspek fundamental bagi Renaisans,  yaitu aspek yang di jadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural dan di dalam sejarah sekaligus meriset interpretasi manusia tentang ini.  Istilah humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari kata-kata humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran masalah-masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan.  Pada zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan sebagai seni-seni bebas, dan ketentuan ini dipandang layak hanya untuk manusia karena manusia berbeda dengan semua binatang. 
Kaum humanis bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan.  Spirit itu tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaim-klaim mengenai otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat alam natural dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala manusia melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan sejarah.   Humanisme yang kembali kepada era klasik bukan berarti mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan dikerahkan oleh orang-orang terdahulu.  Di saat yang sama, kaum humanis telah melenyapkan sebagian kepercayaan dan keyakinan masyarakat abad pertengahan. Faktor yang menstimulasi kaum humanis menaruh perhatian kepada kesusasteraan klasik (syair, makna-makna ekspresif, moral, dan politik) ialah keyakinan mereka bahwa kesusasteraan ini sanggup mendidik manusia agar bisa memanfaatkan kebebasan dan ikhtiarnya secara efektif.
 Kalangan humanisme meyakini bahwa manusia memiliki sifat dasar yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengembangkan segala potensinya. Dalam diri manusia terdapat dua naluri, naluri alamiah dan naluri ketuhanan. Keduanya saling mengisi dan tidak bertentangan, meskipun mengandung kontradiksi, dan kadangkala manusia bertindak menentang dan berlawan dengan sunnatullah yang mengandung keseimbangan di dalamnya.
Walaupun Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme, sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar humanisme ateistis. Misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme eksistensial-teistis dan sebagainya yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru kalangan-kalangan agamalah yang paling serung memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat menerjang batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian terhadap otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-abad. Humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya pada ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.
Semua humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya. Upaya ini dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih tegas, yaitu mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai pada para fisiokrat, the deists, dan kaum materialis di abad ke-18.
Dalam upayanya untuk merebut manusia dari tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis. Selanjutnya pertanyaan adalah bagaimana kita melihat Agama dan Humanisme: Persoalan Agama Hari ini, Bahaya, Tantangan dan Prospeknya?

B. Agama dan Humanisme
 Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, humanisme berasal dari Barat. Kebebasan merupakan tema pokok humanisme. Humanisme modern yang mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara dan agama itu mekar seiring dengan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional mereka terhadap manusia yang tidak terburu-buru melakukan ‘hubungan singkat’ dengan otoritas wahyu illahi, melainkan lebih dahulu lewat penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia. Kebudayaan tampil ke depan menggeser agama.
Manusia terutama dimengerti dari kemampuan-kemampuan alamiahnya, seperti minat intelektualnya, pembentukan karakternya, apresiasi estetisnya. Perhatian lalu diumpahkan pada toleransi, vitalitas jiwa, keelokan raga, persahabatan dst. Semua itu dicakup dalam kata humanus. Upaya seperti itu dimulai dengan pendamaian antara filsafat (khususnya Aristoteles dan Plato) dan Kitab Suci, kesusastraan Yunani kuno dan ajaran-ajaran wahyu, sebagaimana dapat kita temukan pada Giovanni Pico della Mirandolla (1463-94) atau kadang juga dengan mendukung sistem heliosentrisme yang ditentang otoritas religius waktu itu, sebagaimana dilakukan oleh Giordano Bruno (1548-1600) yang lalu dikejar-kejar sebagai bid’ah dan dibakar di Roma. Gerakan humanis ini mulai di Italia, lalu merambat dengan cepat ke Jerman, Prancis, Belanda, dst.
Kendati dalam humanisme terlihat bingkai transparan yang berlandaskan paham ateisme, namun para humanis juga menggunakan berbagai format religius untuk mempromosikan norma-norma kemanusiaan.  Serangkaian doktrin humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat minat dari kalangan elit agama Kriten sehingga mereka menganggap kekristenan sebagai agama humanistik. Carl Barth, teolog Protestan abad ke 20 berkebangsaan Swiss, meyakini humanisme tidak akan ada tanpa Injil.  Para teolog Katolik Roma juga mengklaim bahwa Kristen Katolik adalah agama humanis sebab Katolik menegaskan bahwa manusia di mata Tuhan adalah makhluk yang tiada bandingannya.
Kendati memiliki pandangan sedemikian rupa mengenai asketisisme dan ketuhanan, humanisme tidak memiliki tokoh yang anti agama atau anti Kristen. Kecenderungan untuk membela nilai dan kebebasan manusia telah mendorong kaum humanis untuk berdiskusi mengenai Tuhan, kekuatan-Nya, serta masalah-masalah kontemporer mengenai ruh, keabadian ruh, dan kebebasan ruh yang biasanya tetap dikemukakan dengan tipe-tipe tradisional abad-abad pertengahan dan terlimitasi oleh paradigma masa itu.  Betapa pun demikian, dalam humanisme pembahasan-pembahasan ini menemukan makna baru, sebab menurut mereka pemahaman dan keyakinan adalah demi daya inovatif manusia di dunia, dan daya ini juga mereka pertahankan di dalam areal keagamaan.
Gianozzo Manetti dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Humanisme (De Dignitate et Excelentia Hominis) menyebutkan bahwa kitab-kitab suci bukan hanya merupakan satu statemen untuk kebahagiaan transendental, melainkan juga untuk kebahagiaan di muka bumi.  Menurut Manetti, agama ialah kepercayaan kepada nilai perbuatan manusia yang akan mendapat pahala di dalam kehidupan akhirat kelak.  Sebagaimana Lorenzo Valla dan kebanyakan tokoh lainnya, Manetti berpandangan bahwa tugas fundamental agama ialah menyokong manusia dalam kehidupan hukum dan aktivitas politik.
Walaupun tidak memberikan penekanan terhadap keimanan kepada Tuhan, kaum humanis tetap memandang harus konsisten kepada doktrin-doktrin keagamaan, kendati agama itu ternyata berlandaskan ateisme dan dicetuskan oleh seorang manusia semisal Auguste Comte.  Sebab mereka meyakini tatanan sosial akan porak poranda tanpa adanya komitmen kepada serangkaian prinsip agama, baik yang berdasarkan monoteisme maupun ateisme.  Karena itu, di sini kaum humanis bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok: penyembah Tuhan dan ateis.  Namun, perlu disebutkan bahwa dalam pandangan kaum humanis penyembah Tuhan-pun, yang menjadi orientasi ialah nilai dan kebebasan manusia, sedangkan pengenalan Tuhan beserta kekuatan-Nya hanya dipandang sebagai instrumen, dan bahwa komitmen kepada ajaran dan instruksi-instruksi agama  hanya merupakan instrumen dengan peranannya yang superfisial.

C. Humanisme dan Persoalan Agama Hari ini: Bahaya dan Tantangannya
Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme, sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar humanisme ateistis. Di sini dapat didaftar, misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme eksistensial-teistis dst. yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya di dunia-sini tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru  kalangan-kalangan agamalah yang paling getol memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat menerjang batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian terhadap otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-abad. Jika kita mengikuti ulasan di atas, akan jelas bahwa humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya pada ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.
            Semua humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya. Upaya ini dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih tegas, yaitu mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai pada para fisiokrat, the deists, dan kaum materialis di abad ke-18. Dalam upayanya untuk merebut manusia dari tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis yang baru saja kita bahas. Pertanyaan kita di atas harus kita jawab sekarang: Apakah kontribusi humanisme ateistis bagi pemahaman tentang manusia dan kemanusiaannya?
            Sejauh kita mengambil segi positifnya, radikalisasi ‘moral rasional’ adalah sumbangan pertama kaum humanis ateistis. Moral rasional adalah moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Moral yang imanen pada kemanusiaan kita ini menjadi proyek lama sejak Kant dan the deists di abad ke-18. Para humanis Pencerahan ini masih menerima eksistensi Tuhan, meskipun perananNya sangat minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Bisa dikatakan bahwa humanisme ateistis membawa moral rasional itu sampai ke tepian akhir imanensi manusia untuk menemukan prinsip-prinsip kebaikan yang murni manusiawi tanpa transendensi. Moral rasional seperti ini dapat memberi platform bersama suatu masyarakat yang ditandai oleh persaingan berbagai doktrin religius. Moral rasional itu tidak dikhususkan pada iman religius tertentu, maka membantu toleransi di dalam masyarakat modern yang semakin kompleks. 
            Sumbangan kedua humanisme ateistis adalah kritik agama itu sendiri sebagai suatu pendekatan rasional untuk memurnikan iman religius. Ateisme adalah satu hal, tetapi kritik agama adalah hal lain. Orang yang percaya pada Tuhan dapat memanfaatkan kritik agama tanpa harus mengambil sikap ateistis. Kritik agama membantunya untuk memeriksanya untuk mengambil jarak kritis terhadap penghayatannya. Sebagai pandangan dunia total, agama mengklaim kebenaran absolutnya sehingga tak seorangpun berani mempersoalkannya. Akalpun dikebiri demi iman yang buta yang pada gilirannya menginduk pada otoritas yang disakralkan. Keadaan itu tidak bisa disebut manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Bagaikan bubuk mesiu yang meletus dan mengganggu telinga, kritik agama menggugah orang beragama untuk – meminjam istilah Kant – “terjaga dari tidur dogmatis”nya. 
Betapapun sucinya, agama melibatkan banyak hal yang bersifat manusiawi dan duniawi, seperti: imajinasi sosial manusia, kepentingan kelasnya, sistem pengetahuannya, tradisi kulturalnya. Dengan hanya percaya saja, yaitu tanpa juga berpikir, gambaran tentang Tuhan lama kelamaan dipercaya sebagai Tuhan itu sendiri, padahal gambaran tentangNya dibangun oleh sejarah, kekuasaan dan kebudayaan manusia. Feuerbach, Marx, Comte, Nietzsche dan Sartre benar bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran telah mengasingkan manusia dan memasung kebebasannya. Mereka menyebut itu “Tuhan”, tetapi kita menyebutnya dengan lebih tepat, yaitu: gambaran tentang Tuhan. Jika yang dipersoalkan adalah gambaran Tuhan, kritik agama mereka akan sangat menolong umat beragama untuk membersihkan imannya dari delusi-delusi. Dalam arti ini humanisme ateistis justru dapat menjadi jalan untuk mengakui transendensi dan kemutlakan Tuhan yang berada di luar gambaran-gambaran kita. Bukan Tuhan, melainkan gambaran Tuhan yang kelirulah yang sesungguhnya telah mereka bunuh. Jika berhala-berhala pikiran disembah sebagai theos, untuk menjadi seorang teis sejati, diperlukan sikap ateis, yakni menolak meyakini theos palsu itu.
            Berkembangnya ilmu-ilmu empiris yang meneliti agama kiranya merupakan sumbangan ketiga yang bersifat pragmatis dari humanisme ateistis. Jauh sebelum munculnya para ateis itu, apa yang disebut ilmu agama tidak kurang daripada suatu teologi yang menjelaskan, membenarkan dan membela iman sendiri. Dewasa ini dunia ilmu dan pendidikan tinggi telah memiliki dan mengembangkan berbagai ilmu empiris dan percabangan mereka, seperti psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama-agama dst. yang memperlakukan gejala-gejala agama, seperti mistik, trance, bahasa roh, penyembuhan lewat iman, kemartiran dst. sebagai gejala-gejala manusiawi yang dijelaskan secara rasional dan empiris. Humanisme ateistis banyak mendorong peralihan sudut pandang dari ‘perspektif penghayat’ ke ‘perspektif pengamat’ yang banyak membantu mengembangkan etos riset ilmiah tentang agama yang hari ini dimiliki dunia ilmu. Bersama dengan moral rasional dan kritik agama, ilmu-ilmu empiris tentang agama banyak membantu umat beragama sendiri dalam menghayati imannya secara dewasa tanpa mengesampingkan peranan akal. Ini terjadi dalam banyak studi baik di kalangan Katholik maupun Protestan di Barat untuk merekonstruksi suatu teologi yang sesuai dengan kompleksitas dunia modern kita dan karenanya juga menolong penghayatan iman yang lebih transformatif dan toleran.  
Pandangan hidup Barat meletakkan falsafah humanisme, rasionalisme, sekularisme sebagai asas peradaban mereka. Secara rinci prinsip-prinsip dasar teori humanisme sebagai berikut:
1.        Manusia adalah standar dan kriteria segala sesuatu. 
2.        Penekanan terhadap pentingnya kembali ke peradaban klasik untuk menghidupkan  kembali dan mengembangkan potensi serta kekuatan yang diyakini dahulu.
3.        Penekanan secara berlebihan kepada kebebasan dan ikhtiar manusia. 
4.        Pengingkaran terhadap status para rohaniawan sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. 
5.        Manusia adalah sentral alam semesta.
6.        Penolakan sistem-sistem tertutup, filsafat, keyakinan-keyakinan agama, serta argumentasi abstrak tentang nilai-nilai kemanusiaan.
7.        Penolakan terhadap praktik-praktik asketisme, dan memusatkan perhatian pada faktor jasmani dan kenikmatan fisik.
8.        Akal manusia adalah pimpinan manusia, status agama sebagai komando harus  ditiadakan. 
9.        Kenikmatan-kenikmatan jasmani adalah tujuan final segala aktivitas manusia.
10.    Dunia politik harus diceraikan dari segala pandangan metafisik atau agama, dan manusia  adalah aktor yang memiliki wewenang mutlak dalam dunia politik. 
11.    Aktualisasi diri, pemeliharaan diri dan peningkatan diri mesti dipelajari individu.
12.    Manusia adalah pencipta lingkungannya dan bukanlah hasil lingkungan- nya. 
13.    Manusia harus terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya. 
14.    Kelayakan kepribadian setiap individu bisa terbentuk tanpa keimanan kepada Tuhan. 
15.    Keberadaan agama dipandang sebagai faktor superfisial yang diperlukan demi popularitas nilai-nilai kepribadian manusia dan perbaikan sosial. 
16.    Penekanan terhadap persatuan antar segenap agama, baik agama yang berpangkal dari Nabi Ibrahim maupun agama khurafat.
Pemujaan kepada kebebasan adalah salah satu tema terpenting yang menjadi pusat perhatian kaum humanis.  Namun, kebebasan yang mereka maksud ialah kebebasan yang bisa diterapkan di alam natural dan di tengah masyarakat.  Kebebasan sedemikian ini berseberangan dengan cara berpikir yang diterima pada abad pertengahan, yaitu anggapan bahwa imperium, gereja, dan prinsip-prinsip feodalistik adalah para pengawas tatanan yang berlaku di dunia, dan manusia harus tunduk mutlak kepadanya.  Sedemikian diterimanya anggapan ini sehingga tertutup kemungkinan terjadinya perubahan padanya.  Institusi-institusi inilah yang menanamkan doktrin bahwa segala urusan, baik yang menyangkut materi maupun spiritual yang diperlukan manusia mulai roti yang menjadi bahan makanan sehari-hari hingga masalah hakikat spiritualitas berada dalam tatanan dimana manusia bergantung kepadanya, sementara para pemuka agama adalah para penafsir dan pengawasan tatanan yang menguasai dunia tersebut.  
Humanisme membela kebebasan manusia untuk merancang sendiri kehidupannya di dunia dengan cara yang merdeka.  Humanisme memandang instruksi-instruksi tradisional para pemuka agama bukan sebagai perintah yang akan membantu berbagai urusan yang mesti dilaksanakan, melainkan sebagai kendala dan rintangan bagi manusia.
Terlihat bahwa gerakan humanisme adalah merupakan solusi untuk menghadapi intimidasi dan despotisme para pemuka gereja abad pertengahan.  Humanisme bertekad untuk mengembalikan kepada manusia hak kebebasan yang telah dinistakan secara total oleh  para elit agama di gereja.  Pada awal kebangkitannya, kaum humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang yang mengaku sebagai perantara yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, langit dengan bumi, namun di saat yang sama mereka selalu mempraktikkan ketidakadilan.  Kaum humanis memperjuangkan otoritasnya untuk mengurus kehidupannya sendiri, dan karena itu mereka akhirnya memberikan penekanan secara ekstrim kepada otonomi dan haknya untuk menguasai diri mereka sendiri.
Gianozo Manetti (1348-1459 ), Marsilo Ficino (1433-99M), dan Pico Della Mirandola dalam menganalisis kebebasan telah menjunjung tinggi otoritas manusia untuk membentuk, mengubah, dan memperbaiki dunia.  Pico juga telah mengekspresikan ‘keimanannya’ kepada manusia dengan kalimat-kalimatnya yang masyhur.  Kalimat-kalimat itu dia lukiskan sebagai kalimat yang diungkapkan tuhan kepada manusia sebagai berikut: “Wahai manusia, aku tidak mentakdirkan kalian dengan suatu martabat, atau citra, atau keistimewaan tertentu, sebab kalian sendirilah yang harus mendapatkan semua ini melalui keputusan dan ikhtiar kalian.  Apa yang tercakup di dalam undang-undang yang aku tentukan adalah batasan-batasan yang ada pada watak makhluk-makhluk lain.  Adapun kalian, kalian sendirilah yang menentukan nasib kalian, tanpa ada tekanan monopolistik dalam bentuk apapun,  dengan kekuatan ikhtiar yang telah aku anugerahkan kepada kalian.  Aku menempatkankan kalian di dalam posisi sentral dunia   sehingga dari titik ini kalian bisa melihat dengan lebih baik apa yang ada di dunia ini.  Aku tidak menciptakan kalian sebagai makhluk yang melangit atau yang membumi, yang fana atau yang baka, sebab kalian bisa seperti seorang guru yang absolut dan bisa mencetak dirinya sendiri sesuai bentuk yang dipilihnya.”
Masalah inilah yang  pada tahun-tahun berikutnya dibahas oleh Charles Bouille (sekitar 1475-1553), seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De Sapiente.  Dalam buku ini dia mensejajarkan manusia yang cerdas dengan Phyromitos. Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada manusia agar bisa menyempurnakan tabiatnya.  Dengan penelitian-penelitian teoritis yang efektif, dan dengan  keyakinannya yang ekstrim, Bouille mengupas soal kelayakan dan kapabilitas manusia untuk membentuk kehidupannya sendiri di dunia.  Keyakinan inipun menjadi semakin tajam dengan kemajuan-kemajuan skeptisisme yang dicapai humanisme di luar Italia pada abad setelahnya.  Para penganut skeptisisme saat itu ialah Michael de Montaiyne (1533-79), Pierre Charron (1541-1603), dan Francisco Sanchez.  Alhasil, keyakinan yang berlebihan kepada kelayakan manusia untuk membentuk kehidupannya sendiri di dunia telah menjadi dasar keyakinan baru humanisme dalam menghadapi paradigma yang berlaku pada abad pertengahan.
Pandangan ini tidak menyebut-nyebut soal peranan dan kekuasaan Tuhan dalam takdir manusia, yakni manusia yang sudah ditakdirkan  Tuhan sebagai makhluk yang memiliki kekuatan dan ikhtiar.  Bahkan, menurut Bouille yang termasuk salah seorang pemikir humanis, manusia sepenuhnya sejajar dengan Phyromitos yang telah menciptakan manusia beserta akalnya yang sepenuhnya sejajar dengan akal Phyromitos.  Di lain sisi, pandangan ini ternyata malah tidak memberikan peluang untuk mendukung nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang disebutkan di dalam Encyclopedia Britanica saat menjelaskan tentang humanisme sebagai berikut: Pemikiran humanistik yang berasal dari para penganut nilai-nilai kemanusiaan telah menghindari metode-metode tetap filsafat, prinsip-prinsip dan keyakinan agama, dan argumentasi-argumentasi ekstraktif mengenai nilai-nilai kemanusiaan.
Pandangan-pandangan religius humanisme sarat dengan spirit toleransi.  Istilah toleransi menjadi popular akibat pengaruh peperangan bermotifkan agama pada abad-abad ke 16 dan 17.  Tolerensi membawa pengertian mengenai kemungkinan hidup rukun antar penganut berbagai agama, yaitu agama-agama yang tetap berbeda satu dengan yang lain dan tak mungkin diubah menjadi satu keyakinan.  Oleh sebab itu, para humanis memastikan spirit persaudaraan sebagai satu pandangan kolektif yang prinsipal dalam semua keimanan agama dan memungkinankan terwujudnya perdamaian agama secara universal.
Di satu sisi, menurut kaum humanis, ketentraman hidup beragama juga bersentuhan dengan persatuan yang urgen di dalam filsafat dan agama.  Leonardo Bruni melontarkan pernyataan apakah Saint Paul telah mengajarkan sesuatu yang lebih dari ajaran-ajaran Plato? Berdasarkan pandangan para bapa gereja –dimana para humanis juga turut memberikan kontribusi dalam pandangan ini- , Kristen juga dengan mudah menerapkan rasionalisme yang diajarkan oleh filsafat kuno, sebab akal yang didukung oleh filsafat ini adalah akal yang termanifestasi di dalam kalimat Allah.
Dari sisi lain, Pico Della Mirandola yang paling banyak mendapat inspirasi dari teori toleransi telah menjadi tokoh pembawa pesan baru perdamaian yang mengundang perhatian segenap agama dan filsafat dunia.  Pidato tentang martabat manusia  (Oration on Dignity of Man) yang awalnya disebut lagu perdamaian mengajukan proposal untuk merancang dasar perdamaian secara universal dengan memperlihatkan kesingkrunan antara pikiran platonisme dan paham aristoteles.  Pico bahkan menggagas kompromisasi dua paham ini dengan aliran-aliran filsafat lain, cabala (ajaran mistik Yudaisme), magis, kependetaan (pateristic),dan skolastik. Gagasan penyesuaian filsafat dengan kekristenan dan wahyu keagamaan berkaitan dengan Pico Mirandolla. Sebagaimana Pico, tak sedikit kaum humanis yang meyakini pluralitas ideologi sedemikian ini berasal dari satu sumber dan satu ilham yang pertama, dan semua ini berjalan dalam satu jalur yang unilateral.  Kembali kepada akar-akarnya adalah kembali kepada perdamaian religius para nenek moyang manusia dan merupakan penuntasan sentimen dan fanatisme agama.
Dalam toleransi humanistik, segenap pemeluk ideologi diseru kepada persatuan ideologis, baik ideoligi filsafat maupun agama, termasuk agama-agama monoteis, idolatris, dan khurafat.  Dengan demikian, demi persatuan toleransi ini sama sekali tidak mempertimbangkan  apa yang menjadi titik perbedaan, dan tidak ada satupun prinsip yang konstan yang bisa dijadikan orientasi perdamaian antar ideologi dan agama.  Paham semacam ini jelas absurd dan bersifat artifisial.
Di sisi lain, kebebasan yang diperjuangkan bukanlah kebebasan yang absolut atau antitesis abad pertengahan. Kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi, sehingga dapat hidup dan berkembang dalam berbagai dimensi. Semangat menjunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaan, disertai dengan kesadaran bahwa mereka tidak mungkin menolak keluhuran dan kekuasaan Tuhan, merupakan unsur fundamental tegaknya humanisme religius dalam Islam.  Banyak kajian yang telah dilakukan para ahli tentang konsep humanisme, termasuk humanisme dalam Islam. Pada umumnya kajian tersebut berbicara tentang historisitas munculnya, perkembangan dan karakteristik konsep humanisme, baik di Timur maupun di Barat. Titik tekannya lebih kepada dimensi teoritis dan kurang menyentuh dimensi praktisnya, konon lagi berbicara tentang humanisme dalam kaitannya dengan sikap dan kesadaran keagamaan.
Awal kebangkitan humanisme diwarnai oleh gagasan tentang kebebasan manusia sebagai individu untuk menentukan nasibnya sendiri, yang dikemukakan oleh Eramus. Gagasan yang tampak dari luar meanstrem ini kemudian banyak dikritik oleh para teolog di kalangan Kristen sendiri, termasuk Martin Luther sebagai tokoh pembaharu Kristen. Ia mengkritik keras gagasan Eramus yang menurutnya telah mereduksi Jesus Christus sekedar menjadi model perilaku ideal yang memiliki ketinggian etik.

D. Kritik-Kritik Terhadap Humanisme
Humanisme sebagai suatu proyek peradaban memiliki karir yang tidak diduga oleh para perintisnya karena ia menjadi eksklusivistis dalam kolonialisme dan totalitarianisme. Kemanusiaan disempitkan pada peradaban tertentu, ras tertentu atau kelas sosial tertentu, sehingga manusia konkret ditindas dengan pembenaran-pembenaran antroposentris. Manusia konkret diremehkan dan digilas oleh kekuatan-kekuatan asing yang bernama peradaban, ideologi atau teror yang semua itu hanya mungkin tumbuh dalam antroposentrisme yang diajarkan humanisme. Dengan kolonialisme dan totalitarianisme itu, dewasa ini muncul sikap skeptis yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap humanisme modern. Kita sedang menapaki suatu era yang dapat kita sebut ‘pasca-humanisme’. Kita memang menikmati hasil-hasil positif gerakan humanisme seperti telah saya sebut pada permulaan kuliah ini. Ketika berbicara tentang hak-hak asasi manusia, misalnya, mau tidak mau mengandaikan banyak hal yang merupakan prestasi gerakan humanisme modern, seperti penghargaan terhadap kebebasan, rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pada saat yang sama kita tahu bahwa konsep kemanusiaan universal dan ciri keduniawian yang dibawanya mengandung bahaya yang sama besarnya dengan konsep Tuhan dari agama manapun, jika konsep-konsep itu dimengerti secara eksklusivistis dengan menyingkirkan manusia konkret dalam segala keberlainan kultural, ras, jender maupun kelasnya. Dilema dalam humanisme itu mendesak kita untuk menimbang ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam humanisme. Kita akan masuk dalam kritik-kritik atas humanisme dan kemudian memberikan pendirian kita sendiri.
Di dalam sebuah tulisannya, Geheimnis der Sprache Johann Peter Hebels (Rahasia Bahasa Johann Peter Hebel), filsuf besar abad ke-20, Martin Heidegger, menulis – saya kutip aslinya – “Eigentlich spricht die Sprache, nicht der Mensch. Der Mensch spricht erst, insofern er jeweils der Sprache ent-spricht.” (sesungguhnya bahasa berbicara, bukan manusia. Manusia berbicara baru sejauh ia selalu sesuai dengan bahasa). Manusia memang berbicara, yaitu menuturkan bahasa, tetapi bahasa harus didengarkan lebih dahulu, baru kemudian ia bisa berbicara. Yang didengarkan itu tak lain daripada bahasa yang meneguhkan hakikatnya. Bahasa primordial yang membuat manusia menjadi manusia itu adalah bahasa ibu, bahasa yang dituturkan dalam sebuah komunitas konkret. Jika demikian, manusia dan kemanusiaan ditemukan atau – lebih tepat – dibuat lewat percakapan, yaitu yang dituturkan oleh suatu kelompok. Dengan mengucapkannya lagi dan lagi, manusia dan kemanusiaan menjadi semakin nyata. Dalam arti ini kita boleh mengatakan bahwa manusia belum ada sebelum Renaisans karena ia belum menjadi tema tuturan sebagaimana terjadi dalam filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan modern.  
            Pandangan Heidegger itu ikut menandai linguistic turn di dalam filsafat abad ke-20 yang melihat humanisme sebagai perkara diskursus yang tidak hanya dituturkan dalam sebuah forum, melainkan menjadi pusat tuturan dan pengetahuan suatu zaman, yaitu modernitas. Sejak awal tadi kita terlibat dengan kata-kata abstrak “manusia” dan “kemanusiaan” yang menjadi pokok persoalan dalam humanisme. Kata-kata yang terus dituturkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan itu memiliki asal-usul metafisis sekaligus juga mendasari suatu metafisika. ‘Kemanusiaan’ adalah sebuah diskursus tentang ‘hakikat’ yang dapat kita sebut “metafisika kemanusiaan”. Dalam metafisika kemanusiaan itu menurut Heidegger humanisme melupakan hubungan ‘hakikat’ itu dengan ‘Ada’ (Sein).
 Hakikat tidak sama dengan ‘Ada’, melainkan bagaimana ‘Ada’ menyingkapkan dirinya akan juga menentukan bagaimana ‘hakikat’ itu ditangkap. Humanisme merupakan bagian dari sejarah pemahaman tentang ‘Ada’ yang menjelaskan ‘hakikat’ sebagai sesuatu yang permanen, tertata rasional dan universal seperti alam semesta yang ditemukan oleh Newton.
Para kritikus humanisme di abad ke-20 ingin membebaskan manusia dari metafisika kemanusiaan yang memahami Manusia sebagai pusat kenyataan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan baru dalam sains kontemporer yang banyak mempersoalkan pandangan dunia Newtonian ikut mempengaruhi skeptisisme terhadap metafisika kemanusiaan itu. Dalam mekanika kuantum dan teori relativitas, misalnya, gambaran dunia yang deterministis dibantah dengan indeterminisme. Kenyataan alamiah itu sendiri, partikel, bukanlah suatu substansi seperti yang dicari dalam metafisika, melainkan suatu gerak yang selalu berubah. Bagaimana konstruksi teoretis tentang obyek alamiah itu juga menentukan bagaimana obyek itu menampakkan diri. Jika demikian, antroposentrisme selama berabad-abad juga dapat dilihat sebagai suatu konstruksi metafisis yang membuat kita secara intelektual terobsesi untuk mengunggulkan universalitas kemanusiaan, dan itu dilakukan dengan meminggirkan kebudayaan, agama, jender, dst. Metafisika kemanusiaan yang mendasari humanisme modern lalu ditantang sekurangnya dari tiga arah yang sejak awal dibangun oleh humanisme, yaitu metafisika, kebudayaan dan masyarakat. Masing-masing diwakili oleh Jacques Derrida, Richard Rorty, Niklas Luhmann.
Derrida belajar banyak dari Heidegger untuk melepaskan manusia dari metafisika kemanusiaan. Filsuf Prancis kontemporer ini memberi penjelasan yang lebih rinci mengenai keadaan manusia setelah dilepaskan dari pusat kenyataan dan menjadi ‘tetangga Ada’ itu (ingat ‘tetangga’ tidak menyiratkan suatu hirarki makna, melainkan kesetaraan makna). Pertama-tama dia menghentikan seluruh upaya untuk menemukan makna asli dari segala sesuatu yang menjadi obsesi peradaban Barat sejak ada filsafat, yaitu menghentikan pencarian ‘hakikat’. Pencarian humanisme akan ‘kodrat’ manusia dengan demikian juga dihentikan. Mengapa? Bukan hanya bahwa pencarian itu sia-sia, melainkan juga bahwa upaya itu – dengan segala ketulusannya sekalipun – akan membangun suatu rezim makna yang bersifat hirarkis yang akan meminggirkan hal-hal yang tidak dapat dimasukkan ke dalam makna yang dianggap asli itu, kolonialisme dan totalitarianisme yang kita bahas di atas? Bukankah dari oposisi antara asli dan tak asli, hakiki dan tak hakiki, muncul marginalisasi, alienasi, represi dan destruksi atas the other sebagai ‘yang tidak asli’ sebagaimana dilakukan tuan-tuan penjajah, komunis dan nazi?
Untuk menghentikan pencarian hakikat – dalam topik kita di sini Manusia dengan huruf besar M dan melepaskan manusia dari pusat kenyataan -  Derrida melakukan suatu hermeneutik (penafsiran) radikal yang disebutnya ‘dekonstruksi’. Dekonstruksi bukanlah destruksi, melainkan suspensi makna atau différance, yaitu menunda untuk mengembalikan sesuatu pada makna aslinya. Kemanusiaan tidak bisa dikembalikan pada satu titik primordial, misalnya, ‘kemanusiaan universal versi humanisme’, karena titik primordial itu tidak ada. Jika tahta tempat segala makna ditentukan itu kosong, tidak ada lagi meta-referensi yang menjadi ukuran untuk menentukan sesuatu itu asli atau tidak. Makna lalu tidak lagi diasalkan pada makna induk yang dianggap menduduki tahta itu, melainkan dihasilkan dengan apa yang disebut ‘intertekstualitas’, yaitu menghubung-hubungkan makna yang satu dengan makna yang lain secara interpretatif. Melakukan dekonstruksi atas metafisika kemanusiaan lalu berarti memahami manusia tidak dengan cara mengasalkannya dari suatu makna induk tentang kemanusiaan, misalnya kemanusiaan yang dianggap telah ditemukan oleh humanisme, melainkan dengan menghubung-hubungkan secara interpretatif pemahaman yang satu dengan yang lain tentang manusia tanpa maksud untuk mencari dan memulihkan hakikat universalnya. Dengan ungkapan lain, Manusia dengan huruf besar M diganti dengan manusia-manusia dengan huruf kecil m yang berdiri setara. Pertukaran M dengan m ini memiliki implikasi yang jauh: Kemanusiaan universal versi humanisme didesentralisasikan dan dipluralisasikan. Untuk memahami manusia kita tidak bisa lain kecuali menafsirkan berbagai pemahaman kultural tentang manusia dengan mengandaikan kesetaraan mereka.   
            Bersama dengan seluruh filsuf kontemporer yang melakukan linguistic turn, seperti strukturalis dan pasca strukturalis, Rorty, seorang pragmatis Amerika Serikat, memandang humanisme sebagai perkara kontigensi bahasa. Mengacu pada Wittgenstein dan tradisi hermeneutik, dia menolak fungsi bahasa sebagai deskripsi dunia, seolah-olah dunia ada di luar bahasa. Menurutnya bahasa menciptakan dunia, dan sejarah tidak lain daripada perubahan semena-mena dari language game yang satu ke yang lain, maka kenyataan juga berubah menurut perubahan language game itu. Setuju dengan Derrida yang menolak makna asli atau hakikat, Rorty menolak adanya ‘kosakata akhir’ yang dapat dipakai sebagai tolok ukur bagi kebenaran language games, sebab tak seorangpun memiliki sudut pandang yang mengatasi sejarah, sebagaimana dikira telah dimiliki oleh para humanis yang yakin telah melihat kemanusiaan lebih hakiki daripada orang-orang lain. Kita berada di dalam language game dan mendunia di dalamnya, maka bagaimana kemanusiaan dimengerti juga tergantung pada kontingensi bahasa. Ilmu pengetahuan, seni, kebudayaan dan politik bagi Rorty bergerak dalam horizon language games yang terus berubah dalam sejarah. 
            Penolakan Rorty terhadap kosakata akhir memiliki konsekuensi bahwa pandangan humanisme tentang adanya ‘inti diri’ yang tetap dan universal, seperti kesadaran atau akalnya, juga harus ditolak. Manusia bergerak atau – lebih tepat – ‘merangkak’ di dalam language games, maka kediriannya juga dicetak oleh dan berubah sesuai berbagai pemakaian metafor yang silih berganti dalam sejarah. Yang ditolak di sini adalah antroposentrisme Kant yang menempatkan subyek sebagai kosakata akhir yang seolah berada di luar language games. “Pandangan Kant tentang kesadaran”, begitu katanya,”membuat kedirian menjadi Tuhan”. Yang sebenarnya terjadi menurut Rorty adalah bahwa penemuan akal sebagai hakikat manusia dalam humanisme tidak lain daripada penemuan bahasa baru atau metafor baru yang juga akan berubah lagi pada suatu ketika dengan ditemukannya metafor lain. Semua argumentasi Rorty ini ditujukan untuk melepaskan manusia dari metafisika kemanusiaan yang dianut oleh humanisme sehingga manusia tidak lagi berada di pusat kenyataan.
Pertanyaan kita lalu: Untuk apakah decentring of subject ini? Bagi Rorty hal itu bersangkutan dengan masalah pragmatis yang sebenarnya mendasari humanisme modern, yaitu solidaritas sosial. Ia berpendapat bahwa selama kita masih meyakini adanya ’inti diri’ atau Manusia dengan huruf besar M itu, keyakinan itu justru akan menghalangi solidaritas kita dengan orang-orang lain. Tuan-tuan penjajah, orang-orang nazi dan komunis meyakini adanya ‘inti bersama’ kemanusiaan yang justru tidak mereka temukan pada para korbannya. Jika mereka menganiaya orang-orang itu, mereka tidak merasa telah menganiaya manusia. Konsep subyek seperti yang dianut Kant dan humanisme menurut Rorty juga tidak banyak berguna untuk membangkitkan solidaritas dengan para korban. Orang menolong para tetangga Yahudinya bukan karena mereka adalah “makhluk rasional”, melainkan karena mereka sama-sama penduduk Milano, anggota serikat buruh, bapak atau ibu dari anak-anak mereka yang masih kecil dst.
Menurut Rorty untuk membangkitkan solidaritas kemanusiaan tidak perlu dirumuskan secara metafisis, melainkan dialami secara sentimental. Di sini Rorty melanjutkan hasil dekonstruksi Derrida atas kemanusiaan. Jika hakikat universal manusia ditolak, memahami manusia harus secara intertekstual, dan intertekstualitas secara konkret bagi Rorty berarti sentimentalitas, yaitu suatu kemampuan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, adat dst. karena mampu melihat dan ikut merasakan kesamaan-kesamaan dalam penderitaan dan pelecehan yang dialami orang lain. Kemampuan sentimental inilah yang membuat orang-orang di seberang lautan juga bisa “termasuk ke dalam kita”. Metafisika kemanusiaan harus dilampaui dengan kemanusiaan sentimental yang memperluas horizon kemanusiaan lewat “rasa kekitaan”.   
            Salah seorang kritikus di Jerman kontemporer yang menolak humanisme demi menyelamatkan kemajemukan adalah Niklas Luhmann. Berbeda dari Derrida dan Rorty yang melibatkan diri dengan hermeneutik makna, Luhmann bergerak dalam teori sistem. Antroposentrisme yang disebutnya ‘teori-teori Eropa tua’ bercokol tidak hanya dalam metafisika dan kebudayaan modern, melainkan juga dalam pandangan tentang masyarakat yang sudah dianut sejak Aristoteles, melalui teori-teori kontrak memuncak pada Hegel. Dalam pandangan kuno itu, masyarakat terdiri dari manusia-manusia, dan manusia berada pada pusat masyarakat, yakni bahwa manusia adalah asal dan tujuan masyarakat, maka masyarakat ada demi manusia. Luhmann mengambil jarak terhadap pandangan itu. Jika Darwin dengan teori evolusinya telah mengeluarkan manusia dari pusat alam semesta, dan Freud dengan psikoanalisisnya telah mengeluarkan manusia dari pusat kesadaran, Luhmann dengan teori sistemnya ingin mengeluarkan manusia dari pusat masyarakat.
            Luhmann melontarkan kritiknya atas humanisme dengan caranya yang khas, yaitu memahami manusia bukan sebagai bagian masyarakat, melainkan sebagai bagian lingkungan masyarakat. Dalam teori sistemnya termasyhur distingsi antara sistem (System) dan lingkungan (Umwelt). Sistem selalu merupakan reduksi kompleksitas, maka lingkungan selalu lebih kompleks daripada sistem. Masyarakat adalah suatu sistem, sistem komunikasi. Kalau demikian,  manusia tidak berada di dalam masyarakat, melainkan di luarnya, yaitu dalam lingkungan. Mengapa? Karena manusia bukan sistem komunikasi saja. Manusia terdiri dari banyak sistem, antara lain; sistem-sistem organis (otak, pencernaan, hormon, otot, dst.), sistem-sistem psikis (kesadaran) dan sistem-sistem semiotis (komunikasi atau bahasa). Hanya sebagian saja dari manusia yang masuk ke dalam masyarakat, yaitu komunikasinya, tetapi komunikasi itu pun akan bergerak sendiri sebagai sistem yang mereproduksi dirinya. Luhmann menyebut kemampuan sistem untuk menghasilkan dirinya itu ‘autopoiesis’. Karena komunikasi, begitu menjadi sistem, lepas dari penuturnya dan menghasilkan dirinya, sistem komunikasi itu subjectless. Komunikasi tidak lagi bisa diasalkan pada manusia; ia menjadi anonim, sehingga kita dapat berkata bahwa bukan manusia-manusia yang berkomunikasi dalam masyarakat, melainkan komunikasi berkomunikasi dengan komunikasi. Manusia versi humanisme, yaitu subyek atau kesadaran, adalah sistem psikis, suatu sistem tersendiri yang juga autopoietis yang berada di luar masyarakat, yaitu di dalam lingkungan bagi sistem komunikasi.
            Di dalam pemikiran Luhmann decentring of subject terjadi dalam dua arti. Pertama, manusia tidak lagi dipahami sebagai pusat masyarakat karena ia qua sistem psikis tidak memiliki kedudukan istimewa di atas sistem-sistem lainnya, melainkan sederajad dengan mereka. Karena itu, demikian tulis Luhmann, “manusia tidak lagi merupakan ukuran masyarakat. Gagasan humanisme ini tidak dapat berlanjut.”[1] Di dalam kompleksitas sosial pasca humanisme menurutnya tidak ada ukuran yang menjadi pusat segalanya; tiap sistem memiliki ukurannya masing-masing yang tidak dapat diukur oleh suatu – sebut saja – ‘meta-norma’ sebagai ukuran terakhir. Kedua, desentralisasi subyek berarti juga memahami manusia bukan sebagai kesadaran atau rasionalitas belaka, sebagaimana dianut oleh humanisme. Manusia sebagai individu adalah semacam ‘masyarakat’ yang terdiri atas banyak sistem di dalamnya, maka humanisme yang menentukan kemanusiaan pada rasionalitasnya adalah musuh berbahaya bagi kemajemukan. Karena berkat kemajemukan internalnya manusia berada dalam lingkungan dan bukan dalam masyarakat, ia tidak akan dapat ‘dihabisi’ oleh rasionalitas ataupun moralitas yang dituturkan sistem komunikasi. Jadi, manusia bisa irrasional dan immoral terhadap sistem komunikasi atau masyarakat, karena ia berada di luarnya, yaitu menjadi bagian lingkungan. Keadaan itulah yang disebut kebebasan.

E. Prospek ke Depan: Humanisme Religius
Sejarah pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan yang notabene dikenal dengan istilah humanitas merupakan inti dari kehadiran agama. Aksioma ini bisa dijadikan sebagai sandaran dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang berpihak kepada kesamaan, kebebasan, kemerdekaan dan sejarah yang senantiasa berjalan dialektis. Umat beragama harus terus menerus menjadikan semangat pencarian humanitas dalam tradisi agama sebagai proses tiada henti. 
 Dalam konteks ini kehadiran Filsafat Agama menjadi penting, sebab bidang ilmu filsafat ini menempatkan manusia pada aspek intelektual dan spiritual. Filsafat Agama memandang bahwa manusia memiliki kapasitas intelektual untuk menentukan pilihan. Karena itu, kebebasan merupakan pemberian Tuhan yang paling penting dalam upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dengan menjunjung tinggi dimensi etis dan humanis yang terkandung di dalam agama dan ilmu. 
Humanisme sebenarnya tidak menggantungkan diri pada doktrin-doktrin agama yang tidak memberikan kebebasan kepada individu. Kalangan humanis religius juga meyakini bahwa manusia memiliki sifat dasar yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengembangkan segala potensinya.  Bagi para humanis religius, Tuhan dan metafisika selalu menempati posisi sentral dan berjalan seiring dengan tema-tema pengetahuan dan obyek penelitian yang mereka geluti. Sebagai contoh, seorang filsuf Islam Ibnu Rushd (Averroes, w. 1198) adalah seorang filsuf sangat rasional yang tak pernah meninggalkan jubah agamanya, meskipun pernah muncul isu predeter- minisme pada masa-masa awal sejarah Islam. Tapi, sama sekali tidak ada pandangan tunggal dalam menyikapi isu tersebut. 
Pada tahap perkembangan selanjutnya ”humanisme” sebagai gerakan filsafat mendapat perhatian cukup besar dalam dua disiplin ilmu, yakni Teologi dan Filsafat. Sebagian cabang ilmu-ilmu agama juga memuat pembahasan tentang manusia, kendati dari perspektif yang berbeda dari filsafat humanisme yang dipahami secara umum. Disiplin agama yang membahas manusia dari sudut pandang humanisme adalah Filsafat Agama.
Filsafat Agama, sekalipun bersifat umum dan abstrak, namun fokus kajiannya selalu tidak terlepas dari nilai-nilai universal agama dan religiusitas manusia secara filosofis dan metafisik. Tujuan hukum atau agama pada dasarnya adalah untuk memuliakan dan mengutamakan kebaikan manusia. Dalam semangat ini, manusia ditempatkan sebagai unsur penting yang tak hanya sebagai obyek hukum, tapi juga sebagai pembuat dan penentu aturan. Akal pikiran berperan penting dalam memahami makna kebebasan yang diberikan Tuhan pada manusia. Kebebasan adalah kunci bagi tanggungjawab manusia di dunia ini, dan alasan untuk meyakini keadilan Tuhan. Tanggungjawab manusia hanya bisa dimungkinkan jika mereka memiliki kehendak bebas.  Manusia bukanlah mesin atau robot yang sepenuhnya sudah didesain dan diatur oleh Tuhan, nasib dan masa depan manusia terletak di tangan manusia sendiri, dan bukan pada Tuhan maupun kekuatan-kekuatan metafisis lainnya. 
Berbeda dengan teologi yang mempertentangkan antara Tuhan dan manusia, John Hick, seorang ahli Filsafat Agama menganggap manusia sebagai perluasan dari wujud Tuhan. Al-Farabi, seorang Filsuf Islam, memandang manusia sebagai kulminasi dari proses emanasi yang ruwet.  Manusia tidak diciptakan Tuhan seperti manusia menciptakan kendi dari tanah liat, tapi melewati proses kontemplasi akal murni dari satu jenjang ke jenjang lain.   
Menurut Calvin, Huston Smith dan S. H. Nasr, kebebasan dan upaya untuk mewujudkannya adalah salah satu tema terpenting yang menjadi pusat perhatian kaum humanis. Pendapat ke tiga tokoh Filsafat Agama di atas. Manusia dianugerahi kebebasan oleh Tuhan dan menjadi pusat perhatian dunia, manusia bebas memandang dan memilih yang terbaik. Kendati kebebasan menjadi tema pokok humanisme, tetapi perlu dipahami bahwa kebebasan yang diperjuangkan bukanlah kebebasan yang absolut. Kebebasan yang diperjuangkan kaum humanis adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi, kebebasan manusia dalam batas- batas alamiah, kesejarahan dan kemasyarakatan. Humanisme religius membela kebebasan manusia untuk merancang sendiri kehidupannya di dunia dengan cara yang merdeka. 
Humanisme religius pada dasarnya bertugas memberikan solusi dalam menghadapi intimidasi dan despotisme, sebab Humanisme bertekad untuk mengembalikan kepada manusia hak kebebasan yang telah dinistakan secara total oleh para elit agama di gereja. Memang, pada awal kebangkitannya diakui bahwa kaum humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang yang mengaku sebagai perantara yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, langit dengan bumi, namun di saat yang sama mereka selalu mempraktikkan ketidakadilan.
Pandangan humanisme di Barat kerap kali menghambat lajunya humanisme religius sebagai sebuah tata nilai yang inheren dalam rahim agama. Dalam Islam, sejarah pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan yang notabene dikenal dengan istilah humanitas merupakan inti dari kehadiran agama. Aksioma ini dalam ajaran humanisme religius dan spiritual dijadikan sebagai sandaran dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang berpihak kepada kesamaan, ke- bebasan, kemerdekaan dan sejarah yang senantiasa berjalan dialektis. Keduanya berperan sebagai proses pencarian jati diri manusia beragama, sebab kebangkitan agama masih pada tataran ikatan individual.  
Umat beragama harus terus menerus menjadikan semangat pencarian humanitas dalam tradisi agama sebagai proses tiada henti. Humanisme religius dan humanisme spiritual dipahami sebagai suatu konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Ini mengandung pengertian bahwa makna atau penjabaran arti memanusiakan manusia itu harus selalu terkait secara teologis.
Perlu diingat, kalangan humanis religius juga memandang manusia, nilai, dan kebebasannya sebagai tujuan, dan bahwa pengenalan Tuhan dan kekuasaan- nya adalah satu jembatan untuk mencapai kepada tujuan tersebut. Maka esensialitas manusia di depan Tuhan akhirnya terkemuka, dan ini bisa dinilai sebagai titik distingtif pemikiran kaum humanis monoteis dan beragama. Ke- simpulan globalnya, humanisme tidak bertentangan dengan kepatuhan kepada agama jika pengertiannya ialah kepercayaan kepada nilai-nilai kemanusiaan, serta kedudukan, martabat, ikhtiar, dan kebebasan manusia.  Dengan demikian, muatan humanisme tidak keluar dari wilayah agama.
Humanisme yang berperikemanusiaan adalah humanisme yang tidak berseberangan dengan keimanan religius. Hanya kesadaran spiritualitas sebagai standar moral kemanusiaan yang mampu menggerakkan jiwa menciptakan kehidupan di dunia yang seimbang dan adil, adil pada diri sendiri, kepada alam dan seluruh isi di dalamnya serta adil terhadap Tuhan sebagai sang pencipta segala-galanya. 
Konsep humanisme religius dalam perspektif Filsafat Agama meliputi dimensi esensi yang berupa keyakinan, dimensi bentuk yang berupa ritual agama, dan dimensi ekspresi yang berupa tata hubungan antar individu, atau kelompok manusia dan makhluk lainnya. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dan menjadi fondasi bagi tegaknya moralitas dalam kehidupan. Kodrat manusia merupakan kriteria utama bagi moralitas yang hendak dibangun. Sesuai dengan ke- dudukannya sebagai makhluk yang mulia, manusia diperintahkan untuk me- ngambil keputusan dan bertindak dengan akal dan hatinya. Karena itulah manusia memikul tanggung jawab terhadap sesama, kosmos dan Tuhannya.  Hal ini mengandung konsekuensi bahwa tidak ada satu manusia pun memiliki hak untuk mereduksi manusia lain menjadi objek atau sarana bagi tujuan hidupnya.  
Secara fundamental, humanisme religius merupakan hal penting dan utama dari semua keyakinan moral yang kokoh. Dalam perspektif Filsafat Agama nilai- nilai humanitas merupakan keyakinan bahkan tuntutan moral yang secara langsung mengisyaratkan sikap etis yang implementatif dan konsisten dalam kehidupan. Inti dari kesadaran religius dalam dimensi etis merupakan kepercayaan yang menyatakan bahwa setiap manusia harus dihormati sebagai  manusia seutuhnya, bukan karena dia itu bijaksana atau bodoh, baik atau jelek, dan tanpa memandang agama atau suku, komunitasnya, serta apakah laki-laki atau perempuan. Dengan kata lain, manusia tidaklah diarahkan untuk menghargai seseorang atas identitas, kepercayaan, idealisme, dan hal-hal yang menjadi kekhawatiran dan kebutuhannya.
Menurut Franzs Magnis Suseno, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari aspek nilai humanitas, karena sama-sama manusia, dan ini menjadi dasar bahwa suatu penghargaan tidak tergantung pada kualitas atau kemampuan seseorang, namun hanya didasarkan atas kenyataan bahwa orang tersebut adalah manusia. Atas dasar ini humanisme sebenarnya sangat membenci kekerasan dan ketidakadilan dan tidak ada alasan untuk membenarkan tindakan kejam terhadap orang lain dan sama sekali tidak manusiawi. Dengan kata lain, berpijak pada ketentuan agama tentang nilai humanis spritualis, yang implementasinya adalah perilaku etis, manusia dituntut untuk bersikap empati dan sensitif terhadap kesulitan orang lain serta mencurahkan kasih sayang yang melampaui garis-garis primordial ataupun sekat-sekat sosial lainnya. Sebagai bagian dari prilaku etis   religius, humanisme menolak ketidak-ladilan, karena perlakuan tidak adil tidak pernah bisa dibenarkan. Sikap ini juga berlaku bagi orang-orang asing di luar komunitas kita, bahkan terhadap musuh-musuh. Perilaku etis selalu mencitrakan keseimbangan (fairness) dan cinta keadilan. 
Berpijak pada konsep di atas, maka fondasi humanisme religius dalam bingkai Filsafat Agama, menegaskan kepada manusia bahwa tidak perlu mempertentangkan perbedaan antara manusia yang religius atau tidak, karena semua manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan, sehingga dalam etika filosofis, bukan memperjelas sikap seseorang yang humanis religius atau sekuler, tetapi apakah seseorang benar-benar humanis, yang secara sadar menebar perasaan kasih sayang dan rasa saling menghargai antar sesama. Apabila seseorang benar-benar humanis, maka pasti seseorang akan dengan mudah menerima orang lain dengan segala perbedaan atau level yang dimiliki. Humanisme spiritual merupakan perasaan yang mendalam yang dirasakan dan tertanam di dalam diri seseorang yang mengharuskannya untuk memperlakukan setiap orang di hadapannya sebagai manusia seutuhnya tanpa dipengaruhi oleh keadaan, atau kepentingan apapun di sekelilingnya. Dari aspek ontologis spiritual, perasaan ini merupakan dorongan batin yang mengharuskan manusia untuk bertindak secara spontan tanpa tedeng eling-eling, meminjam pandangan Kant  - merupakan  ”tindakan mutlak tanpa syarat” (Imperatif Kategoris).
Menurut Immanual Kant, agama dalam bahasa moral menghendaki agar manusia memahami tindakannya sebagai kewajiban yang mengharuskannya untuk bertindak sesuai dengan fitrahnya.  Fitrahnya manusia memang mendorong manusia untuk berbuat baik, dan kebaikan sebagai akibat dari dorongan batin tersebut, tidak hanya merupakan hasil dari sebuah tindakan, tetapi justru menjadi hukum yang mewajibkan manusia untuk mengikutinya bahkan menjadi hukum universal yang berlaku bagi semua manusia. Setiap jiwa menginginkan untuk dihormati dan dihargai, sehingga sebelum jiwa seseorang ingin untuk dihargai, maka jiwa seseorang tersebut secara moral harus menghargai jiwa yang lain sebagai bagian dalam pengharapan itu. Inilah inti ajaran moral Kant yang memperluas kewajiban sebagai perintah Allah sekaligus menjadi perintah moral, sebagaimana tertuang dalam teori etika deontologis.
Menjadi jelas bahwa humanisme memiliki cakupan luas yang melampaui batas-batas sempit. Humanisme tidak dibatasi oleh ideologi dan pembenaran teologis lainnya, ia merupakan sebuah prinsip yang mempengaruhi sikap seseorang dalam segala dimensi. Dalam level institusi, aktualisasi humanisme religius terletak pada hadirnya lembaga-lembaga yang memfungsikan dirinya sebagai benteng atau sekat-sekat yang telah disebutkan di atas. Institusi pendidikan misalnya, memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang diperlakukan dengan jahat, mereka hidup dalam ketakutan atau menerima penghinaan yang dapat mengancam identitas dirinya, baik individu maupun kolektif, termasuk hal- hal yang dapat membuat mereka hidup dalam ketakutan atau di bawah tekanan. Dalam level institusi, yang terpenting adalah hak asasi manusia, yakni suatu sistem yang menjamin bahwa setiap individu tanpa diskriminasi memiliki akses terhadap hukum dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan hukum. Yang terpenting adalah menemukan sebuah pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana nilai-nilai religius spiritual diletakkan dalam tradisi humanis.
Saat ini kesadaran humanis religius telah mengalami krisis akibat dari tekanan-tekanan modernitas dan arus globalisasi. Nilai-nilai kemanusiaan telah digantikan oleh kepentingan sesaat, seperti sains, ekonomi politik dan kepentingan subyektif-individualistik. Sebagai bentuk kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, di Asia dan Eropa, sudah tumbuh gerakan sosial berbasis spiritualitas yang langsung menanggapi dampak globalisasi.  Berdasarkan asas spiritualitas, gerakan ini dapat digolongkan menjadi tiga macam: Pertama, gerakan sosial berbasis satu agama.
Sebagaimana ditunjukkan organisasi Katholik Austria, yang menangani soal perubahan pola penggunaan waktu akibat globalisasi, dan Perancis dengan organisasi Katholik yang menyantuni pendatang; Kedua, gerakan sosial berbasis multi agama. Contohnya sebagaimana dilakukan di Indonesia oleh ICRP (Indonesian Conference of Religion for Peace), yang menangani masalah kekerasan atas perempuan; Ketiga, gerakan sosial berbasis spiritualitas alternatif yang dilakukan di luar agama-agama yang sudah mapan. Contoh-contohnya dapat dilihat di Finlandia tumbuh gerakan eko-spiritual, eko-feminis di Jepang  dan Filipina tumbuh gerakan sosial berbasis spiritualitas asli/lokal.
Apabila jaringan yang sudah mulai terbentuk dapat dipelihara dan dikembangkan, baik dalam bentuk lokakarya maupun penelitian-aksi bersama, maka agama akan menampakkan wujudnya sebagai sesuatu yang maha penting bagi pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan, yang sebenarnya bersifat universal. Semua yang dilakukan, baik di dunia maupun di akhirat, hukum dunia dan hukum Tuhan, esnsinya adalah semata-mata bertujuan untuk kemashlahatan manusia.  Islamic public law perlu dikaji terus menerus, karena teks agama tidak perlu diikuti secara literal dan menghindari sedini mungkin pelaksanaan hukum Islam dari kesan counter-productive, karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan tuntutan alam dan perkembangan zaman.  

E.       Konklusi
Humanisme yang berkembang saat ini dapat di pandang sebagai bentuk gerakan lintas budaya dan universal, dalam arti berbagai sikap dan perilaku etis setiap bentuk tindakan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya, bertujuan membentengi martabat kemanusiaan manusia itu sendiri.
Kejahatan dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan, merupakan bentuk penodaan kesucian Tuhan,  agama  dan para pemeluknya. Sikap marah atau kejam atas nama agama (Tuhan) menurut penulis sangat menjijikkan, justru penghinaan terhadap Tuhan.  Nilai-nilai etis sebagai standar moral bagi bangunan masyarakat humanis yang religius saat ini telah terkikis oleh krisis spiritual manusia. Agama seakan- akan tidak lagi dapat berperan menyelesaikan problem kehidupan, bahkan kini dianggap telah menjadi sumber kekerasan dan petaka yang semakin mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu perlu perhatian serius dari insan beragama dalam menata ulang kehidupan yang harmonis dan seimbang sesuai dengan tatanan universal alam semesta yang membawa rahmat bagi seluruh isi di dalamnya.
  Aktualisasi humanisme religius menuju humanisme spiritual merupakan salah satu model yang baik dan pantas ditawarkan bagi upaya menyikapi tantangan global dengan mencoba menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang hilang. Humanisme religius tidak memisahkan dunia ke dalam bidang yang berbeda dan mampu melihat akal atau rasionalitas dan pengalaman mistis spiritualis terpancar dari sumber yang sama. Oleh karena itu, perlu menata kembali nilai kebersamaan yang humanis, karena ungkapan tersebut mengandung banyak nilai yang berharga. Sikap humanis-religius, yakni sikap yang mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan dan nilai-nilai religi (agama). Humanisme religius mengajarkan kepada manusia untuk berlaku adil antar sesama dan hidup damai di tengah kancah perbedaan.
      


DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah. Humanisme Religius versus Humanisme Sekular, Menuju Humanisme Spiritual, dalam Islam dan Humanisme, Aktualisasi Humanisme Islam Di Tengah Krisis Humanisme Universal, (ed. Terj.) Dedi M. Siddiq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.  
Calvin, dalam John Hick. Satu Tuhan Banyak Nama. Jakarta: Gramedia Utama, 2001.  
Corliss Lamont. The Philosophy of Humanism. New York: Humanist Press, 1997. 
F. B. Hardiman. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 1992. 
Franzs Magnis Suseno. Islam dan Humanisme, Aktualisasi Humanisme Islam Di Tengah Krisis Humanisme Spiritual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. 
Frithjof Schuon. The Trancendent Unity of Religions. New York: Evanston, 1975. 
George Makdisi. The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West: With Special Reference to Scholasticism, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990.  
Haidar Nashir, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. 
Hasan Hanafi dkk.,  Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan. Jakarta, 2007 
H. M. Rasyidi, Filsafat Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.  
Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. 
Immanual Kant, Kritik der Reinen Vernunft, Terj. Norman K. Smith, Critiqui of Pure Reason, New York: St. Martin’s Press, 1986.   
John Avery, Menuju Humanisme Spiritual, Konstribusi Perspektif Muslim Humanis, Terj. Arif Hutoro, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. 
Lee C. Deighton, The Ensiclopedia of Education, Macmillan: The Macmillan Company and Free Press, 1971. 
Lenn Evan Goodman. Islamic Humanism, New York: Oxford University Press, 2003. 
Marchel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, Terj. H.M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. 
Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, Yogyakarta: LESFI, 2002. 
Oliver, ”Humanism Islam Abad ke-4H/ke-10M” dalam Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (editor), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003. 
Paul F. Grendler. “Humanism: Ancient Learning, Criticism, Schools and Universities,” dalam Angelo Mazzocco: Interpretations of Renaissance Humanism. Leiden; Boston: Brill, 2006. 


[1] Luhmann, Niklas, Social Systems, Stanford University Press, Stanford, 1995, h. 213.

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...