A.
Pendahuluan
Jargon
humanisme lazim digunakan dalam pengertian tatanan nilai yang mengaksentuasikan
kompetensi kepribadian setiap individu manusia. Namun jargon ini tidak
mengandung keimanan kepada Tuhan. Kendati dalam humanisme terlihat
bingkai transparan yang berlandaskan paham ateisme, namun para humanis juga
menggunakan berbagai format religius untuk mempromosikan norma-norma
kemanusiaan. Contohnya, pada abad ke 19 Auguste Comte, seorang positivis
Perancis, sengaja mendirikan agama kemanusiaan yang berlandaskan ateisme hanya
dengan tujuan membenahi situasi sosial. Kecuali itu, serangkaian doktrin
humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat minat dari kalangan
elit agama.
Humanisme dipahami sebagai suatu ajaran yang tidak
menggantungkan diri pada doktrin-doktrin yang tidak memberikan kebebasan kepada
individu. Doktrin-doktrin yang bersifat otoritatif sangat bertentangan dengan
prinsip dasar humanisme religius, yang senantiasa memberikan kebebasan kepada
setiap individu dalam menentukan pilihan hidup, baik dalam beragama,
berpendapat maupun dalam menuntut haknya, tetapi nilai-nilai dasar kemanusiaan
dan hak-hak orang lain tetap diperhatikan.
Humanisme berasal dari
Barat dan mengalami perkembangan dalam lingkungan pemikiran filsafat
Barat. Karena itu, untuk mengkaji dan menganalisis gerakan humanisme
beserta pengaruhnya pada dasar-dasar epistemologi Barat sudah seharusnya kita
merujuk ke berbagai Ensiklopedia Barat yang akurat agar kajian bisa dilakukan
secara ilmiah dan bebas dari berbagai kecenderungan subyektif antara lain
Encyclopedia of Philoshopy karya Paul Edward yang menjelaskan tentang
humanisme sebagai berikut: Humanisme adalah sebuah gerakan filsafat dan
literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-14 kemudian
menjalar ke negara-negara Eropa lainnya. Gerakan ini menjadi salah satu
faktor munculnya peradaban baru. Humanisme adalah paham filsafat yang
menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai
kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat
manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek. Pada
arti awalnya, humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi aspek
fundamental bagi Renaisans, yaitu aspek yang di jadikan para pemikir
sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural dan di
dalam sejarah sekaligus meriset interpretasi manusia tentang ini. Istilah
humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari kata-kata humanitas yang
pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran masalah-masalah yang oleh
orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan. Pada
zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan sebagai seni-seni bebas, dan ketentuan
ini dipandang layak hanya untuk manusia karena manusia berbeda dengan semua
binatang.
Kaum humanis
bertekad untuk mengembalikan kepada manusia spirit yang pernah dimiliki manusia
pada era klasik dan kemudian musnah pada zaman pertengahan. Spirit itu
tak lain ialah spirit kebebasan yang telah menjustifikasi klaim-klaim mengenai
otonomi manusia dan yang telah merestui manusia untuk mencari kemampuan membuat
alam natural dan sejarah sebagai wilayah kekuasaannya serta menguasainya tatkala
manusia melihat dirinya dibuat tak berdaya oleh faktor alam dan
sejarah. Humanisme yang kembali kepada era klasik bukan berarti
mereformasi era klasik, melainkan bertujuan menghidupkan dan mengembangkan
potensi dan kemampuan yang pernah dimiliki dan dikerahkan oleh orang-orang
terdahulu. Di saat yang sama, kaum humanis telah melenyapkan sebagian
kepercayaan dan keyakinan masyarakat abad pertengahan. Faktor yang menstimulasi
kaum humanis menaruh perhatian kepada kesusasteraan klasik (syair, makna-makna
ekspresif, moral, dan politik) ialah keyakinan mereka bahwa kesusasteraan ini
sanggup mendidik manusia agar bisa memanfaatkan kebebasan dan ikhtiarnya secara
efektif.
Kalangan
humanisme meyakini bahwa manusia memiliki sifat dasar yang telah dianugerahkan
Tuhan untuk mengembangkan segala potensinya. Dalam diri manusia terdapat dua
naluri, naluri alamiah dan naluri ketuhanan. Keduanya saling mengisi dan tidak
bertentangan, meskipun mengandung kontradiksi, dan kadangkala manusia bertindak
menentang dan berlawan dengan sunnatullah yang mengandung keseimbangan di
dalamnya.
Walaupun Humanisme kerap
disejajarkan dengan ateisme, sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu
sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki
cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar humanisme ateistis. Misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme
kultural, humanisme eksistensial-teistis dan sebagainya yang memaknai pentingnya
kemanusiaan dan kehidupannya tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan.
Kiranya justru kalangan-kalangan agamalah yang paling serung memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan
terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan
wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat menerjang
batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian terhadap
otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-abad. Humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu
berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya
pada ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak
menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.
Semua humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya
intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di
dalam dunianya. Upaya ini dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti
yang terjadi dalam humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada
aspek-aspek adikodrati manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk
lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih
tegas, yaitu mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang
berujung pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana
banyak dijumpai pada para fisiokrat, the
deists, dan kaum materialis di abad ke-18.
Dalam upayanya untuk merebut manusia dari
tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi
yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran
manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis. Selanjutnya pertanyaan adalah bagaimana kita melihat Agama
dan Humanisme: Persoalan Agama Hari ini, Bahaya, Tantangan dan Prospeknya?
B.
Agama dan Humanisme
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, humanisme berasal dari Barat. Kebebasan merupakan tema
pokok humanisme. Humanisme modern yang mengambil sikap kritis
terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara
dan agama itu mekar seiring dengan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
modern. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional mereka terhadap manusia
yang tidak terburu-buru melakukan ‘hubungan singkat’ dengan otoritas wahyu
illahi, melainkan lebih dahulu lewat penelitian yang cermat atas ciri
keduniawian dan alamiah manusia. Kebudayaan tampil ke depan menggeser agama.
Manusia terutama dimengerti dari
kemampuan-kemampuan alamiahnya, seperti minat intelektualnya, pembentukan
karakternya, apresiasi estetisnya. Perhatian lalu diumpahkan pada toleransi,
vitalitas jiwa, keelokan raga, persahabatan dst. Semua itu dicakup dalam kata humanus. Upaya seperti itu dimulai
dengan pendamaian antara filsafat (khususnya Aristoteles dan Plato) dan Kitab
Suci, kesusastraan Yunani kuno dan ajaran-ajaran wahyu, sebagaimana dapat kita
temukan pada Giovanni Pico della Mirandolla (1463-94) atau kadang juga dengan
mendukung sistem heliosentrisme yang ditentang otoritas religius waktu itu,
sebagaimana dilakukan oleh Giordano Bruno (1548-1600) yang lalu dikejar-kejar sebagai
bid’ah dan dibakar di Roma. Gerakan humanis ini mulai
di Italia, lalu merambat dengan cepat ke Jerman, Prancis, Belanda, dst.
Kendati dalam humanisme terlihat bingkai transparan
yang berlandaskan paham ateisme, namun para humanis juga menggunakan berbagai
format religius untuk mempromosikan norma-norma kemanusiaan. Serangkaian
doktrin humanistik yang berasaskan ateisme juga terlihat mendapat minat dari
kalangan elit agama Kriten sehingga mereka menganggap kekristenan sebagai agama
humanistik. Carl Barth, teolog Protestan abad ke 20 berkebangsaan Swiss,
meyakini humanisme tidak akan ada tanpa Injil. Para teolog Katolik Roma
juga mengklaim bahwa Kristen Katolik adalah agama humanis sebab Katolik
menegaskan bahwa manusia di mata Tuhan adalah makhluk yang tiada bandingannya.
Kendati memiliki pandangan sedemikian rupa mengenai
asketisisme dan ketuhanan, humanisme tidak memiliki tokoh yang anti agama atau
anti Kristen. Kecenderungan untuk membela nilai dan kebebasan manusia
telah mendorong kaum humanis untuk berdiskusi mengenai Tuhan, kekuatan-Nya,
serta masalah-masalah kontemporer mengenai ruh, keabadian ruh, dan kebebasan
ruh yang biasanya tetap dikemukakan dengan tipe-tipe tradisional abad-abad
pertengahan dan terlimitasi oleh paradigma masa itu. Betapa pun demikian,
dalam humanisme pembahasan-pembahasan ini menemukan makna baru, sebab menurut
mereka pemahaman dan keyakinan adalah demi daya inovatif manusia di dunia, dan
daya ini juga mereka pertahankan di dalam areal keagamaan.
Gianozzo Manetti dalam buku Tokoh-Tokoh Besar
Humanisme (De Dignitate et Excelentia Hominis) menyebutkan bahwa
kitab-kitab suci bukan hanya merupakan satu statemen untuk kebahagiaan
transendental, melainkan juga untuk kebahagiaan di muka bumi. Menurut
Manetti, agama ialah kepercayaan kepada nilai perbuatan manusia yang akan
mendapat pahala di dalam kehidupan akhirat kelak. Sebagaimana Lorenzo
Valla dan kebanyakan tokoh lainnya, Manetti berpandangan bahwa tugas
fundamental agama ialah menyokong manusia dalam kehidupan hukum dan aktivitas
politik.
Walaupun tidak memberikan penekanan terhadap
keimanan kepada Tuhan, kaum humanis tetap memandang harus konsisten kepada
doktrin-doktrin keagamaan, kendati agama itu ternyata berlandaskan ateisme dan
dicetuskan oleh seorang manusia semisal Auguste Comte. Sebab mereka
meyakini tatanan sosial akan porak poranda tanpa adanya komitmen kepada
serangkaian prinsip agama, baik yang berdasarkan monoteisme maupun
ateisme. Karena itu, di sini kaum humanis bisa diklasifikasikan menjadi
dua kelompok: penyembah Tuhan dan ateis. Namun, perlu disebutkan bahwa
dalam pandangan kaum humanis penyembah Tuhan-pun, yang menjadi orientasi ialah
nilai dan kebebasan manusia, sedangkan pengenalan Tuhan beserta kekuatan-Nya
hanya dipandang sebagai instrumen, dan bahwa komitmen kepada ajaran dan
instruksi-instruksi agama hanya merupakan instrumen dengan peranannya
yang superfisial.
C. Humanisme dan Persoalan Agama Hari ini: Bahaya dan
Tantangannya
Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme,
sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak
seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam
daripada sekedar humanisme ateistis. Di sini dapat didaftar, misalnya,
humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme
eksistensial-teistis dst. yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya
di dunia-sini tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru kalangan-kalangan agamalah yang paling getol
memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan
terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan
wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat menerjang
batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian terhadap
otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-abad. Jika kita
mengikuti ulasan di atas, akan jelas bahwa humanisme yang mereproduksi
kecurigaan terhadap agama itu berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada
gilirannya menyempitkan pengertiannya pada ateisme dan sekularisme. Sudah
barang tentu sikap saling curiga itu tidak menolong dan bahkan merugikan
kemanusiaan itu sendiri.
Semua
humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk
memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya. Upaya ini
dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam
humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati
manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari dogmatisme
agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih tegas, yaitu
mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung pada
penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai
pada para fisiokrat, the deists, dan
kaum materialis di abad ke-18. Dalam upayanya untuk merebut manusia dari
tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi
yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran
manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis yang baru saja kita
bahas. Pertanyaan kita di atas harus kita jawab sekarang: Apakah kontribusi
humanisme ateistis bagi pemahaman tentang manusia dan kemanusiaannya?
Sejauh
kita mengambil segi positifnya, radikalisasi ‘moral rasional’ adalah sumbangan
pertama kaum humanis ateistis. Moral rasional adalah moral yang tidak
diturunkan dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Moral
yang imanen pada kemanusiaan kita ini menjadi proyek lama sejak Kant dan the deists di abad ke-18. Para humanis
Pencerahan ini masih menerima eksistensi Tuhan, meskipun perananNya sangat
minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Bisa
dikatakan bahwa humanisme ateistis membawa moral rasional itu sampai ke tepian
akhir imanensi manusia untuk menemukan prinsip-prinsip kebaikan yang murni
manusiawi tanpa transendensi. Moral rasional seperti ini dapat memberi platform bersama suatu masyarakat yang
ditandai oleh persaingan berbagai doktrin religius. Moral rasional itu tidak
dikhususkan pada iman religius tertentu, maka membantu toleransi di dalam
masyarakat modern yang semakin kompleks.
Sumbangan
kedua humanisme ateistis adalah kritik agama itu sendiri sebagai suatu
pendekatan rasional untuk memurnikan iman religius. Ateisme adalah satu
hal, tetapi kritik agama adalah hal lain. Orang yang percaya pada Tuhan dapat
memanfaatkan kritik agama tanpa harus mengambil sikap ateistis. Kritik agama
membantunya untuk memeriksanya untuk mengambil jarak kritis terhadap
penghayatannya. Sebagai pandangan dunia total, agama mengklaim kebenaran
absolutnya sehingga tak seorangpun berani mempersoalkannya. Akalpun dikebiri demi iman yang buta yang pada gilirannya
menginduk pada otoritas yang disakralkan. Keadaan itu tidak bisa disebut
manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Bagaikan bubuk mesiu
yang meletus dan mengganggu telinga, kritik agama menggugah orang beragama
untuk – meminjam istilah Kant – “terjaga dari tidur dogmatis”nya.
Betapapun sucinya, agama melibatkan banyak hal
yang bersifat manusiawi dan duniawi, seperti: imajinasi sosial manusia,
kepentingan kelasnya, sistem pengetahuannya, tradisi kulturalnya. Dengan hanya
percaya saja, yaitu tanpa juga berpikir, gambaran tentang Tuhan lama kelamaan
dipercaya sebagai Tuhan itu sendiri, padahal gambaran tentangNya dibangun oleh
sejarah, kekuasaan dan kebudayaan manusia. Feuerbach, Marx, Comte, Nietzsche
dan Sartre benar bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran telah mengasingkan
manusia dan memasung kebebasannya. Mereka menyebut itu “Tuhan”, tetapi kita
menyebutnya dengan lebih tepat, yaitu: gambaran tentang Tuhan. Jika yang dipersoalkan
adalah gambaran Tuhan, kritik agama mereka akan sangat menolong umat beragama
untuk membersihkan imannya dari delusi-delusi. Dalam arti ini humanisme
ateistis justru dapat menjadi jalan untuk mengakui transendensi dan kemutlakan
Tuhan yang berada di luar gambaran-gambaran kita. Bukan Tuhan, melainkan
gambaran Tuhan yang kelirulah yang sesungguhnya telah mereka bunuh. Jika
berhala-berhala pikiran disembah sebagai theos,
untuk menjadi seorang teis sejati, diperlukan sikap ateis, yakni menolak
meyakini theos palsu itu.
Berkembangnya
ilmu-ilmu empiris yang meneliti agama kiranya merupakan sumbangan ketiga yang
bersifat pragmatis dari humanisme ateistis. Jauh sebelum munculnya para ateis
itu, apa yang disebut ilmu agama tidak kurang daripada suatu teologi yang
menjelaskan, membenarkan dan membela iman sendiri. Dewasa ini dunia ilmu dan
pendidikan tinggi telah memiliki dan mengembangkan berbagai ilmu empiris dan
percabangan mereka, seperti psikologi agama, sosiologi agama, antropologi
agama, sejarah agama-agama dst. yang memperlakukan gejala-gejala agama, seperti
mistik, trance, bahasa roh,
penyembuhan lewat iman, kemartiran dst. sebagai gejala-gejala manusiawi yang
dijelaskan secara rasional dan empiris. Humanisme ateistis banyak mendorong
peralihan sudut pandang dari ‘perspektif penghayat’ ke ‘perspektif pengamat’
yang banyak membantu mengembangkan etos riset ilmiah tentang agama yang hari
ini dimiliki dunia ilmu. Bersama dengan moral rasional dan kritik agama,
ilmu-ilmu empiris tentang agama banyak membantu umat beragama sendiri dalam
menghayati imannya secara dewasa tanpa mengesampingkan peranan akal. Ini
terjadi dalam banyak studi baik di kalangan Katholik maupun Protestan di Barat
untuk merekonstruksi suatu teologi yang sesuai dengan kompleksitas dunia modern
kita dan karenanya juga menolong penghayatan iman yang lebih transformatif dan
toleran.
Pandangan hidup Barat meletakkan falsafah humanisme,
rasionalisme, sekularisme sebagai asas peradaban mereka. Secara rinci prinsip-prinsip
dasar teori humanisme sebagai berikut:
1.
Manusia adalah
standar dan kriteria segala sesuatu.
2.
Penekanan
terhadap pentingnya kembali ke peradaban klasik untuk menghidupkan kembali dan mengembangkan potensi serta
kekuatan yang diyakini dahulu.
3.
Penekanan secara
berlebihan kepada kebebasan dan ikhtiar manusia.
4.
Pengingkaran
terhadap status para rohaniawan sebagai perantara antara Tuhan dan
manusia.
5.
Manusia adalah
sentral alam semesta.
6.
Penolakan
sistem-sistem tertutup, filsafat, keyakinan-keyakinan agama, serta argumentasi
abstrak tentang nilai-nilai kemanusiaan.
7.
Penolakan
terhadap praktik-praktik asketisme, dan memusatkan perhatian pada faktor jasmani
dan kenikmatan fisik.
8.
Akal manusia
adalah pimpinan manusia, status agama sebagai komando harus ditiadakan.
9.
Kenikmatan-kenikmatan
jasmani adalah tujuan final segala aktivitas manusia.
10. Dunia
politik harus diceraikan dari segala pandangan metafisik atau agama, dan manusia adalah aktor yang memiliki wewenang mutlak
dalam dunia politik.
11. Aktualisasi
diri, pemeliharaan diri dan peningkatan diri mesti dipelajari individu.
12. Manusia
adalah pencipta lingkungannya dan bukanlah hasil lingkungan- nya.
13. Manusia
harus terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya.
14. Kelayakan
kepribadian setiap individu bisa terbentuk tanpa keimanan kepada Tuhan.
15. Keberadaan
agama dipandang sebagai faktor superfisial yang diperlukan demi popularitas
nilai-nilai kepribadian manusia dan perbaikan sosial.
16. Penekanan
terhadap persatuan antar segenap agama, baik agama yang berpangkal dari Nabi
Ibrahim maupun agama khurafat.
Pemujaan kepada
kebebasan adalah salah satu tema terpenting yang menjadi pusat perhatian kaum
humanis. Namun, kebebasan yang mereka maksud ialah kebebasan yang bisa
diterapkan di alam natural dan di tengah masyarakat. Kebebasan sedemikian
ini berseberangan dengan cara berpikir yang diterima pada abad pertengahan,
yaitu anggapan bahwa imperium, gereja, dan prinsip-prinsip feodalistik adalah
para pengawas tatanan yang berlaku di dunia, dan manusia harus tunduk mutlak
kepadanya. Sedemikian diterimanya anggapan ini sehingga tertutup
kemungkinan terjadinya perubahan padanya. Institusi-institusi inilah yang
menanamkan doktrin bahwa segala urusan, baik yang menyangkut materi maupun
spiritual yang diperlukan manusia mulai roti yang menjadi bahan makanan
sehari-hari hingga masalah hakikat spiritualitas berada dalam tatanan dimana
manusia bergantung kepadanya, sementara para pemuka agama adalah para penafsir
dan pengawasan tatanan yang menguasai dunia tersebut.
Humanisme
membela kebebasan manusia untuk merancang sendiri kehidupannya di dunia dengan
cara yang merdeka. Humanisme memandang instruksi-instruksi tradisional
para pemuka agama bukan sebagai perintah yang akan membantu berbagai urusan
yang mesti dilaksanakan, melainkan sebagai kendala dan rintangan bagi manusia.
Terlihat bahwa
gerakan humanisme adalah merupakan solusi untuk menghadapi intimidasi dan
despotisme para pemuka gereja abad pertengahan. Humanisme bertekad untuk
mengembalikan kepada manusia hak kebebasan yang telah dinistakan secara total
oleh para elit agama di gereja. Pada awal kebangkitannya, kaum
humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang yang mengaku sebagai
perantara yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, langit dengan bumi, namun di
saat yang sama mereka selalu mempraktikkan ketidakadilan. Kaum humanis
memperjuangkan otoritasnya untuk mengurus kehidupannya sendiri, dan karena itu
mereka akhirnya memberikan penekanan secara ekstrim kepada otonomi dan haknya
untuk menguasai diri mereka sendiri.
Gianozo Manetti
(1348-1459 ), Marsilo Ficino (1433-99M), dan Pico Della Mirandola dalam
menganalisis kebebasan telah menjunjung tinggi otoritas manusia untuk
membentuk, mengubah, dan memperbaiki dunia. Pico juga telah
mengekspresikan ‘keimanannya’ kepada manusia dengan kalimat-kalimatnya yang
masyhur. Kalimat-kalimat itu dia lukiskan sebagai kalimat yang
diungkapkan tuhan kepada manusia sebagai berikut: “Wahai manusia, aku tidak
mentakdirkan kalian dengan suatu martabat, atau citra, atau keistimewaan
tertentu, sebab kalian sendirilah yang harus mendapatkan semua ini melalui
keputusan dan ikhtiar kalian. Apa yang tercakup di dalam undang-undang
yang aku tentukan adalah batasan-batasan yang ada pada watak makhluk-makhluk
lain. Adapun kalian, kalian sendirilah yang menentukan nasib kalian,
tanpa ada tekanan monopolistik dalam bentuk apapun, dengan kekuatan
ikhtiar yang telah aku anugerahkan kepada kalian. Aku menempatkankan
kalian di dalam posisi sentral dunia sehingga dari titik ini kalian
bisa melihat dengan lebih baik apa yang ada di dunia ini. Aku tidak
menciptakan kalian sebagai makhluk yang melangit atau yang membumi, yang fana
atau yang baka, sebab kalian bisa seperti seorang guru yang absolut dan bisa
mencetak dirinya sendiri sesuai bentuk yang dipilihnya.”
Masalah inilah
yang pada tahun-tahun berikutnya dibahas oleh Charles Bouille (sekitar
1475-1553), seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De
Sapiente. Dalam buku ini dia mensejajarkan manusia yang cerdas dengan
Phyromitos. Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada manusia
agar bisa menyempurnakan tabiatnya. Dengan penelitian-penelitian teoritis
yang efektif, dan dengan keyakinannya yang ekstrim, Bouille mengupas soal
kelayakan dan kapabilitas manusia untuk membentuk kehidupannya sendiri di
dunia. Keyakinan inipun menjadi semakin tajam dengan kemajuan-kemajuan
skeptisisme yang dicapai humanisme di luar Italia pada abad setelahnya.
Para penganut skeptisisme saat itu ialah Michael de Montaiyne (1533-79), Pierre
Charron (1541-1603), dan Francisco Sanchez. Alhasil, keyakinan yang
berlebihan kepada kelayakan manusia untuk membentuk kehidupannya sendiri di
dunia telah menjadi dasar keyakinan baru humanisme dalam menghadapi paradigma
yang berlaku pada abad pertengahan.
Pandangan ini tidak menyebut-nyebut
soal peranan dan kekuasaan Tuhan dalam takdir manusia, yakni manusia yang sudah
ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang memiliki kekuatan dan
ikhtiar. Bahkan, menurut Bouille yang termasuk salah seorang pemikir
humanis, manusia sepenuhnya sejajar dengan Phyromitos yang telah menciptakan
manusia beserta akalnya yang sepenuhnya sejajar dengan akal Phyromitos.
Di lain sisi, pandangan ini ternyata malah tidak memberikan peluang untuk
mendukung nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang disebutkan di dalam
Encyclopedia Britanica saat menjelaskan tentang humanisme sebagai berikut:
Pemikiran humanistik yang berasal dari para penganut nilai-nilai kemanusiaan
telah menghindari metode-metode tetap filsafat, prinsip-prinsip dan keyakinan
agama, dan argumentasi-argumentasi ekstraktif mengenai nilai-nilai kemanusiaan.
Pandangan-pandangan religius
humanisme sarat dengan spirit toleransi. Istilah toleransi menjadi
popular akibat pengaruh peperangan bermotifkan agama pada abad-abad ke 16 dan
17. Tolerensi membawa pengertian mengenai kemungkinan hidup rukun antar
penganut berbagai agama, yaitu agama-agama yang tetap berbeda satu dengan yang
lain dan tak mungkin diubah menjadi satu keyakinan. Oleh sebab itu, para
humanis memastikan spirit persaudaraan sebagai satu pandangan kolektif yang
prinsipal dalam semua keimanan agama dan memungkinankan terwujudnya perdamaian
agama secara universal.
Di satu sisi, menurut kaum humanis,
ketentraman hidup beragama juga bersentuhan dengan persatuan yang urgen di
dalam filsafat dan agama. Leonardo Bruni melontarkan pernyataan apakah
Saint Paul telah mengajarkan sesuatu yang lebih dari ajaran-ajaran Plato?
Berdasarkan pandangan para bapa gereja –dimana para humanis juga turut
memberikan kontribusi dalam pandangan ini- , Kristen juga dengan mudah
menerapkan rasionalisme yang diajarkan oleh filsafat kuno, sebab akal yang
didukung oleh filsafat ini adalah akal yang termanifestasi di dalam kalimat
Allah.
Dari sisi lain, Pico Della
Mirandola yang paling banyak mendapat inspirasi dari teori toleransi telah
menjadi tokoh pembawa pesan baru perdamaian yang mengundang perhatian segenap
agama dan filsafat dunia. Pidato tentang martabat manusia (Oration
on Dignity of Man) yang awalnya disebut lagu perdamaian mengajukan
proposal untuk merancang dasar perdamaian secara universal dengan
memperlihatkan kesingkrunan antara pikiran platonisme dan paham
aristoteles. Pico bahkan menggagas kompromisasi dua paham ini dengan
aliran-aliran filsafat lain, cabala (ajaran mistik Yudaisme), magis,
kependetaan (pateristic),dan skolastik. Gagasan penyesuaian filsafat
dengan kekristenan dan wahyu keagamaan berkaitan dengan Pico Mirandolla.
Sebagaimana Pico, tak sedikit kaum humanis yang meyakini pluralitas ideologi
sedemikian ini berasal dari satu sumber dan satu ilham yang pertama, dan semua
ini berjalan dalam satu jalur yang unilateral. Kembali kepada
akar-akarnya adalah kembali kepada perdamaian religius para nenek moyang
manusia dan merupakan penuntasan sentimen dan fanatisme agama.
Dalam toleransi humanistik, segenap
pemeluk ideologi diseru kepada persatuan ideologis, baik ideoligi filsafat
maupun agama, termasuk agama-agama monoteis, idolatris, dan khurafat.
Dengan demikian, demi persatuan toleransi ini sama sekali tidak mempertimbangkan
apa yang menjadi titik perbedaan, dan tidak ada satupun prinsip yang konstan
yang bisa dijadikan orientasi perdamaian antar ideologi dan agama. Paham
semacam ini jelas absurd dan bersifat artifisial.
Di sisi lain, kebebasan yang
diperjuangkan bukanlah kebebasan yang absolut atau antitesis abad pertengahan.
Kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi,
sehingga dapat hidup dan berkembang dalam berbagai dimensi. Semangat menjunjung
tinggi nilai dan martabat kemanusiaan, disertai dengan kesadaran bahwa mereka
tidak mungkin menolak keluhuran dan kekuasaan Tuhan, merupakan unsur
fundamental tegaknya humanisme religius dalam Islam. Banyak kajian yang telah dilakukan para ahli
tentang konsep humanisme, termasuk humanisme dalam Islam. Pada umumnya kajian
tersebut berbicara tentang historisitas munculnya, perkembangan dan
karakteristik konsep humanisme, baik di Timur maupun di Barat. Titik tekannya
lebih kepada dimensi teoritis dan kurang menyentuh dimensi praktisnya, konon
lagi berbicara tentang humanisme dalam kaitannya dengan sikap dan kesadaran
keagamaan.
Awal kebangkitan humanisme diwarnai
oleh gagasan tentang kebebasan manusia sebagai individu untuk menentukan
nasibnya sendiri, yang dikemukakan oleh Eramus. Gagasan yang tampak dari luar
meanstrem ini kemudian banyak dikritik oleh para teolog di kalangan Kristen sendiri,
termasuk Martin Luther sebagai tokoh pembaharu Kristen. Ia mengkritik keras
gagasan Eramus yang menurutnya telah mereduksi Jesus Christus sekedar menjadi
model perilaku ideal yang memiliki ketinggian etik.
D.
Kritik-Kritik Terhadap Humanisme
Humanisme sebagai suatu proyek peradaban memiliki karir yang tidak
diduga oleh para perintisnya karena ia menjadi eksklusivistis dalam
kolonialisme dan totalitarianisme. Kemanusiaan disempitkan pada peradaban
tertentu, ras tertentu atau kelas sosial tertentu, sehingga manusia konkret
ditindas dengan pembenaran-pembenaran antroposentris. Manusia konkret
diremehkan dan digilas oleh kekuatan-kekuatan asing yang bernama peradaban,
ideologi atau teror yang semua itu hanya mungkin tumbuh dalam antroposentrisme
yang diajarkan humanisme. Dengan kolonialisme dan totalitarianisme itu, dewasa
ini muncul sikap skeptis yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap
humanisme modern. Kita sedang menapaki suatu era yang dapat kita sebut
‘pasca-humanisme’. Kita memang menikmati hasil-hasil positif gerakan humanisme
seperti telah saya sebut pada permulaan kuliah ini. Ketika berbicara tentang
hak-hak asasi manusia, misalnya, mau tidak mau mengandaikan banyak hal yang
merupakan prestasi gerakan humanisme modern, seperti penghargaan terhadap
kebebasan, rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pada saat
yang sama kita tahu bahwa konsep kemanusiaan universal dan ciri keduniawian
yang dibawanya mengandung bahaya yang sama besarnya dengan konsep Tuhan dari
agama manapun, jika konsep-konsep itu dimengerti secara eksklusivistis dengan
menyingkirkan manusia konkret dalam segala keberlainan kultural, ras, jender
maupun kelasnya. Dilema dalam humanisme itu mendesak kita untuk
menimbang ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam humanisme. Kita akan masuk
dalam kritik-kritik atas humanisme dan kemudian memberikan pendirian kita
sendiri.
Di dalam sebuah tulisannya, Geheimnis
der Sprache Johann Peter Hebels (Rahasia Bahasa Johann Peter Hebel), filsuf
besar abad ke-20, Martin Heidegger, menulis – saya kutip aslinya – “Eigentlich spricht die Sprache, nicht der
Mensch. Der Mensch spricht erst, insofern er jeweils der Sprache ent-spricht.”
(sesungguhnya bahasa berbicara, bukan manusia. Manusia berbicara baru sejauh ia
selalu sesuai dengan bahasa). Manusia memang berbicara, yaitu menuturkan
bahasa, tetapi bahasa harus didengarkan lebih dahulu, baru kemudian ia bisa
berbicara. Yang didengarkan itu tak lain daripada bahasa yang meneguhkan
hakikatnya. Bahasa primordial yang membuat manusia menjadi manusia itu adalah
bahasa ibu, bahasa yang dituturkan dalam sebuah komunitas konkret. Jika
demikian, manusia dan kemanusiaan ditemukan atau – lebih tepat – dibuat lewat
percakapan, yaitu yang dituturkan oleh suatu kelompok. Dengan mengucapkannya
lagi dan lagi, manusia dan kemanusiaan menjadi semakin nyata. Dalam arti ini
kita boleh mengatakan bahwa manusia belum ada sebelum Renaisans karena ia belum
menjadi tema tuturan sebagaimana terjadi dalam filsafat dan ilmu-ilmu
kemanusiaan modern.
Pandangan Heidegger
itu ikut menandai linguistic turn di
dalam filsafat abad ke-20 yang melihat humanisme sebagai perkara diskursus yang
tidak hanya dituturkan dalam sebuah forum, melainkan menjadi pusat tuturan dan
pengetahuan suatu zaman, yaitu modernitas. Sejak awal tadi kita terlibat dengan
kata-kata abstrak “manusia” dan “kemanusiaan” yang menjadi pokok persoalan
dalam humanisme. Kata-kata yang terus dituturkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan itu
memiliki asal-usul metafisis sekaligus juga mendasari suatu metafisika. ‘Kemanusiaan’
adalah sebuah diskursus tentang ‘hakikat’ yang dapat kita sebut “metafisika
kemanusiaan”. Dalam metafisika kemanusiaan itu menurut Heidegger humanisme
melupakan hubungan ‘hakikat’ itu dengan ‘Ada’ (Sein).
Hakikat tidak sama dengan
‘Ada’, melainkan bagaimana ‘Ada’ menyingkapkan dirinya akan juga menentukan
bagaimana ‘hakikat’ itu ditangkap. Humanisme merupakan bagian dari sejarah
pemahaman tentang ‘Ada’ yang menjelaskan ‘hakikat’ sebagai sesuatu yang
permanen, tertata rasional dan universal seperti alam semesta yang ditemukan
oleh Newton.
Para kritikus humanisme di abad ke-20 ingin membebaskan manusia dari
metafisika kemanusiaan yang memahami Manusia sebagai pusat kenyataan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa perkembangan baru dalam sains kontemporer yang banyak
mempersoalkan pandangan dunia Newtonian ikut mempengaruhi skeptisisme terhadap
metafisika kemanusiaan itu. Dalam mekanika kuantum dan teori relativitas,
misalnya, gambaran dunia yang deterministis dibantah dengan indeterminisme.
Kenyataan alamiah itu sendiri, partikel, bukanlah suatu substansi seperti yang
dicari dalam metafisika, melainkan suatu gerak yang selalu berubah. Bagaimana
konstruksi teoretis tentang obyek alamiah itu juga menentukan bagaimana obyek
itu menampakkan diri. Jika demikian, antroposentrisme selama berabad-abad juga
dapat dilihat sebagai suatu konstruksi metafisis yang membuat kita secara
intelektual terobsesi untuk mengunggulkan universalitas kemanusiaan, dan itu
dilakukan dengan meminggirkan kebudayaan, agama, jender, dst. Metafisika
kemanusiaan yang mendasari humanisme modern lalu ditantang sekurangnya dari
tiga arah yang sejak awal dibangun oleh humanisme, yaitu metafisika, kebudayaan
dan masyarakat. Masing-masing diwakili oleh Jacques Derrida, Richard Rorty,
Niklas Luhmann.
Derrida belajar banyak dari Heidegger untuk melepaskan manusia dari
metafisika kemanusiaan. Filsuf Prancis kontemporer ini memberi penjelasan yang
lebih rinci mengenai keadaan manusia setelah dilepaskan dari pusat kenyataan
dan menjadi ‘tetangga Ada’ itu (ingat ‘tetangga’ tidak menyiratkan suatu
hirarki makna, melainkan kesetaraan makna). Pertama-tama dia menghentikan
seluruh upaya untuk menemukan makna asli dari segala sesuatu yang menjadi
obsesi peradaban Barat sejak ada filsafat, yaitu menghentikan pencarian
‘hakikat’. Pencarian humanisme akan ‘kodrat’ manusia dengan demikian juga
dihentikan. Mengapa? Bukan hanya bahwa pencarian itu sia-sia, melainkan juga
bahwa upaya itu – dengan segala ketulusannya sekalipun – akan membangun suatu
rezim makna yang bersifat hirarkis yang akan meminggirkan hal-hal yang tidak
dapat dimasukkan ke dalam makna yang dianggap asli itu, kolonialisme dan
totalitarianisme yang kita bahas di atas? Bukankah dari oposisi antara asli dan
tak asli, hakiki dan tak hakiki, muncul marginalisasi, alienasi, represi dan
destruksi atas the other sebagai
‘yang tidak asli’ sebagaimana dilakukan tuan-tuan penjajah, komunis dan nazi?
Untuk menghentikan pencarian hakikat – dalam topik kita di sini
Manusia dengan huruf besar M dan melepaskan manusia dari pusat kenyataan - Derrida melakukan suatu hermeneutik
(penafsiran) radikal yang disebutnya ‘dekonstruksi’. Dekonstruksi bukanlah
destruksi, melainkan suspensi makna atau différance,
yaitu menunda untuk mengembalikan sesuatu pada makna aslinya. Kemanusiaan tidak
bisa dikembalikan pada satu titik primordial, misalnya, ‘kemanusiaan universal
versi humanisme’, karena titik primordial itu tidak ada. Jika tahta tempat
segala makna ditentukan itu kosong, tidak ada lagi meta-referensi yang menjadi
ukuran untuk menentukan sesuatu itu asli atau tidak. Makna lalu tidak lagi
diasalkan pada makna induk yang dianggap menduduki tahta itu, melainkan
dihasilkan dengan apa yang disebut ‘intertekstualitas’, yaitu
menghubung-hubungkan makna yang satu dengan makna yang lain secara
interpretatif. Melakukan dekonstruksi atas metafisika kemanusiaan lalu berarti
memahami manusia tidak dengan cara mengasalkannya dari suatu makna induk
tentang kemanusiaan, misalnya kemanusiaan yang dianggap telah ditemukan oleh
humanisme, melainkan dengan menghubung-hubungkan secara interpretatif pemahaman
yang satu dengan yang lain tentang manusia tanpa maksud untuk mencari dan
memulihkan hakikat universalnya. Dengan ungkapan lain, Manusia dengan huruf
besar M diganti dengan manusia-manusia dengan huruf kecil m yang berdiri
setara. Pertukaran M dengan m ini memiliki implikasi yang jauh: Kemanusiaan
universal versi humanisme didesentralisasikan dan dipluralisasikan. Untuk memahami
manusia kita tidak bisa lain kecuali menafsirkan berbagai pemahaman kultural tentang manusia dengan
mengandaikan kesetaraan mereka.
Bersama dengan
seluruh filsuf kontemporer yang melakukan linguistic
turn, seperti strukturalis dan pasca strukturalis, Rorty, seorang pragmatis
Amerika Serikat, memandang humanisme sebagai perkara kontigensi bahasa. Mengacu
pada Wittgenstein dan tradisi hermeneutik, dia menolak fungsi bahasa sebagai
deskripsi dunia, seolah-olah dunia ada di luar bahasa. Menurutnya bahasa
menciptakan dunia, dan sejarah tidak lain daripada perubahan semena-mena dari language game yang satu ke yang lain,
maka kenyataan juga berubah menurut perubahan language game itu. Setuju dengan Derrida yang menolak makna asli
atau hakikat, Rorty menolak adanya ‘kosakata akhir’ yang dapat dipakai sebagai
tolok ukur bagi kebenaran language games,
sebab tak seorangpun memiliki sudut pandang yang mengatasi sejarah, sebagaimana
dikira telah dimiliki oleh para humanis yang yakin telah melihat kemanusiaan
lebih hakiki daripada orang-orang lain. Kita berada di dalam language game dan mendunia di dalamnya,
maka bagaimana kemanusiaan dimengerti juga tergantung pada kontingensi bahasa.
Ilmu pengetahuan, seni, kebudayaan dan politik bagi Rorty bergerak dalam
horizon language games yang terus
berubah dalam sejarah.
Penolakan Rorty
terhadap kosakata akhir memiliki konsekuensi bahwa pandangan humanisme tentang
adanya ‘inti diri’ yang tetap dan universal, seperti kesadaran atau akalnya,
juga harus ditolak. Manusia bergerak atau – lebih tepat – ‘merangkak’ di dalam language games, maka kediriannya juga
dicetak oleh dan berubah sesuai berbagai pemakaian metafor yang silih berganti
dalam sejarah. Yang ditolak di sini adalah antroposentrisme Kant yang
menempatkan subyek sebagai kosakata akhir yang seolah berada di luar language games. “Pandangan Kant tentang
kesadaran”, begitu katanya,”membuat kedirian menjadi Tuhan”. Yang sebenarnya
terjadi menurut Rorty adalah bahwa penemuan akal sebagai hakikat manusia dalam
humanisme tidak lain daripada penemuan bahasa baru atau metafor baru yang juga
akan berubah lagi pada suatu ketika dengan ditemukannya metafor lain. Semua
argumentasi Rorty ini ditujukan untuk melepaskan manusia dari metafisika
kemanusiaan yang dianut oleh humanisme sehingga manusia tidak lagi berada di
pusat kenyataan.
Pertanyaan kita lalu: Untuk apakah decentring
of subject ini? Bagi Rorty hal itu bersangkutan dengan masalah pragmatis
yang sebenarnya mendasari humanisme modern, yaitu solidaritas sosial. Ia
berpendapat bahwa selama kita masih meyakini adanya ’inti diri’ atau Manusia
dengan huruf besar M itu, keyakinan itu justru akan menghalangi solidaritas
kita dengan orang-orang lain. Tuan-tuan penjajah, orang-orang nazi dan komunis
meyakini adanya ‘inti bersama’ kemanusiaan yang justru tidak mereka temukan
pada para korbannya. Jika mereka menganiaya orang-orang itu, mereka tidak
merasa telah menganiaya manusia. Konsep subyek seperti yang dianut Kant dan
humanisme menurut Rorty juga tidak banyak berguna untuk membangkitkan
solidaritas dengan para korban. Orang menolong para tetangga Yahudinya bukan
karena mereka adalah “makhluk rasional”, melainkan karena mereka sama-sama
penduduk Milano, anggota serikat buruh, bapak atau ibu dari anak-anak mereka
yang masih kecil dst.
Menurut Rorty untuk membangkitkan solidaritas kemanusiaan tidak perlu
dirumuskan secara metafisis, melainkan dialami
secara sentimental. Di sini Rorty melanjutkan hasil dekonstruksi Derrida atas
kemanusiaan. Jika hakikat universal manusia ditolak, memahami manusia harus
secara intertekstual, dan intertekstualitas secara konkret bagi Rorty berarti
sentimentalitas, yaitu suatu kemampuan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan
suku, agama, ras, adat dst. karena mampu melihat dan ikut merasakan
kesamaan-kesamaan dalam penderitaan dan pelecehan yang dialami orang lain.
Kemampuan sentimental inilah yang membuat orang-orang di seberang lautan juga
bisa “termasuk ke dalam kita”. Metafisika kemanusiaan harus dilampaui dengan kemanusiaan sentimental yang memperluas
horizon kemanusiaan lewat “rasa kekitaan”.
Salah seorang
kritikus di Jerman kontemporer yang menolak humanisme demi menyelamatkan
kemajemukan adalah Niklas Luhmann. Berbeda dari Derrida dan Rorty yang
melibatkan diri dengan hermeneutik makna, Luhmann bergerak dalam teori sistem.
Antroposentrisme yang disebutnya ‘teori-teori Eropa tua’ bercokol tidak hanya
dalam metafisika dan kebudayaan modern, melainkan juga dalam pandangan tentang
masyarakat yang sudah dianut sejak Aristoteles, melalui teori-teori kontrak
memuncak pada Hegel. Dalam pandangan kuno itu, masyarakat terdiri dari
manusia-manusia, dan manusia berada pada pusat masyarakat, yakni bahwa manusia
adalah asal dan tujuan masyarakat, maka masyarakat ada demi manusia. Luhmann
mengambil jarak terhadap pandangan itu. Jika Darwin dengan teori evolusinya
telah mengeluarkan manusia dari pusat alam semesta, dan Freud dengan
psikoanalisisnya telah mengeluarkan manusia dari pusat kesadaran, Luhmann
dengan teori sistemnya ingin mengeluarkan manusia dari pusat masyarakat.
Luhmann melontarkan
kritiknya atas humanisme dengan caranya yang khas, yaitu memahami manusia bukan
sebagai bagian masyarakat, melainkan sebagai bagian lingkungan masyarakat.
Dalam teori sistemnya termasyhur distingsi antara sistem (System) dan
lingkungan (Umwelt). Sistem selalu merupakan reduksi kompleksitas, maka
lingkungan selalu lebih kompleks daripada sistem. Masyarakat adalah suatu
sistem, sistem komunikasi. Kalau demikian,
manusia tidak berada di dalam masyarakat, melainkan di luarnya, yaitu dalam
lingkungan. Mengapa? Karena manusia bukan sistem komunikasi saja. Manusia
terdiri dari banyak sistem, antara lain; sistem-sistem organis (otak,
pencernaan, hormon, otot, dst.), sistem-sistem psikis (kesadaran) dan
sistem-sistem semiotis (komunikasi atau bahasa). Hanya sebagian saja dari manusia
yang masuk ke dalam masyarakat, yaitu komunikasinya, tetapi komunikasi itu pun
akan bergerak sendiri sebagai sistem yang mereproduksi dirinya. Luhmann
menyebut kemampuan sistem untuk menghasilkan dirinya itu ‘autopoiesis’.
Karena komunikasi, begitu menjadi sistem, lepas dari penuturnya dan
menghasilkan dirinya, sistem komunikasi itu subjectless.
Komunikasi tidak lagi bisa diasalkan pada manusia; ia menjadi anonim, sehingga
kita dapat berkata bahwa bukan manusia-manusia yang berkomunikasi dalam masyarakat,
melainkan komunikasi berkomunikasi dengan komunikasi. Manusia versi humanisme,
yaitu subyek atau kesadaran, adalah sistem psikis, suatu sistem tersendiri yang
juga autopoietis yang berada di luar masyarakat, yaitu di dalam lingkungan bagi
sistem komunikasi.
Di dalam pemikiran
Luhmann decentring of subject terjadi
dalam dua arti. Pertama, manusia tidak lagi dipahami sebagai pusat masyarakat
karena ia qua sistem psikis tidak
memiliki kedudukan istimewa di atas sistem-sistem lainnya, melainkan sederajad
dengan mereka. Karena itu, demikian tulis Luhmann, “manusia tidak lagi
merupakan ukuran masyarakat. Gagasan humanisme ini tidak dapat berlanjut.”
Di dalam kompleksitas sosial pasca humanisme menurutnya tidak ada ukuran yang
menjadi pusat segalanya; tiap sistem memiliki ukurannya masing-masing yang
tidak dapat diukur oleh suatu – sebut saja – ‘meta-norma’ sebagai ukuran
terakhir. Kedua, desentralisasi subyek berarti juga memahami manusia bukan
sebagai kesadaran atau rasionalitas belaka, sebagaimana dianut oleh humanisme.
Manusia sebagai individu adalah semacam ‘masyarakat’ yang terdiri atas banyak
sistem di dalamnya, maka humanisme yang menentukan kemanusiaan pada
rasionalitasnya adalah musuh berbahaya bagi kemajemukan. Karena berkat
kemajemukan internalnya manusia berada dalam lingkungan dan bukan dalam
masyarakat, ia tidak akan dapat ‘dihabisi’ oleh rasionalitas ataupun moralitas
yang dituturkan sistem komunikasi. Jadi, manusia bisa irrasional dan immoral
terhadap sistem komunikasi atau masyarakat, karena ia berada di luarnya, yaitu
menjadi bagian lingkungan. Keadaan itulah yang disebut kebebasan.
E.
Prospek ke Depan: Humanisme Religius
Sejarah pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan yang
notabene dikenal dengan istilah humanitas merupakan inti dari kehadiran agama.
Aksioma ini bisa dijadikan sebagai sandaran dalam menafsirkan ajaran-ajaran
agama yang berpihak kepada kesamaan, kebebasan, kemerdekaan dan sejarah yang
senantiasa berjalan dialektis. Umat beragama harus terus menerus menjadikan
semangat pencarian humanitas dalam tradisi agama sebagai proses tiada
henti.
Dalam konteks
ini kehadiran Filsafat Agama menjadi penting, sebab bidang ilmu filsafat ini
menempatkan manusia pada aspek intelektual dan spiritual. Filsafat Agama
memandang bahwa manusia memiliki kapasitas intelektual untuk menentukan
pilihan. Karena itu, kebebasan merupakan pemberian Tuhan yang paling penting
dalam upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dengan menjunjung tinggi dimensi
etis dan humanis yang terkandung di dalam agama dan ilmu.
Humanisme sebenarnya tidak menggantungkan diri pada
doktrin-doktrin agama yang tidak memberikan kebebasan kepada individu. Kalangan
humanis religius juga meyakini bahwa manusia memiliki sifat dasar yang telah
dianugerahkan Tuhan untuk mengembangkan segala potensinya. Bagi para humanis religius, Tuhan dan
metafisika selalu menempati posisi sentral dan berjalan seiring dengan
tema-tema pengetahuan dan obyek penelitian yang mereka geluti. Sebagai contoh,
seorang filsuf Islam Ibnu Rushd (Averroes, w. 1198) adalah seorang filsuf
sangat rasional yang tak pernah meninggalkan jubah agamanya, meskipun pernah
muncul isu predeter- minisme pada masa-masa awal sejarah Islam. Tapi, sama
sekali tidak ada pandangan tunggal dalam menyikapi isu tersebut.
Pada tahap perkembangan selanjutnya ”humanisme”
sebagai gerakan filsafat mendapat perhatian cukup besar dalam dua disiplin
ilmu, yakni Teologi dan Filsafat. Sebagian cabang ilmu-ilmu agama juga memuat
pembahasan tentang manusia, kendati dari perspektif yang berbeda dari filsafat
humanisme yang dipahami secara umum. Disiplin agama yang membahas manusia dari
sudut pandang humanisme adalah Filsafat Agama.
Filsafat Agama, sekalipun bersifat umum dan abstrak,
namun fokus kajiannya selalu tidak terlepas dari nilai-nilai universal agama
dan religiusitas manusia secara filosofis dan metafisik. Tujuan hukum atau
agama pada dasarnya adalah untuk memuliakan dan mengutamakan kebaikan manusia.
Dalam semangat ini, manusia ditempatkan sebagai unsur penting yang tak hanya
sebagai obyek hukum, tapi juga sebagai pembuat dan penentu aturan. Akal pikiran
berperan penting dalam memahami makna kebebasan yang diberikan Tuhan pada
manusia. Kebebasan adalah kunci bagi tanggungjawab manusia di dunia ini, dan
alasan untuk meyakini keadilan Tuhan. Tanggungjawab manusia hanya bisa
dimungkinkan jika mereka memiliki kehendak bebas. Manusia bukanlah mesin atau robot yang
sepenuhnya sudah didesain dan diatur oleh Tuhan, nasib dan masa depan manusia
terletak di tangan manusia sendiri, dan bukan pada Tuhan maupun
kekuatan-kekuatan metafisis lainnya.
Berbeda dengan teologi yang mempertentangkan antara
Tuhan dan manusia, John Hick, seorang ahli Filsafat Agama menganggap manusia
sebagai perluasan dari wujud Tuhan. Al-Farabi, seorang Filsuf Islam, memandang
manusia sebagai kulminasi dari proses emanasi yang ruwet. Manusia tidak diciptakan Tuhan seperti manusia
menciptakan kendi dari tanah liat, tapi melewati proses kontemplasi akal murni
dari satu jenjang ke jenjang lain.
Menurut Calvin, Huston Smith dan S. H. Nasr,
kebebasan dan upaya untuk mewujudkannya adalah salah satu tema terpenting yang
menjadi pusat perhatian kaum humanis. Pendapat ke tiga tokoh Filsafat Agama di
atas. Manusia dianugerahi kebebasan oleh Tuhan dan menjadi pusat perhatian
dunia, manusia bebas memandang dan memilih yang terbaik. Kendati kebebasan
menjadi tema pokok humanisme, tetapi perlu dipahami bahwa kebebasan yang
diperjuangkan bukanlah kebebasan yang absolut. Kebebasan yang diperjuangkan
kaum humanis adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi, kebebasan manusia
dalam batas- batas alamiah, kesejarahan dan kemasyarakatan. Humanisme religius
membela kebebasan manusia untuk merancang sendiri kehidupannya di dunia dengan
cara yang merdeka.
Humanisme religius pada dasarnya bertugas memberikan
solusi dalam menghadapi intimidasi dan despotisme, sebab Humanisme bertekad
untuk mengembalikan kepada manusia hak kebebasan yang telah dinistakan secara
total oleh para elit agama di gereja. Memang, pada awal kebangkitannya diakui
bahwa kaum humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang yang mengaku
sebagai perantara yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, langit dengan bumi,
namun di saat yang sama mereka selalu mempraktikkan ketidakadilan.
Pandangan humanisme di Barat kerap kali menghambat
lajunya humanisme religius sebagai sebuah tata nilai yang inheren dalam rahim
agama. Dalam Islam, sejarah pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan yang
notabene dikenal dengan istilah humanitas merupakan inti dari kehadiran agama.
Aksioma ini dalam ajaran humanisme religius dan spiritual dijadikan sebagai
sandaran dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang berpihak kepada kesamaan,
ke- bebasan, kemerdekaan dan sejarah yang senantiasa berjalan dialektis.
Keduanya berperan sebagai proses pencarian jati diri manusia beragama, sebab
kebangkitan agama masih pada tataran ikatan individual.
Umat beragama harus terus menerus menjadikan
semangat pencarian humanitas dalam tradisi agama sebagai proses tiada henti.
Humanisme religius dan humanisme spiritual dipahami sebagai suatu konsep dasar
kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Ini mengandung pengertian
bahwa makna atau penjabaran arti memanusiakan manusia itu harus selalu terkait
secara teologis.
Perlu diingat, kalangan humanis religius juga
memandang manusia, nilai, dan kebebasannya sebagai tujuan, dan bahwa pengenalan
Tuhan dan kekuasaan- nya adalah satu jembatan untuk mencapai kepada tujuan
tersebut. Maka esensialitas manusia di depan Tuhan akhirnya terkemuka, dan ini
bisa dinilai sebagai titik distingtif pemikiran kaum humanis monoteis dan
beragama. Ke- simpulan globalnya, humanisme tidak bertentangan dengan kepatuhan
kepada agama jika pengertiannya ialah kepercayaan kepada nilai-nilai kemanusiaan,
serta kedudukan, martabat, ikhtiar, dan kebebasan manusia. Dengan demikian, muatan humanisme tidak
keluar dari wilayah agama.
Humanisme yang berperikemanusiaan adalah humanisme
yang tidak berseberangan dengan keimanan religius. Hanya kesadaran spiritualitas
sebagai standar moral kemanusiaan yang mampu menggerakkan jiwa menciptakan
kehidupan di dunia yang seimbang dan adil, adil pada diri sendiri, kepada alam
dan seluruh isi di dalamnya serta adil terhadap Tuhan sebagai sang pencipta
segala-galanya.
Konsep humanisme religius dalam perspektif Filsafat
Agama meliputi dimensi esensi yang berupa keyakinan, dimensi bentuk yang berupa
ritual agama, dan dimensi ekspresi yang berupa tata hubungan antar individu,
atau kelompok manusia dan makhluk lainnya. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dan
menjadi fondasi bagi tegaknya moralitas dalam kehidupan. Kodrat manusia
merupakan kriteria utama bagi moralitas yang hendak dibangun. Sesuai dengan ke-
dudukannya sebagai makhluk yang mulia, manusia diperintahkan untuk me- ngambil
keputusan dan bertindak dengan akal dan hatinya. Karena itulah manusia memikul
tanggung jawab terhadap sesama, kosmos dan Tuhannya. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa tidak
ada satu manusia pun memiliki hak untuk mereduksi manusia lain menjadi objek
atau sarana bagi tujuan hidupnya.
Secara fundamental, humanisme religius merupakan hal
penting dan utama dari semua keyakinan moral yang kokoh. Dalam perspektif
Filsafat Agama nilai- nilai humanitas merupakan keyakinan bahkan tuntutan moral
yang secara langsung mengisyaratkan sikap etis yang implementatif dan konsisten
dalam kehidupan. Inti dari kesadaran religius dalam dimensi etis merupakan
kepercayaan yang menyatakan bahwa setiap manusia harus dihormati sebagai manusia seutuhnya, bukan karena dia itu
bijaksana atau bodoh, baik atau jelek, dan tanpa memandang agama atau suku,
komunitasnya, serta apakah laki-laki atau perempuan. Dengan kata lain, manusia
tidaklah diarahkan untuk menghargai seseorang atas identitas, kepercayaan,
idealisme, dan hal-hal yang menjadi kekhawatiran dan kebutuhannya.
Menurut Franzs Magnis Suseno, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dari aspek nilai humanitas, karena sama-sama
manusia, dan ini menjadi dasar bahwa suatu penghargaan tidak tergantung pada kualitas
atau kemampuan seseorang, namun hanya didasarkan atas kenyataan bahwa orang
tersebut adalah manusia. Atas dasar ini humanisme sebenarnya sangat membenci
kekerasan dan ketidakadilan dan tidak ada alasan untuk membenarkan tindakan
kejam terhadap orang lain dan sama sekali tidak manusiawi. Dengan kata lain,
berpijak pada ketentuan agama tentang nilai humanis spritualis, yang
implementasinya adalah perilaku etis, manusia dituntut untuk bersikap empati
dan sensitif terhadap kesulitan orang lain serta mencurahkan kasih sayang yang
melampaui garis-garis primordial ataupun sekat-sekat sosial lainnya. Sebagai
bagian dari prilaku etis religius,
humanisme menolak ketidak-ladilan, karena perlakuan tidak adil tidak pernah
bisa dibenarkan. Sikap ini juga berlaku bagi orang-orang asing di luar
komunitas kita, bahkan terhadap musuh-musuh. Perilaku etis selalu mencitrakan
keseimbangan (fairness) dan cinta keadilan.
Berpijak pada konsep di atas, maka fondasi humanisme
religius dalam bingkai Filsafat Agama, menegaskan kepada manusia bahwa tidak
perlu mempertentangkan perbedaan antara manusia yang religius atau tidak,
karena semua manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan, sehingga dalam
etika filosofis, bukan memperjelas sikap seseorang yang humanis religius atau
sekuler, tetapi apakah seseorang benar-benar humanis, yang secara sadar menebar
perasaan kasih sayang dan rasa saling menghargai antar sesama. Apabila seseorang
benar-benar humanis, maka pasti seseorang akan dengan mudah menerima orang lain
dengan segala perbedaan atau level yang dimiliki. Humanisme spiritual merupakan
perasaan yang mendalam yang dirasakan dan tertanam di dalam diri seseorang yang
mengharuskannya untuk memperlakukan setiap orang di hadapannya sebagai manusia
seutuhnya tanpa dipengaruhi oleh keadaan, atau kepentingan apapun di
sekelilingnya. Dari aspek ontologis spiritual, perasaan ini merupakan dorongan
batin yang mengharuskan manusia untuk bertindak secara spontan tanpa tedeng
eling-eling, meminjam pandangan Kant -
merupakan ”tindakan mutlak tanpa syarat”
(Imperatif Kategoris).
Menurut Immanual Kant, agama dalam bahasa moral
menghendaki agar manusia memahami tindakannya sebagai kewajiban yang
mengharuskannya untuk bertindak sesuai dengan fitrahnya. Fitrahnya manusia memang mendorong manusia
untuk berbuat baik, dan kebaikan sebagai akibat dari dorongan batin tersebut,
tidak hanya merupakan hasil dari sebuah tindakan, tetapi justru menjadi hukum
yang mewajibkan manusia untuk mengikutinya bahkan menjadi hukum universal yang
berlaku bagi semua manusia. Setiap jiwa menginginkan untuk dihormati dan
dihargai, sehingga sebelum jiwa seseorang ingin untuk dihargai, maka jiwa
seseorang tersebut secara moral harus menghargai jiwa yang lain sebagai bagian
dalam pengharapan itu. Inilah inti ajaran moral Kant yang memperluas kewajiban
sebagai perintah Allah sekaligus menjadi perintah moral, sebagaimana tertuang
dalam teori etika deontologis.
Menjadi jelas bahwa humanisme memiliki cakupan luas
yang melampaui batas-batas sempit. Humanisme tidak dibatasi oleh ideologi dan
pembenaran teologis lainnya, ia merupakan sebuah prinsip yang mempengaruhi
sikap seseorang dalam segala dimensi. Dalam level institusi, aktualisasi
humanisme religius terletak pada hadirnya lembaga-lembaga yang memfungsikan
dirinya sebagai benteng atau sekat-sekat yang telah disebutkan di atas.
Institusi pendidikan misalnya, memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang
diperlakukan dengan jahat, mereka hidup dalam ketakutan atau menerima
penghinaan yang dapat mengancam identitas dirinya, baik individu maupun
kolektif, termasuk hal- hal yang dapat membuat mereka hidup dalam ketakutan
atau di bawah tekanan. Dalam level institusi, yang terpenting adalah hak asasi
manusia, yakni suatu sistem yang menjamin bahwa setiap individu tanpa
diskriminasi memiliki akses terhadap hukum dan diperlakukan sesuai dengan
ketentuan hukum. Yang terpenting adalah menemukan sebuah pemahaman yang lebih
mendalam tentang bagaimana nilai-nilai religius spiritual diletakkan dalam
tradisi humanis.
Saat ini kesadaran humanis religius telah mengalami
krisis akibat dari tekanan-tekanan modernitas dan arus globalisasi. Nilai-nilai
kemanusiaan telah digantikan oleh kepentingan sesaat, seperti sains, ekonomi
politik dan kepentingan subyektif-individualistik. Sebagai bentuk kepedulian
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, di Asia dan Eropa, sudah tumbuh gerakan
sosial berbasis spiritualitas yang langsung menanggapi dampak globalisasi. Berdasarkan asas spiritualitas, gerakan ini
dapat digolongkan menjadi tiga macam: Pertama, gerakan sosial berbasis satu
agama.
Sebagaimana ditunjukkan organisasi Katholik Austria,
yang menangani soal perubahan pola penggunaan waktu akibat globalisasi, dan Perancis
dengan organisasi Katholik yang menyantuni pendatang; Kedua, gerakan sosial
berbasis multi agama. Contohnya sebagaimana dilakukan di Indonesia oleh ICRP
(Indonesian Conference of Religion for Peace), yang menangani masalah kekerasan
atas perempuan; Ketiga, gerakan sosial berbasis spiritualitas alternatif yang
dilakukan di luar agama-agama yang sudah mapan. Contoh-contohnya dapat dilihat
di Finlandia tumbuh gerakan eko-spiritual, eko-feminis di Jepang dan Filipina tumbuh gerakan sosial berbasis
spiritualitas asli/lokal.
Apabila jaringan yang sudah mulai terbentuk dapat
dipelihara dan dikembangkan, baik dalam bentuk lokakarya maupun penelitian-aksi
bersama, maka agama akan menampakkan wujudnya sebagai sesuatu yang maha penting
bagi pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan, yang sebenarnya bersifat universal.
Semua yang dilakukan, baik di dunia maupun di akhirat, hukum dunia dan hukum
Tuhan, esnsinya adalah semata-mata bertujuan untuk kemashlahatan manusia. Islamic public law perlu dikaji terus
menerus, karena teks agama tidak perlu diikuti secara literal dan menghindari
sedini mungkin pelaksanaan hukum Islam dari kesan counter-productive, karena
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan tuntutan alam
dan perkembangan zaman.
E.
Konklusi
Humanisme yang berkembang saat ini dapat di pandang
sebagai bentuk gerakan lintas budaya dan universal, dalam arti berbagai sikap
dan perilaku etis setiap bentuk tindakan manusia dalam berbagai aspek
kehidupannya, bertujuan membentengi martabat kemanusiaan manusia itu sendiri.
Kejahatan dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan,
merupakan bentuk penodaan kesucian Tuhan,
agama dan para pemeluknya. Sikap
marah atau kejam atas nama agama (Tuhan) menurut penulis sangat menjijikkan,
justru penghinaan terhadap Tuhan.
Nilai-nilai etis sebagai standar moral bagi bangunan masyarakat humanis
yang religius saat ini telah terkikis oleh krisis spiritual manusia. Agama
seakan- akan tidak lagi dapat berperan menyelesaikan problem kehidupan, bahkan
kini dianggap telah menjadi sumber kekerasan dan petaka yang semakin mengancam
nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu perlu perhatian serius dari insan beragama
dalam menata ulang kehidupan yang harmonis dan seimbang sesuai dengan tatanan
universal alam semesta yang membawa rahmat bagi seluruh isi di dalamnya.
Aktualisasi
humanisme religius menuju humanisme spiritual merupakan salah satu model yang
baik dan pantas ditawarkan bagi upaya menyikapi tantangan global dengan mencoba
menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang hilang. Humanisme religius tidak
memisahkan dunia ke dalam bidang yang berbeda dan mampu melihat akal atau
rasionalitas dan pengalaman mistis spiritualis terpancar dari sumber yang sama.
Oleh karena itu, perlu menata kembali nilai kebersamaan yang humanis, karena
ungkapan tersebut mengandung banyak nilai yang berharga. Sikap
humanis-religius, yakni sikap yang mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan dan
nilai-nilai religi (agama). Humanisme religius mengajarkan kepada manusia untuk
berlaku adil antar sesama dan hidup damai di tengah kancah perbedaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin Abdullah. Humanisme Religius versus Humanisme Sekular, Menuju Humanisme
Spiritual, dalam Islam dan Humanisme, Aktualisasi Humanisme Islam Di Tengah
Krisis Humanisme Universal, (ed. Terj.) Dedi M. Siddiq, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
Calvin, dalam John Hick. Satu Tuhan Banyak Nama. Jakarta:
Gramedia Utama, 2001.
Corliss Lamont. The Philosophy of Humanism. New York: Humanist Press, 1997.
F. B. Hardiman. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Franzs Magnis Suseno. Islam dan Humanisme, Aktualisasi Humanisme
Islam Di Tengah Krisis Humanisme Spiritual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
Frithjof Schuon. The Trancendent Unity of Religions. New York: Evanston, 1975.
George Makdisi. The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West: With
Special Reference to Scholasticism, Edinburgh: Edinburgh University Press,
1990.
Haidar Nashir, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Hasan Hanafi dkk., Etika
Global dan Solidaritas Kemanusiaan. Jakarta, 2007
H. M. Rasyidi, Filsafat Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Immanual Kant, Kritik der Reinen Vernunft, Terj. Norman K. Smith, Critiqui of Pure
Reason, New York: St. Martin’s Press, 1986.
John Avery, Menuju Humanisme Spiritual, Konstribusi Perspektif Muslim Humanis,
Terj. Arif Hutoro, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Lee C. Deighton, The Ensiclopedia of Education, Macmillan: The Macmillan Company and
Free Press, 1971.
Lenn Evan Goodman. Islamic Humanism, New York: Oxford University Press, 2003.
Marchel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, Terj. H.M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang,
1980.
Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, Yogyakarta: LESFI,
2002.
Oliver, ”Humanism Islam Abad ke-4H/ke-10M” dalam Seyyed Hossein Nasr &
Oliver Leaman (editor), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan,
2003.
Paul F. Grendler. “Humanism: Ancient Learning, Criticism, Schools and Universities,”
dalam Angelo Mazzocco: Interpretations of Renaissance Humanism. Leiden;
Boston: Brill, 2006.