Selasa, 03 Oktober 2017

Sound Government

Konsep Sound Governance berkaitan dengan reformasi birokrasi telah dikemukakan oleh Farazmand (2004). Dalam konteks  Sound Governance, refomasi birokrasi berkaitan dengan inovasi dalam kebijakan dan adminstrasi publik. Hal ini sebagaimana dikemukakan Farazmand (2004:19) bahwa:
Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as well. Without policy and administrative innovations, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and becomes a target of criticism and failure. Sound governance, therefore, demands continuous innovations in policy and administration processes, structures, and value systems. Innovations in technology, resource development, communication systems, organization and management, training and development, research, and a host of other areas are essential to the soundness of governance and administration.
Pandangan di atas menjelaskan bahwa inovasi adalah hal sangat penting yang harus dimiliki oleh setiap pemerintahan. Pemerintahan tidak lagi berhadapan dengan masalah dan realitas rutin saja. Apel pagi, rapat-rapat rutin, urusan surat-menyurat dan implementasi prosedur sudah bukan merupakan tugas inti dari sebuah pemerintahan. Inovasi juga harus marak dalam kegiatan-kegiatan operasional dalam pengelolaan organisasi dan manajemen pemerintahan dalam membongkar paradigma lama birokrasi menuju pada pemahaman birokrasi yang lebih dinamis.
Inovasi sebagaimana dimaksud Farazmand, tidak mesti bersifat revolusioner dan fragmentatif. Dalam level tertentu bisa saja inovasi adalah revisi atas sistem yang sedang berjalan serta masih dalam koridor struktur perencanaan jangka panjang. Hal terpenting dalam inovasi tata pemerintahan adalah selalu adanya hal-hal baru (besar atau kecil) di dalam praktek birokrasi keseharian, sehingga inovasi menjadi ‘rutinitas’ baru di dalam birokrasi.
Masih gemuknya organisasi menjadi salah permasalahan birokrasi menjadi lambat bekerja. Kondisi tersebut memerlukan upaya restrukturisasi organisasi. Pentingnya restrukturisasi organisasi untuk merubah posisi dan peran organisasi dalam pelayanan publik. Hal ini antara lain dikemukakan Farazmand (1999:806) bahwa“A process of changes in administrative structures or procedures within the public services because they have become out of line with the expectations of the social and political environment”. Pendapat ini menunjukkan bahwa proses perubahan struktur administrasi dan prosedur di dalam pelayanan publik disebabkan oleh mereka menjadi ke luar dari batas harapan dari lingkungan sosial dan lingkungan politik. 

Pendidikan Islam - 3 (Tadris, Tahzib dan Ta'dib)

a.      At-Tadris
Asal katanya darasa, yang berarti menghapus, menghilangkan dan berubah. At-Tadris adalah mashdar dari darasa yang fungsinya adalah li ta’diyat. Al-Maraghi menjelaskan ungkapan darasa yaitu membaca berulang-ulang dan terus menerus sehingga sampai pada tujuan. Dari hasil kajian terhadap ayat-ayat Al-Quran tentang makna-makna at-tadris dapat disimpulkan bahwa tadris adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan mudaris untuk membaca dan menyebutkan sesuatu kepada mutadarris dengan berulang-ulang dan sering, disertai dengan mempelajari, mengungkapkan menjelaskan dan mendiskusikan dengan bertujuan agar materi yang dibacakan atau disampaikan itu mudah dihafal dan diingat.
b.      At-Tahdzib
At-Tahdzib adalah mashdar dari hidzib. Makna asal At-Tahdzib dan Al-Hadzbu, dapat diartikan membersihkan pohon dengan meranting agar tumbuh baik dan bertambah besar. Kata At-Tahdzib selanjutnya mengalami perubahan makna yakni bermakna pendidikan atau pengajaran. At-Tahdzib dalam makna pendidikan dilihat dari sudut kebahasaan adalah penddikan yang bertujuan untuk membersihkan atau menghilangkan sesuatu dari hal-hal yang tidak layak dan tdak pantas, serta memperbaikinya dengan hal-hal yang baik. Pendidikan ini lebih cenderung kepada pendidikan akhlak. (Rosidin,  2003 : 155)
c.      At-Ta’dib
At-Ta’dib adalah mashdar dari addabu. Hal ini menunjukkan makna mubalighat dan taktsir (berlebihan, benar-benar dan sering) kata addabahu bermakna “allamahu fata-addaba (mengajarrinya kemudian dia berbudi baik). Asal kata al-adbu menurut arti asal adalah udangan, dari arti ini selanjutnya digunakan bagi makna undangan kepada suatu perjamuan atau pesta. Kata tersebut pada masa kerjayaan Islam digunakan dalam makna yang sangat umum, yaitu bagi semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal baik yang langsung berhubungan dengan Islam maupun yang tidak langsung. Kata al-adab dalam bahasa bermakna budi pekerti yang baik, perilaku yang terpuji dan sopan santun.
Kata At-Ta’dib diungkapkan dalam beberapa hadist, diantaranya: barang saipa yang merawat tiga orang anak perempuan lalu mendidik mereka, menikahkan mereka dan berbuat baik kepda mereka, maka ia akan mendapatkan surga.
Al-Badri, sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, mengemukakan bahwa pada zaman klasik, orang hanya mengenal kata ta‘dib untuk menunjukkan kegiatan pendidikan. Pengertian seperti ini terus terpakai sepanjang masa kejayaan Islam, hingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia waktu itu disebut adab, baik yang berhubungan langsung dengan Islam seperti: fiqh, tafsir, tauhid, ilmu bahasa Arab dan sebagainya maupun yang tidak berhubungan langsung seperti ilmu fisika, filasafat, astronomi, kedokteran, farmasi dan lain-lain. Semua buku yang memuat ilmu tersebut dinamai kutub al-adab. Dengan demikian terkenallah al-Adab al-Kabir dan al-Adab al-Shaghir yang ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (w. 760 M). Seorang pendidik pada waktu itu disebut Mu‘addib. (Ramayulis, 2004: 6).
Ta‘dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya. Pengertian ini berdasarkan Hadis Nabi Saw.:"Tuhanku telah mendidikku dan telah membaguskan pendidikanku".
Dalam struktur telaah konseptualnya, ta‘dib  sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta'lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dengan demikian,  ta'dib lebih lengkap sebagai term yang mendeskripsikan proses pendidikan Islam yang sesungguhnya. Dengan proses ini diharapkan lahir insan-insan yang memiliki integritas kepribadian yang utuh dan lengkap.
Kelima kata di atas at-tarbiyah, a-ta’lim, at-tadris, at-tahdzib maupun at-ta’dib menunjukkan sebuah konsep pendidikan dalam Islam. Allah menerangkan tentang kelima akar pendidikan ini sebagai isyarat untuk mengembangkan kegiatan pendidikan menjadi sebuah proses yang menyeluruh menghadirkan setiap makna di atas untuk menciptakan manusia yang ditinggikan derajatnya.

Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, penddikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbaharui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercabut dari akar tradisinya. 

Pendidikan Islam - 2 (At-Ta'lim)

  
At-Ta’lim adalah mashdar dari alim yang diambil dari alim yang berpola kepada fiil. Fungsi dari wazan ini adalah li-ta’diyat yaitu untuk menjadikan kata kerja yang asalnya tidak berobjek, atau menjadikan kata yang objeknya satu menjadi dua. Kata Allama dan variasinya disebutkan sebanyak 34 kali dalam Al-Quran. Dari seluruh ayat tersebut para muffasir memberikan makna tentang at-talim yaitu memberitahukan, menerangkan, mengabarkan atau menerangkan sesuatu ilmu.
Secara mendalam makna at-Ta’lim yakni proses pembertahuan sesuatu dengan berulang-ulang dan sering sehingga muta’alim dapat mempersepsikan maknanya dan berbekas pada dirinya. Ta’lim bertujuan agar ilmu yang disampaikan bermanfaat, melahirkan amal shalih, memberi petunjuk ke jalan kebahagiaan untuk mencapai ridha Allah Swt. Ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). 
Ta'lim adalah proses pemberian pengetahuan, pemahaman. pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian (tazkiyah) atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Berdasarkan pengertian ini dipahami bahwa dari segi peserta didik yang menjadi sasarannya, lingkup term al-ta'lim lebih universal dibandingkan dengan lingkup term al-tarbiyah karena al-ta‘lim mencakup fase bayi. anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa. Sedangkan al-tarbiyah khusus diperuntukan untuk pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.
Rasyid Rida memberikan definisi ta'lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu, (Rida, 1373 H: 262). Penta’rifan itu herpijak dari firman Allah Swt. surat Al-Baqarah ayat 31 tentang ‘allama Tuhan kepada Nabi Adam as. sedangkan proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma yang diajarkan oleh Allah kepadanya (Al-Atas, 1988: 66).
Naquib al-Attas memberikan makna al-ta'lim dengan pengajaran tanpa pengenalan secara mendasar. Namun apabila al-ta‘lim disinonimkan dengan al-tarbiyah, al-ta'lim mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem, (Alatas, 1988: 66).  Dalam pandangan Al-Atas, ada konotasi tertentu yang dapat membedakan antara term al-tarbiyah dari al-ta‘lim, yaitu ruang lingkup al-ta'lim lebih universal daripada ruang lingkup al-tarbiyah sebab, al-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial. Lagi pula, makna al-tarbiyah lebih spesifik karena ditujukan pada objek-objek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya hanyalah Allah. Akibatnya, sasarannya tidak hanya berlaku bagi umat manusia tetapi tercakup juga spesies-spesies yang lain.
Sementara itu, Al-Abrasy mengemukakan pengertian al-ta'lim yang berbeda dari pendapat-pendapat di atas. Beliau menyatakan bahwa al-ta'lim lebih khusus daripada al-tarbiyah karena al-ta'lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu kepada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan al-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan. (Al-Abrasyi, 1993:7).
Al-ta'lim merupakan bagian kecil dari al-tarbiyah al-aqliyah yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada domain kognitif. Hal ini dapat dipahami dari pemakaian kata ‘allama dalam surat Al-Baqarah [2]:31. Kata ‘allama dikaitkan dengan kata ‘aradha yang berimplikasikan bahwa proses pengajaran Adam tersebut pada akhirnya diakhiri dengan tahap evaluasi. Konotasi konteks kalimat itu mengacu pada evaluasi domain kognitif, yaitu penyebutan nama-nama benda yang diajarkan, belum pada tingkat domain yang lain. Hal ini memberi isyarat bahwa al-ta'lim sebagai masdar dari ‘allama hanya bersifat khusus dibanding dengan al-tarbiyah.


Pendidikan Islam - 1 (Tarbiyah)

TARBIYAH (1)
Secara umum kata ini berasal dari tiga kata kerja Rabaa-Yarbuu yang bermakna namaa-yanmuu, artinya berkembang, Rabiya-yarba, yang bermakna tumbuh dan Rabba –Yarubbu, yang bermakna aslahu, tawalla amrohu, sasa-hu, wa qama aaihi, waraahu yang berarti memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga dan memeliharanya atau mendidik.
Menurut Shihab (2003:172) terdapat banyak kosa kata yang berasal dari pengembangan kata ini, berikut diantaranya yang memiliki hubungan langsung dengan pendidikan.
a.    Rabb/ar-Rabb : dalam Al-Quran kata ini disebutkan sebanyak 952 kali. Para muffasir mengartikan kata Al Rabb ini beraneka ragam, diantaranya Al-Maraghi yang mengupas Surat At-Thalaq [65]: 1 dan QS. Al-An’am [6] : 104. Dari ayat ini Al-Maraghi menjelaskan bahwa konsep pendidikan itu meliputi fisik. Perasaan, akal/intelektual dan bakat/potensi, jiwa sehingga mencapai kesempurnaannya menurut pandangan Allah.
b.      Rabbanyyuna: Al-Quran menyebutkan dua kali yaitu dalam QS. Al-Maidah [5] : 44 dan 63. Ibnu Abbas berpendapat bahwa rabbaniyyuna berarti ahli fiqih/ahli hukum dan ulama.
c.      Rabbaniyya” kata ini disebutkan Al-Quran satu kali, dalam QS. Ali-Imran [3]:79 dari kata ini Al-Maraghi menjelaskan bahwa rabbaniyyin adalah mereka yang senantiasa mengetahui dan mentaati sekaligus mengamalkan semua perintah Allah dengan mengajarkan dan mempelajari kitab Allah.
d.     Rabbayani; Tercantum dalam QS. Al-Isra [17] : 24 Hijazi mengaitkan kata rabbayani ini artinya menumbuhkembangkan.
e.   Nurabbika; Terdapat dalam QS. As-Sy-Syuara [26] : 18 Al-Hijazi mengaitkan kata ini dengan proses pendidikan yang diberikan Fir’aun kepada Musa. Pada hakikatnya Fir’aun mendidik dan membersarkan Musa itu dalam hal fisiknya saja tidak mendidik mental dan hati nuraninya.
Sebagaimana konsep tarbiyyah, pendidikan adalah proses untuk mengarahkan sesuatu secara bertahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya. Pengertian rubûbiyah (kependidikan atau pemeliharaan) mencakup pemberian rezeki, pengampunan dan kasih sayang; juga amarah, ancaman, siksaan, dan sebagainya. Makna ini akan terasa dekat ke benak seseorang saat mengancam, bahkan memukul anak, dalam rangka mendidik mereka. Walapun sang anak yang dipukul merasa diperlakukan tidak wajar, kelak setelah dewasa ia akan sadar bahwa pukulan tersebut merupakan sesuatu yang baik baginya. Jadi, apapun bentuk perlakuan Tuhan kepada makhluk-Nya harus diyakini bahwa yang demikian itu sama sekali tidak terlepas dari sifat kepemeliharaan dan kependidikan-Nya, walau pun perlakukan itu dinilai oleh keterbatasan nalar manusia sebagai sesuatu yang negatif.
Menurut Ali (2006:31-32) konsep tarbiyyah juga menegaskan bahwa tujuan pendidikan menghantarkan peserta didik pada derajat kesempurnaan yang diberikan oleh Allah. Dengan demikian, ia meliputi semua dimensi kemanusiaan atau pribadi manusia. Berdasarkan konsep tarbiyyah, ada empat dasar pendidikan yang mesti dipahami, yaitu:
1)      Pendidikan adalah proses sistematis yang mempunyai tujuan, sasaran, dan pencapaian;
2)      Pendidik adalah perwakilan Allah Yang Maha Pencipta. Allah menciptakan fitrah dan memberikan potensi. Dia mengembangkan, meningkatkan, dan mengimplementasikan fitrah. Pendidik juga harus menjalankan, mengembangkan, meningkatkan, dan mengimplementasi-kan konsep pendidikan supaya fitrah atau potensi peserta didik bisa berkembang dan mencapai kesempurnaan sebagai makhluk Tuhan.
3)  Pendidikan menetapkan langkah-langkah bertahap yang di dalamnya konsep-konsep pendidikan dijalankan dari batas yang satu ke batas yang lain dan dari jarak yang satu ke jarak yang lain.
4)      Perilaku pendidik berkaitan dengan realitasnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, ia mesti mengikuti syariat Allah Swt.
Menurut Tafsir (1992:45) berbeda dengan pendidikan Islam, pendidikan Barat (dalam arti yang mengggunakan paradigma positivistik sebagai filsafat pendidikannya) hanya mengakui dua potensi manusia saja, yaitu potensi jasmani dan akal. Dengan kedua potensi ini, Barat memang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sampai saat ini, namun kemajuan mereka adalah semu, dalam arti kemajuan tersebut menuju kehancuran peradaban. Hal ini karena kemajuan Barat adalah kemajuan tanpa nilai, tanpa agama, tanpa Tuhan. Buktinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dimanfaatkan untuk menguasai negara lain, dalam bentuk penjajahan ekonomi, penjajahan budaya, dan penjajahan sendi-sendi kehidupan lainnya.
Islam sangat menghargai jasmani dan akal, namun itu bukan merupakan ukuran kehebatan manusia. Islam sangat menghargai dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi, namun itu bukan merupakan tujuan. Dalam Islam, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan sebagai jalan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Inilah yang disebut potensi ruhani. Jadi, pendidikan Islam membimbing jasmani, akal, dan ruhani untuk mengabdi kepada Yang Maha Agung.
Orang Barat memang beragama, tapi agama itu tidak dijadikan sebagai nilai dalam dimensi kehidupan. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi dan tidak perlu “mengintervensi” pendidikan. Artinya, bagi mereka agama tidak perlu dimasukan dalam kurikulum pendidikan. Ini lah yang dinamakan sekurelisasi pendidikan, yaitu memisahkan agama dari pendidikan. Islam jelas menolak pandangan seperti ini. Dalam konsep Islam, pendidikan harus dipandu oleh agama, agar tidak keblinger, agar tidak kacau dan mengacaukan masyarakat. Agama harus “mengintervensi” kurikulum sehingga jenis kurikulum apapun yang berkembang tidak bebas nilai tetapi bernilai Islami (Tafsir, 1992:46).
Untuk mempertegas substansi pendidikan Islam, Azra (2000:10) merinci tiga karakteristik pendidikan Islam. Pertama, pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai wujud ibadah kepada Allah Swt. Kedua, pengakuan akan adanya kemampuan dan potensi untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Ketiga, pengamalan ilmu pengetahuan sebagai wujud tanggung jawab kepada Allah dan manusia.

Berdasarkan penjelasan tentang pendidikan Islam, maka konsep tarbiyyah di dalam Al-Quran menegaskan hakikat pendidikan Islam dan memberi arah terhadap pendidikan Islam sehingga pendidikan tersebut selalu mendorong peserta didik dan pendidik untuk meraih predikat sebagai hamba Allah yang bertakwa. Tarbiyah adalah proses pengembangan dan bimbingan jasad, akal dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga mutarabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat. Tarbiyah adalah kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian, bijak dan menyenangkan tidak membosankan. Tarbiyah adalah proses yang dilakukan dengan peraturan yang bijak dan dilaksanakan secara bertahan dari yang mudah kepada yang sulit.  

Hakikat Pendidikan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:263), pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perubahan, cara mendidik Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan nilai, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Ki Hajar telah meletakan dasar kodrat anak sebagai faktor pertama dan utama dalam proses pendidikan. Ia mengenalkan konsep Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani. Djahiri (1980:3) mengungkapkan bahwa:
“Pendidikan merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) ke arah membina manusia/anak didik menjadi insan peripurna, dewasa dan berbudaya (civilized)”. Pendidikan merupakan upaya yang terorganisir memiliki makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh usaha sadar manusia dengan dasar dan tujuan yang jelas, ada tahapannya dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang matang dan berbagai sistem pendukung yang disiapkan. Adapun berlangsung kontinyu artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat, yaitu selama manusia hidup proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan, kecuali apabila manusia sudah mati.”

Sementara Al-Bani dalam An-Nahlawi (1989:32) memaknai pendidikan sebagai proses menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh, mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kebaikan dan kesempurnaan secara bertahap. Adapun Dewey dalam Hamalik (1996:3) mengungkapkan bahwa pendidikan adalah proses hidup yang berlangsung terus-menerus ke arah kesempurnaan dan Langgulung (1987:4) mengemukakan bahwa pendidikan adalah pewarisan kebudayaan dan pengembangan potensi-potensi. Adapun Tilaar (2000:16) berpendapat bahwa:
Terdapat tiga hal yang perlu di kaji kembali dalam pendidikan. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai scholing belaka. Dengan membatasi pendidikian sebagai schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggungjawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu, rumusan mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan seluruh sepktrum intelegensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniyahnya perlu diberikan kesempatan didalam program kurikulum yang luas dan pleksibel, baik didalam pendidikan formal, non formal dan informal.Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan penciptaannya.

Hal yang diungkapkan oleh Tilaar di atas sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000:14) bahwa tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and civized human being). Dengan demikian, proses pendidikan dapat dirumuskan sebagai proses humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung dalam lingkungan pribadi, kelurga, masyarakat, dan bangsa, srta kini dan masa depan. Pendidikan merupakan langkah nyata ke arah tercapainya humanisasi yang paripurna. Manusia merupakan objek sekaligus subjek pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan marupakan kegiatan atau tindakan dari, oleh dan untuk manusia. Sementara Anshari (1987:27) mengatakan bahwa:
Pendidikan adalah sebuah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasinya dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia sendiri. Dari pandangan tersebut maka dapat ditafsirkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses, baik berupa pemindahan maupun penyempurnaan.


Berdasarkan ungkapan di atas, diperoleh penjelasan bahwa pendidikan adalah (1) suatu proses (sejumlah proses secara bersama-sama) perkembangan, kemampuan, sikap dan bentuk tingkah lainnya yang berlaku dalam masyarakat di mana dia hidup, (2) suatu proses sosial di mana seseorang dipengaruhi oleh lingkungan terpilih dan terkontrol (misalnya sekolah) sehingga ia dapat mengembangkan diri pribadinya secara optimal dan kompeten (berwenang) dalam kehidupan masyarakat (sosial). Dengan demikian seseorang yang mendapat pendidikan berarti pula terjadi interkasi dalam diri individu dan dengan masyarakat sekitarnya baik dilihat dari segi kecerdasan/kemampuan, minat maupun pengalaman. Mendidik itu adalah usaha/tindakan yang dilakukan secara sadar dengan bantuan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, sehingga terbentuk manusia yang bertanggung jawab.

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...