Pendidikan selalu
berkaitan dengan tujuan terwujudnya keserasian hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya. Makin tinggi
keserasian hubungan tersebut, maka makin dekat pula terwujudnya tujuan
pendidikan. Pendidikan merupakan alat yang penting untuk mengembangkan potensi
kehidupan manusia dalam rangka menumbuhkan dan memajukan peradaban manusia.
Aktivitas
pendidikan harus sesuai dengan roda perkembangan zaman, di mana kita sekarang
berada pada era modern sehingga pendidikan dituntut untuk memberikan kontribusi
pemikiran, sikap dan tindakan guna menumbuhkembang-kan potensi peradaban
manusia menuju keserasian hidup yang dikehendaki agama, bangsa dan negara.
Sistem pendidikan
Islam merupakan satu metode dan sistem yang khas, baik dari segi alat maupun
tujuannya, sehingga dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi
interaksi yang luas antara Islam dengan berbagai sistem pendidikan dan sistem
kehidupan. Dalam pemikiran atas pendidikan Islam, tidak dikenal adanya
pengkotakan dalam sistem pendidikan. Kalau dikatakan penggolongan dalam sistem
pendidikan, maka Islam itu sendiri adalah sistem pendidikan yang utuh. Namun
dalam kenyataan seringkali ada perbedaan pandangan dalam sistem pendidikan
Islam. Akibatnya, sasaran pembinaan peserta didik yang berorientasi vertikal
menjadi tumpul dan mandul, sedangkan orientasi horizontal yaitu pada segi
pemanfaatan keilmuwan menjadi dangkal.
Proses pendidikan
Islam harus mengacu kepada keutuhan orientasi disiplin pendidikan yang
memandang manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan selain itu juga berpegang
kepada kefitrahan manusia. Sistem pendidikan Islam yang selama ini masih kurang
integratif atau terpadu dan ekslusif perlu dibenahi dan ditata kembali sesuai
dengan petunjuk-petunjuk yang digariskan ajaran Islam
Fenomena yang
terjadi saat ini adalah maraknya pola pendidikan agama yang berwawasan multikultural.
Wacana pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan di era
globalisasi yang mengandaikan bahwa pendidikan sebagai ruang tranformasi budaya
hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural, bukan monokultural. Untuk
memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta memebongkar praktik-praktik diskriminatif
dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang masih kita ketahui peranginya dalam
dunia pendidikan nasional kita, bahkan hingga saat ini.
Dalam konteks ini,
pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif, pendekatan ini sejalan
dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam Undang-Undang
dan Sistem Pendidikan (SISDIKNAS) Tahun 2003 pasal 4 ayat 1, yang berbunyi
bahwa “pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi
hak asai manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa”.[1]
Pendidikan
multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan persamaan hak dalam
pendidikan. Dalam doktrin Islam, ada ajaran kita tidak boleh membeda-beda
etnis, ras dan lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan adalah ketaqwaan
kepada Allah SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan multikultural hal ini
mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan,
dalam Islam tidak ada pembedaan dan pembatasan di antara manusia dalam haknya
untuk menuntut atau memperoleh ilmu pengetahuan.
Dengan menggunakan
berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta mengimplementasikanya yang
mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan mennghargai pluralisme, demokrasi
dan humanisme, diharapkan para generasi penerus menjadi ”Generasi
Multikultural” yang menghargai perbedaan, selalu menegakan nilai-nilai
demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang.
Pendidikan dan
masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik. Artinya, bila pada
satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat
multikultural, disisi lain masyarakat multikultural dengan segala karakternya
memiliki potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan. Ini
berarti, penguatan disatu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi
penguatan pada sisi lain.
Penguatan terhadap
pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan mengefektifkan kegiatan
belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural.
Di sisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola
potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran
pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara
simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan
maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri.
Sebagai suatu
pandangan, hendaknya pluralitas agama tidak boleh dipandang hanya sebatas
kognitif semata bukan hanya sekedar menghafal nama-nama Tuhan, malaikat, dan
nabi atau rasul serta nama atau tempat-tempat ibadah saja melainkan dan lebih
penting lagi bahwa ini merupakan masukan yang akan melahirkan sikap apresiatif
yang akan melandasi suatu perbuatan, karena inti dari Pendidikan Agama Islam
ialah selain dari menumbuhkan budaya kritis dan kreatif dan juga bukan hanya
meningkatkan kemampuan ritual dan keyakinan tauhid semata, melainkan juga
meningkatkan akhlak sosial dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, dalam perkembangan
masyarakat yang pluraritas ini, realitas kemajemukan agama merupakan tantangan
bagi pendidikan agama Islam.
Karena itu, selain
dari religius study (studi agama)
yang dibenahi, pada level pendidikan pun layak kiranya dikembangkan sebuah
pendidikan berparadigma multikultularisme. Mengapa pada level pendidikan? Hal
ini dikarenakan pendidikan di Indonesia seringkali mengabaikan persoalan ini,
padahal kita menyadari betul bahwa pendidikan merupakan lading persemaian
kesadaran multikulturalisme.
Corak pendidikan
yang berkembang saat ini cenderung monokultur, hanya mengadopsi dan mempelajari
budaya sendiri, bahkan budaya sendiri dianggap seperti ideologi yang harus
diikuti. Kalau terus-terusan seperti ini selalu bersifat monokultur maka tidak
heran kalau banyak dari masyarakat yang tidak menyadari bahwa keberadaannya di
dunia ini sangat beraneka ragam (multikultur), yang mana dalam kehidupan ini
mereka harus bergaul antara yang satu dengan yang lainnya dengan cara sopan
santun dan berakhlak mulia. Bukan dengan cara bertikai atau membuat kerusuhan
sehingga banyak memakan korban jiwa, harta, keluarga dan yang lainnya.
Terkait dengan hal
tersebut di atas, maka di era globalisasi dan informasi yang sarat dengan pluralisme
dan multikulturalisme seperti sekarang ini, Pendidikan Islam sedang mendapat
tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari
eksklusivitas beragama.
Di sekolah-sekolah
Islam dari levelnya yang paling rendah (Madrasah Ibtidaiyah) bahkan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) dan sampai ke Perguruan Tinggi (PT), fenomena ini tumbuh
subur. Paradigma pendidikan Islam yang eksklusif. Doktrin ini telah menciptakan
kesadaran umatnya untuk memandang agama lain secara amat berbeda, bahkan
bermusuhan. Kondisi inilah yang menjadikan Pendidikan Islam sangat eksklusif
dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dan multikuluralisme dewasa ini,
pendidikan Islam mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang
bagaimana membentuk kesadaran peserta didiknya berwajah inklusif dan toleran.
Inilah tantangan serius dalam mengembangkan pendidikan Islam di tanah air
Indonesia. Sementara itu, sejatinya pendidikan Islam merupakan pendidikan yang
bersifat integratif untuk sepenuhnya berorientasi pada tujuan Islam.
Keterpaduan ini akan menghapuskan ambivalensi orientasi dan adanya dikotomi
serta menghidupkan kembali sistem pendidikan menurut pandangan Islam yang
berorientasi masa depan.
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas penulis tertarik untuk mengkajinya dalam suatu skripsi
dengan judul “Pendidikan Multikultural
ditinjau dari Perspektif Filsafat Pendidikan Islam” yang menurut penulis
tentang permasalahan tersebut sangat urgen dan menarik untuk diteliti secara
lebih mendalam. Karena hal ini mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap
kehidupan keberagaman di Indonesia yang erat dengan pluralisme dan multi-kulturalisme.
[1] UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, 2003, hal.5
maaf min. makalahnya dimana?
BalasHapus