Kata insan
merupakan nama lain dari manusia yang berasal dari bahasa arab yakni al-Insan.
Kata insan sendiri disebut sebanyak 65 kali dalam al-Qur`an dan istilah ini
digunakan dalam kitab suci dalam tiga konteks. Pertama, insan yang
dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah pemikul amanah. Kedua, insan
dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam dirinya. Ketiga, insan
dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insan tersebut
merujuk pada sifat-sifat psikiologis dan spiritual-intelektual terkecuali
konteks yang ketiga.[1]
Pada kategori
pertama, keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dari makhluk hewani. Menurut
al-Quran, insan adalah makhluk yang diberikan ilmu dan diajarkan bahasa
konseptual.[2] Dengan
mempergunakan istilah insan, al-Quran menjelaskan
manusia adalah makhluk yang mengemban amanah. Menurut Fazlur Rahman, amanah itu
adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam istilah al-Quran
mengetahui nama-nama semuanya, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif
moral insani untuk menciptakan dunia yang baik.[3]
Beberapa mufassir menjelaskan makna amanah sebagai predisposisi untuk beriman
dan menaati petunjuk Allah, amanah ini yang dalam ayat al-Quran disebut sebagai
perjanjian dan komitmen yang digambarkan secara metaforis.[4]
Berkaitan dengan
amanah yang dipikul oleh manusia, insan juga dihubungkan dengan konsep tanggung
jawab. Ia diwasiatkan untuk tetap berbuat baik dan seluruh amal perbuatannya
akan dicatat untuk diberi imbalan atau balasan. Karena itu, insanlah yang
dimusuhi syetan dan ditentukan nasibnya di hari kiamat. [5]
Dalam menerapkan amanah Tuhan ini, insan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Bila ditimpa musibah ia cenderung menyembah Allah dengan khidmat, bila mendapat
keberuntungan ia cenderung sombong, takabur, bahkan musyrik. Sebagaimana Allah
SWT telah berfirman dalam Q.s. At-Taubah: 17
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu
memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri
kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam
neraka.”
Pada kategori
kedua, kata insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Menurut al-Quran
manusia cenderung zalim dan kafir, tergeda-gesa, bakhil, bodoh, suka berbantah
dan berdebat dan berdebat, resah gelisah susah dan menderita, tidak
berterimakasih, dan suka berbuat dosa serta meragukan hari kiamat.[6]
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, insan
menjadi makhluk paradoksal yang berjuang mengatasi konflik antara dua kekuatan
yang saling bertentangan yaitu kekuatan untuk mengikuti fitrah (memikul amanah
Allah) dan kekuatan untuk mengikuti predisposisi negatif.[7]
Manusia terdiri
dari jasad dan ruh. Jasad adalah lembaga ruh dan ruh adalah hakikat manusia,
karena hanya dengan ruh, manusia dapat mengetahui sesuatu.[8]
Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry tentang manusia, sangat diwarnai oleh ajaran
mistik yang dianutnya. Ia memandang manusia sebagai makhluk Allah yang paling
sempurna di dunia ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Arabi sebelumnya bahwa
insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna.[9].
Hal ini bukan saja karena manusia itu merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan
citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan) asma dan sifat
Allah yang paling lengkap dan menyeluruh. Allah menjadikan Adam (manusia)
sesuai dengan citra-Nya dan karena itu ia dijadikan dengan cara tersendiri.
Berbeda dengan kejadian makhluk-makhluk lainnya.[10]
Manusia pada
hakikatnya bukan jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur itu, akan tetapi
ruh yang berada dalam dirinya dan yang selalu mempergunakan jasad dalam
melakukan tugasnya.[11]
Ruh yang dimaksudkan oleh Syekh Nuruddin ar-Raniry sebagai hakikat manusia
adalah sama pengertiannya dengan nafs nāthiqah (jiwa berpikir)[12]
yang terdapat dalam filsafat Islam.
Menarik untuk
dianalisis proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia itu dinisbahkan
pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagi insan manusia
diciptakan dari tanah liat, sari pati tanah,. Demikian pula, basyar berasal
dari tanah liat dan air. Ini menjunjukkan bahwa proses penciptaan manusia
menggambarkan secara simbolik karakteristik basyari dan insani. Menurut
Yusuf al-Qardhawi, manusia adalah gabungan dari kekuatan tanah dan hembusan
Illahi, yang pertama unsure material dan yang kedua unsure rohani atau yang
pertama unsure basyari dan yang kedua unsur insani.[13]
Keduanya harus bergabung dalam keseimbangan, seperti apa yang dikatakan Abbas
Mahmud al-`Aqqad bahwa “Tidak boleh seorang muslim mengurangi hak-hak tubuh
untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh mengurangi hak ruh untuk memenuhi hak
tubuh”.[14]
Penciptaan
manusia menurut Syekh Syamsuddin Sumatrani, merupakan realisasi dari kehendak
Tuhan untuk ber-tajalli pada bukan-diri-Nya dengan tajalli yang paling jelas.[15]
Hal ini diperkuat dengan ungkapan yang
juga dipandangnya sebagai hadis qudsi, yang berbunyi sebagai berikut, yang
artinya “Aku tidak menampakkan diri pada sesuatu seperti penampakan-Ku
melalui manusia”.[16]
Manusia bila
dilihat dari unsur-unsurnya masuk dalam dua unsur, yakni lahiriah dan batiniah.
Unsur lahiriah mencakup tanah, air, udara dan api, sedangkan unsur batiniah disebut juga “manusia
hakiki” yang mencakup wujud, `Ilm, dan syuhud, dengan artian
bahwa wujud itu adalah Dzat, `ilm adalah sifat-sifat, nur adalah nama-nama, dan
syuhud adalah perbuatan-perbuatan.[17]
Pada diri
manusia terdapat potensi yang diciptakan secara fitri, berfungsi sebagai
penggerak tingkah laku manusia. Penggerak tingkah laku ini mempunyai peranan
penting sekurang-kurangnya dalam dua hal. Pertama, mewarnai corak
tingkah laku manusia, kedua, menentukan makna atau nilai perbuatan
tersebut. Hal-hal yang menggerakan tingkah laku manusia tersebut adalah fitrah,
syahwah, dan hawa. Dalam tinjauan tasawuf, ketiga hal ini yang
menjadi dorongan, motivasi, manusia melakukan perbuatan-perbuatan dalam
kehidupannya.[18]
Persoalan
penting dengan perbuatan ini adalah bagaimana menjadikan fitrah itu dapat
selalu mengarah pada kebenaran, karena sejatinya manusia secara fitrah
cenderung hanif (cenderung pada kebenaran).[19]
Bagaimana pula menekan syahwah yang sebenarnya netral dapat bertahan
pada sikap yang moderat dan tidak melampaui batas serta mengikis habis dorongan
hawa yang cenderung pada hal-hal negatif. Persoalan ini yang kemudian
menjadi perhatian ilmu tasawuf, logika yang digunakan apabila manusia dapat
membersihkan kecenderungan negatif dalam dirinya maka dampaknya akan terlihat
pada tingkah lakunya sehari-hari. Ia akan memperlihatkan perbuatan baik
sehingga pada gilirannya ia akan mampu menunjukkan sifat-sifat Tuhan dalam
dirinya. Jika manusia berhasil meraih kondisi ini maka dia disebut dengan insan
kamil.
Pada satu sisi
manusia merupakan hamba (`abd) dan pada sisi lain sebagai khalifah.
Sebagai ‘abd (basyr) manusia memiliki keterbatasan, sedangkan
sebagai khalifah (insan dan al-nas) manusia memiliki kebebasan yang
selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan sosial manusia. Kemanusiaannya
akan menjadi utuh ketika ia berhasil menyeimbangkan dimensi kehambaannya dengan
dimensi kekhalifahannya. Memisahkan salah satu dari keduanya membuat manusia
mengalami keterpecahan pribadi dan mengalami penyakit kejiwaan seperti
kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang dan psikosomatik.[20]
Seseorang yang
mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah, tanpa perduli dengan
pengembangan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, akan mengalami kesepian dan
tekanan kejiwaan. Ia merasa tidak berharga dihadapan orang lain dan merasa
tidak dibutuhkan. Sebaliknya orang yang mengabdikan dirinya untuk ilmu
pengetahuan dan kemanusiaan tanpa peduli dengan perkembangan spiritualitasnya,
akan mengalami kehampaan spiritual. Menyeimbangkan antara kedua fungsi `abd dan
khalifah tersebut merupakan hal yang perlu dilakukan, mengingat posisi manusia
sebagai `abd senantiasa harus menghambakan dirinya kepada Allah dengan
melaksanakan ibadah-ibadah yang telah diperintahkan-Nya, sedangkan posisinya
sebagai khalifah ia harus senantiasa mengembangkan kreatifitas diri sehingga ia
dapat berbuat kebaikan untuk kemanusiaan.
Implikasi dari
kesadaran sebagai hamba ini membuat manusia menjadi hamba yang taat kepada
Allah SWT dengan banyak melakukan amal-amal baik (amal sholeh) yang bersifat
individual maupun sosial. Seluruh ibadah tersebut harus dilaksanakannya dengan
kesadaran dengan oreintasi pengabdian kepada Allah (ikhlas). Suasana mental
seperti inidalam bahasa al-Qur`an disebut dengan khusu`.[21] Kekhusu`an
itu bukan hanya dirasakan sebagai kepuasan spiritual yang dinikmati sendiri
tetapi juga memiliki pengaruh sosial yang membuat kehidupan masyarakat menjadi
lebih baik dan bermoral.
[2] Azhari Akmal Tarigan,
Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai dasar Perjuangan (NDP), (Jakarta;
Kultura, 2007), Hlm. 69.
[3] Fazlur Rahman, Tema-tema
Pokok al-Qur`an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung; Pusataka, 1983), Hlm. 28.
[4] Ibid., Azhari
Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir…, Hlm. 69-70.
[5] Lihat Q.s. al-Qiyamah
(75): 3, 10, 13, 14 dan Luqman (31): 14.
[6] Ibid., Nur
Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim …, Hlm. 134.
[7] Lois Lohaiy, Manusia
Makhluk Paradoksal, (Jakarta; Gramedia, 1984), Hlm. 212-213.
[8] Ahmad Daudy, Allah
dan Manusia: Dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry, (Jakarta; CV.
Rajawali, 1983), Hlm.131.
[9] Pandangan demikian
didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas.
Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan,
arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak
mempunyai relasi dengan sesuatu. Lihat Yunasril Ali, Manusia Citra
Ilahi, (Jakarta; Paramadina, 1997), Hlm. 49.
[10] Ibid., Ahmad
Daudy, Allah dan Manusia…, Hlm. 131.
[11] Ia dengan tegas
membedakan ruh dengan jasad karena ruh berasal dari alam arwah dan memerintah
serta mempergunakan jasad sebagai alatnya, sedangkan jasad berasal dari alam
khalk (alam ciptaan) yang dijadikan dari anasir materi. Lihat Ibid., Hlm.
133
[12] Ibid.
[13] Ibid., Azhari
Akmal Tarigan, Islam Mazhab …, Hlm. 70.
[14] Abbas Mahmud
al-`Aqqad, Insan Qur`ani Abad Modern, (Yogyakarta; Titian Illahi Pers,
1995), Hlm. 43
[15] Abdul Aziz Dahlan, Penilaian
teologis Atas paham Wadatul Wujud, Tuhan, Alam, Manusia: dalam tasawuf
syamsuddin sumatrani, (Padang; IAIN-IB Press, 1999), Hlm. 102
[16] Ajarannya tersebut
mengandung pengertian bahwa tajalli Tuhan melalui setiapa bagian alam tidaklah
sama tingkat kejelasannya, dan yang paling jelas secara umum tajalli itu
melalui manusia. Jadi, lebih jelas dari pada melalui bagian-bagian alam yang
lain. Dapat dikatakan juga bahwa alam manusia berpotensi untuk dapat
membayangkan lebih terang atau lebih banyak sifat-sifat ketuhanan melalui
dirinya. Lihat Ibid., Hlm. 102-103.
[17] Ibid., Hlm.
103
[18] Ibid., Azhari
Akmal Tarigan, Islam Mazhab…, Hlm. 76-77.
[19] Lihat Q.. Ar-Rum
(30): 30
[20] Ahmad Mubarok, Jiwa
Dalam al-Qur`an; Solusi Krisis Kemanusiaan Modern, (Jakarta; Paramadina,
2000), Hlm. 8.
[21] Ibid., Azhari
Akmal Tarigan, Islam Mazhab…, Hlm. 79