Sabtu, 30 Mei 2015

KONSEP INSAN KAMIL



Kata insan merupakan nama lain dari manusia yang berasal dari bahasa arab yakni al-Insan. Kata insan sendiri disebut sebanyak 65 kali dalam al-Qur`an dan istilah ini digunakan dalam kitab suci dalam tiga konteks. Pertama, insan yang dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam dirinya. Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insan tersebut merujuk pada sifat-sifat psikiologis dan spiritual-intelektual terkecuali konteks yang ketiga.[1]
Pada kategori pertama, keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dari makhluk hewani. Menurut al-Quran, insan adalah makhluk yang diberikan ilmu dan diajarkan bahasa konseptual.[2] Dengan mempergunakan istilah insan, al-Quran menjelaskan manusia adalah makhluk yang mengemban amanah. Menurut Fazlur Rahman, amanah itu adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam istilah al-Quran mengetahui nama-nama semuanya, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral insani untuk menciptakan dunia yang baik.[3] Beberapa mufassir menjelaskan makna amanah sebagai predisposisi untuk beriman dan menaati petunjuk Allah, amanah ini yang dalam ayat al-Quran disebut sebagai perjanjian dan komitmen yang digambarkan secara metaforis.[4] 
Berkaitan dengan amanah yang dipikul oleh manusia, insan juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab. Ia diwasiatkan untuk tetap berbuat baik dan seluruh amal perbuatannya akan dicatat untuk diberi imbalan atau balasan. Karena itu, insanlah yang dimusuhi syetan dan ditentukan nasibnya di hari kiamat. [5] Dalam menerapkan amanah Tuhan ini, insan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Bila ditimpa musibah ia cenderung menyembah Allah dengan khidmat, bila mendapat keberuntungan ia cenderung sombong, takabur, bahkan musyrik. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Q.s. At-Taubah: 17
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.”
Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Menurut al-Quran manusia cenderung zalim dan kafir, tergeda-gesa, bakhil, bodoh, suka berbantah dan berdebat dan berdebat, resah gelisah susah dan menderita, tidak berterimakasih, dan suka berbuat dosa serta meragukan hari kiamat.[6] Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, insan menjadi makhluk paradoksal yang berjuang mengatasi konflik antara dua kekuatan yang saling bertentangan yaitu kekuatan untuk mengikuti fitrah (memikul amanah Allah) dan kekuatan untuk mengikuti predisposisi negatif.[7]
Manusia terdiri dari jasad dan ruh. Jasad adalah lembaga ruh dan ruh adalah hakikat manusia, karena hanya dengan ruh, manusia dapat mengetahui sesuatu.[8] Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry tentang manusia, sangat diwarnai oleh ajaran mistik yang dianutnya. Ia memandang manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Arabi sebelumnya bahwa insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna.[9]. Hal ini bukan saja karena manusia itu merupakan khalifah Allah  di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh. Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya dan karena itu ia dijadikan dengan cara tersendiri. Berbeda dengan kejadian makhluk-makhluk lainnya.[10]
Manusia pada hakikatnya bukan jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur itu, akan tetapi ruh yang berada dalam dirinya dan yang selalu mempergunakan jasad dalam melakukan tugasnya.[11] Ruh yang dimaksudkan oleh Syekh Nuruddin ar-Raniry sebagai hakikat manusia adalah sama pengertiannya dengan nafs nāthiqah (jiwa berpikir)[12] yang terdapat dalam filsafat Islam.
Menarik untuk dianalisis proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia itu dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagi insan manusia diciptakan dari tanah liat, sari pati tanah,. Demikian pula, basyar berasal dari tanah liat dan air. Ini menjunjukkan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolik karakteristik basyari dan insani. Menurut Yusuf al-Qardhawi, manusia adalah gabungan dari kekuatan tanah dan hembusan Illahi, yang pertama unsure material dan yang kedua unsure rohani atau yang pertama unsure basyari dan yang kedua unsur insani.[13] Keduanya harus bergabung dalam keseimbangan, seperti apa yang dikatakan Abbas Mahmud al-`Aqqad bahwa “Tidak boleh seorang muslim mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh mengurangi hak ruh untuk memenuhi hak tubuh”.[14]  
Penciptaan manusia menurut Syekh Syamsuddin Sumatrani, merupakan realisasi dari kehendak Tuhan untuk ber-tajalli pada bukan-diri-Nya dengan tajalli yang paling jelas.[15] Hal  ini diperkuat dengan ungkapan yang juga dipandangnya sebagai hadis qudsi, yang berbunyi sebagai berikut, yang artinya “Aku tidak menampakkan diri pada sesuatu seperti penampakan-Ku melalui manusia”.[16]
Manusia bila dilihat dari unsur-unsurnya masuk dalam dua unsur, yakni lahiriah dan batiniah. Unsur lahiriah mencakup tanah, air, udara dan api,  sedangkan unsur batiniah disebut juga “manusia hakiki” yang mencakup wujud, `Ilm, dan syuhud, dengan artian bahwa wujud itu adalah Dzat, `ilm adalah sifat-sifat, nur adalah nama-nama, dan syuhud adalah perbuatan-perbuatan.[17]
Pada diri manusia terdapat potensi yang diciptakan secara fitri, berfungsi sebagai penggerak tingkah laku manusia. Penggerak tingkah laku ini mempunyai peranan penting sekurang-kurangnya dalam dua hal. Pertama, mewarnai corak tingkah laku manusia, kedua, menentukan makna atau nilai perbuatan tersebut. Hal-hal yang menggerakan tingkah laku manusia tersebut adalah fitrah, syahwah, dan hawa. Dalam tinjauan tasawuf, ketiga hal ini yang menjadi dorongan, motivasi, manusia melakukan perbuatan-perbuatan dalam kehidupannya.[18] 
Persoalan penting dengan perbuatan ini adalah bagaimana menjadikan fitrah itu dapat selalu mengarah pada kebenaran, karena sejatinya manusia secara fitrah cenderung hanif (cenderung pada kebenaran).[19] Bagaimana pula menekan syahwah yang sebenarnya netral dapat bertahan pada sikap yang moderat dan tidak melampaui batas serta mengikis habis dorongan hawa yang cenderung pada hal-hal negatif. Persoalan ini yang kemudian menjadi perhatian ilmu tasawuf, logika yang digunakan apabila manusia dapat membersihkan kecenderungan negatif dalam dirinya maka dampaknya akan terlihat pada tingkah lakunya sehari-hari. Ia akan memperlihatkan perbuatan baik sehingga pada gilirannya ia akan mampu menunjukkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Jika manusia berhasil meraih kondisi ini maka dia disebut dengan insan kamil.
Pada satu sisi manusia merupakan hamba (`abd) dan pada sisi lain sebagai khalifah. Sebagai ‘abd (basyr) manusia memiliki keterbatasan, sedangkan sebagai khalifah (insan dan al-nas) manusia memiliki kebebasan yang selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan sosial manusia. Kemanusiaannya akan menjadi utuh ketika ia berhasil menyeimbangkan dimensi kehambaannya dengan dimensi kekhalifahannya. Memisahkan salah satu dari keduanya membuat manusia mengalami keterpecahan pribadi dan mengalami penyakit kejiwaan seperti kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang dan psikosomatik.[20]
Seseorang yang mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah, tanpa perduli dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, akan mengalami kesepian dan tekanan kejiwaan. Ia merasa tidak berharga dihadapan orang lain dan merasa tidak dibutuhkan. Sebaliknya orang yang mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan dan kemanusiaan tanpa peduli dengan perkembangan spiritualitasnya, akan mengalami kehampaan spiritual. Menyeimbangkan antara kedua fungsi `abd dan khalifah tersebut merupakan hal yang perlu dilakukan, mengingat posisi manusia sebagai `abd senantiasa harus menghambakan dirinya kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah yang telah diperintahkan-Nya, sedangkan posisinya sebagai khalifah ia harus senantiasa mengembangkan kreatifitas diri sehingga ia dapat berbuat kebaikan untuk kemanusiaan.
Implikasi dari kesadaran sebagai hamba ini membuat manusia menjadi hamba yang taat kepada Allah SWT dengan banyak melakukan amal-amal baik (amal sholeh) yang bersifat individual maupun sosial. Seluruh ibadah tersebut harus dilaksanakannya dengan kesadaran dengan oreintasi pengabdian kepada Allah (ikhlas). Suasana mental seperti inidalam bahasa al-Qur`an disebut dengan khusu`.[21] Kekhusu`an itu bukan hanya dirasakan sebagai kepuasan spiritual yang dinikmati sendiri tetapi juga memiliki pengaruh sosial yang membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan bermoral.



[1]
[2] Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai dasar Perjuangan (NDP), (Jakarta; Kultura, 2007), Hlm. 69.
[3] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur`an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung; Pusataka, 1983), Hlm. 28.
[4] Ibid., Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir…, Hlm. 69-70.
[5] Lihat Q.s. al-Qiyamah (75): 3, 10, 13, 14 dan Luqman (31): 14.
[6] Ibid., Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim …, Hlm. 134.
[7] Lois Lohaiy, Manusia Makhluk Paradoksal, (Jakarta; Gramedia, 1984), Hlm. 212-213.
[8] Ahmad Daudy, Allah dan Manusia: Dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry, (Jakarta; CV. Rajawali, 1983), Hlm.131.
[9] Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Lihat Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta; Paramadina, 1997), Hlm. 49.
[10] Ibid., Ahmad Daudy, Allah dan Manusia…, Hlm. 131.
[11] Ia dengan tegas membedakan ruh dengan jasad karena ruh berasal dari alam arwah dan memerintah serta mempergunakan jasad sebagai alatnya, sedangkan jasad berasal dari alam khalk (alam ciptaan) yang dijadikan dari anasir materi. Lihat Ibid., Hlm. 133
[12] Ibid.
[13] Ibid., Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab …, Hlm. 70.
[14] Abbas Mahmud al-`Aqqad, Insan Qur`ani Abad Modern, (Yogyakarta; Titian Illahi Pers, 1995), Hlm. 43
[15] Abdul Aziz Dahlan, Penilaian teologis Atas paham Wadatul Wujud, Tuhan, Alam, Manusia: dalam tasawuf syamsuddin sumatrani, (Padang; IAIN-IB Press, 1999), Hlm. 102
[16] Ajarannya tersebut mengandung pengertian bahwa tajalli Tuhan melalui setiapa bagian alam tidaklah sama tingkat kejelasannya, dan yang paling jelas secara umum tajalli itu melalui manusia. Jadi, lebih jelas dari pada melalui bagian-bagian alam yang lain. Dapat dikatakan juga bahwa alam manusia berpotensi untuk dapat membayangkan lebih terang atau lebih banyak sifat-sifat ketuhanan melalui dirinya. Lihat Ibid., Hlm. 102-103.
[17] Ibid., Hlm. 103
[18] Ibid., Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab…, Hlm. 76-77.
[19] Lihat Q.. Ar-Rum (30): 30
[20] Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam al-Qur`an; Solusi Krisis Kemanusiaan Modern, (Jakarta; Paramadina, 2000), Hlm. 8.
[21] Ibid., Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab…, Hlm. 79

Pendidikan Karakter di Sekolah



Dewasa ini fenomena  intolerenasi dalam kehidupan agama di  Indonesia tampaknya meningkat. Penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. Dalam survei CSIS yang dilakukan pada bulan Februari tahun 2011 di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden menunjukkan bahwa meskipun 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain, namun  33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.[1]
Menurut Laporan Wahid Institute 2012,   apabila  dibandingkan  dengan  tahun  2011,  data - data  kasus  pelanggaran  kebebasan  beragama  dan  berkeyakinan  yang  terjadi  tahun  2012  ini  mengalami  peningkatan  jumlah  yakni  110  kasus  berbanding  93  kasus  atau  meningkat  sekitar  8  %.  Jika  pada  tahun  2011  rata - rata  terjadi  7 kasus  pelanggaran  perbulan,  maka  pada  tahun  2012  ini  meningkat  menjadi  rata- rata  9  kasus perbulan.  Bahkan  apabila  bulan  Desember  tidak  dihitung,  maka  rata- rata  pelanggaran  perbulan adalah  10  kasus. Tindakan brutal sekelompok orang yang mengaku ingin menegakkan agama dengan teror, ancaman, dan cara-cara kekerasan lainnya, sehingga melanggar kebebasan orang untuk beragama dan berkeyakinan juga masih sering muncul. Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh non state  dengan 57 kasus. [2]  
Fenomena itu tidak hanya terjadi di masyarakat tapi juga di lemabaga pendidikan atau  sekolah. Survey yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat)  Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 guru pengajar agama Islam di sekolah negeri maupun swasta seluruh Jawa pada tahun 2008 memperlihatkan bahwa kebanyakan responden menolak pluralisme dan cenderung mempertahankan pandangan keagamaan konservatif dan radikal. Misalnya : 68,6 % guru agama menolak non-Muslim menjadi kepala sekolah. 33,8 % menolak guru non Muslim di sekolah mereka, 87 % mereka meminta muridnya agar tidak mempelajari agama lain.,47,5% dari mereka juga mendukung hukuman potong tangan bagi pencuri, sementara 21,3 % dari mereka mem- back up perlunya hukuman mati bagi Muslim yang murtad. Azyumardi Azra , dalam komentarnya terhadap hasil survey yang dilakukan oleh PPIM ini mengatakan : the surveyed Islamic studies teachers had probably never been exposed to pluralistic views. He said the Religious Affairs Ministry had probably encouraged them to become Islamic studies teachers , but failed to “refresh” their outdated views on Islam.” It is actually the ministry’s responsibility to counter such (anti pluralistic) views. It has to organize regular trainings for these teachers to instill wider and more comprehensive perspective into their minds.” Said Azyumardi , who is a former UIN rector. [3]
Dewasa ini juga masih sering muncul wacana yang mempertentangkan Islam dan demokrasi, Islam dan Pancasila dengan tujuan  melemahkan konsolidasi demokrasi dan  Ideologi Pancasila.    Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu contoh kelompok yang sering mempertentangkan secara terbuka antara syariah dan demokrasi , antara kedualatan Tuhan dan kedaulatan rakyat yang ujungnya mau menggantikan Negara Pancasila dengan Negara Islam (khilafat) yang cenderung teokratis.  [4]
Dewasa ini juga tampak fenomena menurunnya karakter bangsa yang ditandai dengan budaya instant dan  prilaku korup yang terjadi di mana-mana. Organisasi Fund for Peace merilis indeks terbaru mereka mengenai Failed State Index 2012 di mana Indonesia berada di posisi 63. Sementara negara nomor 1 yang dianggap gagal adalah Somalia. Dalam membuat indeks tersebut, Fund for Peace menggunakan indikator dan subindikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Dalam penjelasan mereka, dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan indeks korupsi tersebut. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup berdasarkan indeks lembaga ini, Somalia. Negara yang dianggap paling baik adalah New Zealand. [5]
Menurut survey yang dilakukan oleh KPKa (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2011,Kementrian Agama menduduki ranking pertama dalam hal korupsi diantara 22 kementrian atau lembaga negara. Kementrian ini hanya mendapat 5.37 point dari 10 point, dibawah Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi  yang mendapat 5.44 point dan Kementrian Koperasi dan UKM yang mendapat 5.52 point. Pada tahun 2012 , KPK masih menempatkan Kementrian Agama sebagai kementrian yang terkorup bersama dengan kementrian Kehutanan.[6]
Tingginya tingkat korupsi di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam menunjukkan bahwa karakter amamah/ accountability dan tabligh/ transparency belum menjadi watak yang melekat pada sebagian bangsa ini termasuk mereka orang Islam yang sedang dipercaya memegang kekuasaan.
Kondisi demikian menjadikan lembaga pendidikan juga tidak lepas dari sasaran kritik. Sebab budaya instan dan prilaku korup juga sedikit banyaknya masuk kedalam di lingkungan pendidikan melalui prilaku permissive terhadap kecurangan dan ketidakjujuran. Akhmad Muzakki ketua  LP Maarif Nahdlatul Ulama, Jawa Timur yang juga dosen IAIN Sunan Ampel in Surabaya dalam tulisannya yang berjudul “Cheating on exams and character education  mengatakan
 : Obviously, cheating is another name for dishonesty. And, dishonesty is the beginning of all evil. Ineffective management of a country is precisely a consequence of the loss of honesty.  If honesty is no longer maintained in the practice of education, then education has greatly contributed to the institutionalization of the crime itself. Therefore, the problems of the National Examination have to be strongly put within the framework of character education for the development of the nation.[7] (Jelaslah, kecurangan adalah bentuk lain dari ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran adalah awal dari kejahatan. Manajemen negeri yang tidak efektif adalah sebagai konsekwensi dari hilangnya kejujuran. Jika kejujuran tidak lagi dipertahankan dalam praktek pendidikan  maka pendidikan akan memberikan kontribusi besar bagi institusionalisasi kejahatan. Oleh karena itu problem pada ujian nasional mesti diletakkan dalam kerangka pendidikan karakter untuk pembangunan bangsa).

Singkatnya, dewasa ini terdapat fenomena maraknya orang beragama tapi tidak memiliki karakter yang baik dan fenomena orang yang taat beragama tapi gagal menjadi warganegara yang baik. Inilah masalah serius yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang dihadapi lembaga pendidikan yang memang bertugas  mempersiapkan generasi penerus bangsa ini.  Sebab jika fenomena ini tidak segera diatasi bersama maka  kesenjangan antara cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan kenyataan yang dialami oleh rakyat Indonesia akan terus melebar. 
Pada lingkup dunia pendidikan, internalisasi pendidikan karakter siswa di sekolah merupakan permasalahan yang belum terpecahkan sejalan dengan kompleksitas perubahan lingkungan yang begitu cepat dan dinamis, hal ini terjadi karena belum optimalnya perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan. Internalisasi nilai-nilai pendidikan karakter siswa terus diupayakan oleh kepala sekolah, wali kelas, guru Bimbingan dan Konseling, guru, maupun baik melalui kegiatan pembelajaran (kurikuler) maupun ekstrakurikuler, akan tetapi belum memberikan dampak yang optimal bagi peningkatan akhlak siswa baik ditinjau dari sisi proses maupun output pendidikan karakter.
Pendidikan karakter yang dilakukan guru kurang optimal karena hanya memberikan bimbingan dan pengarahan, jika siswa tersebut sudah parah dan berbagai cara sudah dilakukan, akan tetapi siswa tersebut tidak berubah, maka guru PAI menyerahkan siswa tersebut untuk ditangani oleh wali kelas sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolah. Hal ini bukan dikarenakan guru PAI tidak mampu, akan tetapi guru tidak bisa atau tidak berhak memberikan hukuman karena tugasnya hanya membimbing dan mengarahkan, bukan menghukum dan yang berhak menghukum adalah wali kelasnya.
Pada umumnya, guru belum optimal dalam menggerakkan siswa serta memberikan dorongan agar mereka mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, masih banyak guru yang belum memberikan contoh keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Guru, di samping melaksanakan tugas mengajar, juga melaksanakan tugas pembinaan bagi peserta didik, membantu pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak, menumbuhkembangkan keimanan dan ketakwaan para siswa.
Evaluasi terhadap karakter siswa masih bersifat subyektif, karena berdasarkan pada nilai akademik yang diperoleh dari ulangan harian, maupun ujian-ujian lainnya serta praktek ibadah di sekolah. Dengan kata lain, penilaian guru terhadap karakters siswa masih pada tataran penilaian kognitif siswa.
Pendidikan karakter siswa dalam konteks pandangan Islam menyentuh keseluruhan ranah pendidikan, tidak saja menyampaikan materi pengetahuan agama kepada siswa tetapi juga membimbingnya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama yang mengedepankan al-akhlaq al-karimah sebagai perilaku dasar siswa. Untuk menunjang hal tersebut, di sekolah diajarkan berbagai ilmu sebagai bekal untuk kehidupan siswa. Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, para siswa diberikan pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan tujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Dalam pendidikan Islam, Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan yang mengandung aspek keilmuan maupun kemasyarakatan. Al-Qur’an juga sebagai media penawar hati, penasehat jiwa yang gersang terhadap perilaku jahiliyah yang amoral dengan hukum rimbanya. Menjadi obat bagi segala penyakit, bagi mereka yang mengimani dan mengikuti tuntunannya.
Sebagai sumber pedoman bagi umat Islam, Al Qur’an mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia, begitu pula dengan nilai yang berkaitan pendidikan. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mengandung motivasi pendidikan bagi umat manusia. Tapi pada proposal ini penulis membatasi pada ayat-ayat yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan.
Al-Qur’an yang didalamnya mencakup nilai-nilai karakter memberikan angin segar bagi semua manusia. Misal-misal yang diberikan al-Qur’an memberikan inspirasi dan pelajaran berharga bagi mereka yang mau mendalami kandungannya. Nilai-nilai pendidikan berdasarkan Al-Quran merupakan aktualisasi kurikulum dalam pembelajaran dan pembentukkan kompetensi serta karakter peserta didik. asas pendidikan yang harus dijadikan panduan oleh setiap orang tua pada masa  kini.  
Kajian ini dimaksudkan untuk memahami maksud ayat secara mendalam di samping mengetahui garis panduan pendidikan seperti yang dikehendaki oleh Islam berdasarkan Al-Quran telah mengutarakan sebuah pendidikan yang baik selaras dengan obyektif pendidikan Islam. Al-Quran telah mengemukakan kaidah pengajaran dan persembahan isi pendidikan yang tersusun rapi, mengikuti urutan, mantap serta sangat menarik. Kaidah yang dikemukakan oleh Al-Quran menekankan perkara perintah dan larangan, yang diiringi pula dengan alasan munasabah. Aspek perintah meliputi asas kesempurnaan beragama, kepercayaan kepada hari akhirat dan keutamaan berakhlak mulia sementara aspek larangan merangkum larangan syirik dan sifat sombong.
Berdasarkan penelitian awal di beberapa sekolah menunjukkan bahwa masih banyak problema siswa tentang pelanggaran nilai-nilai/norma yang diyakini, seperti; terjadinya perkelahian antar pelajar, pergaulan bebas, merokok, narkoba, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain; arus globalisasi (internet), tayangan TV, tokoh idola fiktif, lingkungan individualis (hilangnya amar ma’ruf nahi mungkar), ketidak-harmonisan hubungan anggota keluarga, dan sistem pendidikan yang tidak konsisten. Selain itu, masih banyak ditemukan siswa yang belum bisa baca tulis Al-Quran, rendahnya pengetahuan mereka terhadap masalah-masalah ibadah seperti tata cara sholat, wudhu, puasa dan sebagainya.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan diharapkan tidak hanya sebagai tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan saja, tetapi juga diharapkan dapat memberi bekal yang cukup dalam membentuk kepribadian siswa yang tangguh dalam menghadapi era globalisasi. Demikian juga ajaran-ajaran moral dan tata nilai yang berlaku di masyarakat juga menjadi prioritas yang tidak dapat diabaikan sekolah untuk ditanamkan kepada siswa.
Guru sebagai subyek dalam pendidikan yang paling berperan sebagai pengajar dan pendidik, terutama seorang guru agama dengan misi membangun mental anak bangsa harus telah menjadi seorang yang beriman, bertaqwa dan berbudi pekerti yang luhur, tanpa ada kriteria seperti itu, maka akan mustahil akan terwujud manusia Indonesia seperti yang telah dicita-citakan oleh bangsa ini, karena seorang guru memberikan ilmu, pengetahuan dan pengalaman kepada anak didiknya ibarat memberikan sesuatu kepada anak didiknya, maka ia hanya bisa memberikan sesuatu yang hanya ia miliki. Karena itu untuk mencetak anak didik yang beriman dan bertqwa maka seorang guru harus terlebih dahulu mempunyai modal iman dan taqwa.
Untuk membentuk karakter siswa yang baik, diperlukan upaya yang sistematis, seperti halnya pembinaan karakter siswa berbasis Al-Quran untuk meningkatkan akhlak terhadap siswa. Dengan kata lain, diperlukan sebuah manajemen khusus yang dikembangkan pihak sekolah untuk meningkatkan kualitas akhlak siswa.


[2] Lihat . Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebasan  Beragama dan Intoleransi 2012, The Wahid Institute
[3] Lihat : Erwida Maulia,” Islamic teachers lack pluralistic perspectives”, The Jakarta Post, November 27,2008
[4] Lihat : al-Wa'ie, No. 142 Tahun XII, 1-30 Juni 2012.hlm. 19.
[6] Sumber : “ Religious Affairs  Ministry on graft red  alert “,  The Jakarta Post, February 28, 2013. 
[7] Lihat. The Jakarta Post 28 April 2012

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...