Ada
tiga term utama yang digunakan oleh Nurcholish Madjid dalam merumuskan konsep
masyarakat madani, yaitu demokrasi, masyarakat madani, dan civility.
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, untuk menjalankan demokrasi perlu ruang
yang kondusif dan mampu memberi kehidupan untuk berdemokrasi di dalamnya. Ruang
atau rumah itu adalah masyarakat madani atau civil society. Adapun civility
adalah kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, berupa toleransi,
keterbukaan, dan kebebasan yang bertanggung jawab. Kualitas masyarakat madani
dapat diukur dari kualitas civility. Semakin terbuka dan bersedia untuk
menerima pandangan, pendapat, dan perbedaan, maka semakin tinggi kualitas civility
yang dimilikinya.
Lebih
lanjut Nurcholish Madjid memandang masyarakat madani merupakan sebuah bentuk
bangunan "kebersamaan". Masyarakat memiliki kesetaraan dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya. Hak-hak azasi dan seluruh kewajibannya
diakui dan dihormati oleh negara. Semua kalangan memiliki kesadaran penuh akan
peran dan tanggung jawab yang diembannya.
Nabi
Muhammad Saw telah jauh sebelum munculnya masyarakat modern memberi contoh
bagaimana membangun suatu peradaban yang ideal. Dengan hijrah ke Yatsrib, Nabi
kemudian melakukan reformasi besar sebagai tandingan peradaban yang dimiliki
oleh masyarakat Jahiliyah. Saat itu, masyarakat Arab secara sosio-kultural
mengalami krisis kemanusiaan, kering akan nilai etika-spiritual, dan sistem
kemasyarakatan yang tidak kondusif. Oleh karenanya, Nabi kemudian dalam
dakwahnya melakukan perombakan-perombakan secara sistematis dan gradual
(perlahan-lahan) agar masyarakat Arab memiliki kesadaran dan mau kembali kepada
ajaran dan petunjuk Ilahi. Proses panjang selama kurang lebih 23 tahun inilah
yang menurut Nurcholish Madjid sebagai sebuah proses transformasi menuju
masyarakat madani.
Untuk
menuju masyarakat madani tentu terdapat beberapa ciri utama yang harus dimiliki
masyarakat. Nurcholish Madjid menggambarkan 6 ciri utama yakni:
a.
Masyarakat Egaliter
Masyarakat egaliter atau egaliterianisme adalah masyarakat yang
mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di masyarakat dalam hak dan kewajiban
tanpa memandang suku, keturunan, ras, agama dan sebagainya.
b.
Penghargaan
Penghargaan yang dimaksud adalah penghargaan kepada orang lain
bukan atas dasar prestise, keturunan, ras, dan sebagainya melainkan penghargaan
atas prestasi dan kemampuan.
c.
Partisipasi dan keterbukaan
Ciri masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk tidak merasa
selalu benar, kemudian kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk
diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut Nurcholish
Madjid memberi peluang bagi adanya pengawasan sosial.
d.
Hukum dan keadilan
Hukum dan keadilan harus ditegakkan kepada siapa, kapan dan di mana
pun. Keadilan harus benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat.
e.
Toleransi dan pluralism
Kedua hal tersebut merupakan core (inti) dari civilty,
yaitu sikap menghargai berbagai perbedaan yang ada tanpa ada pemaksaan kehendak,
pendapat dan pandangan.
f.
Musyawarah dan demokrasi
Musyawarah dan demokrasi menjadi unsur utama dalam membentuk
masyarakat madani. Masyarakat madani merupakan masyarakat demokratis yang
selalu mengedepankan musyawarah. Musyawarah adalah korelasi positif yang
dibangun masyarakat dalam mempertemukan visi bersama serta memberikan hak dan
kewajiban secara adil dan sejajar.
Dapatkah bangsa Indonesia mengadopsi sistem sosial dalam masyarakat
madani ini? Dalam hal ini Nurcholish Madjid sangat optimis dengan menekankan
pada dua azas yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu azas toleransi
dan pluralisme. Kedua hal tersebut merupakan prestasi gemilang dalam sejarah
umat manusia di mana Nabi mampu menerapkan bentuk keharmonisan dan keadilan di
tengah-tengah kemajemukan dan berbagai perbedaan yang ada. Nurcholish Madjid
mengingatkan bahwa untuk membentuk masyarakat madani perlu adanya negara yang
kuat dan solid. Negara selain memberikan liberasi (kebebasan) namun harus
diiringi demokratisasi dan keterbukaan negara sendiri menghadapi partisipasi
masyarakatnya.
Nurcholish Madjid dalam setiap pemikirannya selalu berupaya melihat
segala sesuatu secara substantif dan memilih jalan tengah dari setiap
perdebatan baik secara teoritis dan praktis. Ia banyak terinspirasi pada
pemikiran yang mensintesakan pemikiran Barat dan Islam dan berupaya menjembataninya.
Oleh karenanya tidak heran ia banyak dikritik tentang pandangannya tentang
masyarakat madani sebagai "ijtihad kontemporer" untuk membangun
masyarakat ideal di Indonesia dengan mengambil contoh kehidupan Rasulullah dan
masyarakat Madinah. Ia dipandang terlalu menitikberatkan pada persoalan
kemajemukan dan kurang memperhatikan sistem khas (Islam) yang mengatur tatanan
masyarakat Madinah. Sehingga nampak kabur apakah konsep ini lebih dekat pada
masyarakat Islam Madinah ataukan kondisi masyarakat Barat dalam civil
society-nya. Sebab masyarakat yang dibangun Nabi Saw berlandaskan Aqidah
Islamiyah. Masyarakat atau pun negara bukan dibangun atas dasar kepentingan
yang sama, melainkan terbentuk atas dasar perspektif, perasaan, dan misi yang
sama.