a. At-Tadris
Asal katanya darasa, yang berarti menghapus,
menghilangkan dan berubah. At-Tadris adalah mashdar dari darasa yang fungsinya adalah li ta’diyat. Al-Maraghi menjelaskan
ungkapan darasa yaitu membaca
berulang-ulang dan terus menerus sehingga sampai pada tujuan. Dari hasil kajian
terhadap ayat-ayat Al-Quran tentang makna-makna at-tadris dapat disimpulkan bahwa tadris adalah suatu bentuk kegiatan yang
dilakukan mudaris untuk membaca dan
menyebutkan sesuatu kepada mutadarris
dengan berulang-ulang dan sering,
disertai
dengan mempelajari, mengungkapkan menjelaskan dan mendiskusikan dengan
bertujuan agar materi yang dibacakan atau disampaikan itu mudah dihafal dan
diingat.
b.
At-Tahdzib
At-Tahdzib adalah
mashdar dari hidzib. Makna asal
At-Tahdzib dan Al-Hadzbu, dapat diartikan membersihkan pohon dengan meranting
agar tumbuh baik dan bertambah besar. Kata At-Tahdzib selanjutnya mengalami
perubahan makna yakni bermakna pendidikan atau pengajaran. At-Tahdzib dalam
makna pendidikan dilihat dari sudut kebahasaan adalah penddikan yang bertujuan
untuk membersihkan atau menghilangkan sesuatu dari hal-hal yang tidak layak dan
tdak pantas, serta memperbaikinya dengan hal-hal yang baik. Pendidikan ini
lebih cenderung kepada pendidikan akhlak. (Rosidin, 2003 : 155)
c.
At-Ta’dib
At-Ta’dib adalah mashdar
dari addabu. Hal ini menunjukkan
makna mubalighat dan taktsir (berlebihan, benar-benar dan sering) kata addabahu
bermakna “allamahu fata-addaba
(mengajarrinya kemudian dia berbudi baik). Asal kata al-adbu menurut arti asal adalah udangan, dari arti ini selanjutnya
digunakan bagi makna undangan kepada suatu perjamuan atau pesta. Kata tersebut
pada masa kerjayaan Islam digunakan dalam makna yang sangat umum, yaitu bagi
semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal baik yang langsung berhubungan
dengan Islam maupun yang tidak langsung. Kata al-adab dalam bahasa bermakna budi pekerti yang baik, perilaku yang
terpuji dan sopan santun.
Kata At-Ta’dib diungkapkan dalam beberapa
hadist, diantaranya: barang saipa yang merawat tiga orang anak perempuan lalu
mendidik mereka, menikahkan mereka dan berbuat baik kepda mereka, maka ia akan
mendapatkan surga.
Al-Badri,
sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, mengemukakan bahwa pada zaman klasik, orang
hanya mengenal kata ta‘dib untuk menunjukkan kegiatan pendidikan.
Pengertian seperti ini terus terpakai sepanjang masa kejayaan Islam, hingga
semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia waktu itu disebut adab,
baik yang berhubungan langsung dengan Islam seperti: fiqh, tafsir, tauhid,
ilmu bahasa Arab dan sebagainya maupun yang tidak berhubungan langsung seperti
ilmu fisika, filasafat, astronomi, kedokteran, farmasi dan lain-lain. Semua
buku yang memuat ilmu tersebut dinamai kutub al-adab. Dengan demikian
terkenallah al-Adab al-Kabir dan al-Adab al-Shaghir yang
ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (w. 760 M). Seorang pendidik pada waktu itu disebut
Mu‘addib. (Ramayulis, 2004: 6).
Ta‘dib adalah
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.
Pengertian ini berdasarkan Hadis Nabi Saw.:"Tuhanku telah mendidikku dan telah membaguskan pendidikanku".
Dalam struktur telaah konseptualnya, ta‘dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm),
pengajaran (ta'lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dengan
demikian, ta'dib lebih lengkap
sebagai term yang mendeskripsikan proses pendidikan Islam yang sesungguhnya.
Dengan proses ini diharapkan lahir insan-insan yang memiliki integritas
kepribadian yang utuh dan lengkap.
Kelima kata di atas at-tarbiyah, a-ta’lim, at-tadris, at-tahdzib
maupun at-ta’dib menunjukkan sebuah
konsep pendidikan dalam Islam. Allah menerangkan tentang kelima akar pendidikan
ini sebagai isyarat untuk mengembangkan kegiatan pendidikan menjadi sebuah
proses yang menyeluruh menghadirkan setiap makna di atas untuk menciptakan
manusia yang ditinggikan derajatnya.
Melalui pendidikan
manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak
terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, penddikan
sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar
lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbaharui diri dan lingkungannya
tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercabut dari akar tradisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar