A.
Pendahuluan
Di dalam dunia
Islam saat ini, istilah filsafat sering dikonotasikan negatif. Sejak serangan
yang dilancarkan oleh al-Ghazali (w.505) terhadap filsafat yakni pada
pertengahan abad ke 10M dengan kitabnya yakni Tahafut al-Falasifah. Maka bisa dikatakan filsafat Islam di dunia
timur mengalami kematian. Namun itu tidak terjadi pada dunia Islam di Barat.
Hingga saat ini umat Islam masih banyak yang tidak mau menggunakan filsafat
sebagai cara berpikir.
Sebenarnya apa
yang dikritik oleh al-Ghazali terhadap filsafat sebenarnya bukan terletak pada
kesalahan filsafat, namun para filosof
muslim yang dianggapnya keliru dalam menyimpulkan sebuah problem. Seperti
qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui masalah partikular, dan lain sebagainya.
Inilah yang cukup mengusik pikiran al-Ghazali karena hal tersebut tidak sesuai
dengan ajaran al-Quran. Sehingga menggugahnya untuk mengkritik filsafat secara
pedas. Namun menariknya bahwa al-Ghazali dalam melakukan kritikannya juga
menggunakan filsafat. Ini menandakan bahwa filsafat sebenarnya tetap boleh
untuk digunakan oleh umat Islam namun haruslah sesuai dengan rambu-rambu yang
telah ditetapkan al-Quran dan sunnah.
Namun yang
terjadi saat ini adalah dimana para pengikutnya kemudian mensalahtafsirkan apa
yang dilakukan oleh al-Ghazali sehingga filsafat dilarang untuk dilakukan oleh
umat Islam, hingga sekarang. Mereka umumnya menganggap bahwa filsafat dan agama
Islam memiliki landasan yang berbeda dan ini sangat fundamental. Oleh karenanya
dunia Islam saat ini banyak yang tidak berfilsafat dalam kehidupan. Ini
tentunya berbeda dengan dunia Barat yang maju karena mereka berfilsafat dari
apa yang telah ditinggalkan oleh umat Islam di belahan Barat saat itu.
Istilah
filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh
banyak orang saat ini. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal,
sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan
berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat membahas
sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis
atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena
agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Agama dan
filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan
kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah
agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama
sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang
pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti
perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang
abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin
ini.
Masuknya filsafat dalam dunia islam sebenarnya telah
ada pada abad pertengahan hijriah, yaitu melalui dua madzhab, Neo Platonisme
yang masuk kepada dunia tasawuf, dan madzhab Paripatetik yang kelihatan lebih
banyak masuk kedalam bentuk skalastisisme ortodoks (kalam).[1] Akan tetapi
yang lebih ditekankan adalah masuknya filsafat melalui jalur Ilmu Kalam. Yaitu
ketika Ilmu Kalam menjadi persoalan yang sangat pelik antara beberapa kelompok,
seperti Mu’tazilah ataupun Ibnu Hambal dan Asy’aryiah. Kendatipun demikian Ilmu
Kalam tetap menjadi nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam
penggunaanya dalil-dalil akal melebihi
penggunaan dalil naqli yang nampak
pada perbincangan Mutakallimin. Atas dasar itulah para pakar memasukan Ilmu Kalam
dalam lingkup Filsafat.[2]
Walaupun obyek dan metode kedua ilmu tersebut (Fisafat
dan Ilmu Kalam) berbeda, tapi keduanya saling melengkapi dalam memahami islam
dan pembentukan aqidah muslim. Filsafat mengawali pembuktiannya dengan argumen
akal, kemudian pembenarannya melalui wahyu, sedangkan Ilmu Kalam mengawali
pembicaraan dengan wahyu, barulah kemudian didukung oleh argumen akal.[3]
Adapun pada perkembangannya, perhatian terhadap filsafat
sudah dimulai dengan penterjamahan buku-buku kedalam bahasa Arab pada masa
permulaan Daulah Umayah, yang kemudian jaman keemasannya terjadi pada masa
Daulah Abbasiyah yan berpusat di Baghdad, terutama pada masa Al-ma’mun (813-833
M), putra Harun al-Rasyid, yang dikenal dengan jaman penterjemahan.[4]
Walau sebenarnya, pada masa Abbasiyah kegiatan
penterjemahan dimulai oleh Khalifah Al-Mansur, akan tetapi kemajuan yang lebih
nyata dapat dicapai pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Ia termasuk seorang
intelektual yang gandrung kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia mendirikan
Bait al-Hikmah, yaitu sebuah akademi yang tidak hanya berfungsi sebagi wadah
penterjemahan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan filsafat dan sains. Yang
dipimpin oleh seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani, Hurain ibnu Ishak
(809-873 M.). Selain itu khalifah Al-Ma’mun juga mengirimkan utusan ke seluruh
kerajaan Byzantium untuk mencari buku-buku Yunani tentang berbagai sobyek. Dan
membayar setiap buku yang diterjemahkan dari bahasa asing ke bahasa Arab dengan
emas seberat buku yang diterjemahkan, diantara buku-buku itu adalah Thaetitus,
Cratylus, Parmenides, dan lain-lain sebagainya. [5]
Di samping kota Baghdad, juga ada kota-kota lain yang
dijadikan sebagai pusat pengembangan Sains dan Filsafat yaitu kota Marwa
(Persia tengah), Jundishyapur dan Harran. Dengan adanya penterjemahan itu, umat
Islam secara singkat dapat menguasai keintelektualan dari ketiga kebudayaan
yang sangat maju pada waktu itu yaitu Yunani, Persia, India. Yang kemudian
dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam menjadi kebudayaan yang lebih maju yang
tergambarkan dalam berbagai bidang ilmu dan mazhab filsafat yang bermacam-macam.
Namun sayangnya, kejayaan filsafat dan ilmu tersebut hanya dapat berlangsung
sampai abad XIII M. Kemudian orang-orang Barat memindahkan pusat ilmu
pengetahuan tersebut ke negaranya.[6]
B. Agama dan Filsafat dalam Islam
Hubungan filsafat dan dunia Islam sesungguhnya terjadi
permasalahan-permasalahan dengan tanggapan yang berbeda pula, karena pertanyaan
yang timbul adalah ’’bagaimana agama sebagai wahyu Tuhan, sumber perintah-perintah
dan larangan-larangan dapat bertemu dengan filsafat yang hanya didasarkan atas
alasan-alasan pikiran?’’
Dengan adanya pertanyaan tersebut, akhirnya ada tiga
pengelompokan yang memberi tanggapan akan hal tersebut. Pertama, kelompok yang memegang
teguh agama dan menolak filsafat secara ekstrem (Fuqaha). kedua, kelompok yang menerima filsafat
secara moderat (para tokoh Teologi atau Kalam). Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan antara filsafat dan agama
menurut cara tertentu dan cara inilah yang ditempuh oleh para filosof yang
mukmin dan memegang teguh akidah-akidah agama.[7]
Akhirnya dengan adanya filsafat dalam dunia Islam atau
yang lebih dikenal dengan filsafat Islam bisa memadukan antara wahyu dan akal, antara akidah dan hikmah, antara agama dan filsafat, dan
berupaya menjelaskan bahwa:
- Wahyu tidak bertentangan dengan akal
- Akidah dengan diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan kokoh di hadapan lawan.
- Agama jika bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.[8]
Untuk lebih mensistematiskan dalam pembahasan ini, maka
tema hubungan filsafat dan dunia Islam lebih menekankan pada perpaduan antara
filsafat dan agama Islam. Yaitu persamaan antara filsafat dan dunia Islam
(Agama Islam), apa saja konstribusi filsafat terhadap dunia Islam? Serta
bagaimana tanggapan sebagian filosof yang mengambil jalan tengah untuk
memadukan antara filsafat dan agama Isalam?, dan apa faktor-faktor yang
mendorong ke arah pemaduan filsafat dan agama?
Pada hakikatnya terdapat persamaan antara tujujan
filsafat dan agama, sebagaimana para filosof Islam berpendirian bahwa keduanya
bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan
perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun
menurut mereka pembahasan agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya
membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini
seperti dalam pengertian filsafat yaitu ilmu tentang wujud-wujud melalui
sebab-sebabnya yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan sampai pada
sebab-sebabnya sesuatu.[9]
Di antara para filosof
diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh besar Islam, juga
mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama, yaitu mengetahui
semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan
ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara Iqna’i (pemuasan
perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang,
bangsa dan negara.[10]
Selain itu menurut beliau, bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat
adalah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi
sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan
kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan.[11]
Walau filsafat diperselisihkan dalam dunia Islam, akan
tetapi filsafat memberikan sumbangan yang tidak bisa diremehkan dalam kerja
pikiran kemanusiaan dan mempunyai tempat sendiri dalam dunia Islam. Sebagaimana arti dalam filsafat adalah hasil
kerja berpikir dalam mencari hakekat segala sesuatu secara sistematis, radikal
dan universalitas. Dan untuk merasionalkan wahyu yang membicarakan keberadaan
Tuhan, maka filsafat sangat dibutuhkan dalam dunia Islam karena kebanyakan filsafat menggunakan argumentasi
akal yang tentunya bisa diterima oleh banyak kalangan. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh filosof bahwa untuk memadukan agama dan filsafat dapat
dikerjakan dengan dua cara: Pertama,
dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran filsafat
yang telah terurai. Contohnya dapat didapati
dalam buku Fushus-Ul-hikam
(permata filsafat) oleh Al-Farabi dan lain-lain. Kedua, dengan menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan
agama) dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat, atau dengan
perkataan lain penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.[12]
Karena filsafat ini adalah ilmu yang lahir di dunia Islam
tanpa membedakan etnis dan bahasa, apalagi ajaran Islam sendiri telah
memberikan motivasi yang kuat terhadap perkembangan filsafat. Maka ilmu disini
disebut sebagai filsafat Islam. Selain dapat melahirkan filsafat Islam di
kalangan muslimin, dengan adanya filsafat juga melahirkan filosof-filosof besar Islam, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Kindi yang dapat mengembangkan keintelektualan di Dunia Islam. Akan tetapi,
walau konstribudi filsafat terhadap Dunia Islam tidak bisa diremehkan. Agama
yang akhirnya menjadi barometer terhadap pemikiran filsafat yang melenceng dari
kebenaran.
C. Isu-Isu Penting dalam Filsafat
Islam
1.
Pemekaran Model dan Ruang Lingkup
Kajian
Jika ruang
lingkup keilmuan filsafat Islam sewaktu awal dikenalnya di Indonesia pada
dekade 1970-an dibandingkan dengan ruang lingkup keilmuan ini pada masa
sekarang, maka ditemukan banyak sekali pengembangan dan pergeseran titik tekan
kajian. Perluasan dan pergeseran ini terjadi karena semakin banyak literatur
filsafat Islam yang diterbitkan di Indonesia, baik yang berupa karya terjemahan
maupun yang ditulis langsung oleh sarjana Indonesia. Para peminat filsafat
Islam semakin menyadari bahwa kajian filsafat Islam tidak hanya terbatas pada
telaah atas sejarah kelahiran dan perkembangan awalnya serta pemikiran beberapa
filsuf Muslim klasik sebagaimana yang telah dikenalkan oleh Harun Nasution,[13]
tetapi telah mengalami perluasan kepada tema-tema lainnya, baik yang berupa
tema-tema filsafat yang umum maupun yang khusus.
Di sisi lain,
telah diperkenalkan pula pemikiran filosofis dari puluhan bahkan ratusan filsuf
Muslim yang pemikirannya tidak kalah hebat daripada pemikiran para filsuf
Muslim yang telah dikenalkan sebelumnya. Sudut pandang kajian juga mengalami
perkembangan dengan dikenalkannya perspektif historis, tematis, dan
kajian-kajian kritis terhadap materi dan kandungan filsafat Islam. Tentu saja
para peminat filsafat Islam sangat diuntungkan dengan perkembangan literatur
yang ada saat ini, karena selain menambah wawasan mereka tentang filsafat Islam
juga mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut ruang
lingkup, rentangan waktu, ajaran, dan lainnya. Perkembangan literatur-literatur
tersebut menunjukkan bahwa filsafat Islam tetap terus hidup dan berkembang
hingga masa sekarang ini.
2.
Perluasan Materi dan Sudut Pandang
Sejak tahun 1998 hingga
sekarang, perkembangan terbitan pengantar filsafat Islam di Indonesia
menunjukkan tingkat yang menggembirakan, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas terbitan. Hal ini tampak dari beberapa karya yang dijadikan sampel
dalam penelitian ini. Perkembangan dan peningkatan itu dapat ditemukan dalam
aspek materi dan sudut pandang kajian.
Materi dalam literatur
pengantar filsafat Islam saat ini sudah mencakup hampir seluruh aspek yang
perlu dimuat dalam sebuah buku pengantar. Aspek-aspek filsafat umum seperti
metafisika, epistemologi, logika, etika, dan estetika telah menjadi bagian
dalam literatur-literatur filsafat Islam di Indonesia, seperti yang ditulis
oleh Oliver Leaman,[14]
Majid Fakhry,[15] Seyyed
Hossein Nasr,[16] Musa
Asy’arie,[17] Haidar
Bagir,[18]
dan Khudori Soleh.[19]
Materi tentang sejarah awal
perkembangan filsafat Islam tertuang dalam beberapa karya di atas. Oliver
Leaman menuliskan bagian penjelasan tentang sejarah singkat munculnya filsafat
Islam, yang meliputi uraian tentang faktor-faktor yang menyebabkan tumbuhnya
tradisi filsafat di dunia Islam, pengaruh tradisi filsafat Yunani melalui
neoplatonisme, serta kecenderungan filsuf Muslim awal dalam mencampur-adukkan
ajaran Plato dan Aristoteles dalam terminologi Neoplatonisme sebagaimana tampak
dalam pandangan para filsuf utamanya.[20]
Pengantar yang lebih
lengkap tentang aspek sejarah ini bisa ditemukan dalam karya Majid Fakhry dan
Seyyen Hossein Nasr. Dua karya ini sama-sama menjelaskan faktor eksternal dan
internal munculnya filsafat Islam. Faktor eksternal dipicu oleh pengaruh
Yunani, Suryani, Persia, dan India lewat proses penerjemahan. Sedangkan faktor
internal dipicu oleh norma-norma al-Quran yang menganjurkan umat Islam untuk
berpikir secara rasional serta tuntutan dalam memahami ayat-ayat al-Quran yang
membutuhkan proses logika.[21]
Kontroversi-kontroversi
yang muncul di masa awal perkembangan filsafat Islam juga tercakup dalam
buku-buku pengantar filsafat Islam ini. Leaman menguraikan isu-isu dan
persoalan-persoalan pokok yang kontroversial di kalangan filsuf dan teolog
Muslim saat itu. Isu-isu itu meliputi kontroversi di seputar apa yang dimaksud
dengan filsafat Islam, reaksi awal atas filsafat Yunani dalam kebudayaan Islam,
kontroversi soal penciptaan, hakikat waktu, pengetahuan Tuhan, hingga soal
makna dan kesatuan.[22]
Perluasan materi kajian
filsafat Islam dalam literatur-literatur pengantar ini juga meliputi
aspek-aspek filsafat umum dan khusus. Leaman misalnya, menunjukkan
persoalan-persoalan pokok yang dibahas dalam metafisika, seperti soal wujud dan
eksistensi, ekuivokalitas wujud, serta peran imajinasi dalam perbincangan soal
wujud.[23]
Musa Asy’arie mengembangkan persoalan ontologi kepada soal hakikat kemajemukan
(pluralitas) dan hakikat pluralitas.[24]
Perkembangan dan perluasan tema kajian semacam ini juga bisa ditemukan dalam
pembahasan tentang aspek-aspek filsafat umum lainnya seperti soal epistemologi,
etika, dan estetika, serta filsafat khusus, seperti filsafat politik, bahasa,
dan seterusnya.
Selain perluasan dalam hal
materi kajian, kandungan literatur pengantar filsafat Islam juga mengalami
perluasan dalam hal perspektif atau sudut pandang analisisnya. Hal ini tampak
dari penggunaan sudut pandang historis, sebagaimana digunakan oleh Fakhry [25]
dan sudut pandang tematis yang digunakan oleh Leaman.[26]
Berbagai pendekatan dalam filsafat Islam juga dikenalkan dalam karya Musa
Asy’arie. Pendekatan tersebut meliputi pendekatan historik, doktrinal, metodik,
organik, dan teologik. Berbagai pendekatan itu dibutuhkan karena tanpa suatu
pendekatan yang jelas dan padu, filsafat hampir akan menjadi sebuah
ketidak-mungkinan atau kemustahilan. Keberadaan sebuah filsafat sepenuhnya akan
ditentukan oleh kekuatan pendekatan yang akan diuji secara terus-menerus
sepanjang kehidupan intelektual masih berlangsung.[27]
3. Arah
Studi yang Mendalam tentang Pemikiran Seorang Filsuf
Keberadaan literatur-literatur
tentang kajian pemikiran filsuf Muslim tertentu yang menjadi sampel penelitian
ini menunjukkan bahwa minat akademik untuk mendalami pemikiran filosofis dari
seorang filsuf Muslim tertentu dalam rentang waktu penelitian ini semakin
meningkat. Kajian yang lebih mendalam ini diperlukan untuk mengenal dan
memahami gugus pemikiran seorang filsuf dalam konteks zaman yang melingkupinya.
Ketercerabutan dari konteks zaman ini bisa saja membawa pembaca pada kekeliruan
dalam memahami gugus pemikiran filsuf yang bersangkutan.
Literatur tentang pemikiran
seorang filsuf Muslim ini mayoritas memilih filsuf yang berasal dari masa awal
perkembangan filsafat Islam dan masa pertengahan. Tokoh-tokoh seperti
al-Farabi, al-Ghazali, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi, dan Mulla Shadra tergolong
filsuf yang populer dan lebih banyak diminati pemikirannya di Indonesia
ketimbang nama-nama lain semisal al-Amiri, Ibn Bajjah, Ibn Thufail, dan
lainnya. Hal ini karena karya-karya rekonstruktif terhadap tokoh-tokoh tersebut
belum banyak yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, literatur
berbahasa Indonesia tentang para filsuf tersebut lebih banyak diterbitkan
daripada para filsuf lainnya.
Kedalaman kajian pemikiran
filsuf Muslim tertentu ini antara lain tampak dalam karya tentang Suhrawardi
yang ditulis oleh Hossein Ziai dan Amroeni Drajat. Dari dua karya ini diketahui
struktur filsafat illuminasi Suhrawardi secara lebih utuh dan terperinci. Dari
karya Ziai diperoleh pemahaman yang lengkap tentang filsafat illuminasi yang
menekankan unsur intuitif tertentu yang melampaui pemikiran diskursif, meskipun
struktur filsafat illuminasi tidak sepenuhnya bertolak belakang atau berbeda
dengan filsafat peripatetik. Ziai, sebagaimana Amroeni juga menunjukkan bahwa
sebenarnya filsafat peripatetik yang dikaji dan dipahami oleh Suhrawardi adalah
titik tolak dan unsur yang tidak terpisahkan dari metodologi illuminasi. Hanya
dengan membandingkan dengan filsafat peripatetik lah seseorang dapat menyadari
bagaimana filsafat illuminasi bertujuan memperluas pandangan manusia terhadap
sesuatu.[28]
Selanjutnya, hanya lewat
kajian dan telaah yang mendalam Amroeni dapat menunjukkan kritik-kritik
Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik, yang meliputi kritik epistemologis
dan ontologis. Pada wilayah epistemologis tersirat ketidak-puasan Suhrawardi
terhadap metode memperoleh pengetahuan yang dianggap oleh sebagian pemikir
telah sampai pada tahap final. Suhrawardi memelopori munculnya metode baru
untuk memperoleh pengetahuan sejati lewat gagasannya tentang al-‘ilm al-hudhūrī
yang lebih sistematis. Sedangkan pada wilayah kritik ontologis Suhrawardi
memperkenalkan istilah-istilah khusus yang digunakan untuk mengungkapkan
pemikirannya, seperti terminologi cahaya, konsep iluminasionisme, nūr
al-anwār, yang membentuk suatu bangunan utuh yang ia sebut sebagai wahdah
al-isyrāq.[29]
4. Upaya
Menunjukkan Karakter Islam
Di antara tema filsafat
umum yang paling banyak ditemukan terbitannya dalam bahasa Indonesia adalah
tema metafisika dan epistemologi. Sedangkan filsafat khusus yang banyak dikaji
di Indonesia adalah perihal filsafat politik dan filsafat pendidikan.
Kecenderungan ini disebabkan bahwa literatur asing tentang filsafat Islam lebih
banyak membahas persoalan metafisika dan epistemologi ketimbang misalnya
persoalan etika atau estetika. Demikian pula di wilayah filsafat khusus, dimana
kajian filsafat politik dan filsafat pendidikan lebih menarik banyak minat
sarjana di Indonesia ketimbang filsafat bahasa, filsafat hukum, dan lainnya.
Perkembangan kajian ini
tampak misalnya dalam karya Mehdi Hairi Yazdi yang berjudul Menghadirkan
Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam.[30]
Penerjemahan karya monumental ini ke dalam bahasa Indonesia bernilai sangat
tinggi dalam rangka menunjukkan keunikan dan kekhasan modus pengetahuan atau
epistemologi keilmuan Islam yang bercorak hudhūrī di tengah semakin
menguatnya hujatan dan sikap tidak percaya terhadap keabsahan pengetahuan yang
dihasilkannya. Karya ini menunjukkan bahwa al-‘ilm al-hudhūrī adalah
modus pengetahuan dan tradisi filsafat Islam yang hidup dan dikembangkan sampai
saat ini di berbagai wilayah Islam. Ia adalah karakteristik filsafat Islam itu
sendiri.
Karakter Islam ditunjukkan
pula dalam karya Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik.[31]
Karya yang berangkat dari kegelisahan akademik pengarangnya tentang ekses-ekses
negatif dari dikotomi keilmuan yang berlangsung dewasa ini hendak menunjukkan
bahwa pada dasarnya pandangan filsafat Islam –terutama di ranah epistemologinya–
lebih bercorak integral-holistik ketimbang parsial-dikotomik. Karakter yang
holistik ini terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Dalam hal
sumber ilmu, filsafat Islam mengakui bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Filsafat Islam menjadikan indera, akal, dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah.
Mulyadi
menyebutkan bahwa akibat dari integrasi ini dapat ditemukan di bidang
klasifikasi ilmu, dimana berlangsung integrasi antara metafisika, fisika dan
matematika, dengan berbagai macam pencabangan keilmuannya. Demikian pula
integrasi yang terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi sebagai metode ilmiah, tetapi juga
metode burhānī, untuk meneliti entitas-entitas yang bersifat abstrak, dan
metode ‘irfānī untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyāhadah) secara langsung, serta metode bayānī untuk memahami teks-teks suci seperti al-Quran dan Hadits. Dengan demikian,
karakter holistik filsafat Islam di ranah epistemologi ditunjukkan dengan
pengakuan kebasahan observasi indrawi, nalar rasional,
pengalaman intuitif, dan wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu pengetahuan.[32]
5.
Mendialogkan Tradisi
Filsafat yang Berbeda
Perluasan
pembahasan yang terdapat dalam literatur kajian komparatif filsafat Islam
menunjukkan minat para pemerhati filsafat Islam ke arah upaya mendialogkan
pemikiran filsafat Islam dengan pemikiran filsafat dari tradisi yang berbeda.
Perbedaan itu baik berupa perbedaan waktu maupun perbedaan kultur dan budaya.
Hal ini tampak misalnya dalam karya Amin Abdullah yang berjudul Filsafat Etika Islam:
Antara al-Ghazali dan Kant.[33]
Pada masa sekarang ini beberapa sarjana filsafat Islam yang juga mempelajari
filsafat Barat mulai gelisah dengan langkanya pemikir-pemikir Muslim yang
mendalami secara serius kajian komparatif antara filsafat Islam dengan filsafat
Barat sebagai bidang garap filsafat Islam. Hal ini karena harus diakui bahwa
perkembangan tradisi pemikiran filosofis di dunia Barat lebih berkembang
daripada di dunia Islam. Sehingga untuk bisa mengembangkan kajiannya, filsafat
Islam hendaknya mengambil pelajaran dari filsafat Barat dengan cara
membandingkan pemikiran-pemikiran filosofis dari dua tradisi yang berbeda ini.
Aminrazavi
misalnya, mempertanyakan tentang sedikitnya sarjana filsafat dari kalangan
Muslim yang berminat mempelajari perkembangan pemikiran filosofis di Barat atau
tradisi lainnya, sementara sebaliknya banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari
filsafat Islam dan bahkan memiliki kontribusi dan jasa yang tidak sedikit dalam
menghadirkan kembali pemikiran-pemikiran para filsuf Muslim klasik ke
lingkungan akademik. Ia menambahkan bahwa jika filsafat Islam ingin berkembang
dan diakui sebagai sebuah sistem pemikiran, hendaknya para sarjana filsafat
dari kalangan Muslim tidak menutup diri atau bahkan memisahkan diri dari ranah
perkembangan filsafat secara umum, termasuk dari perkembangan filsafat di dunia
Barat.[34]
Pendapat
Aminrazavi yang terakhir –bahwa filsafat Islam hendaknya tidak mengisolir atau
menutup diri dari perkembangan filsafat di dunia Barat– diamini oleh Majid
Fakhry. Namun demikian, ia tidak sepenuhnya setuju jika tidak ada sama sekali
sarjana Muslim yang telah mencoba melakukan studi perbandingan pemikiran
filosofis dari dua tradisi yang berbeda ini. Dari sampel penelitian ini pun
upaya untuk melakukan studi semacam itu sudah mulai ada. Fakhry menambahkan
bahwa studi perbandingan itu dapat pula dilakukan terkait dengan persoalan-persoalan
filosofis kekinian, seperti soal kebebasan, keadilan, dan etika.[35]
Perlunya
kajian filsafat Islam dikembangkan ke arah studi perbandingan dengan pemikiran
filosofis di Barat ini memang telah memunculkan polemik tersendiri dewasa ini.
Pada dasarnya, sebagian besar sarjana Muslim mutakhir setuju bahwa tema-tema
filsafat Islam harus dikaitkan dengan persoalan kekinian yang menjadi kebutuhan
konkret mereka sendiri, dan tidak hanya sekedar cerita atau sejarah tentang
pemikiran para filsuf terdahulu. Persoalan yang masih mengganjal adalah tentang
apakah ketika mengalihkan perhatian pada persoalan-persoalan kontemporer itu
cara pandang filsafat Islam harus dikomparasikan dengan cara pandang filsafat
Barat –mengingangat tradisi yang terakhir ini lebih berkembang dan superior di
masa sekarang ini–? Ada kekhawatiran bahwa ketika model itu dilakukan maka para
peminat filsafat di dunia Islam akan cenderung untuk meniru, mentransfer, atau
bahkan menelan mentah-mentah pandangan filsafat Barat.
Adapun
perkembangan literatur dan kajian filsafat Islam di Indonesia menunjukkan
kecenderungan adanya studi perbandingan yang dimaksud. Selain dari karya Amin
Abdullah yang menjadi sampel penelitian ini, terdapat banyak karya lainnya yang
telah berusaha melakukan perbandingan pemikiran dua orang filsuf dari tradisi
atau zaman yang berbeda berkenaan dengan topik atau persoalan filsafat
tertentu. Tentu saja model studi seperti ini memiliki nilai positif dan perlu
dikembangkan lebih lanjut pada masa mendatang.
6.
Rekonstruksi Filsafat Islam
Menurut Mulyadi
Kartanegara, peminat kajian filsafat Islam di Indonesia hendaknya mulai
memikirkan dan melakukan kerja-kerja praktis membangun ulang rancang bangun
keilmuan filsafat Islam dengan mempertimbangkan struktur yang telah ada dan
karakteristik serta permasalahan yang berkembang di negeri ini. Sebagai contoh
adalah bangunan epistemologi Islam. Banyak kesimpang-siuran dan ketidak-jelasan
yang terjadi di bidang ini. Menurutnya, pertama-tama perlu dipahami apa yang
dimaksud dengan ilmu dalam tradisi Islam dan apa bedanya dengan sains yang
berkembang di zaman modern ini. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam
lingkupnya. Lingkup sains modern terbatas pada bidang-bidang fisik-empiris.
Sedangkan ilmu dalam tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya fisika tetapi
juga matematika dan metafisika.[36]
Upaya rekonstruksi yang
sama juga diperlukan dalam hal objek ilmu dan metode ilmiah. Dalam filsafat
ilmu modern, obyek-obyek ilmu dibatasi hanya pada obyek-obyek fisik, sedangkan
dalam tradisi ilmiah Islam, obyek ilmu tidak pernah dibatasi hanya pada
obyek-obyek fisik, tetapi melebar pada obyek-obyek matematika dan metafisika.
Status ontologis obyek-obyek semacam ini perlu direkonstruksi lebih lanjut,
mengingat kecenderungan epistemologi keilmuan modern yang tidak mengakui
keabsahan pengetahuan yang dihasilkan dari modus ini.[37]
Upaya rekonstruksi seperti ini telah dimulai oleh karya Mehdi Hairi Yazdi dan
karya tersebut telah bisa dinikmati dalam bahasa Indonesia.[38]
Sarjana filsafat Islam di Indonesia hendaknya juga melakukan upaya rekonstruksi
filsafat Islam yang serupa dengan menulis karya-karya berikutnya, baik di
bidang epistemologi, metafisika, etika, dan lainnya.[39]
7.
Pemetaan Ulang Kajian Filsafat Islam
Upaya pemetaan ulang ini diperlukan mengingat tidak banyak buku pengantar
filsafat Islam yang tersedia yang memuat aspek-aspek kajian filsafat Islam yang
komprehensif. Filsafat Islam perlu diperkenalkan dalam berbagai aspek
kajiannya. Literatur yang ada seringkali hanya membahas salah satu aspek
tertentu, seperti hanya aliran, sejarah, atau tokoh-tokohnya saja. Tidak banyak
buku pengantar yang mencoba mengenalkan beberapa aspek filsafat Islam
sekaligus.[40]
Literatur yang ada yang cukup komprehensif mengenalkan filsafat Islam dalam
berbagai aspeknya ini yang berasal dari karya terjemahan adalah karya Seyyed
Hossein Nasr dan Oliver Leaman yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu.[41]
Adapun karya sarjana filsafat Islam dari Indonesia belum banyak yang
muncul, kecuali hanya beberapa saja. Salah satunya adalah karya Musa Asy’arie
dan Mulyadi Kartanegara. Musa Asy’arie menjelaskan beberapa aspek dari kajian
filsafat Islam, mulai dari aspek pendekatan, ontologi, metafisika, hingga
kebudayaan Islam.[42]
Sedangkan Mulyadi menguraikan aspek aliran-aliran filsafat islam, topik-topik
tentang Tuhan, manusia, dan alam. Mulyadi juga membahas hubungan filsafat dan
disiplin ilmu lainnya, seperti hubungan antara filsafat dengan sains dan agama,
serta hubungan filsafat dan mistisisme atau tasawuf.[43]
8.
Membudayakan Tradisi
Ilmiah
Hal lain
yang juga penting diupayakan oleh sarjana filsafat Islam di Indonesia selain
menggalakkan penerbitan karya-karya filsafat Islam adalah membudayakan tradisi
berpikir dan bertindak ilmiah. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak akan tercapai
jika suatu bangsa tidak memiliki tradisi ilmiahnya sendiri. Peradaban yang maju
mensyaratkan adanya tradisi dan budaya ilmiah yang agung. Hal ini telah
dibuktikan dalam peradaban Islam sendiri beberapa abad yang lalu. Untuk bisa
mengulang atau memunculkan kembali peradaban yang besar dari dunia Islam dalam
bentuk kontemporernya itu perlu dikembangkan budaya ilmiah yang dimaksudkan di
atas.[44]
Membangun
budaya ilmiah itu bisa dimulai dengan mengembangkan lembaga pendidikan, sistem
pendidikan dan menggalakkan riset-riset ilmiah di kalangan sarjana Muslim
Indonesia. Lembaga pendidikan menyediakan ranah untuk menyemaikan
gagasan-gagasan ilmiah. Sistem pendidikan menjamin kesinambungan kegiatan
ilmiah yang mengintegrasikan berbagai bidang dan sarana ilmiah. Sedangkan riset
ilmiah diperlukan untuk pengembangan bidang keilmuan yang ditekuni. Berdasarkan
perkembangan literatur filsafat Indonesia hingga 2013 ini, semua unsur di atas
mutlak diperlukan untuk perkembangan kajian filsafat Islam di Indonesia ke arah
yang lebih produktif dan konstruktif.[45]
D. Penutup
Filsafat Islam di
masa mutakhir dihadapkan pada tantangan yang tidak kecil. Berbagai persoalan
yang membutuhkan pemikiran filosofis dan jawaban yang mendesak muncul di
hadapan filsafat Islam, baik yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat
yang bersifat sekuler, maupun dari berbagai teori ilmiah lainnya. Berbagai
teori ilmiah dari bermacam bidang ilmu, atas nama metode ilmiah, menyerang
fondasi-fondasai kepercayaan agama.
Stephen William Hawking –seorang ahli
fisika kuantum– misalnya menyebutkan dalam buku terbarunya The Grand Design bahwa manusia dan alam semesta tercipta bukan
karena kehendak dan hasil ciptaan Tuhan, tetapi muncul dengan sendirinya karena
hukum gravitasi.[46]
Pandangan mutakhir Hawking ini sekaligus mengoreksi pendapatnya sendiri yang ia
tulis dalam bukunya The Brief History of
Time.[47]
Sebelumnya ia tidak menafikan campur tangan Tuhan dalam penciptaan alam
semesta. Selain mengoreksi pendapatnya sendiri, pandangan mutakhir Hawking juga
mementahkan keyakinan Isaac Newton yang menyatakan bahwa jagat raya tidak
tercipta secara spontan, melainkan digerakkan oleh Tuhan.
Teori Hawking di atas adalah salah
satu dari sekian banyak persoalan ilmiah-filosofis yang dewasa ini dihadapi
oleh kalangan agamawan, termasuk umat Muslim serta para pemikir dan filsuf
Muslim di dalamnya. Berbagai teori ilmiah dari berbagai disiplin keilmuan,
sebut saja fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah menyerang
fondasi-fondasi kepercayaan agama. Atas nama metode ilmiah para ahli dari
berbagai bidang keilmuan itu memproklamirkan bahwa Tuhan tidak dipandang perlu
lagi untuk dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah.
Kenyataan ini tentu saja membutuhkan
respon yang cerdas. Di ranah keilmuan filsafat pada umumnya dan wilayah
perkembangan kajian filsafat Islam di Indonesia secara khusus mesti diarahkan
untuk menjawab tantangan-tantangan semacam ini. Literatur-literatur filsafat
Islam berbahasa Indonesia yang akan diterbitkan pada masa mendatang harus
diarahkan bukan saja menjadi sarana transmisi pengetahuan filsofis Islam dari
masa lalu tetapi juga membantu pembacanya dalam memberikan jawaban bagi
persoalan-persoalan kekinian dari sudut pandang filosofis Islam. Berdasarkan
literatur-literatur filsafat Islam berbahasa Indonesia yang terbit sepanjang
tahun 1998-2013, para sarjana dan peminat filsafat Islam di Indonesia hendaknya
mulai berpikir untuk mengarahkan perkembangan itu ke arah yang lebih mampu
menjawab persoalan zaman sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
M. Amin. Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan Kant. Bandung:
Mizan, 2002
Al-Ahwani,
Ahmad Fuad. al-Falsafah al-Islamiyyah, terj. Sutardji Bachri. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1988.
Aminrazavi,
Mehdi “Persia”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku
Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003
Asy’arie,
Musa Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI, 1999
Bagir, Haidar.
Buku
Saku Filsafat Islam. Bandung:
Mizan, 2006
Bakker,
Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1990
Bogdan,
Robert C & Sari Knoop Biklen. Qualitative Research for Education: An
Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, 1982
Bouthoul,
Gaston. Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun, terj. Yudian W. Asmin.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998
Corbin,
Henr. History of Islamic Philosophy. New York: Paul Keagan, 1993
De Boer,
T.J. The History of Philosophy in Islam. Toronto: University of Toronto,
1866
De Wulf,
Maurice. Histoire de la Philosophie Medievale. French: Mass, 1934
Drajat,
Amroeni. Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LKiS, 2005
Fadjar,
Abdullah. Khazanah Islam Indonesia. Jakarta: The Habibie Center, 2006
Fakhry,
Maji. Sejarah Filsafat Islam, terj. R. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Pustaka
Jaya, 1986
Fakhry, Majid. A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology
and Mysticism. England: Oneworld Publication, 1997
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta
Kronologis, terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2002
Fatimah,
dkk.. Naskah Buku Ajar Filsafat Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga, 2006
Garder,
Jostein. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, terj. Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan, 1998
Ghaffar
Khan, Hafiz A. “India”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku
Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan,. Bandung: Mizan, 2003
Hawkin,
Stephen. The Brief History of Time.
London: Bantam Dell Publishing Group, 1988
Hawkin,
Stephen. The Grand Design. New York: Bantam Books, 2010
http://percetakanku.co.id/napak-tilas-percetakan-di-indonesia/, diakses
3 Oktober 2013.
Kartanegara,
Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung &
Jakarta: Arasy Mizan & UIN Jakarta Press, 2005
Kartanegara,
Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung &
Jakarta: Arasy Mizan & UIN Jakarta Press, 2005
Kartanegara,
Mulyadi. “Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan Fakta”, Makalah,
Dipresentasikan pada acara Ulang Tahun Paramadina yang ke XX, Jakarta 23
November 2006
Kartanegara,
Mulyadi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat. Jakarta: Lentera
Hati, 2006
Kartanegara,
Mulyadi. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.
Bandung: Mizan, 2003
Leaman, Oliver. A Brief Introduction to Islamic Philosophy.
Cambridge: Polity Press, 1999
Leaman,
Oliver. An Introduction to Medieval Islamic Philosophy. Cambridge
University Press, 1985
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, terj.
M. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali Press, 1989
Leaman,
Oliver. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa
Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2001
Moris,
Zailan. “Asia Tenggara”, dalam dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman
(eds.). Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan,. Bandung: Mizan, 2003
Munip,
Abdul. Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang
Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004. Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008
Mustofa, Filsafat
Islam.Bandung: Pustaka Setia, 2004
Muthahhari,
Murtadha. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, terj.Tim Penerjemah
Mizan. Bandung: Mizan, 2002
Naif,
Fauzan. Percik-Percik Pemikiran Para Filosof Muslim. Yogyakarta: Insight
Reference, 2008
Nasr,
Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (eds.). Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Dua Jilid. Bandung:
Mizan, 2003
Nasr.
Seyyed Hossein & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy.
London & New York: Routledge, 1996
Nasution.
Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Noer,
Kautsar Azhari. Ibn al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan. Jakarta:
Paramadina, 1995
Nur,
Syaifan dan Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian Agama-agama dan
Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana. Yogyakarta: Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, 2007
Qomar,
Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik. Jakarta: Erlangga, 2006
Rahman,
Fazlur. Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin. Bandung: Pustaka, 2000
Rahman,
Fazlur. The Philosophy of Mulla Shadra. New York: State University of
New York, 1975
Raziq,
Mustafa Abdul. Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: Lajnah
li at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa an-Nashr, 1966
Sangadah,
Nur. “Literatur Pendidikan Berbahasa Arab Terjemahan: Pemetaan Kajian
Kependidikan Islam di Indonesia 1970-2001”, Tesis, tidak dipublikasikan.
Yogyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga, 2002
Sharif,
M.M. History of Muslim Philosophy. Pakistan: Pakistan Philosophical
Congress, 1963
Sholikhin,
Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar,
Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Alian Manunggaling Kawula-Gusti. Yogyakarta:
Narasi, 2008
Soleh,
Ahmad Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004
Stroumsa,
Sarah. Freethinkers of Medieval Islam: Ibn ar-Rawandi, Abu Bakr ar-Razi, and
Their Impact on Islamic Thought. Leiden: Brill, 1999
Stroumsa,
Sarah. Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Pemikiran Teologi Ibn
ar-Rawandi dan Abu Bakr ar-Razi, terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta:
LKiS, 2006
Surachmad,
Winarno. Pengantar Penulisan Filsafat:
Dasar, Metode dan Teknik. Bandung: Tarsito, 1987
Syarif,
M.M. Para Filosof Muslim, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1991
Yamani. Filsafat
Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini. Bandung: Mizan, 2002
Yazdi,
Mehdi Hairi. Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam
Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 2003
Ziai,
Hossein. Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat
al-Isyraq. Georgia, Brown University, 1990
Ziai,
Hossein. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muhammad.
Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1999),5
[3] Ibid,6
[7] Ahmad Hanafi, pengantar filsafat Islam,
(Yogyakarta:Bulan Bintang, 1982) 87
8 Ibrahim Madkaour, filsafat islam metode dan penerapan,
(jakarta:Rajawali Pers, 1987), 8
[9] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 11-16
[10] Ibid, 17
[13] Lihat kembali: Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
[14] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif
Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001).
[15] Majid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan,
2001).
[16] Seyyed Hossein
Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Dua Jilid (Bandung:
Mizan, 2003).
[17] Musa Asy’arie, Filsafat
Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999).
[18] Haidar Bagir, Buku
Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005).
[19] Ahmad Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004).
[20] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam..., hlm. 1-6.
[21] Majid Fakhry Sejarah
Filsafat Islam..., hlm. 7-12, 15-18. Juga: Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis..., hlm. 36-126.
[22] Ibid., hlm. 14-59.
[23] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam..., hlm. 100-126.
[24] Musa Asy’arie, Filsafat
Islam: Sunnah Nabi..., hlm. 50-58.
[25] Majid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam....
[26] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam....
[27] Musa Asy’arie, Filsafat
Islam: Sunnah Nabi..., hlm. vii-viii.
[28] Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi: Pencerahan
Ilmu Pengetahuan, terj. Afif Muhammad & Munir (Bandung: Zaman Wacana
Mulia, 1998), hlm. 19-20. Juga: Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah
Peripatetik (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 108-132.
[29] Ibid., hlm. 263.
[30] Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi
Iluminasionis dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003).
[31] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi
Holistik (Bandung & Jakarta: Arasy Mizan & UIN Jakarta Press,
2005).
[32] Ibid., hlm. 25-30.
[33] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan
Kant (Bandung: Mizan, 2002).
[34] Fatimah, dkk., Naskah Buku Ajar Filsafat Islam (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 7-8.
[35] Ibid., 9-10.
[36] Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), hlm 15-19.
[37] Ibid., hlm 25-30.
[38] Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi
Iluminasionis dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003).
[39] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan
Fakta”, Makalah, Dipresentasikan pada acara Ulang Tahun Paramadina yang
ke XX, Jakarta 23 November 2006, hlm. 6.
[40] Ibid., hlm. 5.
[41] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Dua
Jilid (Bandung: Mizan, 2003).
[42] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir
(Yogyakarta: LESFI, 1999).
[43] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat
(Jakarta: Lentera Hati, 2006)
[44] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam...
[45] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam..., hlm. 7-9.
[46] Stephen Hawkin, The Grand Design (New York:
Bantam Books, 2010), hlm. 7.
[47] Stephen Hawkin, The Brief
History of Time (London: Bantam Dell Publishing Group, 1988), hlm 30-49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar