Selasa, 28 Mei 2019

METODE ISTINBATH NAHDLATUL ULAMA


Di kalangan NU, pengertian istinbath adalah menggali secara langsung dari al-qur’an dan hadits, dengan cenderung ke arah perilaku Ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang didasari oleh mereka. Oleh karenanya para ulama NU menggunakan Istinbath ke arah yang tidak mengambil langsung dari sumber aslinya, karena mereka menganggap lebih praktis dan dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologi yang baku.
Metode Istinbath yang digunakan Lanjah Bahtsul Masa’il NU tidak mengambil langsung dari sumber aslinya yakni al-Qur’an dan Hadits melainkan sesuai dengan sikap dasar bermadzhab NU, dalam memutuskan dan menetapkan suatu masalah keagamaan dengan Mentathbiqkan (memberlakukan) secara dinamis dari nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.
Dalam mencari dan memberikan solusi jawaban terhadap kepastian hukumnya, prosedur yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il dapat disusun sesuai dengan urutan-urutannya diantaranya sebagai berikut:
a.       Untuk menjawab masalah yang jawabannya cukup dengan menggunakan ‘ibarah kitab, dan dalam kitab tersebut hanya ada satu qaul/wajah, maka qaul/wajah yang ada dalam íbarah kitab itulah yang digunakan sebagai jawaban.
b.      Bila dalam menjawab masalah masih mampu menggunakan ‘ibarah kitab, tapi ternyata lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’iy, yang berfungsi untuk memilih satu qaul/wajah.
c.       Bila dalam menjawab masalah tidak menemukan jawabannya dengan menggunakan ’ibarah kitab, dalam suatu kitab maka yang perlu dilakukan adalah al-ilhaqiy al-masa’il bi nadzair (menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketetapan hukumnya) dengan menserupakan serta menyamakan suatu kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya yang sudah jadi. Dengan kata lain bisa dikatakan hampir mirip dengan qiyas.
d.      Bila dalam menjawab masalah tidak ditemukan satu qaul/wajh sama sekali, dengan menggunakan ’ibarah kitab sedangkan  sudah menggunakan ilhaqiy hasilnya pun masih belum bisa untuk disamakan ketetapan hukumnya, maka yang dilakukan adalah istinbath jama’iy (dengan membahas dan mengambil keputusan bersama secara kolektif), sesuai dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain dapat dikatakan ’ijma.
Terdapat tiga metode dalam pengambilan hukum di Nahdlatul Ulama, yakni sebagai berikut:
1.     Metode Qauliy
Metode ini adalah suatu cara istinbath hukum yang digunakan oleh ulama NU, dengan mempelajari masalah-masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya kitab-kitab fiqih dari empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah ada jadi dalam lingkup madzhab tertentu.
Adapun prosedur dalam pelaksanaan metode Qauliy sebagaimana bahwa pemilihan qaul/wajah ketika dalam suatu masalah dijumpai maka yang dilakukan yakni:
a.         Mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
b.         Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan pada Muktamar, bila ada perbedaan pendapat diselesaikan dengan berurutan pada pengambilan qaul/wajah dengan kitab-kitab yang mu’tabarah (diakui).
Contoh penerapan metode qauliy ialah pada keputusan Muktamar I Surabaya, 21-23 September 1926:
Soal:
Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena itu termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
Jawaban:
Tidak Boleh. Karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da‟if (lemah).
Dasar:
Dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al-Munir juz I: “dan mereka sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan masjid atau mengafani (membungkus) mayat”

“dan al-Qaffal mengutip dari sebagian fuqaha‟, bahwa mereka memperbolehkan membelanjakan harta zakat untuk semua segi kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun benteng dan memakmurkan masjid, karena firman-Nya. Fi sabilillah (di jalan Allah) itu umum mencakup semuanya. (Tafsir al-Munir)”.
2.     Metode Ilhaqiy
Metode ini digunakan apabila tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan yakni menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab mu’tabar (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), dan menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”. Adapun prosedur metode ilhaqiy yang harus dipenuhi yakni persyaratan (unsur) diantaranya: adanya mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq ‘alaih (sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya), dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq ‘alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang ahli.
Dalam prakteknya metode ilhaqiy dapat dikatan serupa dengan Qiyas baik dalam prosedur dan persyaratannya. Oleh karenanya, ulama NU menyebutnya metode qiyasiy versi NU. Akan tetapi dari keduanya (metode ilhaqiy dan qiyas) memiliki perbedaan yakni ilhaq menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar). Sedangkan qiyas menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Contoh penerapan metode ini ialah pada muktamar II di Surabaya 9-11 oktober 1927 yaitu:
Soal:
Sahkah jual beli petasan (mercon) untuk merayakan hari raya atau pengantin dan lain-lain sebagainya?

Jawab:
Jual beli tersebut hukumnya sah!. Karena ada maksud baik, ialah adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan itu.
Dasar:
Dari kitab I‟anah at-Talibin Juz III/121-122: “adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian, hadiah yag tidak sesuai dengannya, maka tidak termasuk sia-sia. Artinya menurut pendapat terkuat, karena didalamnya mengandung tujuan yang benar, yaitu mendapatkan pahala atau bersenang-senang. Oleh karenanya dikatakan dalam hal kebaikan tidak ada yang namanya israf dan tidak ada kebaikan di dalamnya”.

Kitab al-Bajuriy/ 652-654 bab perdagangan: “menjual sesuatu yang dapat dilihat artinya dapat dihadirkan maka diperbolehkan jika memenuhi syarat, yaitu suci, dapat dimanfaatkan, diserahkan dan dimiliki pembeli”. Kitab Al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab juz III/24:

“dan benar dalam memberikan dalih bahwasanya rokok dapat dimanfaatkan oleh pembeli yaitu menghisapnya, mengingat rokok termasuk diperbolehkan karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka manfaatnya tergolong boleh. Namun dalam penjelasannya, asy-Syaikh rupanya menetapkan haramnya, dan karena itu perlu dibedakan antara sedikit dan banyaknya sebagaimana diketahui dari uraian sebelumnya. Periksalah”.

Dari penjelasan di atas, hukum jual beli petasan untuk kesenangan dibolehkan, karena membelanjakan harta untuk kebaikan dan kesenangan diperbolehkan (I’anah), terdapatnya barang yang diperjual belikan serta suci lagi bermanfaat (al-Bajuriy), dan tidak ada dalil pengharamannya seperti rokok (al-Jamal).

3.     Metode Manhajiy
Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan keagamaan yang ditempuh oleh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain, metode Manhajiy bisa dikatakan dengan ber-ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama NU secara Kolektif. Sebagaimana metode qauliy dan ilhaqiy, sebenarnya metode manhajiy sudah diterapkan oleh para ulama terdahulu, walaupun tidak dengan istilah manhajiy dan tidak pula diresmikan melalui sebuah keputusan.
Dengan demikian, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il lebih dominan terhadap teks-teks pendapat imam madzhab (Qaul) dari kitab-kitab mu’tabarah (diakui) dengan dipadukan metode Qauliy yang sering digunakan sebagai konteks Ijtihad dengan pemahaman metode Bayaniy. Metode bayaniy adalah suatu cara Istinbath (penggalian dan penetapan) hukum yang bertumpuan pada kaidah-kaidah Lughawiyyah (kebahasaan) atau makna lafadz.
Setidaknya dengan metode qauliy yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il merupakan metode yang paling dominan dipakai dalam menjawab segala kebutuhan masyarakat dengan tantang zaman yang semakin berkembang pesat.
Contoh penerapannya ialah pada Muktamar I 1926 yaitu:
Soal:
Dapat pahalakah sodaqoh pada mayat?
Jawab:
Dapat.

Dasarnya:
Dalam kitab al-Bukhoriy bab “janazah” dan kitab al-Muhadzdzab bab “wasiyat”: “Ibn Abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya pada Rasulullah SAW; sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia dapat meperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka beliau menjawab Ya, dapat. Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan kepadamu, bahwasanya saya telah menyedekahkannya untuk dia”.

Keputusan di atas dikategorikan sebagai metode manhajiy karena merujuk pada hadits yang merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran yang disusun keempat Imam madzhab. Dalam pelaksanaan Bahtsul Masail sendiri yang menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan hukum ialah kembali pada tujuan dari adanya hukum itu sendiri yaitu kemaslahatan. Untuk memperhatikan nilai-nilai kemaslahatan. Maslahah sendiri ialah sebuah ungkapan yang pada intinya merupakan keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian.
Ukuran atau syarat yang lebih konkret tentang kemaslahatan jika disimpulkan dari penjelasan Imam Al-Ghazali dalam al-Mustashfa, Imam Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama kontemporer seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf adalah:
a.       Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqâshid al-syarî‟ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya
b.      Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat;
c.       Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang di luar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
Berdasarkan penjelasan di atas ketika ingin memutuskan suatu hukum yang baru tentunya yang menjadi fokus utama ialah tidak melenceng dari tujuan adanya hukum itu sendiri serta dampaknya pada masyarakat, apakah hal tersebut akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat atau justru menimbulkan chaos (perpecahan), baik antara masyarakat itu sendiri maupun dengan pemerintah. Serta dapat dengan mudah dilakukan dan tidak terdapat kesulitan yang tidak wajar di dalamnya, Oleh karena itu kemashlahatan menjadi fokus utama dalam pengambilan keputusan dalam pelaksanaan Bahtsul Masail.
Seiring berjalannya waktu sejak pertama kalinya Muktamar dilaksanakan pada tahun 1926 sampai Muktamar saat ini, Lajnah Bahtsul Masa’il yang semula hanya terbagi dua sub-komisi, kini telah bertambah satu sub-komisi menjadi tiga sub-komisi, yaitu: Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah (pengkajian masalah keagamaan aktual yang terjadi dan berkembang di masyarakat sosial untuk memperoleh kepastian hukumnya), Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Maudhu’iyyah (pengkajian masalah keagamaan konseptual), dan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah Qanunniyyah (pengkajian masalah keagamaan bentuk perundang-undangan).
Dengan mengambil pembahasan pada pandangan NU tentang respon Islam terhadap demokrasi, para ulama merumuskannya ke dalam bahasan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Maudhu’iyyah dengan tujuan awal membina dan membimbing masyarakat serta menjawab persoalan-persoalan agama yang terjadi dikalangan masyarakat yang lebih terperinci.
Melihat dari perkembangannya, situasi kondisi sosial masyarakat saat ini, pengambilan keputusan pada Lajnah Bahtsul Masa’il khususnya pada kategori al-Maudhu’iyyah mengenai demokrasi, yakni terlihat liberal karena tidak adanya kutipan-kutipan kitab-kitab klasik. yang dijadikan referensi atau rujukan dalam pembahasannya. dengan hanya mengambil dan menggunakan al-Qur’an dan Hadits untuk dijadikan rujukan utama yang dibahas.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...