Senin, 20 Februari 2012

Implementasi Azas Dekonsentrasi


Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, secara normatif ketiga asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi serta tugas pembantuan dilaksanakan secara berimbang. Meskipun dalam kenyataannya, pelaksanaan asas dekonsentrasi jauh lebih dominant dibandingkan pelaksanaan kedua asas lainnya. Sedemikian besar peranan asas dekonsentrasi sehingga otonomi yang diberikan kepada Daerah Otonom sebenarnya hanyalah otonomi semu (quasi autonomy). Hal ini terlihat dari beberapa cirri antara lain :
1)      Daerah tidak diberi hak-hak otonomi secara penuh;
2)      Campur tangan pemerintah Pusat atau pejabat pemerintah Pusat terhadap isi otonomi yang sudah diserahkan sangat besar. Campur tangan tersebut terutama dilakukan pada tingkatan menteri ke bawah;
3)      Anggaran dekonsentrasi masih lebih besar dibandingkan anggaran desentralisasi, disamping sebagian besar APBD masih berasal dari subsidi pemerintah pusat.
4)      Pemerintah pusat “menguasai” daerah melalui tiga jalur yakni jalur keuangan, jalur personil serta jalur kewenangan.

Seperti telah diketahui bersama bahwa daerah otonom sekurang-kurangnya
memiliki empat hak dasar yakni :

1)      hak memilih pemimpinnya sendiri secara bebas;
2)      hak memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas;
3)      hak membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas;
4)      hak kepegawaian.

Pengaturan pelimpahan wewenang pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 cukup
dilakukan dengan keputusan menteri bersangkutan, sehingga banyak sekali peraturan pada tingkatan menteri dan atau direktur jenderal yang “mengintervensi” pelaksanaan otonomi di daerah.

            Berbeda dengan UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 yang disusun sebagai kontra-konsep dari UU sebelumnya, justru sangat membatasi penggunaan asas dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan – karena lebih mengutamakan penggunaan asas desentralisasi. Asas dekonsentrasi hanya dilaksanakan secara terbatas pada Kabupaten/Kota – terutama menyangkut lima kewenangan utama pemerintah pusat sesuai pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999, yakni kewenangan politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan keamanan, peradilan, agama serta kewenangan bidang lainnya. Di sisi lain, pelaksanaan asas dekonsentrasi dikehendaki justru lebih diperkuat pada tingkat Propinsi. Hanya saja, UU Nomor 22 Tahun 1999 setengah hati dalam mengatur pelaksanaan asas dekonsentrasi karena ada kekhawatiran asas ini akan kembali mendominasi pelaksanaan desentralisasi di daerah. Sebab berdasarkan disain awalnya (by design), pemerintahan dalam negara kesatuan bersifat sentralistik karena sumber kewenangan yang dipencarkan memang berasal dari tangan pemerintah pusat  (dalam hal ini eksekutif).
            Disebut dekonsentrasi setengah hati karena :

1)      Di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, tidak pernah disebut Gubernur sebagai Kepala Wilayah Administrasi, tetapi sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Sebutan Kepala Wilayah Administrasi baru muncul pada penjelasan PP Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekosentrasi;
2)      Pengaturan tentang dekonsentrasi di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 juga sangat terbatas, dan kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden;
3)      Adanya kerancuan penggunaan asas penyelenggaraan pemerintahan Daerah, yakni antara asas dekonsentrasi dengan asas desentralisasi. Pada pasal 63 UU Nomor 22 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pelaksanaan asas dekonsentrasi oleh Gubernur dijalankan oleh Dinas Propinsi, padahal Dinas Propinsi adalah alat desentralisasi. Secara teoretis, pelaksanaan asas dekonsentrasi seharusnya dijalankan oleh aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Dengan adanya pemisahan secara jelas akan mempermudah dalam hal penggunaan hak, wewenang dan tanggung jawab.
4)      Di dalam menjalankan asas dekonsentrasi, Gubernur hanya dibantu oleh Sekretaris Daerah yang karena jabatannya adalah juga Sekretaris Wilayah Administrasi. Tetapi berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri - Sekretaris Daerah Propinsi kemudian disebut Sekda, bukan Sekwilda. Hal ini memarginalisasi peranan Sekda Propinsi sebagai Sekretaris Wilayah Administrasi.

Dilihat  dari  segi  manajemen  pemerintahan,  kewenangan luas,  utuh   dan  bulat
yang diberikan kepada Daerah Kabupaten/Kota seharusnya diimbangi dengan pengawasan yang setara dengan kewenangannya. Dalam hal ini Gubernur sebagai Kepala Wilayah maupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dapat diberi peranan yang lebih besar – sebagai kompensasi dari pengurangan isi otonomi daerah propinsi. Penguatan tersebut dapat berupa pelimpahan kewenangan dalam bidang pembinaan dan pengawasan jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dengan membatasi hubungan langsung antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dewasa ini terdapat 371 Daerah Kabupaten/Kota, dan jumlah ini dari waktu ke waktu cenderung terus bertambah. Apabila semuanya harus melapor dan diawasi langsung oleh Pemerintah Pusat, jelas tidak akan efektif dan efisien. Secara teoretis rentang kendali (span of control) seseorang atau sesuatu instansi jumlahnya terbatas. Apabila rentang kendalinya terlampau luas akan timbul gejala lepas kendali (out of control), dengan ciri-ciri tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat. Di sisi lain, apabila terlampau banyak mengurusi masalah-masalah internal, pemerintah pusat akan kehilangan momentum untuk berkiprah di dunia internasional yang mengakibatkan citra negara dan bangsa menjadi semakin terpuruk.

Dengan adanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, sebenarnya sudah sangat membatasi campur tangan pemerintah pusat terhadap implementasi desentralisasi di Daerah – yang selama ini memang datang dari pejabat tingkat menteri ke bawah. Hal tersebut diperkuat lagi dengan isi dan jiwa PP Nomor 39 Tahun 2001 yang menegaskan pelimpahan kewenangan dalam rangka dekonsentrasi hanya dapat dilakukan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden. Apabila para Menteri mempunyai inisiatif untuk melakukan pelimpahan kewenangan, materinya disampaikan kepada Presiden setelah lebih dahulu berkonsultasi dengan pihak-pihak yang akan diberi delegasi kewenangan.

1 komentar:

  1. keren gan.. :D ijin copas.. bermanfaat postingannya.. jangan lupa kunjungi blog ane pratama-whoopy.blogspot.com

    BalasHapus

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...