Rabu, 28 September 2011

Daerah Perbatasan


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.       Latar  Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang luas, dihuni oleh beragam suku bangsa yang tergabung dalam satu kesatuan Bangsa Indonesia. Dengan begitu luasnya wilayah, salah satu persoalan yang muncul ialah menyangkut masalah perbatasan. Perbatasan sebuah negara (borders state) dikenal bersamaan dengan lahirnya negara. Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis, yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan antar negara, yang terutama ditandai oleh adanya persaingan untuk memperluas batas-batas negara.
Semula batas-batas territorial dari negara-bangsa merupakan refleksi dari batas-batas kelompok etnis tertentu. Perkembangan selanjutnya dari negara-bangsa memperlihatkan bahwa kesamaan cita-cita, yang tidak jarang bersifat lintas-etnis, lebih mengemuka sebagai dasar dari eksistensi sebuah negara-bangsa. Perbatasan sebuah negara dalam konteks semacam itu, menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda, bahkan bisa saja membelah etnis yang sama, karena dialaminya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama  (Smith dalam Tirtosudarmo, 2002).  
Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan merupakan kawasan khusus sehingga dalam penanganannya memerlukan pendekatan yang khusus pula, penanganannya urgen dilakukan karena akan berdampak terhadap ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan serta keamanan, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, maupun dampak secara regional dan nasional.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 mengamanatkan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan tertinggal yang harus mendapat prioritas pembangunan. Amanat GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-undang (UU) No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 yang memuat program-program prioritas selama lima tahun.  Namun kenyataannya, komitmen pemerintah melalui kedua produk hukum ini belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya.
Penanganan wilayah perbatasan selama ini memang belum dilakukan secara optimal dan kurang terpadu. Seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara berbagai pihak, baik secara horizontal, vertikal maupun sektoral. Lebih memprihatinkan lagi keadaan masyarakat di wilayah perbatasan negara, sepertinya lepas dari perhatian, karena penanganannya menjadi domain pemerintah pusat saja sementara pemerintah daerah kurang berpartisipasi. Kondisi tersebut melahirkan suatu pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab dalam membina masyarakat di perbatasan dan menyediakan serta memelihara infrastruktur di daerah perbatasan.
Daerah perbatasan dihadapkan pada kondisi serba-kekurangan, dari berbagai sektor pembangunan jauh tertinggal dengan kawasan lainnya. Di sebagian besar kawasan perbatasan dapat dikatakan aspek “ke-Indonesia-an” kurang mengental. Padahal kawasan perbatasan adalah bagian dari NKRI, begitu pula penduduk yang menghuni kawasan perbatasan adalah bagian dari bangsa Indonesia. Namun yang menjadi persoalan pokok adalah kinerja pemerintah yang kurang menyentuh kawasan tersebut. Bagaimanapun antara negara, bangsa dan pemerintah harus bersinergi secara optimal dan menjadi kesatuan yang utuh.
Serupa dengan penegakan hukum, infratruktur dan dinamika politik di kawasan perbatasan pun seperti mengalami stagnasi. Apalagi jika memperhatikan di tingkat pemerintah pusat dan daerah pun, diwarnai oleh dinamika politik yang kurang sehat. Dengan sendirinya rentang kendali kebijakan politik pemerintah pusat dan daerah dengan kawasan perbatasan, menjadi sangat jauh. Dengan kata lain, kawasan perbatasan bagaikan burung yang nyaris tidak dipegangi. Bahkan akibat apresiasi pemerintah pusat yang lemah, ternyata dari 17.504 pulau yang ada, 9.634 pulau di antaranya belum diberi nama, sebagian di antaranya ada di kawasan perbatasan. 
Masalah wilayah perbatasan tidak terlepas dari perkembangan lingkungan strategis baik regional, nasional maupun internasional. Di era globalisasi ini, dunia makin terorganisasi, saling tergantung dan membutuhkan satu dengan yang lain. Konsep saling keterkaitan dan ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamananan. Berbagai negara sambil tetap mempertahankan identitas serta batas-batas teritorial negaranya, mereka membuka semua hambatan fisik, administrasi dan fiskal yang membatasi gerak lalu lintas barang dan orang. Kondisi tersebut tidak dapat dihindari lagi, dan merupakan sebuah keniscayaan di era globalisasi ini.
Adapun masalah umum yang dihadapi di berbagai kawasan perbatasan, antara lain adalah: (1) Bentangan kawasan perbatasan antara RI dengan 10 negara tetangga sangat luas dan tipologinya bervariasi. Akibatnya, rentang kendali dan penanganan kawasan perbatasan menghadapi tantangan dan kendala yang cukup berat; (2) ada pendapat umum di masa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan sarang pemberontak, harus diamankan, terbelakang dan kurang menarik bagi investor. Akibatnya, berbagai potensi sumberdaya alam kurang dikelola, terutama oleh investor swasta. 
Wilayah daratan Republik Indonesia (RI) berbatasan langsung dengan negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan kontinen tersebut tersebar di tiga pulau, empat propinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda.  Demikian pula negara tetangga yang berbatasan dengan RI, memiliki karakteristik sosial, ekonomi, politik dan budaya berbeda. 
Wilayah maritim Indonesia berbatasan dengan 10 negara: India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua New Guinea.  Kawasan-kawasan perbatasan maritim umumnya berupa pulau-pulau terluar yang berjumlah 92 pulau, yang beberapa di antaranya adalah pulau-pulau kecil yang hingga kini masih perlu ditata dan dikelola lebih intensif, karena ada kecenderungan mempunyai masalah dengan negara tetangga.
Sebagian besar kawasan perbatasan di Indonesia merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana  sosial dan ekonomi yang sangat terbatas.  Di masa lalu kawasan perbatasan dipandang sebagai wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak. Akibatnya, di sejumlah daerah, kawasan perbatasan tidak tersentuh dinamika pembangunan. Masyarakat di kawasan itu pun umumnya miskin dan lebih berorientasi ke negara tetangga.  Di sisi lain, negara tetangga seperti Malaysia justru telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan. Pembangunan ini telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya.
Upaya untuk membangun dan mengembangkan kawasan perbatasan memerlukan komitmen dan kebijakan pemerintah. Kebijakan yang lebih berorientasi pada security approach atau pendekatan keamanan semata-mata belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di wilayah perbatasan negara, sehingga diperlukan pendekatan yang lebih menekankan pada aspek kesejahteraan atau pembangunan (prosperity/development approach) dan bersifat lintas sektoral.
Pengembangan kawasan perbatasan yang berorientasi pada kesejahteraan menjadi sangat penting karena kawasan perbatasan merupakan pintu gerbang negara dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan menjamin negara kesatuan Republik Indonesia. Peluang ekonomi di beberapa kawasan perbatasan telah terbuka lebih besar dengan berlakunya sejumlah perjanjian internasional. Perjanjian itu antara lain perdagangan bebas internasional, kerjasama ekonomi regional maupun bilateral, serta kerjasama sub-regional.
Berlakunya kerjasama internasional tersebut perlu menjadi bahan pertimbangan dalam upaya pengembangan kawasan  perbatasan.   Dalam rangka melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional, Indonesia perlu menyiapkan berbagai langkah, kebijakan dan program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu. Dengan demikian Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga. persoalannya, ketertinggalan itu menyebabkan sumberdaya alam di kawasan perbatasan akan tersedot keluar, dengan kata lain, masyarakat dan pemerintah tidak mendapat keuntungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...