BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia
adalah negara yang luas, dihuni oleh beragam suku bangsa yang tergabung dalam
satu kesatuan Bangsa Indonesia. Dengan begitu luasnya wilayah, salah satu
persoalan yang muncul ialah menyangkut masalah perbatasan. Perbatasan sebuah
negara (borders state) dikenal bersamaan
dengan lahirnya negara. Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis,
yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan antar negara, yang
terutama ditandai oleh adanya persaingan untuk memperluas batas-batas negara.
Semula
batas-batas territorial dari negara-bangsa merupakan refleksi dari batas-batas
kelompok etnis tertentu. Perkembangan selanjutnya dari negara-bangsa memperlihatkan
bahwa kesamaan cita-cita, yang tidak jarang bersifat lintas-etnis, lebih
mengemuka sebagai dasar dari eksistensi sebuah negara-bangsa. Perbatasan sebuah
negara dalam konteks semacam itu, menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan
bahwa batas negara tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda, bahkan bisa
saja membelah etnis yang sama, karena dialaminya sejarah kebangsaan yang
berbeda oleh warga etnis yang sama (Smith dalam Tirtosudarmo, 2002).
Pembangunan
wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional. Wilayah perbatasan merupakan kawasan
khusus sehingga dalam penanganannya memerlukan pendekatan yang khusus pula, penanganannya
urgen dilakukan karena akan berdampak terhadap ideologi, politik, sosial,
ekonomi, budaya dan pertahanan serta keamanan, khususnya bagi masyarakat yang
tinggal di wilayah tersebut, maupun dampak secara regional dan nasional.
Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 mengamanatkan bahwa kawasan perbatasan
merupakan kawasan tertinggal yang harus mendapat prioritas pembangunan. Amanat
GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-undang (UU) No. 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 yang memuat program-program
prioritas selama lima tahun. Namun kenyataannya,
komitmen pemerintah melalui kedua produk hukum ini belum dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya, karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari
segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya.
Penanganan wilayah perbatasan selama ini memang belum dilakukan secara
optimal dan kurang terpadu. Seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara
berbagai pihak, baik secara horizontal, vertikal maupun sektoral. Lebih
memprihatinkan lagi keadaan masyarakat di wilayah perbatasan negara, sepertinya
lepas dari perhatian, karena penanganannya menjadi domain pemerintah
pusat saja sementara pemerintah daerah kurang berpartisipasi. Kondisi tersebut
melahirkan suatu pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab dalam membina
masyarakat di perbatasan dan menyediakan serta memelihara infrastruktur di
daerah perbatasan.
Daerah perbatasan dihadapkan pada kondisi
serba-kekurangan, dari berbagai sektor pembangunan jauh tertinggal dengan
kawasan lainnya. Di sebagian besar kawasan perbatasan dapat dikatakan aspek “ke-Indonesia-an”
kurang mengental. Padahal kawasan perbatasan adalah bagian dari NKRI, begitu
pula penduduk yang menghuni kawasan perbatasan adalah bagian dari bangsa
Indonesia. Namun yang menjadi persoalan pokok adalah kinerja pemerintah yang
kurang menyentuh kawasan tersebut. Bagaimanapun antara negara, bangsa dan
pemerintah harus bersinergi secara optimal dan menjadi kesatuan yang utuh.
Serupa dengan penegakan hukum, infratruktur dan
dinamika politik di kawasan perbatasan pun seperti mengalami stagnasi. Apalagi
jika memperhatikan di tingkat pemerintah pusat dan daerah pun, diwarnai oleh
dinamika politik yang kurang sehat. Dengan sendirinya rentang kendali kebijakan
politik pemerintah pusat dan daerah dengan kawasan perbatasan, menjadi sangat
jauh. Dengan kata lain, kawasan perbatasan bagaikan burung yang nyaris tidak
dipegangi. Bahkan akibat apresiasi pemerintah pusat yang lemah, ternyata dari
17.504 pulau yang ada, 9.634 pulau di antaranya belum diberi nama, sebagian di
antaranya ada di kawasan perbatasan.
Masalah wilayah perbatasan tidak terlepas dari perkembangan lingkungan
strategis baik regional, nasional maupun internasional. Di era globalisasi ini,
dunia makin terorganisasi, saling tergantung dan membutuhkan satu dengan yang lain.
Konsep saling keterkaitan dan ketergantungan dalam masyarakat internasional
berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan keamananan. Berbagai negara sambil tetap mempertahankan identitas
serta batas-batas teritorial negaranya, mereka membuka semua hambatan fisik,
administrasi dan fiskal yang membatasi gerak lalu lintas barang dan orang.
Kondisi tersebut tidak dapat dihindari lagi, dan merupakan sebuah keniscayaan
di era globalisasi ini.
Adapun
masalah umum yang dihadapi di berbagai kawasan perbatasan, antara lain adalah:
(1) Bentangan kawasan perbatasan antara RI dengan 10 negara tetangga sangat
luas dan tipologinya bervariasi. Akibatnya, rentang kendali dan penanganan
kawasan perbatasan menghadapi tantangan dan kendala yang cukup berat; (2) ada
pendapat umum di masa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan sarang
pemberontak, harus diamankan, terbelakang dan kurang menarik bagi investor.
Akibatnya, berbagai potensi sumberdaya alam kurang dikelola, terutama oleh investor
swasta.
Wilayah daratan
Republik Indonesia (RI) berbatasan langsung dengan negara Malaysia, Papua New
Guinea (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan kontinen tersebut tersebar di
tiga pulau, empat propinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing wilayah
memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasan
dengan RI, memiliki karakteristik sosial, ekonomi, politik dan budaya berbeda.
Wilayah
maritim Indonesia berbatasan dengan 10 negara: India, Malaysia, Singapura,
Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua New
Guinea. Kawasan-kawasan perbatasan
maritim umumnya berupa pulau-pulau terluar yang berjumlah 92 pulau, yang
beberapa di antaranya adalah pulau-pulau kecil yang hingga kini masih perlu
ditata dan dikelola lebih intensif, karena ada kecenderungan mempunyai masalah
dengan negara tetangga.
Sebagian
besar kawasan perbatasan di Indonesia merupakan kawasan tertinggal dengan
sarana dan prasarana sosial dan ekonomi
yang sangat terbatas. Di masa lalu kawasan
perbatasan dipandang sebagai wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena
menjadi tempat persembunyian para pemberontak. Akibatnya, di sejumlah daerah,
kawasan perbatasan tidak tersentuh dinamika pembangunan. Masyarakat di kawasan
itu pun umumnya miskin dan lebih berorientasi ke negara tetangga. Di sisi lain, negara tetangga seperti
Malaysia justru telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor
perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan. Pembangunan
ini telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya.
Upaya untuk membangun
dan mengembangkan kawasan perbatasan memerlukan komitmen dan kebijakan pemerintah.
Kebijakan yang lebih berorientasi pada security approach atau
pendekatan keamanan semata-mata belum cukup
untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di wilayah perbatasan negara,
sehingga diperlukan pendekatan yang lebih menekankan pada aspek
kesejahteraan atau pembangunan (prosperity/development approach) dan bersifat lintas sektoral.
Pengembangan
kawasan perbatasan yang berorientasi pada kesejahteraan menjadi sangat penting
karena kawasan perbatasan merupakan pintu gerbang negara dan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal dan menjamin negara kesatuan Republik Indonesia.
Peluang ekonomi di beberapa kawasan perbatasan telah terbuka lebih besar dengan
berlakunya sejumlah perjanjian internasional. Perjanjian itu antara lain
perdagangan bebas internasional, kerjasama ekonomi regional maupun bilateral,
serta kerjasama sub-regional.
Berlakunya
kerjasama internasional tersebut perlu menjadi bahan pertimbangan dalam upaya
pengembangan kawasan perbatasan. Dalam rangka melaksanakan berbagai kerjasama
ekonomi internasional, Indonesia perlu menyiapkan berbagai langkah, kebijakan
dan program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu. Dengan demikian Indonesia
tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga. persoalannya, ketertinggalan
itu menyebabkan sumberdaya alam di kawasan perbatasan akan tersedot keluar,
dengan kata lain, masyarakat dan pemerintah tidak mendapat keuntungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar