Keith Davis (1985:366) mengemukakan bahwa “Dicipline is management action to enforce organization
standards”. Keith Davis berpandangan bahwa disiplin kerja diartikan sebagai
pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. Sementara
itu, Cascio (1992:512) menyatakan ”Employee discipline is the final
area of contract administration that we
shall consider. Trifically the “management rights” clause of the collective bargaining
agreement retains for management the authority to impose reasonable rules for
workplace conduct and to discipline employees for just cause.”
Berdasarkan beberapa
pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa disiplin berarti taat
dan patuh terhadap aturan atau norma. Disiplin adalah kemampuan menyatukan pola pikir dan perilaku dalam
kehidupan. Disiplin merupakan
modal utama untuk mencapai
tujuan seseorang baik untuk diri sendiri maupun dalam kelompok organisasi.
Dalam Acuan tentang Gerakan Disiplin Nasional
dijelaskan mengenai pengertian disiplin sebagai berikut:
1.
Disiplin
adalah ketaatan terhadap peraturan dan norma-norma kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berlaku, yang dilaksanakan secara sadar dan ikhlas
lahir dan batin sehingga timbul rasa malu terkena sanksi dan rasa takut
terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2.
Disiplin
di satu sisi adalah sikap hidup dan perilaku yang mencerminkan “Tanggung jawab” terhadap kehidupan “Tanpa
paksaan” dari luar. Sikap dan perilaku ini dianut berdasarkan keyakinan bahwa
hal itulah yang benar, dan keinsyafan bahwa hal itu bermanfaat bagi diri
sendiri dan masyarakat;
3.
Disiplin
Nasional adalah sikap mental seluruh warga dari suatu bangsa yang tercermin
dalam perbuatan dan perilaku pribadi/kelompok, berupa kepatuhan dan ketaatan
terhadap hukum dan norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
berlaku, yang dilakukan secara sadar dan ikhlas baik lahir maupun batin,
sehingga tumbuh keyakinan bahwa tujuan nasional hanya dapat dicapai melalui
disiplin nasional.
Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil pada Pasal
1 dijelaskan bahwa:
a.
Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah peraturan yang mengatur kewajiban,
larangan dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar
oleh Pegawai Negeri Sipil;
b.
Pelanggaran
Disiplin adalah setiap ucapan, tulisan atau perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang
melanggar ketentuan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil baik yang dilakukan di dalam maupun di
luar jam kerja;
c.
Hukuman
disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil karena
melanggar Peraturan Pegawai Negeri Sipil.
Disiplin dalam
berorganisasi harus tercermin pada berbagai aspek fungsi manajemen antara lain:
(1) Disiplin dalam perencanaan, yaitu bagaimana ketaatan aparat yang
terkait dalam kegiatan perencanaan yang berkaitan dengan ketaatan terhadap
aturan-aturan atau pedoman-pedoman dalam proses penyusunan rencana, (2) Disiplin
dalam pelaksanaan kegiatan, yaitu setiap unsur organisasi harus
melaksanakan tugasnya sesuai dengan jadwal yang ditentukan dan berdasar kepada
tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya; (3) Disiplin dalam
penganggaran; yaitu bagaimana menetapkan anggaran seefisien mungkin sesuai
kebutuhan riil dari kegiatan yang akan dilaksanakan, dan (4) Disiplin dalam
pengawasan, agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran yang telah
ditetapkan maka harus dilakukan pengawasan, baik pengawasan melekat yang harus
dilakukan oleh atasan langsung maupun pengawasan fungsional yang dilakukan oleh
lembaga pengawasan seperti BPKP, Inspektorat Jenderal Pengawasan, Bawasda
maupun Unit Pengawasan lainnya.
Sedangkan
bentuk-bentuk disiplin sebagaimana dikemukakan Davis dalam Prabu (2001:129) menyatakan
bahwa ada 2 bentuk disiplin kerja yaitu disiplin preventif dan disiplin
korektif. Disiplin preventif adalah upaya menggerakkan pegawai
mengikuti dan mematuhi pedoman kerja, aturan aturan yang telah digariskan oleh
perusahaan, yang tujuannya untuk menggerakan pegawai berdisiplin diri. Disiplin korektif adalah upaya menggerakkan
pegawai dalam menyatukan dan mematuhi peraturan sesuai dengan pedoman yang
berlaku, pegawai yang melanggar disiplin diberikan sanksi sesuai peraturan yang
berlaku.
Cascio (1992:512), walaupun
tidak secara tegas membedakan disiplin, namun dapat diintisarikan ia membagi
disiplin ke dalam disiplin positif dan displin progresif, ia menyatakan bahwa:
“Positive
discipline” On its face, it sounds a lot like traditional discipline dressed up
in euphemisms. It work as follows: Employees who cmmit offenses first get and
oral “reminder” rather than a “reprimand” Then comes a written reminder,
followed by a paid day of – a “decition making leave day” (a suspention in in traditional parlance).
After a pensive day off, the employee must agree in writing (or orally at some
union shops) that or she will behave responsibly for the next year. The paid
day off is a one-shot change, termination follows”.
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa disiplin positif ketika karyawan
yang melakukan pelanggaran pertama kali mendapat peringatan lisan dan bukan
tindakan hukuman. Kemudian menyusul peringatan tertulis, dan dilanjutkan dengan
pemberhentian sementara tanpa pemotongan gaji disebut hari cuti, pengambilan keputusan,
(penangguhan dalam pengertian tradisional). Sesudah penghentian sementara,
karyawan harus membuat kesepakatan tertulis, bahwa ia akan berprilaku secara
bertanggungjawab untuk tahun berikutnya. Penghentian sementara adalah cara
tercepat untuk pembaharuan diri. Proses tersebut didokumentasikan, dan jika
karyawan juga tidak berubah, maka pemberhentian menyusul. Mengenai
disiplin progresif, Cascio
(1992:513) menjelaskan pula sebagai berikut:
Progresive
discipline Many firms, both unionized and nonunionized, follow a procedure of
progressive discipline that proceeds from and oral warning to a written warning to a suspension to
dismissal. However, to administer discipline without at the same time
engendering rentment bay the disciplined
employee, managers should
follow what Douglas McGregor called the “Red Hot Stove Rule.”
Disiplin progresif pada
beberapa perusahaan, baik yang memiliki serikat pekerja maupun yang tidak,
melaksanakan prosedur disiplin progresif yang menghasilkan bentuk peringatan
secara lisan ataupun peringatan tertulis hingga penangguhan dan selanjutnya
pemecatan. Akan tetapi dalam menyelengarakan disiplin tanpa kadang-kadang pada
saat yang sama menimbulkan kekecewaan pada pihak karyawan yang sama menimbulkan
kekecewaan pada pihak karyawan yang disiplin. Disiplin harus bersifat segera,
seperti halnya menyentuh kompor panas, di mana kita akan segera merasakan umpan
balik, sehingga tidak ada kesalahpahaman mengapa disiplin ditegakkan.
Sementara itu untuk mengukur
disiplin kerja pegawai sebagaimana dikemukakan Lateiner dan Levine (1987:54) dilakukan
melalui:
1.
Frekuensi
kehadiran pegawai di kantor pada hari-hari kerja serta ketepatan jam masuk dan
pulang.
2.
Tinggi
rendahnya tingkat kewaspadaan dalam menggunakan bahan-bahan dan alat-alat
kantor.
3.
Tinggi
rendahnya hasil kerja pegawai dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas.
4.
Tinggi
rendahnya tingkat ketaatan pegawai dalam mengikuti cara-cara bekerja yang
ditentukan
5.
Tinggi
rendahnya semangat pegawai dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya.
6.
Frekuensi
diadakannya ceramah-ceramah tentang etika kepegawaian”
Untuk mengukur disiplin atau
tidaknya seseorang pegawai dapat dilihat dari tingkat kehadiran pegawai
tersebut ke tempat bekerja, dari tingkat keterampilan penggunaan bahan-bahan
kerja, dari tingkat hasil kerja baik dalam
jumlah maupun kualitasnya, dari tingkat ketaatan terhadap cara cara atau
prosedur kerja, dari tingkat kesemangatan dalam melaksanakan tugas pekerjaan serta
upaya-upaya yang dilakukan dalam mendisiplinkan
pegawai.
Faktor-faktor yang membentuk
prilaku disiplin sangat dipengaruhi oleh keberadaan lingkungan organisasi
tempat pegawai yang bersangkutan bekerja seperti ketersediaan aturan-aturan
yang merupakan pedoman bagi seluruh pegawai yang ada di dalam organisasi yang
bersangkutan, adanya target-target tertentu yang harus dicapai oleh anggota
organisasi sehingga menjadi motivasi bagai seseorang pegawai untuk mengejar
target tersebut dan keberadaan pimpinan organisasi baik seperti kemampuan
memimpin, prilaku keteladanan, kemampuan dalam bidang pekerjaan yang diembannya
dan lain-lain. Cascio dalam Suradinata (1996:152) menguraikan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap proses disiplin pegawai yaitu: 1) sikap dan orientasi
pegawai terhadap pekerjaan, 2) ukuran dalam organisasi, 3) permintaan akan
tenaga kerja, 4) tingkat perpindahan pegawai, 5) tipe kepemimpinan dan 6) kesatuan
dan persatuan pegawai.
Lebih lanjut Suradinata
(1996:153) menguraikan tentang sistem nilai budaya yang merupakan dasar untuk
disiplin bangsa Indonesia dalam 8 nilai dasar yaitu:
- Peraturan tertulis, sumber dari segala sumber hukum yakni Pancasila dan Undang undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional. Merupakan sumber utama dalam pembentukan sistem nilai. Perilaku manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berpedoman pada sistem nilai dasar tersebut.
- Adanya norma atau kaidah yang lazim dinamakan adat-istiadat, yang memberikan pedoman terhadap sikap dan tingkah laku masyarakat dengan budaya tertentu, dalam kehidupan sosial.
- Peraturan tertulis lainnya yang dijadikan dasar untuk sikap dan tingkah laku serta ucapan.
- Kebiasaan yang merupakan aturan tidak tertulis mengatur tingkah laku manusia perorangan maupun kelompok, menurut tingkatan tertentu.
- Adanya disiplin individu yang timbul dari dalam dirinya karena kesadaran yang mendalam terhadap lingkungan.
- Adanya disiplin kelompok sebagai perwujudan yang lahir dari sikap taat dan patuh pada aturan dan norma-norma yang berlaku pada kelompok dan bidang kehidupan tertentu, misalnya pada unit kerja tertentu seperti Angkatan Bersenjata, Pegawai Negeri Sipil dan pegawai lainnya maupun kelompok masyarakat tertentu.
- Adanya disiplin nasional sebagai wujud nyata kepatuhan sesuai dengan aturan yang lahir dari sikap patuh yang dibuktikan oleh seluruh lapisan masyarakat terhadap ketentuan, yang berlaku secara nasional.
- Disiplin selaku warga negara, yang harus mematuhi hak dan kewajibannya untuk mentaati aturan sebagai warga negara dari suatu negara.”
Selain beberapa faktor di atas
masalah kedisiplinan tidak bisa lepas dari unsur-unsur kebudayaan yang ada pada
setiap pribadi manusia, yang berpengaruh kepada sikap dan prilaku seseorang
manusia di dalam melaksanakan tugas pekerjaanya. Sedarmayanti (2007:340)
berpendapat mengenai unsur-unsur dimaksud adalah:
a. Cipta: manusia dituntut di dalam suatu pekerjaan untuk
dapat menciptakan sesuatu di mana ciptaanya akan menentukan karya serta hasil
yang dicapai di sini perlu kedisiplinan.
b. Karsa: di dalam mengerjakan suatu pekerjaan, seseorang
harus mengikuti norma/aturan yang telah ditetapkan, dan apabila ia melanggar
akan dikenakan sanksi. Di sini juga dituntut adanya kedisiplinan dari individu itu sendiri.
c. Rasa: manusia tidak lepas dari suatu perasaan yaitu
adanya sesuatu kenyamanan bagi dirinya, penghargaan serta rasa keindahan bagi
dirinya. Hal ini tidak terlepas dari adanya suatu rasa seni yang ada dalam
diri setiap inidividu.
Disiplin
merupakan istilah yang mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk ditanamkan, padahal disiplin merupakan salah salah satu unsur pokok yang sangat
berpengaruh dalam pencapaian keberhasilan organisasi. Oleh sebab itu, disiplin harus bisa ditanamkan kepada
seluruh pegawai yang ada di lingkungan
suatu organisasi. Terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan dalam
menanamkan disiplin terhadap karyawan yang berada dalam lingkungan suatu
organisasi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sedarmayanti (2007:339) bahwa Disiplin harus ditanamkan pada seluruh sumber daya manusia dalam manajemen melalui cara: 1) mengenal diri sendiri,
2) mendisiplinkan diri, 3) memimpin dengan keteladanan, 4) menanamkan
semangat dalam kemandirian, 5) menghindari sikap dan prilaku negatif dan 6) anggaplah disiplin sebagai cermin ibadah.
Pendapat di atas apabila ditelaah lebih mendalam mengandung makna
bahwa untuk mewujudkan kedisiplinan seseorang maka harus
ditanamkan agar mengenali keberadaan diri, kedudukan, tugas, wewenang dan
kewajiban serta hak yang diberikan kepadanya selaku
anggota organisasi. Setelah dia mengenali kedudukan, tugas,
wewenang dan kewajiban tersebut maka ia harus berupaya untuk melaksanakan, mentaati,
tidak mengabaikan, tidak menyia-nyiakan keberadaan pegawai yang bersangkutan di
dalam organisasi tersebut, dan mampu menjadi suri tauladan bagi pegawai yang
ada di sekitarnya. Pegawai yang bersangkutan pun harus memiliki semangat dalam
mengemban tugas dengan penuh tanggungjawab, loyalitas tinggi, menghindari
segala perbuatan yang berakibat merugikan organisasi. Suradinata menguraikan
tentang hal hal yang melandasi kesetiaan dan kesadaran untuk menjungjung tinggi
aturan norma yang berlaku melalui ketaatan dan kepatuhan ke dalam ruang lingkup
dan tingkatan disiplin seperti digambarkan berikut:
Gambar 2.4
Ruang lingkup dan tingkatan disiplin
|

SUMBER: Suradinata, E., Manajemen
Sumber Daya Manusia, 1996, Bandung
Ruang lingkup
dan tingkat disiplin seperti diuraikan di atas, tampak sangat dipengaruhi oleh
faktor motivasi. Motivasi merupakan dorongan kebutuhan yang ada pada diri
manusia. Demikian pula masalah disiplin merupakan kebutuhan yang menimbulkan motif
dan motivasi pada diri seseorang akan melahirkan sikap tingkah laku pribadi
dalam kehidupan, dan bisa melahirkan disiplin kelompok, disiplin nasional
maupun disiplin sebagai warga negara. Kementerian Aparatur Negara
mengembangkan 17 nilai budaya kerja sebagai berikut:
1.
Komitmen dan konsisten (terhadap visi dan misi guna
tercapainya tujuan organisasi dalam pelaksanaan kebijakan negara serta
peraturan perundang undangan yang berlaku)
2.
Wewenang dan tanggungjawab
3.
Keikhlasan
dan kejujuran
4.
Integritas dan profesionalisme
5.
Kreativitas dan kepekaan
6.
Kepemimpinan dan keteladanan
7.
Kebersamaan dan dinamika kelompok kerja
8.
Ketepatan/keakuratan dan kecepatan
9.
Rasionalitas dan kecerdasan emosi
10. Keteguhan
dan ketegasan
11. Disiplin
dan keteraturan kerja
12. Keberanian
dan kearifan
13. Dedikasi
dan loyalitas
14. Semangat
dan motivasi
15. Ketekunan
dan kesabaran
16. Keadilan
dan keterbukaan
17. Penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi (yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas
pekerjaan,terutama metoda analisa dan pengambilan keputusan)
Kedisiplinan
Pegawai Negeri Sipil berkaitan dengan keseluruhan nilai budaya yang diharapkan.
Artinya masalah kedisiplinan tidak bisa lepas dari nilai budaya kerja yang
diharapkan dapat dikembangkan oleh setiap pegawai, sebagai bentuk aktualisasi
keyakinan yang akan menumbuhkan motivasi, dan
tanggungjawab terhadap peningkatan efektivitas kinerja organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar