Kamis, 29 September 2011

Konsep Disiplin


Keith Davis (1985:366) mengemukakan bahwa “Dicipline is management action to enforce organization standards”. Keith Davis berpandangan bahwa disiplin kerja diartikan sebagai pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. Sementara itu, Cascio (1992:512) menyatakan ”Employee discipline is the final area of contract administration  that we shall consider. Trifically the “management rights” clause of the collective bargaining agreement retains for management the authority to impose reasonable rules for workplace conduct and to discipline employees for just cause.”
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa disiplin berarti taat dan patuh terhadap aturan atau norma. Disiplin adalah kemampuan menyatukan pola pikir dan perilaku dalam kehidupan. Disiplin merupakan modal utama untuk mencapai tujuan seseorang baik untuk diri sendiri maupun dalam kelompok organisasi.
Dalam Acuan tentang Gerakan Disiplin Nasional dijelaskan mengenai pengertian disiplin sebagai berikut:
1.             Disiplin adalah ketaatan terhadap peraturan dan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berlaku, yang dilaksanakan secara sadar dan ikhlas lahir dan batin sehingga timbul rasa malu terkena sanksi dan rasa takut terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2.             Disiplin di satu sisi adalah sikap hidup dan perilaku yang mencerminkan  “Tanggung jawab” terhadap kehidupan “Tanpa paksaan” dari luar. Sikap dan perilaku ini dianut berdasarkan keyakinan bahwa hal itulah yang benar, dan keinsyafan bahwa hal itu bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat;
3.             Disiplin Nasional adalah sikap mental seluruh warga dari suatu bangsa yang tercermin dalam perbuatan dan perilaku pribadi/kelompok, berupa kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum dan norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berlaku, yang dilakukan secara sadar dan ikhlas baik lahir maupun batin, sehingga tumbuh keyakinan bahwa tujuan nasional hanya dapat dicapai melalui disiplin nasional.

Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil pada Pasal 1 dijelaskan bahwa:
a.              Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah peraturan yang mengatur kewajiban, larangan dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil;
b.             Pelanggaran Disiplin adalah setiap ucapan, tulisan atau perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri  Sipil baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja;
c.              Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil karena melanggar Peraturan Pegawai Negeri Sipil.

Disiplin dalam berorganisasi harus tercermin pada berbagai aspek fungsi manajemen antara lain: (1) Disiplin dalam perencanaan, yaitu bagaimana ketaatan aparat yang terkait dalam kegiatan perencanaan yang berkaitan dengan ketaatan terhadap aturan-aturan atau pedoman-pedoman dalam proses penyusunan rencana, (2) Disiplin dalam pelaksanaan kegiatan, yaitu setiap unsur organisasi harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan jadwal yang ditentukan dan berdasar kepada tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya; (3) Disiplin dalam penganggaran; yaitu bagaimana menetapkan anggaran seefisien mungkin sesuai kebutuhan riil dari kegiatan yang akan dilaksanakan, dan (4) Disiplin dalam pengawasan, agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan maka harus dilakukan pengawasan, baik pengawasan melekat yang harus dilakukan oleh atasan langsung maupun pengawasan fungsional yang dilakukan oleh lembaga pengawasan seperti BPKP, Inspektorat Jenderal Pengawasan, Bawasda maupun Unit Pengawasan lainnya.
Sedangkan bentuk-bentuk disiplin sebagaimana dikemukakan Davis dalam Prabu (2001:129) menyatakan bahwa ada 2 bentuk disiplin kerja yaitu disiplin preventif dan disiplin korektif. Disiplin preventif adalah upaya menggerakkan pegawai mengikuti dan mematuhi pedoman kerja, aturan aturan yang telah digariskan oleh perusahaan, yang tujuannya untuk menggerakan pegawai berdisiplin diri. Disiplin korektif adalah upaya menggerakkan pegawai dalam menyatukan dan mematuhi peraturan sesuai dengan pedoman yang berlaku, pegawai yang melanggar disiplin diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Cascio (1992:512), walaupun tidak secara tegas membedakan disiplin, namun dapat diintisarikan ia membagi disiplin ke dalam disiplin positif dan displin progresif, ia menyatakan bahwa:
 Positive discipline” On its face, it sounds a lot like traditional discipline dressed up in euphemisms. It work as follows: Employees who cmmit offenses first get and oral “reminder” rather than a “reprimand” Then comes a written reminder, followed  by a paid day of – a “decition making leave day” (a suspention in in traditional parlance). After a pensive day off, the employee must agree in writing (or orally at some union shops) that or she will behave responsibly for the next year. The paid day off is a one-shot change, termination follows”.

 Pendapat di atas dapat diartikan bahwa disiplin positif ketika karyawan yang melakukan pelanggaran pertama kali mendapat peringatan lisan dan bukan tindakan hukuman. Kemudian menyusul peringatan tertulis, dan dilanjutkan dengan pemberhentian sementara tanpa pemotongan gaji disebut hari cuti, pengambilan keputusan, (penangguhan dalam pengertian tradisional). Sesudah penghentian sementara, karyawan harus membuat kesepakatan tertulis, bahwa ia akan berprilaku secara bertanggungjawab untuk tahun berikutnya. Penghentian sementara adalah cara tercepat untuk pembaharuan diri. Proses tersebut didokumentasikan, dan jika karyawan juga tidak berubah, maka pemberhentian menyusul. Mengenai disiplin progresif, Cascio (1992:513) menjelaskan pula sebagai berikut:
Progresive discipline Many firms, both unionized and nonunionized, follow a procedure of progressive discipline that proceeds from and oral warning to a written warning to a suspension to dismissal. However, to administer discipline without at the same time engendering rentment bay the disciplined employee, managers should follow what Douglas McGregor called the “Red Hot Stove Rule.”

Disiplin progresif pada beberapa perusahaan, baik yang memiliki serikat pekerja maupun yang tidak, melaksanakan prosedur disiplin progresif yang menghasilkan bentuk peringatan secara lisan ataupun peringatan tertulis hingga penangguhan dan selanjutnya pemecatan. Akan tetapi dalam menyelengarakan disiplin tanpa kadang-kadang pada saat yang sama menimbulkan kekecewaan pada pihak karyawan yang sama menimbulkan kekecewaan pada pihak karyawan yang disiplin. Disiplin harus bersifat segera, seperti halnya menyentuh kompor panas, di mana kita akan segera merasakan umpan balik, sehingga tidak ada kesalahpahaman mengapa disiplin ditegakkan.
Sementara itu untuk mengukur disiplin kerja pegawai sebagaimana dikemukakan Lateiner dan Levine (1987:54) dilakukan melalui:
1.           Frekuensi kehadiran pegawai di kantor pada hari-hari kerja serta ketepatan jam masuk dan pulang.
2.           Tinggi rendahnya tingkat kewaspadaan dalam menggunakan bahan-bahan dan alat-alat kantor.
3.           Tinggi rendahnya hasil kerja pegawai dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas.
4.           Tinggi rendahnya tingkat ketaatan pegawai dalam mengikuti cara-cara bekerja yang ditentukan
5.           Tinggi rendahnya semangat pegawai dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya.
6.           Frekuensi diadakannya ceramah-ceramah tentang etika kepegawaian”

Untuk mengukur disiplin atau tidaknya seseorang pegawai dapat dilihat dari tingkat kehadiran pegawai tersebut ke tempat bekerja, dari tingkat keterampilan penggunaan bahan-bahan kerja, dari tingkat hasil kerja baik dalam  jumlah maupun kualitasnya, dari tingkat ketaatan terhadap cara cara atau prosedur kerja, dari tingkat kesemangatan dalam melaksanakan tugas pekerjaan serta upaya-upaya yang dilakukan dalam mendisiplinkan  pegawai.
Faktor-faktor yang membentuk prilaku disiplin sangat dipengaruhi oleh keberadaan lingkungan organisasi tempat pegawai yang bersangkutan bekerja seperti ketersediaan aturan-aturan yang merupakan pedoman bagi seluruh pegawai yang ada di dalam organisasi yang bersangkutan, adanya target-target tertentu yang harus dicapai oleh anggota organisasi sehingga menjadi motivasi bagai seseorang pegawai untuk mengejar target tersebut dan keberadaan pimpinan organisasi baik seperti kemampuan memimpin, prilaku keteladanan, kemampuan dalam bidang pekerjaan yang diembannya dan lain-lain. Cascio dalam Suradinata (1996:152) menguraikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses disiplin pegawai yaitu: 1) sikap dan orientasi pegawai terhadap pekerjaan, 2) ukuran dalam organisasi, 3) permintaan akan tenaga kerja, 4) tingkat perpindahan pegawai, 5) tipe kepemimpinan dan 6) kesatuan dan persatuan pegawai.
Lebih lanjut Suradinata (1996:153) menguraikan tentang sistem nilai budaya yang merupakan dasar untuk disiplin bangsa Indonesia dalam 8 nilai dasar yaitu:
  1. Peraturan tertulis, sumber dari segala sumber hukum yakni Pancasila dan Undang undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional. Merupakan sumber utama dalam pembentukan sistem nilai. Perilaku manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berpedoman pada sistem nilai dasar tersebut.
  2. Adanya norma atau kaidah yang lazim dinamakan adat-istiadat, yang memberikan pedoman terhadap sikap dan tingkah laku masyarakat dengan budaya tertentu, dalam kehidupan sosial.
  3. Peraturan tertulis lainnya yang dijadikan dasar untuk sikap dan tingkah laku serta ucapan.
  4. Kebiasaan yang merupakan aturan tidak tertulis mengatur tingkah laku manusia perorangan maupun kelompok, menurut tingkatan tertentu.
  5. Adanya disiplin individu yang timbul dari dalam dirinya karena kesadaran yang mendalam terhadap lingkungan.
  6. Adanya disiplin kelompok sebagai perwujudan yang lahir dari sikap taat dan patuh pada aturan dan norma-norma yang berlaku pada kelompok dan bidang kehidupan tertentu, misalnya pada unit kerja tertentu seperti Angkatan Bersenjata, Pegawai Negeri Sipil dan pegawai lainnya maupun kelompok masyarakat tertentu.
  7. Adanya disiplin nasional sebagai wujud nyata kepatuhan sesuai dengan aturan yang lahir dari sikap patuh yang dibuktikan oleh seluruh lapisan masyarakat terhadap ketentuan, yang berlaku secara nasional.
  8. Disiplin selaku warga negara, yang harus mematuhi hak dan kewajibannya untuk mentaati aturan sebagai warga negara dari suatu negara.”

Selain beberapa faktor di atas masalah kedisiplinan tidak bisa lepas dari unsur-unsur kebudayaan yang ada pada setiap pribadi manusia, yang berpengaruh kepada sikap dan prilaku seseorang manusia di dalam melaksanakan tugas pekerjaanya. Sedarmayanti (2007:340) berpendapat mengenai unsur-unsur dimaksud adalah:
a.       Cipta: manusia dituntut di dalam suatu pekerjaan untuk dapat menciptakan sesuatu di mana ciptaanya akan menentukan karya serta hasil yang dicapai di sini perlu kedisiplinan.
b.      Karsa: di dalam mengerjakan suatu pekerjaan, seseorang harus mengikuti norma/aturan yang telah ditetapkan, dan apabila ia melanggar akan dikenakan sanksi. Di sini juga dituntut adanya kedisiplinan dari individu itu sendiri.
c.       Rasa: manusia tidak lepas dari suatu perasaan yaitu adanya sesuatu kenyamanan bagi dirinya, penghargaan serta rasa keindahan bagi dirinya. Hal ini tidak terlepas dari adanya suatu rasa seni yang ada dalam diri setiap inidividu.

Disiplin merupakan istilah yang mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk ditanamkan, padahal disiplin merupakan salah salah satu unsur pokok yang sangat berpengaruh dalam pencapaian keberhasilan organisasi. Oleh sebab itu, disiplin harus bisa ditanamkan kepada seluruh pegawai yang ada di lingkungan  suatu organisasi. Terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan dalam menanamkan disiplin terhadap karyawan yang berada dalam lingkungan suatu organisasi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sedarmayanti (2007:339) bahwa Disiplin harus ditanamkan pada seluruh sumber daya manusia dalam manajemen melalui cara: 1) mengenal diri sendiri, 2) mendisiplinkan diri, 3) memimpin dengan keteladanan, 4) menanamkan semangat dalam kemandirian, 5) menghindari sikap dan prilaku negatif dan 6) anggaplah disiplin sebagai cermin ibadah.
Pendapat di atas apabila ditelaah lebih mendalam mengandung makna bahwa untuk mewujudkan kedisiplinan seseorang maka harus ditanamkan agar mengenali keberadaan diri, kedudukan, tugas, wewenang dan kewajiban serta hak yang diberikan kepadanya selaku anggota organisasi. Setelah dia mengenali kedudukan, tugas, wewenang dan kewajiban tersebut maka ia harus berupaya untuk melaksanakan, mentaati, tidak mengabaikan, tidak menyia-nyiakan keberadaan pegawai yang bersangkutan di dalam organisasi tersebut, dan mampu menjadi suri tauladan bagi pegawai yang ada di sekitarnya. Pegawai yang bersangkutan pun harus memiliki semangat dalam mengemban tugas dengan penuh tanggungjawab, loyalitas tinggi, menghindari segala perbuatan yang berakibat merugikan organisasi. Suradinata menguraikan tentang hal hal yang melandasi kesetiaan dan kesadaran untuk menjungjung tinggi aturan norma yang berlaku melalui ketaatan dan kepatuhan ke dalam ruang lingkup dan tingkatan disiplin seperti digambarkan berikut:
Gambar 2.4
Ruang lingkup dan tingkatan disiplin

Ketaatan
Kepatuhan
 
SUMBER: Suradinata, E., Manajemen Sumber Daya Manusia, 1996, Bandung
Ruang lingkup dan tingkat disiplin seperti diuraikan di atas, tampak sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi. Motivasi merupakan dorongan kebutuhan yang ada pada diri manusia. Demikian pula masalah disiplin merupakan kebutuhan yang menimbulkan motif dan motivasi pada diri seseorang akan melahirkan sikap tingkah laku pribadi dalam kehidupan, dan bisa melahirkan disiplin kelompok, disiplin nasional maupun disiplin sebagai warga negara. Kementerian Aparatur Negara mengembangkan 17 nilai budaya kerja sebagai berikut:
1.      Komitmen dan konsisten (terhadap visi dan misi guna tercapainya tujuan organisasi dalam pelaksanaan kebijakan negara serta peraturan perundang undangan yang berlaku)
2.      Wewenang dan tanggungjawab
3.      Keikhlasan dan kejujuran
4.      Integritas dan profesionalisme
5.      Kreativitas dan kepekaan
6.      Kepemimpinan dan keteladanan
7.      Kebersamaan dan dinamika kelompok kerja
8.      Ketepatan/keakuratan dan kecepatan
9.      Rasionalitas dan kecerdasan emosi
10.  Keteguhan dan ketegasan
11.  Disiplin dan keteraturan kerja
12.  Keberanian dan kearifan
13.  Dedikasi dan loyalitas
14.  Semangat dan motivasi
15.  Ketekunan dan kesabaran
16.  Keadilan dan keterbukaan
17.  Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas pekerjaan,terutama metoda analisa dan pengambilan keputusan)

Kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil berkaitan dengan keseluruhan nilai budaya yang diharapkan. Artinya masalah kedisiplinan tidak bisa lepas dari nilai budaya kerja yang diharapkan dapat dikembangkan oleh setiap pegawai, sebagai bentuk aktualisasi keyakinan yang akan menumbuhkan motivasi, dan tanggungjawab terhadap peningkatan efektivitas kinerja organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...