Penanaman pondasi pendidikan
lingkungan sejak dini menjadi solusi utama yang harus dilakukan, agar generasi
muda memiliki bekal pemahaman tentang lingkungan hidup yang kokoh. Pendidikan
Lingkungan diharapkan mampu menjembatani dan mendidik manusia agar berperilaku
bijak.
Masa
anak-anak merupakan perjalanan yang kritis, sebagai generasi bangsa di masa
mendatang. Jika pengetahuan dan cara yang ditanamankan pada masa kanak-kanak
itu benar, dapat diharapkan ketika berubah ke masa remaja dan dewasa, bekal
pengetahuan, pembentukan perilaku serta sikap dalam dirinya terhadap sesuatu
akan positif.
Masa remaja
dan dewasa pada dasarnya merupakan masa mencari identitas dan realisasi diri.
Pada masa ini sering sangat sulit untuk mengubah wawasan dasar yang telah
terpola dan melekat dalam dirinya sejak kecil. Dengan demikian sangatlah
strategis pembekalan pengetahuan dasar tentang lingkungan hidup sejak dini
melalui anak-anak secara terprogram dan berkelanjutan, hingga pada saatnya akan
tercipta insan-insan pribadi bangsa yang utuh.
Lantas,
bagaimana format pendidikan lingkungan untuk generasi muda? Pendidikan
lingkungan kepada generasi muda dapat dilakukan lewat jalur pendidikan formal
dan informal. Pendidikan Lingkungan secara formal dilakukan melalui kurikulum
sekolah dan pemanfaatan potensi lingkungan yang ada di sekitarnya. Dalam hal
ini guru yang menyampaikan juga tidak selalu harus seorang ekolog atau ilmuwan,
melainkan cukup seseorang yang mampu menjadi pemandu dalam berpikir tentang
lingkungan yang ada di sekitarnya dan mempunyai semangat dalam menemukan
hubungan yang ada dalam ekosistem.
Bentuk materi
dapat dikemas secara integratif di dalam mata pelajaran sekolah, atau
dikembangkan sebagai materi yang berdiri sendiri sebagai mata pelajaran muatan
lokal. Melalui pengembangan materi muatan lokal di sekolah, maka jaminan
kesinambungan program Pendidikan Lingkungan kepada siswa lebih terjaga, karena
adanya legalitas formal dari pihak sekolah.
Penyelenggaraan
paket pendidikan ini dapat bersifat outdoor education (pendidikan di luar
kelas), yang dilakukan dengan mengajak siswa untuk menyatu dengan alam dan
melakukan beberapa aktivitas yang mengarah pada terwujudnya perubahan perilaku
siswa terhadap lingkungan melalui tahap-tahap penyadaran, pengertian,
perhatian, tanggungjawab dan aksi atau tingkah laku.
Outdoor tidak berarti sekedar memindahkan pelajaran ke luar kelas, melainkan lebih
pada pemanfaatan potensi lingkungan yang ada sebagai obyek dalam materi yang
disampaikan. Aktivitas yang disampaikan berupa permainan, cerita (dongeng),
olahraga, eksperimen, perlombaan, mengenal kasus-kasus lingkungan di sekitarnya
dan diskusi penggalian solusi, aksi lingkungan, dan jelajah lingkungan. Dalam
kegiatan ini siswa dibimbing untuk menemukan sendiri maksud yang terkandung di
dalamnya, sehingga transfer materi bisa lebih mengena dan lebih mudah diingat
siswa.
A. Mengenalkan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah
Perlindungan
terhadap sumber daya alam merupakan pertanyaan dasar atas eksistensi setiap
orang dan seluruh umat manusia. Oleh karena itu sekolah mempunyai kewajiban
untuk membangkitkan kepekaan dan kesadaran akan lingkungan pada kaum
remaja, membuka wawasan dan mendidik mereka untuk berinteraksi dan bersikap
dengan penuh tanggung jawab. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 008C/U/1975 menetapkan bahwa Pendidikan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup (PKLH) mulai diterapkan di Sekolah Dasar (SD). Dalam Surat
Keputusan tersebut dinyatakan bahwa PKLH diajarkan tidak dalam bentuk mata
pelajaran tersendiri, tetapi dalam bentuk kesatuan dengan mata pelajaran dan
bidang studi tertentu melalui pendekatan terpadu (integratif).
Pendidikan
lingkungan sebagai pendidikan untuk menumbuhkan sikap baru terhadap komponen
bumi seperti air, udara, hewan dan tumbuhan, menuntut pemikiran yang lain dan
menyeluruh yang merupakan kebalikan cara berpikir yang lurus dan satu dimensi.
Tujuan pendidikan lingkungan hidup di sekolah adalah sebagai berikut: Mengantarkan
kaum muda untuk memahami alam dengan penuh kasih sayang dan hormat terhadap
sesama makhluk/ciptaan ditentukan oleh banyak faktor.
Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah pola berfikir yang integral dalam memasukan materi
PLH kedalam setiap bidang studi yang diajarkan. Metode pendekatannya dibagi 2
macam, yaitu:
1. Pendekatan
integratif (terpadu)
Pendekatan ini dilaksanakan bertolak dari kenyataan bahwa
materi kurikulum sudah terlalu banyak. Dalam pendekatan ini, materi PLH
dipadukan kedalam mata pelajaran yang dianggap relevan dalam kurikulum yang
berlaku.
2. Pendekatan
monolitik
Pendekatan ini dilaksanakan secara terpisah atau berdiri
sendiri, sehingga merupakan satuan keutuhan yang bulat. Misalnya menjadi mata
kuliah dasar umum (MDU) di universitas.
Dalam sekolah
diharapkan sebanyak mungkin tenaga guru yang aktif dalam PLH. Dengan banyaknya
guru yang aktif akan memudahkan jalinan kerjasama, baik didalam sekolah maupun
diantara sekolah-sekolah dengan lembaga-lembaga terkait dan
masyarakat.Kerjasama dengan pihak luar dapat dilakukan dengan orang tua peserta
didik (agar hal-hal yang sudah diajarkan disekolah dapat pula dibina di
rumah), kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pemerintah Daerah, dan masyarakat umum.
PLH tidak
terbatas pada kegiatan belajar mengajar saja, melainkan menyangkut seluruh
kehidupan sekolah. Berbagai aspek kegiatan sekolah, selalu diwarnai PLH.
Misalnya pada saat perayaan Hari Bumi (22 April), dan Hari Lingkungan Hidup (5
Juni) dengan penanaman pohon; membahas masalah lingkungan yang sedang terjadi
seperti banjir, kebakaran hutan, pencemaran,
studi lapangan dengan mengamati langsung objek lingkungan; penataan
ruang kelas dan lingkungan sekolah; gerakan kebersihan; dan efisiensi dalam
pemakaian sumber daya alam.
B. Pendidikan
Lingkungan Hidup: dalam Buku Catatan
Pada tahun
1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan dimasukkan ke dalam
pendidikan formal dengan dibentuknya mata pelajaran Pendidikan kependudukan dan
lingkungan hidup (PKLH). Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan
PKLH ke dalam semua mata pelajaran
Pada jenjang
pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata
ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif
dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah
kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak
tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup
telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP
dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan.
Di tahun 1996
terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan
menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat
192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan
lingkungan.
Selain itu,
terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep:
89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup,
tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan
pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara
lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan
Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH)
untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain.
Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi dalam mengembangkan pendidikan
lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran
guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi,
buku-buku bacaan dan lain-lain.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri
Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK Bersama Nomor
Kep, No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan
pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan
bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran
yang telah ada.
C. Pendidikan Lingkungan Hidup: Dasar yang Dilupakan
Salah satu
puncak perkembangan pendidikan lingkungan adalah dirumuskannya tujuan
pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED adalah sebagai berikut: Pendidikan
lingkungan Hidup (environmental education - EE) adalah suatu proses untuk
membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan
total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat
yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta
komitmen untuk bekerja sama, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk
dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya
masalah baru [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco, (1978)]
PLH
memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan
untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan
afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru
perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan
internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa
dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut
oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact, serta dapat menimbulkan
kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh karena itu, PLH perlu memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan yang dapat meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah.
Beberapa keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan
masalah adalah sebagai berikut ini:
1.
Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara
persuasive, desain grafis;
2.
Investigasi (investigation):
merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data;
3.
Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group
process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama.
Pendidikan lingkungan hidup haruslah mempertimbang-kan
hal-hal berikut:
a.
Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas alami dan buatan,
bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral,
estetika);
b.
Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang
hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal
maupun non formal;
c.
Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan
menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu
sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang
seimbang.
d.
Meneliti (examine) issue
lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan
internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi
lingkungan di wilayah geografis yang lain;
e.
Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan
yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
f.
Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan
internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
g.
Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam
rencana pembangunan dan pertumbuhan;
h.
Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan
pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat
keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
i.
Menghubungkan (relate) kepekaan
kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan
klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun
pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap
lingkungan tempat mereka hidup;
j.
Membantu peserta didik untuk menemukan (discover),
gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
k.
Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga
diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk
memecahkan masalah.
l.
Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran
mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan
yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first - hand experience).
Karena langsung mengkaji masalah yang nyata, PLH dapat
mempermudah pencapaian ketrampilan tingkat tinggi (higher order skill) seperti:
1)
berfikir kritis
2)
berfikir kreatif
3)
berfikir secara integratif
4)
memecahkan masalah.
Persoalan
lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta
memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam
penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam.
Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang
ditetapkan dalam Indonesian Summit on
Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004,
telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi,
sosial, dan lingkungan.
Ketiga pilar
tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling
memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah:
a)
Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah
terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan
produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian,
Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan.
b)
Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam
upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah:
Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan,
Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/
kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan
c)
Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah:
Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan
sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, Energi dan
sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keaneka-ragaman hayati,
dan Penataan ruang.
Kesadaran
subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg
(constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling
bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa
dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir.
Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada
pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak
berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu,
pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya
yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang
pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive),
sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam
inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Dengan kata
lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya
Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu commencement, yang selalu
mulai dan mulai lagi, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan
proses yang sehati (in erent) dalam
keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau
hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang
tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang
dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat kesadaran naif
sampai ke tingkat kesadaran kritis, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran
tertinggi dan terdalam, yakni kesadarannya kesadaran (the consice of the consciousness).
Joseph
Cornell, seorang pendidik alam (nature
educator) yang terkenal dengan permainan di alam yang dikembangkannya
sangat memahami psikologi ini. Sekitar tahun 1979 ia mengembangkan konsep
belajar beralur (flow learning).
Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa
untuk menyingkronkan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia
merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya
pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar. Aspek-aspek yang perlu
diperhatikan adalah:
1.
Aspek afektif: perasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan
bangga
2.
Aspek kognitif: proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang
lain
3.
Aspek sosial: perasaan diterima dalam kelompok
4.
Aspek sensorik dan monotorik: bergerak dan merasakan melalui indera,
melibatkan peserta sebanyak mungkin
5.
Aspek lingkungan: suasanan ruang atau lingkungan.
Pendidikan
Lingkungan Hidup merupakan proses penyadaran akan pentingnya lingkungan hidup
untuk mendorong terwujudnya kepedulian semua
lapisan dan golongan masyarakat yang sadar akan lingkungan.
Tujuan
Pendidikan lingkungan adalah mewujudkan masyarakat yang sadar akan lingkungan
sehingga kerusakan lingkungan bisa di kurangi. Pendidikan Lingkungan hidup bisa
dimulai dari komunitas yang paling kecil yakni keluarga. Keluarga mempunyai
peranan penting dalam memberikan pendidikan lingkungan kepada anak-anaknya.
Bentuk yang paling kongkrit dari pendidikan dalam keluarga adalah mengajarkan
anak-anak untuk membuang sampai pada tempat sampah yang sudah disediakan.
Keluarga
mempunyai peranan penting dalam pendidikan lingkungan karena keluarga merupakan
ujung tombak pendidikan bagi anak-anaknya. Bila sejak dini anak-anak sudah
diajarkan dengan pemahaman yang baik akan lingkungan hidup maka pendidikan
lingkungan hidup sekolah akan berjalan dengan baik dan mendapat sambutan yang
baik dari anak didik. Jika pendidikan lingkungan hidup di sekolah sudah
berjalan dengan baik dan mendapat perhatian dari anak didik maka tujuannya
terwujud masyarakat lestari yang peduli terhadap lingkungan akan mudah
diwujudkan.
Pengelolaan
sumberdaya alam untuk pembangunan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
jangka pendek. Karena itu perlu ditetapkan strategi pengelolaan yang menjamin
keberlanjutan, keadilan dan berdaya guna tinggi. Upaya untuk meraih strategi
tersebut dijembatani dengan pembekalan para pelaku secara berkesinambungan.
Program
Pendidikan Lingkungan menyangkut skala yang sangat luas, sehingga perlu
partisipasi dan kerjasama berbagai pihak, agar hasilnya optimal dan bebas
konflik. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian anak terhadap
lingkungan melalui kegiatan teori dan praktek dalam bentuk teori, diskusi,
permainan, serta observasi lapangan dan menanamkan nilai-nilai konservasi alam
dan lingkungan sedini mungkin pada siswa dan meningkatkan kepedulian siswa
terhadap konservasi alam dan lingkungan sejak dini.
Generasi muda
menjadi asset pembangunan masa depan yang harus diprioritaskan. Dengan
membekali mereka tentang nilai-nilai etika lingkungan yang sangat penting untuk
membekali moralnya agar bijaksana dalam memperlakukan lingkungan hidupnya.
Generasi muda, sebagai aset pelaku pembangunan di masa mendatang, perlu
mendapatkan prioritas utama dalam menerima Pendidikan Lingkungan, agar sejak
dini mereka paham akan hubungannya dengan lingkungan hidupnya. Pendidikan
Lingkungan akan menjamin terjadinya suasana yang harmonis antara manusia dengan
alamnya, sehingga di alam tidak akan muncul kekhawatiran terhadap bencana yang
akan melanda.
Pada akhirnya
kerusakan dan permasalahan lingkungan yang terjadi akibat aktifitas kehidupan
sehari-hari dapat dikurangi atau bahkan dihindarkan. Sehingga sumber daya alam
yang ada bisa terus dilestarikan dan akhirnya bisa dinikmati dan diwariskan
kepada generasi mendatang.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar