ABSTRAK
Persoalan fundamental dalam sistem pendidikan nasional
adalah dehumanisasi pendidikan. Pendidikan seharusnya menghormati dan
menghargai martabat manusia berikut segala hak asasinya. Peserta didik
seharusnya tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek melalui proses
pendidikan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dalam praktik di sekolah, banyak contoh
menunjukkan betapa peserta didik diperlakukan sebagai obyek demi kepentingan
ideologi, politik, industri, dan bisnis.
Pada
era otonomi daerah,
sejatinya nasib guru
makin membaik, realitasnya malah sempat menjadi "tumbal" otonomi daerah. Di
beberapa kota, banyak guru
tidak digaji karena ada kesalahan persepsi antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
pemerintah daerah propinsi
tentang siapa yang bertanggung jawab menggaji guru.
Upaya
memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia sebenarnya juga telah ditempuh dengan
lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang menyatakan bahwa
wewenang terbesar bidang pendidikan ada di tangan pemerintah daerah, baik yang menyangkut
bubget maupun kebijakan yang bersifat strategis di
bidang kurikulum. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata di
beberapa daerah mendapat kendala, karena kurangnya ketersediaan anggaran pendidikan, padahal berdasarkan pasal 31 ayat 4 UUD
1945 dan pasal 49 UU Sisdiknas, anggaran pendidikan
minimal 20% dari APBD. Kendala lain yang dihadapi sebagian pemerintah daerah
adalah karena tidak tercukupinya kebutuhan tenaga pendidik dan untuk mengangkat
PNS baru membutuhkan anggaran yang cukup besar pula.
Dalam
upaya meningkatkan kualitas para tenaga pendidik, perlu juga sekaligus
memberikan perlindungan profesi pada mereka dalam bentuk program lisensi, bagi
semua pendidik dan mereka yang ingin meniti karier sebagai pendidik. Program
lisensi tersebut diperlukan untuk memberikan jaminan mutu pendidikan yang
akan diberikan agar sesuai dengan standar nasional, misalnya dengan kriteria
minimal harus menguasai segala aspek standar kompetensi guru.
.
B. PEMBAHASAN
1. Mutu Pendidikan
Dalam konteks pendidikan
pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil
pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat
berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik),
metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan
administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan
suasana yang kondusif.
Mutu dalam konteks "hasil
pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap
kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil
test kemampuan akademis. Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di
suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tertentu misalnya: komputer,
beragam jenis teknik. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak
dapat dipegang (intangible) seperti
suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan dan sebagainya.
Antara proses dan hasil
pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang
baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus
dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan
dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses
harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata
lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan
hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang
dicapai.
2. Problematika
Kesejahteraan Guru
Berbicara mengenai kesejahteraan guru, sebenarnya tidak semata-mata persoalan gaji, tapi juga menyangkut kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dalam menjalankan tugas, kondisi kerja, kepastian karier dan hubungan antar pribadi. Selama ini, aspek-aspek dari kesejahteraan guru tersebut umumnya masih sangat jauh dari keadaan ideal.
Pertama, gaji yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari pekerjaan lain dengan tingkat pendidikan yang sama atau bahkan dengan pendidikan yang lebih rendah. Kedua, kenaikan pangkat yang menjadi hak guru seringkali kurang lancar karena terhambat 'tembok' birokrasi yang panjang. Bahkan tidak jarang seorang guru harus berulangkali memperbaiki usulannya, sehingga menghabiskan banyak energi, waktu dan biaya. Ketiga, rasa aman dalam menjalankan tugas masih belum terjamin sepenuhnya karena berbagai perlakuan yang tidak fair terhadap guru yang kemudian mengganggu konsentrasinya dalam menjalankan tugas. Bahkan, berbagai perlakuan tidak adil sering dialami para guru, utamanya guru SD/MI yang populasinya merupakan yang paling besar.
Keempat, kondisi kerja di lingkungan sekolah buruk, sempit, dan sumpek, yang mengakibatkan guru merasa tidak nyaman dan tidak betah berada di sekolah. Sudah teramat banyak berita, baik dari media massa yang menginformasikan kondisi sekolah yang atapnya bocor, perabot dan gedungnya rusak berat, dan sebagainya.
Kelima, karier guru terhambat oleh hal-hal yang di luar kemampuan profesionalnya. Seperti perbedaan agama, golongan, suku dan ras, bahkan perbedaan partai politik. Keenam, hubungan antarpribadi di tempat kerja guru (sekolah) lebih menyerupai hubungan hierarkis seperti lazimnya dalam lingkungan birokrasi, bukan hubungan kolegial yang didasarkan atas profesionalisme.
Dari sekian banyak aspek kesejahteraan guru tersebut, gaji yang rendah merupakan persoalan yang mendominasi pembicaraan tentang guru. Kesejahteraan guru merupakan agenda mendesak ditangani untuk meningkatkan motivasi kerja guru dan meningkatkan status sosial guru di mata masyarakat.
Dari hasil kajian di beberapa negara, rendahnya gaji guru merupakan penyebab utama tingginya angka bolos kerja karena mencari penghasilan tambahan atau tidak cukup uang untuk memenuhi kebutuhan minimal. Becermin dari pengalaman negara-negara maju, trigger (pemicu) utama mutu pendidikan adalah kesejahteraan guru (Supriadi, 1998). Persoalannya kemudian, kompleksitas kondisi guru di Indonesia tidak akan selesai hanya dengan dibicarakan di berbagai forum diskusi, seminar, lokakarya, bahkan di gedung DPR sekalipun.
Klise yang selama ini sering dikemukakan pemerintah soal kesejahteraan guru adalah terbatasnya dana. Selain itu, kenaikan gaji guru sedikit saja sudah memiliki implikasi anggaran yang besar, karena populasi guru yang besar. Sebenarnya, argumentasi semacam ini patut dipertanyakan. Sebab persoalan rendahnya gaji guru sebenarnya tidak semata-mata karena pemerintah tidak memiliki dana yang cukup, tetapi lebih mencerminkan kurangnya komitmen dan kemauan politik.
Masalah kesejahteraan guru, memang selalu dibicarakan dan didengungkan Namun hasilnya masih dalam perjuangan, karena ide untuk menjadikan guru yang sejahtera dan berkecukupan itu sepertinya masih terhambat. Selain masalah kemampuan negara bagi sekolah negeri, kultur yang masih mengidentikkan guru dengan pengabdian tanpa pamrih, sehingga dinilai tidak layak jika seorang guru menuntut pembayaran yang sesuai tuntutan hidupnya. Bahkan, tidak sedikit pimpinan lembaga pendidikan yang masih berpendapat, jika mau memperoleh uang jangan menjadi guru di tempatnya.
3. Formula Peningkatan Mutu Pendidikan
a. Memberikan
Penghargaan
Penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena
diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi
jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi)
maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab,
kesempatan dan pengembangan karir).
Abraham Maslow mengatakan manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang
memiliki lima tingkatan (hierarchy of
needs) yakni, mulai dari kebutuhan fisiologis (pangan, sandang dan papan),
kebutuhan rasa aman (terhindar dari rasa takut akan gangguan keamanan),
kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan yang mencerminkan harga diri, dan
kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat.
Guru sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan
martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan
ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
b. Tingkatkan
Profesionalisme
Kecanggihan kurikulum dan panduan manajemen sekolah tidak akan berarti jika
tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap
profesinalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri,
legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan
bijaksana.
Konsep tentang guru profesional ini selalu dikaitkan dengan pengetahuan
tentang wawasan dan kebijakan pendidikan,
teori belajar dan pembelajaran, penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan
kelas/sekolah, serta tekhnologi informasi dan komunikasi.
Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme guru kita masih rendah.
Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum mampu memenuhi
kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai faktor determinan.
Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat
karena ketidakmampuan guru secara financial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak
diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini
dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan istilah lain
guru yang memiliki kompetensi.
c. Kelengkapan Sarana dan Prasarana
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan
cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/ laboratorium/media,
infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu
dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak
“kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal
sehingga kualitas pendidikan
menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap
satuan pendidikan menyediakan
sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi
fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di
beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM, umumnya sekolah
negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini, keterbatasan sarana dan
prasarana pada sekolah-sekolah tertentu, pengadaannya selalu dibebankan kepada
masyarakat.
Menyikapi keadaan yang demikian sulit, apalagi kondisi negara yang kian
kritis, solusi yang ditawarkan adalah manfaatkan seluruh potensi sumber daya
sekolah dan masyarkat sekitar, termasuk memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah.
d. Pemberantasan Korupsi
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana
yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim
dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini
tidak terlepas dar kekaburan sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem
anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan
Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah
dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Korupsi dalam dunia pendidikan
dilakukan secara bersama-sama dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah,
dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah, kepala
dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan
menjadi benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru
mempertotonkan praktik korupsi kepada peserta didik.
3. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan
Upaya peningkatan mutu pendidikan sudah bukan merupakan upaya baru dan memang seharusnya menjadi komitmen semua pihak. Upaya ini telah ditempuh melalui berbagai model. Pada tahun 1980-an, telah diujicobakan model pembelajaran Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Akhir-akhir ini, kita mencoba pendekatan model pembelajaran "joyful learning" atau yang lebih dikenal dengan model pembelajaran PAKEM (Pembelajaran Aktif, Efektif dan Menyenangkan).
Dari berbagai pengalaman yang amat berharga tersebut, dapat disimpulkan bahwa apapun konsep yang diterapkan di sekolah akan sangat bergantung kepada sekolah dan seluruh stakeholder pendidikan yang ada di sekolah.
Kebijakan dan program melalui upaya pemberdayaan sekolah dan masyarakat sebagai pemilik dan ujuk tombak pendidikan. Program "Bantuan Operasional untuk Manajemen Mutu (BOMM)" yang telah diluncurkan sejak tahun 1999 merupakan langkah maju untuk memberikan kepercayaan secara penuh kepada sekolah dan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Program seperti ini sudah seharusnya ditindaklanjuti dan dikembangkan melalui program-program lainnya dengan menggunakan sumber dana dari pusat, propinsi maupun kabupaten/kota.
Program-program peningkatan mutu pendidikan dengan model sebagaimana disebutkan di atas juga telah dilaksanakan, antara lain melalui kegiatan Rehabilitasi Gedung Sekolah, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Imbal Swadaya (BIS) yang digunakan untuk membangun Ruang Kelas Baru (RKB), Program School Grant, Program Retrival, dll. Pelaksanaan program ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, yang sebagian dananya antara lain berasal dari APBN, hutang Pemerintah RI dengan pihak luar negeri yaitu negara-negara pemberi pinjaman.
Banyak manfaat yang telah dapat dirasakan baik oleh pemerintah daerah maupun pihak sekolah yang secara langsung menjadi sasaran pelaksanaan. Hal ini karena dalam melaksanakan program-program ini diterapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS), mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan proses pelaporan dan umpan baliknya. Dengan kata lain program-program yang dilaksanakan menganut prinsip-prinsip demokratis, transparan, profesional dan akuntabel. Melalui pelaksanaan program ini para pengelola pendidikan di sekolah termasuk kepala sekolah, guru, komite sekolah dan tokoh masyarakat setempat dilibatkan secara aktif dalam setiap tahapan kegiatan. Disinilah proses pembelajaran itu berlangsung dan semua pihak saling memberikan kekuatan untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan sekolah.
Upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang disebutkan di atas, dikelola langsung oleh Komite Sekolah/Majelis Madrasah sebagai langkah awal aplikasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Peningkatan mutu pendidikan melalui MBS ini berlandaskan pada asumsi bahwa sekolah/madrasah akan meningkat mutunya jika kepala sekolah bersama guru, orangtua siswa dan masyarakat setempat diberi kewenangan yang cukup besar untuk mengelola kegiatannya sendiri. Pengelolaan ini meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan pembinaan, baik dalam hal keuangan maupun pembelajaran secara umum.
Oleh karena itu sudah saatnya sekolah diberikan kewenangan bersama seluruh komponen masyarakat yang ada di sekolah untuk merencanakan, melaksanakan, mengorganisir kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan pembelajaran di sekolah masing-masing. Untuk melaksanakan hal ini memang diperlukan perubahan yang sangat mendasar, terlebih dahulu adalah merubah paradigma atau cara pandang yang dimiliki para pemegang kebijakan, pembina dan pelaksana pendidikan.
5. Peningkatan Mutu Pendidikan di Era Global
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mutu pendidikan di Tanah Air
sampai saat ini masih rendah. Cukup banyak bukti yang dapat digunakan
untuk mendukung kesimpulan itu. Rata-rata hasil ujian akhir nasional, ujian
akhir sekolah atau apa pun namanya untuk semua mata pelajaran berkisar pada
rentangan 5 sampai 7 saja.
Berbagai hasil survei yang dilakukan oleh
lembaga internasional juga menempatkan prestasi siswa Indonesia pada posisi
bawah. Terakhir, hasil survei TIMSS 2003 (Trends
in International Mathematics and Sciencies Study) di bawah payung International Association for Evaluation of
Educational Achievement (IEA) menempatkan Indonesia pada posisi ke-34 untuk
bidang matematika dan pada posisi ke-36 untuk bidang sains dari 45 negara yang
disurvei (Kompas, 22/12/2004). Bahkan, di Jawa Timur, dalam seleksi penerimaan
calon pegawai negeri daerah yang diumumkan beberapa hari lalu dilaporkan banyak
formasi yang tidak terisi karena tidak satu calon pun yang mengikuti ujian
memenuhi nilai standar (passing grade)
yang ditetapkan.
Pembicaraan masyarakat awam di warung-warung
kopi dan di pinggir jalan semua menyadari bahwa kualitas pendidikan di Tanah Air
memang masih rendah. Untuk meningkatkan mutu pendidikan
dan mutu guru
khususnya, pemerintah saat ini menggagas pembentukan lembaga peningkatan mutu guru.
Pendidikan adalah salah satu sarana untuk
meningkatkan kualias SDM. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pendidikan, perlu ditingkatkan
kualitas manajemen pendidikan. Berkaitan
dengan masalah ini, Engkoswara (2001:5) menyebutkan bahwa “Manajemen Pendidikan yang diharapkan menghasilkan pendidikan yang produktif, yaitu efektif dan
efisien, memerlukan analisis kebudayaan atau nilai-nilai dan gagasan vital
dalam berbagai dimensi kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang cukup di mana manusia hidup.”
Kualitas pendidikan dapat dilihat dari
nilai tambah yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan,
baik produk dan jasa maupun pelayanan yang mampu bersaing di lapangan kerja yang ada dan yang
diperlukan. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui peningkatan
kualitas pendidikan. Sehubungan dengan
masalah ini, Supriadi (1996:54) mengemukakan bahwa “Agar pendidikan dapat memainkan perannya maka harus
terkait dengan dunia kerja, artinya lulusan pendidikan
semestinya memiliki kemampuan dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan
dunia kerja. Hanya dengan cara ini, pendidikan
mempunyai kontribusi terhadap ekonomi.”
Mengenai relevansi pendidikan dalam arti
adanya kesepadanan sebagaimana ditawarkan Djoyonegoro (1995:5) dalam bentuk link and match, pada kenyataannya pendidikan telah sesuai dengan keperluan masyarakat
yang sedang membangun. Pendidikan sampai
saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam pengembangan SDM.
Sumber Daya Manusia lebih bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan,
kemampuan, keahlian serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai
bidang dan sektor. Pendidikan merupakan
salah satu alat untuk menghasilkan perubahan pada diri manusia. Manusia
akan dapat mengetahui segala sesuatu yang tidak atau belum diketahui
sebelumnya. Pendidikan merupakan hak
seluruh umat manusia. Hak untuk memperoleh pendidikan
harus diikuti oleh kesempatan dan kemampuan serta kemauannya. Dengan
demikian, dapat dilihat dengan jelas betapa pentingnya peranan pendidikan dalam meningkatkan kualitas SDM agar
sejajar dengan manusia lain, baik secara regional (otonomi daerah), nasional,
maupun internasional (global).
Berbagai fenomena kehidupan dalam segala dimensi, baik sosial, budaya,
ekonomi, maupun politik yang terjadi di
sekitar kita menunjukkan gambaran yang semakin jelas bahwa sesungguhnya apa
yang kita miliki akhirnya akan menjadi tidak berarti apabila kita tidak mampu
memanfaatkannya. Hal ini bermula dari persoalan rendahnya kualitas SDM.
Tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai dengan adanya unsur
kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau
kinerja yang baik secara perorangan atau kelompok. Permasalahan ini akan
dapat diatasi apabila SDM mampu menampilkan hasil kerja produktif secara rasional
dan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat
diperoleh melalui pendidikan. Dengan
demikian, pendidikan merupakan salah satu
solusi untuk meningkatkan kualitas SDM.
Sanusi (1998:7) mengemukakan ”Jika abad silam
disebut abad kualitas produk/jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad
kualitas SDM. SDM yang berkualitas dan pengembangan kualitas SDM bukan
lagi merupakan isu atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau
andalan serta ujian setiap individu, kelompok, golongan masyarakat, dan bahkan
setiap bangsa.”
Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai
bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan.
Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih
ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang
dibutuhkan oleh dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas
proses produksi dan mempertahankan keseimbangan ekonomi.
Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan
akan memberi manfaat pada organisasi berupa produktivitas, moral, efisiensi,
efektivitas, dan stabilitas organisasi dalam mengantisipasi lingkungan, baik
dari dalam maupun ke luar organisasi yang selalu berubah mengikuti perkembangan
zaman.
Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan
akan memberikan manfaat pada lembaga berupa produktivitas, moral, efisiensi
kerja, stabilitas, serta fleksibilitas lembaga dalam mengantisipasi lingkungan,
baik dari dalam maupun ke luar lembaga yang bersangkutan. Fungsi dan
orientasi pendidikan dalam peningkatan
kualitas SDM telah dibuat dalam suatu kebijakan Depdiknas (2001:5) dalam tiga
strategi pokok pembangunan pendidikan
nasional, yaitu:
a.
pemerataan
kesempatan pendidikan,
b.
peningkatan
relevansi dan kualitas pendidikan, dan
c.
peningkatan
kualitas manajemen pendidikan.
Untuk melaksanakan ketiga strategi pokok pembangunan pendidikan tersebut di
atas, seyogianya dilihat bagian-bagian sistem pendidikan
nasional dalam kaitannya dengan orientasi masing-masing dan dijabarkan dalam
rencana dan prioritas pembangunan pendidikan.
Sementara itu, titik tolak pemikiran mengenai orientasi pendidikan nasional adalah:
(1) mencerdaskan kehidupan bangsa,
(2) mempersiapkan SDM yang berkualitas, terampil, dan ahli
yang diperlukan dalam proses memasuki era globalisasi dan otonomi daerah, dan
(3) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang
keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam membicarakan peningkatan kualitas SDM dewasa ini,
ada dua sisi yang perlu dilihat secara lebih spesifik, yaitu peningkatan
kualitas SDM di era
globalisasi dan peningkatan kualitas SDM di era otonomi
daerah.
Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa antara pendidikan berkualitas dengan produktivitas
mempunyai korelasi yang positif. Hal ini bermuara pada kualitas SDM yang
akhirnya akan dapat memungkinkan produktivitas organisasi. Sarah Tang,
sebagaimana dikutip Supriadi (1996:57), mengemukakan bahwa “Pertumbuhan
ekonomi yang cepat di negara-negara Asia dan
perubahan progresif dalam produksi menuju industri dan jasa berteknologi tinggi
mengakibatkan meningkatnya tuntutan dari dunia usaha terhadap perlunya tenaga
(SDM) yang terampil dan terdidik (berkualitas).”
Menelaah ungkapan di atas jelaslah bahwa
SDM sebagai tenaga kerja sangat diperlukan keterampilannya dalam melaksanakan
tugas peningkatan kualitas organisasi dan menunjang pertumbuhan
ekonominya. Dalam hal ini pendidikan
juga memegang peranan penting untuk pemecahan masalah tersebut.
C. KESIMPULAN
Mengungkap permasalahan pendidikan di Indonesia memang tidak ada habisnya, setelah
bagaimana mengatasi agar penyelenggaraan pendidikan
dapat berjalan dengan baik, masih ada lagi permasalahan bagaimana agar out put pendidikan juga mampu bersaing dalam pasar kerja
global, karena saat ini Indonesia terkesan hanyalah pengekspor tenaga kerja
"lower class". Dan agar pendidikan di
Indonesia tidak hanya melahirkan jumlah pengangguran terdidik yang semakin
banyak, maka pembangunan pendidikan harus pula
didukung dengan analisis kebutuhan ekonomi dan tenaga kerja. Out put pendidikan yang baik idak akan terbatasi dengan
lapangan kerja yang ada di Indonesia, tapi
akan mampu menciptakan lapangan kerja dan atau bersaing di pasar kerja global yang memang terbuka luas apabila memiliki
kemampuan.
Mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu
produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible
maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu,
dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan.
Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input,
seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi, sarana
sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya
serta penciptaan suasana yang kondusif.
Kesejahteraan guru sebenarnya tidak
semata-mata persoalan gaji, tapi juga menyangkut kelancaran dalam kenaikan
pangkat, rasa aman dalam menjalankan tugas, kondisi kerja, kepastian karier dan
hubungan antar pribadi. Selama ini, aspek-aspek dari kesejahteraan guru tersebut umumnya masih sangat jauh dari
keadaan ideal. Beberapa hal yang menjadi permasalahan kesejahteraan guru adalah
Pertama, gaji yang sangat rendah,
bahkan lebih rendah dari pekerjaan lain dengan tingkat pendidikan yang sama
atau bahkan dengan pendidikan yang lebih rendah. Kedua, kenaikan pangkat yang menjadi hak guru seringkali kurang lancar karena
terhambat 'tembok' birokrasi yang panjang. Ketiga,
rasa aman dalam menjalankan tugas masih belum terjamin sepenuhnya karena
berbagai perlakuan yang tidak fair terhadap guru yang kemudian mengganggu konsentrasinya
dalam menjalankan tugas. Keempat,
kondisi kerja di lingkungan sekolah buruk, sempit, dan sumpek, yang
mengakibatkan guru
merasa tidak nyaman dan tidak betah berada di sekolah. Kelima, karier guru
terhambat oleh hal-hal yang di luar kemampuan profesionalnya. Keenam, hubungan
antarpribadi di tempat kerja guru (sekolah) lebih menyerupai hubungan hierarkis seperti
lazimnya dalam lingkungan birokrasi, bukan hubungan kolegial yang didasarkan
atas profesionalisme.
Era globalisasi telah berada di
pangkuan kita. Persaingan yang ketat merupakan tantangan yang
makin berat. Untuk itu, tidak ada pilihan lain selain peningkatan
kualitas SDM melalui pendidikan berkelanjutan
yang akan mampu menghadapi persaingan tersebut. Untuk ini, perlu diberi
bantuan kepada SDM yang ingin meningkatkan kualitas dirinya, baik bantuan
material, moral mapun spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi
Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Depdiknas. 2001. Kebijaksanaan di Bidang Pendidikan Dasar. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Djojonegoro, Wardiman. 1995. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Pembangunan. Jakarta:
Depdikbud.
Engkoswara. 2001. Paradigma Manajemen Pendidikan
Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung:Yayasan Amal Keluarga.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Husin, Zulkifli dan Sasongko, Rambat Nur.
2002. Penataan Kualitas dan Gaji Guru di
Era Otonomi Purwokerto: Makalah Konvensi.
Kartadinata, Sunaryo. 1997. Pendidikan dan Pengembangan SDM
Bermutu Memasuki Abad XXI. Kompas. 27 Agustus 2002. “SK Kenaikan Pangkat Guru”
Kompas, 11 September 2002. “Guru Honorer Minta
Diprioritaskan”.
Pikiran Rakyat. 11 Juli 2002. “Honor Guru Swasta Kurang”
Sanusi, Achmad. 1998. Pendidikan Alternatif. Bandung: Program Pascasarjana dan PT Grafindo Media
Pratama.
Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan
Nasional Menjelang Abad XXI, PT. Grasindo, Jakarta.
Siagian, Sondang P. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:Bumi Aksara.
Suseno, Muchlas, 1998, Percepatan Pembelajaran Menjelang Abad 21 (makalah hasil analisis dari
Accelerated Learning for 21st Century oleh Colin Rose and Malcolm J. Nicholl), Pasca
Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta
TimTeknis Bappenas, 1999, School-Based Management di Tingkat
Pendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia, Jakarta.
Tilaar, H.A.R. 1998. Manajemen Pendidikan
Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. 1994. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22. Tahun 1999. Tentang Otonomi
Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar