Rabu, 28 Desember 2011

Sistem Pemerintahan Negara


Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
  1. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
  2. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
  3. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berarti kekuasaan membentuk undang-undang; dan Kekuasaan Yudiskatif yang berarti kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan.
Pada umumnya, sistem pemerintahan suatu negara dibedakan menjadi 2  (dua) klasifikasi besar, yaitu sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Klasifikasi sistem pemerintahan antara presidensiil dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Suatu negara disebut menganut sistem pemerintahan parlementer bila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan secara langsung dari badan legislatif (Miriam Budiardjo, 1984:45).
Pada sistem pemerintahan parlementer, pemerintah yang berperan sebagai eksekutif harus bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga dalam sistem pemerintahan parlementer ini mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar, karena selain eksekutif yang bertanggung jawab kepada parlemen, menteri serta perdana menteri juga juga harus bertanngung jawab kepada parlemen. Contoh negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer adalah Inggris, Belanda, Australia, dan Malaysia. Bahkan Inggris merupakan negara pertama yang menganut sistem pemerintahan parlementer ini dan Inggris juga disebut sebagai induk parlemen (mother of parliaments).
Anggota parlemen terdiri dari orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemilu. Karena partai politik yang menang dalam pemilu akan mempunyai kekuasaan yang mayoritas dan besar di parlemen. Parlemen akan memilih perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet pun biasanya terdiri dari anggota parlemen itu sendiri. Pada sistem pemerintahan parlementer, kepala negara tidak sekaligus berperan sebagai kepala pemerintahan. Karena perdana menteri berperan sebagai kepala pemerintahaan dan kepala negara dipegang oleh presiden/raja/sultan. Kepala negara hanya berperan sebagai simbol kedaulatan dan keutuhan negara karena kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan.
Pada sistem pemerintahan parlementer ini, walaupun kepala negara tidak mempunyai kewenangan terhadap urusan pemerintahan, namun kepala negara atas saran dari kepala pemerintahan (dalam hal ini, perdana menteri) dapat membubarkan parlemen yang kemudian bisa mnegadakan pemilu lagi untuk embentuk parlemen yang baru. Padahal parlemen dapat membubarkan kabinet dalam pemerintahan perdana menteri. Selain itu, karena anggota kabinet juga merupakan anggota parlemen, maka kabinet juga bisa mengendalikan parlemen karena pengaruh mereka (secara perseorangan) yang besar di parlemen dan partai.
Sistem pemerintahan mempunyai tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat di mana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunyai sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut  (Deliar Noor, 1998:87).
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi di mana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.
Secara sempit, sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.
Sistem pemerintahan yang dipraktikkan di sebuah negara memiliki pengaruh yang luas terhadap sistem pemerintahan yang berlaku di negara lain. Dari perspektif sejarah, negara-negara Eropa yang pernah menjajah bangsa lain di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menanamkan juga sistem pemerintahan mereka di tanah jajahan. Karena itu, tidak mengherankan bahwa negara-negara bekas koloni bangsa Eropa mengadopsi dan mempraktikkan sistem pemerintahan negara yang pernah menjajahnya.
Meskipun demikian, pengaruh sistem pemerintahan suatu negara terhadap negara lain akan terus berlangsung, sekarang dan di masa yang akan datang. Ini disebabkan karena gerak maju globalisasi yang menempatkan setiap negara dan bangsa dalam sebuah komunitas universal (Suhelmi, 2007:97).
Doktrin Trias Politika yang membagi kekuasaan menjadi tiga bagian sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pemerintah di berbagai negara. Doktrin Trias Politika dipahami sebagai suatu prinsip normatif yang menyatakan bahwa kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.
Untuk pertama kalinya doktrin ini dikemukakan oleh John Locke (1632 – 1704) dan Montesquieu (1689 – 1755). Doktrin ini biasanya ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers). Filosofi Inggris John Locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya Two Treaties on Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta membenarkan Revolusi Gemilang (the Glorious Revolution) tahun 1688 yang dimenangkan oleh parlemen Inggris. Menurut Locke, kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif. Masing-masing kekuasaan ini terpisah-pisah satu sama lain, yaitu sebagai berikut:
1.        Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang.
2.        Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang. Di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili.
3.        Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (Suhelmi, 2007:56).
Pada tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya The Spirit of The Laws. Karena melihat sifat yang sewenang-wenang dari raja-raja Bourbon, Montesquieu ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya.
Dalam uraiannya ia membagi kekuasaan pemerintah dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu, ketiga jenis kekuasaan ini harus terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (fungsi) maupun alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Montesquieu terutama memberi penekanan pada pentingnya kebebasan badan yudikatif. Badan yudikatif harus sebebas mungkin karena di sinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan.
Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Ini disebabkan karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai seorang hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan yudikatif. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif.
Bagi Montesquieu, kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan terpisah. Montesquieu menjelaskan bahwa kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka, kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan atau dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu. Melalui pemikirannya Montesquieu menekankan perlunya jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Ini dapat dicapai jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...