Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua
kata sistem dan pemerintahan. Kata sistem
merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti
susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata
pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa
Indonesia, kata-kata itu berarti:
- Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
- Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
- Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang
dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara
dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit,
pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif
beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem
pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai
komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam
mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut
Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang
berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan
pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berarti kekuasaan membentuk
undang-undang; dan Kekuasaan Yudiskatif yang berarti kekuasaan mengadili
terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara
garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem
pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan
antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan
pemerintahan negara yang bersangkutan.
Pada
umumnya, sistem pemerintahan suatu negara dibedakan menjadi 2 (dua) klasifikasi besar, yaitu sistem
pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Klasifikasi
sistem pemerintahan antara presidensiil dan parlementer didasarkan pada
hubungan antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Suatu negara
disebut menganut sistem pemerintahan parlementer bila badan eksekutif sebagai
pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan secara langsung dari badan legislatif
(Miriam Budiardjo, 1984:45).
Pada
sistem pemerintahan parlementer, pemerintah yang berperan sebagai eksekutif
harus bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga dalam sistem pemerintahan
parlementer ini mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar, karena
selain eksekutif yang bertanggung jawab kepada parlemen, menteri serta perdana
menteri juga juga harus bertanngung jawab kepada parlemen. Contoh negara-negara
yang menganut sistem pemerintahan parlementer adalah Inggris, Belanda, Australia,
dan Malaysia. Bahkan Inggris merupakan negara pertama yang menganut sistem
pemerintahan parlementer ini dan Inggris juga disebut sebagai induk parlemen (mother of parliaments).
Anggota
parlemen terdiri dari orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemilu.
Karena partai politik yang menang dalam pemilu akan mempunyai kekuasaan yang
mayoritas dan besar di parlemen. Parlemen akan memilih perdana menteri sebagai
kepala pemerintahan. Anggota kabinet pun biasanya terdiri dari anggota parlemen
itu sendiri. Pada sistem pemerintahan parlementer, kepala negara tidak
sekaligus berperan sebagai kepala pemerintahan. Karena perdana menteri berperan
sebagai kepala pemerintahaan dan kepala negara dipegang oleh
presiden/raja/sultan. Kepala negara hanya berperan sebagai simbol kedaulatan
dan keutuhan negara karena kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan.
Pada
sistem pemerintahan parlementer ini, walaupun kepala negara tidak mempunyai
kewenangan terhadap urusan pemerintahan, namun kepala negara atas saran dari
kepala pemerintahan (dalam hal ini, perdana menteri) dapat membubarkan parlemen
yang kemudian bisa mnegadakan pemilu lagi untuk embentuk parlemen yang baru.
Padahal parlemen dapat membubarkan kabinet dalam pemerintahan perdana menteri.
Selain itu, karena anggota kabinet juga merupakan anggota parlemen, maka
kabinet juga bisa mengendalikan parlemen karena pengaruh mereka (secara
perseorangan) yang besar di parlemen dan partai.
Sistem
pemerintahan mempunyai tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun
di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem
pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem
pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat di mana tidak bisa diubah dan menjadi
statis. Jika suatu pemerintahan mempunyai sistem pemerintahan yang statis,
absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum
minoritas untuk memprotes hal tersebut
(Deliar Noor, 1998:87).
Secara luas
berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah
laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga
kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem
pemerintahan yang kontinu dan demokrasi di mana seharusnya masyarakat bisa ikut
turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.Hingga saat ini
hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara
menyeluruh.
Secara sempit, sistem
pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan
guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya
perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.
Sistem pemerintahan yang dipraktikkan di sebuah negara
memiliki pengaruh yang luas terhadap sistem pemerintahan yang berlaku di negara
lain. Dari perspektif sejarah, negara-negara Eropa yang pernah menjajah bangsa
lain di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menanamkan juga sistem pemerintahan
mereka di tanah jajahan. Karena itu, tidak mengherankan bahwa negara-negara
bekas koloni bangsa Eropa mengadopsi dan mempraktikkan sistem pemerintahan
negara yang pernah menjajahnya.
Meskipun demikian, pengaruh sistem pemerintahan suatu negara
terhadap negara lain akan terus berlangsung, sekarang dan di masa yang akan
datang. Ini disebabkan karena gerak maju globalisasi yang menempatkan setiap
negara dan bangsa dalam sebuah komunitas universal (Suhelmi, 2007:97).
Doktrin Trias
Politika yang membagi kekuasaan menjadi tiga bagian sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan pemerintah di berbagai negara. Doktrin Trias Politika dipahami
sebagai suatu prinsip normatif yang menyatakan bahwa kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian
diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.
Untuk pertama kalinya doktrin ini dikemukakan oleh John Locke (1632 – 1704) dan Montesquieu (1689 – 1755).
Doktrin ini biasanya ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of
powers). Filosofi Inggris John
Locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya Two Treaties on
Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan
absolut dari raja-raja Stuart serta membenarkan Revolusi Gemilang (the
Glorious Revolution) tahun 1688 yang dimenangkan oleh parlemen Inggris.
Menurut Locke, kekuasaan negara
dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif.
Masing-masing kekuasaan ini terpisah-pisah satu sama lain, yaitu sebagai
berikut:
1.
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat
peraturan dan undang-undang.
2.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan
melaksanakan undang-undang. Di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili.
3.
Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang
meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan
negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (Suhelmi, 2007:56).
Pada tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya The Spirit
of The Laws. Karena melihat sifat yang sewenang-wenang dari raja-raja
Bourbon, Montesquieu ingin
menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya merasa lebih
terjamin haknya.
Dalam uraiannya ia membagi kekuasaan pemerintah dalam tiga
cabang, yaitu kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu, ketiga jenis kekuasaan
ini harus terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (fungsi) maupun alat
perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Montesquieu terutama memberi penekanan pada pentingnya kebebasan
badan yudikatif. Badan yudikatif harus sebebas mungkin karena di sinilah
letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu dijamin dan
dipertaruhkan.
Berbeda dengan John
Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan
eksekutif, Montesquieu memandang
kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Ini disebabkan karena
dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai seorang hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu
berlainan dengan kekuasaan yudikatif. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan
federatif, dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif.
Bagi Montesquieu,
kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh
satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan terpisah. Montesquieu menjelaskan bahwa kalau
kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau
dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Akan merupakan
malapetaka, kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari
kaum bangsawan atau dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga
kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan
keputusan-keputusan umum, dan mengadili persoalan-persoalan antara
individu-individu. Melalui pemikirannya Montesquieu
menekankan perlunya jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap
tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Ini dapat dicapai jika diadakan
pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar