Jumat, 13 Januari 2012

Desentralisasi Keluarga Berencana


Bossert (1998) dalam kajiannya mengemukakan bahwa persoalan desentralisasi tergantung pada seberapa besar ruang kebijakan yang diberikan kepada pemerintah daerah dan seberapa besar kemampuan pemerintah pusat untuk mengontrol daerah dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Berbagai studi di berbagai negara berkembang berkaitan dengan otonomi daerah dalam bidang kesehatan atau Keluarga Berencana pada umumnya juga mempunyai persepsi yang hampir sama terhadap apa yang ditemukan oleh Bossert. Studi-studi yang dilakukan oleh McCarthy, 2004; Giacaman, et.al., 2004; Niessen, et.al., 2000; McLntyre dan Klugman, 2003; Atkinson, at.al., 2000; Oliveira-Cruz, et.al., 2003; Rowland, 2001; Hommes, 2003; Andrews dan Schroeder, 2003; Monteiro dan Sato, 2003; Martinez-Vazquez dan McNab, 2003; sebagian besar menarik kesimpulan yang sama terhadap masalah desentralisasi kebijakan kependudukan di negara-negara tersebut.
Sebelum diotonomikan, program Keluarga Berencana telah mengalami kemajuan yang pesat di mana peserta Keluarga Berencana dari 26% pada tahun 1980 meningkat menjadi 60,3% pada tahun 2003, peningkatan tersebut termasuk signifikan. Namun setelah didesentralisasikan ke pemerintah kabupaten/kota pada tahun 2004 terlihat bahwa selama empat tahun terakhir (2003-2007), kenaikan peserta Keluarga Berencana relatif sangat rendah, bahkan cenderung stagnan, yaitu 61,4% atau hanya 1% kenaikan selama empat tahun. Sebagai akibatnya, angka kelahiran yang sebelumnya telah dapat diturunkan dari 5,61 anak per wanita usia subur (tahun 1971) menjadi 2,6 anak per wanita usia subur (tahun 2003) ternyata angkanya tetap tidak berubah, yaitu 2,6 anak per wanita usia subur selama empat tahun terakhir (tahun 2007). Hal ini berarti setelah didesentralisasikan ternyata terdapat indikasi terjadinya penurunan intensitas penggarapan program KB di kabupaten/kota[1].
Tidak dapat dibayangkan seandainya jumlah penduduk Indonesia apabila tidak dapat dikendalikan, apalagi negara sedang mengalami krisis seperti saat ini.  Penduduk yang bertambah pesat dapat menyebabkan kekurangan pangan, karena dengan jumlah penduduk sekitar 227 juta jiwa saat ini saja pemerintah mengalami kesulitan menyediakan pelayanan dasar termasuk pangan. Berbagai kajian yang telah dilakukan menggambarkan adanya hubungan yang “kuat-signifikan-negatif” antara pertumbuhan penduduk dengan laju pertumbuhan ekonomi. Penurunan kelahiran yang bermakna dapat memberikan kontribusi bagi upaya penurunan kemiskinan[2]. Kofi Anan (2002), mantan Sekretaris Jenderal PBB, menyatakan betapa pentingnya penanganan masalah kependudukan dan Keluarga Berencana dalam rangka pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) khususnya penanggulangan kemiskinan dan kelaparan sebagaimana berikut: “The Millenium Development Goals, particularly the eradication of extreme poverty and hunger, cannot be achieved if questions of population and reproductive health are not squarely addressed. And that means stronger efforts to promote women’s rights, and greater investment in education and health, including reproductive health and family planning”
Kajian yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, UNFPA dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFE-UI, 2005), tentang dampak yang terjadi apabila ada perubahan dalam komitmen terhadap program Keluarga Berencana dapat digambarkan dalam skenario kependudukan sebagai berikut:
Skenario 1, Komitmen Tinggi, artinya jika program Keluarga Berencana dapat meningkatkan pemakaian kontrasepsi modern sekitar 1 (satu) persen per tahun, maka pada tahun 2015, penduduk Indonesia hanya akan bertambah 10,8 juta saja atau sekitar 238 juta pada tahun 2015 (Proyeksi Badan Pusat Statistik sebesar 248 juta jiwa).
Skenario 2, Komitmen Sedang, artinya jika program Keluarga Berencana hanya mampu mempertahankan kesertaan Keluarga Berencana seperti saat ini (stagnan), maka penduduk Indonesia akan meningkat menjadi 256 juta atau di atas proyeksi pemerintah. Dengan demikian, berarti pertambahannya sekitar 28,5 juta jiwa.
Skenario 3, Komitmen Rendah, apabila program Keluarga Berencana tidak mampu mempertahankan kesertaan Keluarga Berencana dan terjadi ”drop-out” setiap tahunnya sekitar 0,5%, maka penduduk Indonesia tahun 2015 diperkirakan menjadi 264,4 juta jiwa atau jauh di atas rancangan atau proyeksi pemerintah sebesar 248 juta jiwa. Namun kondisi ini nampaknya dimentahkan dengan Sensus Penduduk 2010. Dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa, artinya sudah melampaui skenario I tahun 2015. Banyak ahli dalam bidang kependudukan menyatakan telah terjadi kegagalan di bidang kependudukan dan Keluarga Berencana. Berbagai pihak berpandangan bahwa hal ini disebabkan karena faktor kepemimpinan dan kesiapan aparatur khususnya setelah program Keluarga Berencana diserahkan urusannya kepada pemerintah kabupaten/kota, dalam menindaklanjuti kebijakan Keluarga Berencana yang ada ke dalam implementasi kebijakan yang baik.
Masalah kependudukan pada umumnya juga terjadi berbagai negara di belahan dunia ini. Secara khusus, Speidel (2009) menulis joint report sebuah policy paper berjudul ”Making the Case for US International Family Planning Assistance” yang ditujukan kepada Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama untuk mengambil peran dengan memberikan investasi dalam program Keluarga Berencana di negara berkembang secara lebih nyata dan ”as soon as possible” dengan jumlah bantuan lebih dari dua kali lipat sebagai upaya pengurangan kemiskinan global dan pencapaian tujuan pembangunan untuk menghindari penurunan kemampuan ekonomi secara luas di dunia. Dikemukakan pula bahwa banyak ”policy makers” atau para pemimpin sebagai pembuat kebijakan kurang memahami manfaat program Keluarga Berencana: While some countries such as Korea and Thailand recognized early the importance of family planning to their overall development, others have been slow to recognize the catalitic role of family planning in improving women’s health and wellbeing, stimulating economic development and rising standards of living”.
Lebih lanjut, Speidel, dkk. (2009:10) mengemukakan bahwa melalui Keluarga Berencana akan membuat keluarga lebih sejahtera karena para keluarga akan lebih mampu untuk menyediakan pangan, pendidikan dan kesehatan baik untuk diri sendiri maupun keluarganya, sebagaimana telah ditemukan dari hasil studi di 29 negara.
Pada prinsipnya, pelaksanaan kebijakan Keluarga Berencana Nasional sesuai dengan UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga bertujuan untuk mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi dan pemberdayaan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk menjadikan keluarga yang berkualitas. Dalam hubungan ini, keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tataran pragmatis, Undang-Undang ini diterjemahkan ke dalam program-program dan kegiatan yang intinya, pertama, memberikan advokasi dan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) untuk merubah perilaku; kedua, memberikan pelayanan yang berkualitas dalam keluarga berencana. Jadi intinya penggarapan dari sisi permintaan (demand) dan penggarapan dari sisi pelayanan (supply).
Hakekat UU Nomor 52 Tahun 2009 sejalan dengan konsep yang dikembangkan Bertrand dan Escudero (2002) bahwa proses perubahan tingkah laku seseorang (perpaduan demand dan supply) untuk mengadopsi pelayanan kesehatan atau Keluarga Berencana. Kerangka konsep tersebut menggambarkan adanya tiga faktor utama yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan (service utilization) yaitu adanya faktor implementasi kebijakan (policy implementation), faktor kepemimpinan (Women’s status & empowerment serta functional areas) yang mampu menggerakkan masyarakat dan aparat pemerintahan, serta faktor pemberdayaan aparatur (functional areas) sehingga mampu memberikan pelayanan (service utilization, health/FP  behaviors & health/FP outcomes) yang berkualitas.
Peran pemerintahan dalam implementasi kebijakan desentralisasi Keluarga Berencana diharapkan mampu menterjemahkan berbagai makna filosofis otonomi daerah ke dalam berbagai kebijakan operasional yang memungkinkan dapat menggerakkan peranserta dan kepedulian masyarakat sejak tahap formulasi kebijakan operasional sampai pemanfaatan hasil implementasi Keluarga Berencana. Di tangan birokrasi, peran serta masyarakat dalam formulasi, implementasi dan evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasil kebijakan daerah diartikulasi, diakomodir dan diagregasikan. Jadi implementasi kebijakan program tersebut sangat tergantung pada kapasitas, kapabilitas, kuantitas dan kualitas dari pola kepemimpinan pemerintahan yang ada, khususnya pada era otonomi daerah lebih banyak terletak pada kualitas kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota merupakan aktor yang menentukan berhasil atau tidaknya implementasi berbagai kebijakan Keluarga Berencana yang ada. Oleh karena itu, dituntut pemimpin yang menguasai teknis, konsepsi dan kemampuan interpersonal agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara baik. Kemampuan kognitif diperlukan agar pemimpin mampu menganalisa persoalan, mengembangkan kreativitas dalam pemecahan masalah, mengidentifikasi kecenderungan dan pola yang terjadi di wilayahnya dan mengembangkan secara efektif perubahan sikap sesuai kebutuhan. Kemampuan interpersonal diperlukan agar pemimpin mampu menggerakkan masyarakat, membangun hubungan kerja sama, mengembangkan dan memelihara jaringan, mengerti kemampuan staf, memfasilitasi kerja sama tim dan memecahkan konflik secara baik. Kemampuan teknis diperlukan agar mengerti dan menjalankan setiap proses aktivitas termasuk keperluan yang menyangkut pelayanan di bidang Keluarga Berencana dan teknologi informasi yang diperlukan (Yukl, 2006:446).
Pemerintahan kabupaten/kota harus berusaha mengembangkan keunggulan komperatif dalam setiap pelayanan terhadap publiknya. Oleh karena itu, proses-proses sehubungan dalam pengkajian dan penerapan strategi-strategi akan sangat tergantung pada siapa yang menjadi pimpinan serta kultur dari daerah tersebut. Menurut beberapa pengalaman tidak ada kiat atau resep yang dijamin pasti dan paling efektif dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Namun aspek yang penting bagi semua organisasi adalah adanya kesadaran strategis di mana pimpinan memahami betul sampai seberapa baiknya urusan pemerintahan yang diserahkan pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik.
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007, bahwa urusan pemerintahan bidang Keluarga Berencana merupakan urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Untuk itu urusan pemerintahan tersebut perlu diatur melalui kebijakan publik pemerintahan tingkat lokal (by local government) sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang telah ditetapkan. Tercapainya implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah sangat tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi formulasi dan implementasi kebijakan otonomi daerah.  Sebagai urusan wajib pemerintahan, bidang Keluarga Berencana menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kebijakan pemerintah, terutama dalam menanggulangi laju pertumbuhan penduduk di daerah.  


[1] Laporan yang disiapkan oleh Terrence H.Hull dan Henry Mosley (2009:15) dalam “Revitalization of Family Planning in Indonesia” diterbitkan oleh Bappenas, BKKBN dan UNFPA (2009), menyatakan bahwa berdasarkan pengamatannya bahwa terjadi “relaxation in family planning program effort” dan sejak 1999 banyak Kabupaten/Kota menaruh prioritas yang rendah dalam penyelenggaraan program KB
[2] Mason, Andrew ( 2004), dalam ”The Demographic Devident and Poverty Reduction” in Proceedings of the Seminar on the Relevance of Population Aspects for the Achievement of the Millenium Development Goals, penurunan fertilitas sebagai bagian dari transisi demografi dapat meningkatkan tabungan nasional dan pertumbuhan ekonomi melalui menurunnya proporsi beban ketergantungan anak dan meningkatnya jumlah penduduk usia produktif, dan ini yang menghasilkan ”demographic devidend”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...