Beberapa
tahun terakhir ini, masalah kependudukan masih kurang mendapat perhatian dari
pemerintah maupun masyarakat. Para birokrat, politisi, tokoh agama,
pakar ekonomi maupun tokoh masyarakat jarang sekali
memberikan perhatian serius tentang bahaya ledakan penduduk. Meskipun diakui bahwa
pada umumnya masyarakat sudah tidak merasa keberatan lagi
dengan program untuk mengontrol kelahiran, namun sayangnya masih kurang
kesadaran melaksanakannya.
Kependudukan
adalah
masalah yang sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan persoalan-persoalan
yang sering diperdebatkan dalam berbagai seminar dan diskusi, karena berkaitan
erat dengan masalah ekonomi, hukum, lingkungan, norma agama dan
sebagainya, sehingga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhawatiran adanya ledakan
penduduk ini telah mendorong terciptanya program nasional Keluarga Berencana
(KB) di tahun 1969 ketika masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah memberikan
perhatian yang sangat besar pada program KB. Dalam perjalanannya, kehadiran program
ini telah berhasil menekan angka kelahiran menjadi relatif rendah. Dampaknya
dapat kita jumpai saat ini, sebuah keluarga dengan 6 orang anak sudah merupakan
pengecualian, bahkan semakin jarang ditemui. Program “2 anak cukup” yang
dicanangkan pemerintah waktu itu tampaknya telah menjadi kenyataan.
Bila kita menengok ke belakang, sekitar tahun
1966, secara resmi pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan kependudukan
yang komprehensif. Pada dasawarsa ini, secara tidak langsung Indonesia termasuk
dalam kelompok negara yang menganut paham pronatalis. Para pimpinan bangsa saat
itu mempunyai pertimbangan bahwa jumlah penduduk baru Indonesia sekitar 103
juta jiwa, sehingga diperlukan jumlah sekitar 250 juta jiwa untuk dapat
mengolah dan mengelola sumber daya alam. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan
angka pertumbuhan penduduk tinggi yang identik dengan jumlah kelahiran tinggi,
agar jumlah penduduk yang diinginkan dapat tercapai.
Pada tahun 1967 Presiden Soeharto menandatangani
Deklarasi Kependudukan, kemudian Indonesia mengikuti Konferensi Kependudukan
Dunia di Bukarest pada tahun 1974. Permasalahan kependudukan yang semakin rumit
dan bersifat multidimensional, kebijakan pronatalis sudah dianggap tidak
relevan lagi. Pada tahun 1970 secara resmi dibentuk BKKBN yang menangani
kebijakan pengendalian pertumbuhan penduduk untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia
dan sejahtera. Struktur organisasi BKKBN ditetapkan secara vertikal dari Pusat
sampai tingkat Kabupaten/Kota. Dalam struktur tersebut, dilengkapi dengan
tenaga petugas lapangan sampai ke tingkat desa. Kebijakan itu diarahkan agar
dapat menurunkan tingkat fertilitas (kelahiran) penduduk yang pada tahun 1971
sekitar 5,6 anak per wanita usia subur diharapkan turun sekitar 50% atau 2,8
anak per wanita usia subur pada tahun 2000.
Adanya komitmen yang tinggi dari pemerintah waktu
itu dan partisipasi berbagai komponen masyarakat baik di pedesaan maupun di
perkotaan, menjadikan program Keluarga Berencana telah berhasil menurunkan laju
pertumbuhan penduduk dari 2,34% per tahun (1970-1980) menjadi 1,47% per tahun
(1990-2000). Pada saat yang sama, angka kelahiran juga berhasil diturunkan
menjadi 2,6 anak per wanita usia subur[1].
Gerakan reformasi memberikan dampak pada berbagai
bidang kehidupan. Perubahan pada tata pemerintahan ditandai dengan lahirnya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada satu sisi,
lahirnya undang-undang tersebut memberi angin segar bagi kinerja organisasi
BKKBN, khususnya di daerah, karena setiap urusan pemerintahan yang menyangkut
kepentingan daerah diserahkan dan menjadi kewenangan daerah. Namun di sisi
lain, sampai tahun 2000 urusan pemerintahan di bidang Keluarga Berencana masih
merupakan urusan Pusat, sehingga semua kebijakan sampai pada tataran implementasi
di tingkat lapangan masih menjadi kewenangan pusat.
Sejalan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah tersebut maka dapat dipahami bahwa pada hakekatnya desentralisasi adalah
penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif,
yudikatif maupun administratif.
Tujuan desentralisasi sesuai dengan jiwa dari UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana otonomi daerah
dimaknai sebagai pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah sesuai dengan amanat UUD 1945, untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai peraturan
perundang-undangan. Sebagai dampaknya, maka sebagian urusan pemerintahan di
bidang Keluarga Berencana diserahkan kepada daerah. Oleh karena itu hal-hal
yang berhubungan dengan kelembagaan dan sumber daya (personil, peralatan dan
pembiayaan) menjadi tanggungjawab daerah.
Desentralisasi diakui sebagai salah satu titik lemah
program KB. Akibatnya
kebijakan kependudukan dan Keluarga Berencana menghadapi tantangan luar biasa
berat, karena secara kelembagaan di tingkat Kabupaten/Kota antara ada dan tiada. Hal karena belum semua
pemerintah daerah memiliki pandangan yang sama tentang arti penting
kependudukan dan Keluarga Berencana. Selain itu, jumlah petugas Keluarga Berencana
yang ada di lapangan semakin berkurang cukup drastis dari sebelumnya berjumlah
30 ribu, kini hanya tinggal 21 ribu petugas[2]. Padahal petugas lapangan Keluarga Berencana merupakan ujung tombak yang
menjembatani antara kebijakan dan operasionalisasi di lapangan. Timbulnya
partisipasi masyarakat terhadap program Keluarga Berencana sebagian besar
karena peran aktif petugas lapangan yang melakukan pendekatan dan penyuluhan
kepada masyarakat.
Penyerahan urusan kewenangan
Keluarga Berencana kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menyebabkan persoalan
yang rumit dikarenakan: Pertama,
pemerintah kabupaten/kota dengan jumlah penduduk tidak besar mempunyai anggapan
bahwa BKKBN dengan Keluarga Berencana sebagai kebijakan utamanya sangat identik
dengan upaya pengendalian dan pembatasan kelahiran (birth control). Padahal, pengendalian kelahiran hanyalah sebagian
kecil dari keseluruhan program Keluarga Berencana yang juga menyentuh
aspek-aspek sosial-ekonomi. Kedua, beralihnya
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional kepada pemerintah kabupaten/kota
akan membawa beban apabila harus berbentuk menjadi dinas atau badan. Seperti
diketahui bahwa setelah otonomi daerah, banyak sekali dinas atau badan yang
digabung dengan alasan efisiensi. Hal tersebut menyebabkan pembentukan dinas
atau badan baru selain membuat struktur organisasi menjadi lebih besar, juga
memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena harus
mengalokasikan sejumlah dana tertentu untuk pembentukan dinas baru tersebut.
Desentralisasi
juga menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan pelayanan Keluarga
Berencana. Desentralisasi dimaksudkan untuk menghindari dominasi pemerintah
pusat terhadap daerah dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
Keluarga Berencana kepada masyarakat. Tantangannya, apakah pemerintah daerah
mampu mengelola program Keluarga Berencana secara tepat sasaran yang dituangkan
dalam kebijakan yang akan diimplementasikan. Apakah isi kebijakan sesuai dengan
konteks implementasinya bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini juga
terkait dengan masih banyaknya persoalan kewenangan daerah yang belum
sepenuhnya mandiri dalam pelayanan Keluarga Berencana.
Hal yang paling penting
berkaitan dengan implikasi terhadap perkembangan kependudukan di masa yang akan
datang adalah patut dipertanyakannya keberlanjutan kebijakan kependudukan
secara komprehensif. Menyerahkan kebijakan kependudukan yang ada selama ini
kepada masing-masing sektor cenderung menyebabkan kebijakan kependudukan
terkotak-kotak, tumpang tindih, dan saling berbenturan. Padahal sebagaimana
tertuang dalam hasil ICPD (International
Conference on Population Development) tahun 1994 di Cairo, di mana
Indonesia termasuk negara yang menandatanganinya, diperlukan integrasi
kebijakan kependudukan dan kebijakan pembangunan. Artinya, Indonesia terikat
pada komitmen untuk melakukan kesepakatan tersebut. Oleh karena itu, penting
untuk dipikirkan mengenai keberadaan institusi yang bertanggungjawab terhadap
pembangunan kependudukan di Indonesia. Demikian juga implikasinya di daerah,
harus ada institusi yang bertanggungjawab dan melaksanakan program kependudukan
dan Keluarga Berencana di kabupaten maupun kota.
Tingkat responsivitas
pemerintah kabupaten/kota masih menunjukkan kondisi yang rendah. Masih banyak
keluhan dan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek mulai dari pelayanan
publik, kesehatan, pendidikan, sampai Usaha Kecil Menengah (UKM) yang belum
memperoleh tanggapan yang positif dalam bentuk implementasi kebijakan
pemerintah daerah yang aspiratif. Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai
kebijakan baru telah dicoba diimplementasikan, tetapi masih belum sepenuhnya
mampu menjawab kebutuhan masyarakat karena orientasinya masih kepada
kepentingan pemerintah.
Bossert (1998) dalam kajiannya
mengemukakan bahwa persoalan desentralisasi tergantung pada seberapa besar
ruang kebijakan yang diberikan kepada pemerintah daerah dan seberapa besar
kemampuan pemerintah pusat untuk mengontrol daerah dalam melaksanakan kebijakan
tersebut. Berbagai studi di berbagai negara berkembang berkaitan dengan otonomi
daerah dalam bidang kesehatan atau Keluarga Berencana pada umumnya juga
mempunyai persepsi yang hampir sama terhadap apa yang ditemukan oleh Bossert.
Studi-studi yang dilakukan oleh McCarthy, 2004; Giacaman, et.al., 2004; Niessen,
et.al., 2000; McLntyre dan Klugman, 2003; Atkinson, at.al., 2000;
Oliveira-Cruz, et.al., 2003; Rowland, 2001; Hommes, 2003; Andrews dan
Schroeder, 2003; Monteiro dan Sato, 2003; Martinez-Vazquez dan McNab, 2003;
sebagian besar menarik kesimpulan yang sama terhadap masalah desentralisasi
kebijakan kependudukan di negara-negara tersebut.
Sebelum diotonomikan, program
Keluarga Berencana telah mengalami kemajuan yang pesat di mana peserta Keluarga
Berencana dari 26% pada tahun 1980 meningkat menjadi 60,3% pada tahun 2003,
peningkatan tersebut termasuk signifikan. Namun setelah didesentralisasikan ke
pemerintah kabupaten/kota pada tahun 2004 terlihat bahwa selama empat tahun
terakhir (2003-2007), kenaikan peserta Keluarga Berencana relatif sangat
rendah, bahkan cenderung stagnan, yaitu 61,4% atau hanya 1% kenaikan selama
empat tahun. Sebagai akibatnya, angka kelahiran yang sebelumnya telah dapat
diturunkan dari 5,61 anak per wanita usia subur (tahun 1971) menjadi 2,6 anak
per wanita usia subur (tahun 2003) ternyata angkanya tetap tidak berubah, yaitu
2,6 anak per wanita usia subur selama empat tahun terakhir (tahun 2007). Hal
ini berarti setelah didesentralisasikan ternyata terdapat indikasi terjadinya
penurunan intensitas penggarapan program KB di kabupaten/kota[3].
[1] Bukti keberhasilan Indonesia dalam upaya
pengendalian pertumbuhan dan jumlah penduduk dinyatakan dengan adanya
penghargaan PBB kepada Presiden Soeharto tahun 1987 berupa UN Population Award. Penghargaan Internasional lainnya juga
diberikan seperti Management Awards
dari Phillipine dan Hugh More Awards
dari John Hopkins University. Pertemuan ICPD Cairo tahun 1994 juga menetapkan
Indonesia menjadi “Center of Excellence”
dalam Bidang Kependudukan dan KB, di mana hingga saat ini, lebih dari 5000
Pejabat/Tenaga Kesehatan/Kependudukan/KB dari sekitar 95 Negara telah datang ke
Indonesia (Sumber: ITP-BKKBN, 2009).
[2] Sarasehan Kepala BKKBN Pusat dalam sarasehan temu alumni dengan
Fakultas Kedokteran UGM, Rabu (5/3-2008) di FK UGM. Lihat, www.ugm.ac.id
[3]
Laporan yang
disiapkan oleh Terrence H.Hull dan Henry Mosley (2009:15) dalam “Revitalization of Family Planning in
Indonesia” diterbitkan oleh Bappenas, BKKBN dan UNFPA (2009), menyatakan
bahwa berdasarkan pengamatannya bahwa terjadi “relaxation in family planning program effort” dan sejak 1999
banyak Kabupaten/Kota menaruh prioritas yang rendah dalam penyelenggaraan
program KB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar