Jumat, 13 Januari 2012

KB Vs Ledakan Penduduk (1)


Beberapa tahun terakhir ini, masalah kependudukan masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. Para birokrat, politisi, tokoh agama, pakar ekonomi maupun tokoh masyarakat jarang sekali memberikan perhatian serius tentang bahaya ledakan penduduk. Meskipun diakui bahwa pada umumnya masyarakat sudah tidak merasa keberatan lagi dengan program untuk mengontrol kelahiran, namun sayangnya masih kurang kesadaran melaksanakannya.
Kependudukan adalah masalah yang sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan persoalan-persoalan yang sering diperdebatkan dalam berbagai seminar dan diskusi, karena berkaitan erat dengan masalah ekonomi, hukum, lingkungan, norma agama dan sebagainya, sehingga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhawatiran adanya ledakan penduduk ini telah mendorong terciptanya program nasional Keluarga Berencana (KB) di tahun 1969 ketika masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar pada program KB. Dalam perjalanannya, kehadiran program ini telah berhasil menekan angka kelahiran menjadi relatif rendah. Dampaknya dapat kita jumpai saat ini, sebuah keluarga dengan 6 orang anak sudah merupakan pengecualian, bahkan semakin jarang ditemui. Program “2 anak cukup” yang dicanangkan pemerintah waktu itu tampaknya telah menjadi kenyataan.
Bila kita menengok ke belakang, sekitar tahun 1966, secara resmi pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan kependudukan yang komprehensif. Pada dasawarsa ini, secara tidak langsung Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang menganut paham pronatalis. Para pimpinan bangsa saat itu mempunyai pertimbangan bahwa jumlah penduduk baru Indonesia sekitar 103 juta jiwa, sehingga diperlukan jumlah sekitar 250 juta jiwa untuk dapat mengolah dan mengelola sumber daya alam. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan angka pertumbuhan penduduk tinggi yang identik dengan jumlah kelahiran tinggi, agar jumlah penduduk yang diinginkan dapat tercapai.
Pada tahun 1967 Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi Kependudukan, kemudian Indonesia mengikuti Konferensi Kependudukan Dunia di Bukarest pada tahun 1974. Permasalahan kependudukan yang semakin rumit dan bersifat multidimensional, kebijakan pronatalis sudah dianggap tidak relevan lagi. Pada tahun 1970 secara resmi dibentuk BKKBN yang menangani kebijakan pengendalian pertumbuhan penduduk untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Struktur organisasi BKKBN ditetapkan secara vertikal dari Pusat sampai tingkat Kabupaten/Kota. Dalam struktur tersebut, dilengkapi dengan tenaga petugas lapangan sampai ke tingkat desa. Kebijakan itu diarahkan agar dapat menurunkan tingkat fertilitas (kelahiran) penduduk yang pada tahun 1971 sekitar 5,6 anak per wanita usia subur diharapkan turun sekitar 50% atau 2,8 anak per wanita usia subur pada tahun 2000.
Adanya komitmen yang tinggi dari pemerintah waktu itu dan partisipasi berbagai komponen masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan, menjadikan program Keluarga Berencana telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 2,34% per tahun (1970-1980) menjadi 1,47% per tahun (1990-2000). Pada saat yang sama, angka kelahiran juga berhasil diturunkan menjadi 2,6 anak per wanita usia subur[1].
Gerakan reformasi memberikan dampak pada berbagai bidang kehidupan. Perubahan pada tata pemerintahan ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada satu sisi, lahirnya undang-undang tersebut memberi angin segar bagi kinerja organisasi BKKBN, khususnya di daerah, karena setiap urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan daerah diserahkan dan menjadi kewenangan daerah. Namun di sisi lain, sampai tahun 2000 urusan pemerintahan di bidang Keluarga Berencana masih merupakan urusan Pusat, sehingga semua kebijakan sampai pada tataran implementasi di tingkat lapangan masih menjadi kewenangan pusat.  
Sejalan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut maka dapat dipahami bahwa pada hakekatnya desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, yudikatif maupun administratif.
Tujuan desentralisasi sesuai dengan jiwa dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana otonomi daerah dimaknai sebagai pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan amanat UUD 1945, untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai peraturan perundang-undangan. Sebagai dampaknya, maka sebagian urusan pemerintahan di bidang Keluarga Berencana diserahkan kepada daerah. Oleh karena itu hal-hal yang berhubungan dengan kelembagaan dan sumber daya (personil, peralatan dan pembiayaan) menjadi tanggungjawab daerah.
Desentralisasi diakui sebagai salah satu titik lemah program KB. Akibatnya kebijakan kependudukan dan Keluarga Berencana menghadapi tantangan luar biasa berat, karena secara kelembagaan di tingkat Kabupaten/Kota  antara ada dan tiada. Hal karena belum semua pemerintah daerah memiliki pandangan yang sama tentang arti penting kependudukan dan Keluarga Berencana. Selain itu, jumlah petugas Keluarga Berencana yang ada di lapangan semakin berkurang cukup drastis dari sebelumnya berjumlah 30 ribu, kini hanya tinggal 21 ribu petugas[2]. Padahal petugas lapangan Keluarga Berencana merupakan ujung tombak yang menjembatani antara kebijakan dan operasionalisasi di lapangan. Timbulnya partisipasi masyarakat terhadap program Keluarga Berencana sebagian besar karena peran aktif petugas lapangan yang melakukan pendekatan dan penyuluhan kepada masyarakat.
Penyerahan urusan kewenangan Keluarga Berencana kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menyebabkan persoalan yang rumit dikarenakan: Pertama, pemerintah kabupaten/kota dengan jumlah penduduk tidak besar mempunyai anggapan bahwa BKKBN dengan Keluarga Berencana sebagai kebijakan utamanya sangat identik dengan upaya pengendalian dan pembatasan kelahiran (birth control). Padahal, pengendalian kelahiran hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan program Keluarga Berencana yang juga menyentuh aspek-aspek sosial-ekonomi. Kedua, beralihnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional kepada pemerintah kabupaten/kota akan membawa beban apabila harus berbentuk menjadi dinas atau badan. Seperti diketahui bahwa setelah otonomi daerah, banyak sekali dinas atau badan yang digabung dengan alasan efisiensi. Hal tersebut menyebabkan pembentukan dinas atau badan baru selain membuat struktur organisasi menjadi lebih besar, juga memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena harus mengalokasikan sejumlah dana tertentu untuk pembentukan dinas baru tersebut.
Desentralisasi juga menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan pelayanan Keluarga Berencana. Desentralisasi dimaksudkan untuk menghindari dominasi pemerintah pusat terhadap daerah dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan Keluarga Berencana kepada masyarakat. Tantangannya, apakah pemerintah daerah mampu mengelola program Keluarga Berencana secara tepat sasaran yang dituangkan dalam kebijakan yang akan diimplementasikan. Apakah isi kebijakan sesuai dengan konteks implementasinya bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini juga terkait dengan masih banyaknya persoalan kewenangan daerah yang belum sepenuhnya mandiri dalam pelayanan Keluarga Berencana.
Hal yang paling penting berkaitan dengan implikasi terhadap perkembangan kependudukan di masa yang akan datang adalah patut dipertanyakannya keberlanjutan kebijakan kependudukan secara komprehensif. Menyerahkan kebijakan kependudukan yang ada selama ini kepada masing-masing sektor cenderung menyebabkan kebijakan kependudukan terkotak-kotak, tumpang tindih, dan saling berbenturan. Padahal sebagaimana tertuang dalam hasil ICPD (International Conference on Population Development) tahun 1994 di Cairo, di mana Indonesia termasuk negara yang menandatanganinya, diperlukan integrasi kebijakan kependudukan dan kebijakan pembangunan. Artinya, Indonesia terikat pada komitmen untuk melakukan kesepakatan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk dipikirkan mengenai keberadaan institusi yang bertanggungjawab terhadap pembangunan kependudukan di Indonesia. Demikian juga implikasinya di daerah, harus ada institusi yang bertanggungjawab dan melaksanakan program kependudukan dan Keluarga Berencana di kabupaten maupun kota.
Tingkat responsivitas pemerintah kabupaten/kota masih menunjukkan kondisi yang rendah. Masih banyak keluhan dan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek mulai dari pelayanan publik, kesehatan, pendidikan, sampai Usaha Kecil Menengah (UKM) yang belum memperoleh tanggapan yang positif dalam bentuk implementasi kebijakan pemerintah daerah yang aspiratif. Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kebijakan baru telah dicoba diimplementasikan, tetapi masih belum sepenuhnya mampu menjawab kebutuhan masyarakat karena orientasinya masih kepada kepentingan pemerintah.
Bossert (1998) dalam kajiannya mengemukakan bahwa persoalan desentralisasi tergantung pada seberapa besar ruang kebijakan yang diberikan kepada pemerintah daerah dan seberapa besar kemampuan pemerintah pusat untuk mengontrol daerah dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Berbagai studi di berbagai negara berkembang berkaitan dengan otonomi daerah dalam bidang kesehatan atau Keluarga Berencana pada umumnya juga mempunyai persepsi yang hampir sama terhadap apa yang ditemukan oleh Bossert. Studi-studi yang dilakukan oleh McCarthy, 2004; Giacaman, et.al., 2004; Niessen, et.al., 2000; McLntyre dan Klugman, 2003; Atkinson, at.al., 2000; Oliveira-Cruz, et.al., 2003; Rowland, 2001; Hommes, 2003; Andrews dan Schroeder, 2003; Monteiro dan Sato, 2003; Martinez-Vazquez dan McNab, 2003; sebagian besar menarik kesimpulan yang sama terhadap masalah desentralisasi kebijakan kependudukan di negara-negara tersebut.
Sebelum diotonomikan, program Keluarga Berencana telah mengalami kemajuan yang pesat di mana peserta Keluarga Berencana dari 26% pada tahun 1980 meningkat menjadi 60,3% pada tahun 2003, peningkatan tersebut termasuk signifikan. Namun setelah didesentralisasikan ke pemerintah kabupaten/kota pada tahun 2004 terlihat bahwa selama empat tahun terakhir (2003-2007), kenaikan peserta Keluarga Berencana relatif sangat rendah, bahkan cenderung stagnan, yaitu 61,4% atau hanya 1% kenaikan selama empat tahun. Sebagai akibatnya, angka kelahiran yang sebelumnya telah dapat diturunkan dari 5,61 anak per wanita usia subur (tahun 1971) menjadi 2,6 anak per wanita usia subur (tahun 2003) ternyata angkanya tetap tidak berubah, yaitu 2,6 anak per wanita usia subur selama empat tahun terakhir (tahun 2007). Hal ini berarti setelah didesentralisasikan ternyata terdapat indikasi terjadinya penurunan intensitas penggarapan program KB di kabupaten/kota[3].


[1] Bukti keberhasilan Indonesia dalam upaya pengendalian pertumbuhan dan jumlah penduduk dinyatakan dengan adanya penghargaan PBB kepada Presiden Soeharto tahun 1987 berupa UN Population Award. Penghargaan Internasional lainnya juga diberikan seperti Management Awards dari Phillipine dan Hugh More Awards dari John Hopkins University. Pertemuan ICPD Cairo tahun 1994 juga menetapkan Indonesia menjadi “Center of Excellence” dalam Bidang Kependudukan dan KB, di mana hingga saat ini, lebih dari 5000 Pejabat/Tenaga Kesehatan/Kependudukan/KB dari sekitar 95 Negara telah datang ke Indonesia (Sumber: ITP-BKKBN, 2009).
[2]  Sarasehan Kepala BKKBN Pusat dalam sarasehan temu alumni dengan Fakultas Kedokteran UGM, Rabu (5/3-2008) di FK UGM. Lihat, www.ugm.ac.id
[3] Laporan yang disiapkan oleh Terrence H.Hull dan Henry Mosley (2009:15) dalam “Revitalization of Family Planning in Indonesia” diterbitkan oleh Bappenas, BKKBN dan UNFPA (2009), menyatakan bahwa berdasarkan pengamatannya bahwa terjadi “relaxation in family planning program effort” dan sejak 1999 banyak Kabupaten/Kota menaruh prioritas yang rendah dalam penyelenggaraan program KB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...