Domain afektif kaitannya dengan penguasaan suatu disiplin ilmu yang sedang
dipelajari dikemukakan oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia sebagai 5 klasifikasi
kemampuan afektif. Tiap klasifikasi dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih
khusus, meliputi: 1) Menerima (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), 2)
Merespon (aktif berpartisipasi), 3) Menghargai (menerima nilai-nilai, setia
kepada nilai-nilai tertentu), 4) Mengorganisasi (menghubung-hubungkan
nilai-nilai yang dipercayainya), 5) Bertindak/ Pengamalan (menjadikan
nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya).
Menerima: Kemampuan ini
berkaitan dengan keinginan individu untuk terbuka atau peka pada perangsang
atau pesan-pesan yang berasal dari lingkungannya. Pada tingkat ini muncul
keinginan untuk menerima perangsang, atau paling tidak menyadari bahwa
perangsang itu ada.
Merespon: Pada tingkat ini muncul keinginan untuk melakukan
tindakan sebagai respon pada perangsang tersebut. Tindakan-tindakan dapat
disertai dengan perasaan puas dan nikmat.
Menghargai:
Penyertaan
rasa puas dan nikmat ketika melakukan respon pada perangsang menyebabkan
individu ingin secara konsisten menampilkan tindakan itu dalam situasi yang
serupa. Pada tahap ini individu dikatakan menerima suatu nilai dan
mengembangkannya, serta ingin terlibat lebih jauh ke dalam nilai tersebut.
Mengorganisasi: Individu yang sudah
secara konsisten dan berhasil menampilkan suatu nilai, pada suatu saat akan
menghadapi situasi dimana lebih dari satu nilai yang bisa ditampilkan. Bila ini
terjadi, maka individu akan mulai ingin menata nilai-nilai itu ke dalam suatu
sistem nilai, melihat keterkaitan antar nilai dan menetapkan nilai mana yang
paling dominan baginya.
Pengamalan: Bertindak
konsisten sesuai dengan nilai yang dimilikinya. Ini adalah tingkatan tertinggi
dari aspek afektif, di mana individu akan berlaku konsisten berdasarkan nilai
yang dijunjungnya.
Klasifikasi aspek-aspek afektif ini didasarkan pada asumsi bahwa perilaku
tingkat yang lebih rendah merupakan prasyarat bagi perilaku tingkat yang lebih
tinggi.Itulah sebabnya, ranah ini diurutkan ke dalam suatu garis kontinum dalam
bentuk hierarkis dan pencapaiannya bersifat komulatif. Mulai dari tahap pertama
yaitu menerima suatu nilai, keinginan untuk merespon, kepuasan yang didapat
ketika merespon akan memunculkan penghargaan pada nilai itu, selanjutnya
mengorganisasi nilai-nilai ke suatu sistem nilai yang sifatnya amat pribadi,
dan akhirnya berperilaku secara konsisten berdasarkan nilai yang dimiliki dan
dipercayainya.
Selain domain afektif sebagaimana diuraikan di
atas, aspek-aspek afektif dalam bentuk soft skills seperti kemampuan mengembangkan kreativitas, produktivitas,
berpikir kritis, bertanggungjawab, memiliki kemandirian, berjiwa kepemimpinan
serta kemampuan berkolaborasi, perlu dimiliki oleh para siswa/mahasiswa. Penghargaan
terhadap keragaman, memiliki kesadaran
akan nilai-nilai kesatuan dalam kemajemukan yang didasarkan pada nilai-nilai
moral, kemanusiaan, dan religi, amat perlu dikembangkan.
Memang, dalam perkembangannya manusia tidak bisa dipisah-pisahkan ke dalam
berbagai fungsi atau daya. Manusia merupakan suatu kesatuan totalitas, di mana
berbagai fungsi atau daya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Dalam
diri manusia akal budi terintegrasi dengan seluruh kepribadiannya. Di bidang
moral, kewajiban moral berhubungan dengan pribadi manusia sebagai keseluruhan
atau totalitas, sedangkan nilai-nilai lainnya, (seperti nilai ekonomi, nilai
estetis, dan nilai-nilai lainnya), berhubungan dengan salah satu aspek saja
dalam diri manusia.
Menurut Martin dan Briggs (1986), perkembangan kepribadian manusia (self-development) sebagai tujuan
pendidikan merupakan komponen afektif paling inklusif yang mencakup nilai, moral dan etika, motivasi dan
kompetensi sosial. Nilai lebih inklusif dari pada sikap (attitudes) dan berbeda dengan moral dan etika. Nilai berkenaan
dengan penilaian terhadap sesuatu yang berharga atau bernilai, sedangkan moral
dan etika berkenaan dengan penilaian tentang benar-salah.
Di dalam bukunya yang berjudul “The
Affective and Cognitive Domains: Integration for Instruction and Research”,
Martin dan Briggs menggambarkan adanya hubungan langsung antara sikap dan nilai
serta sikap dengan moral dan etika. Mereka berpendapat bahwa perkembangan
nilai, moral dan etika, berhubungan langsung dengan sikap seseorang. Sedangkan
sikap tidak berhubungan secara langsung dengan motivasi dan kompetensi sosial,
namun sikap berpengaruh terhadap pilihan seseorang, motivasi, dan juga perilaku
sosialnya. Sikap bukanlah inti dari motivasi dan kompetensi sosial seseorang
sebagaimana pada nilai serta moral dan etika.
Dalam diagram berikut Martin dan Briggs menempatkan kompetensi sosial,
motivasi, nilai, serta moral dan etika, dalam satu garis lurus sebagai
persyaratan bagi perkembangan pribadi seseorang (self-development). Sedangkan interes merupakan prerequisit bagi
motivasi seseorang. Suatu perbuatan dinilai baik atau buruk, benar atau salah
dengan cara menunjukkan alasan-alasan rasionalnya saja tidaklah cukup.
Penilaian kognitif juga berhubungan dengan perasaan. Martin dan Briggs
menggambarkan bahwa emosi seseorang mendasari perkembangan sikap, interes,
kompetensi sosial, serta aspek-aspek afektif lainnya. Sedangkan perasaan
berkaitan dengan emosi. Atribusi ditempatkan sebagai komponen afektif yang
paling akhir. Atribusi berhubungan langsung dengan perkembangan pribadi (self development). Untuk menggambarkan
hubungan sikap dan atribusi hanya dibatasi pada sub kategori sikap, yaitu sikap
tentang diri sendiri. Kompetensi sosial berhubungan langsung dengan atribusi,
sebab penilaian terhadap seseorang banyak dilakukan melalui interaksi sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar