Kamis, 13 Februari 2014

Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN)




Tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh shahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai (Aceh, 1992: 67). Tarekat Qodiriyyah adalah tarekat yang dinisbatkan kepada seorang ulama sufi yang sangat masyhur karena kepribadian dan keshalehannya, yaitu Syekh Abdul Qadir al-Jaelani. Beliau dilahirkan di Jilan (sekarang di wilayah Irak) sejak tahun 470 H/1077 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 561 H/1166 M (Zulkarni, dalam Nasution, 1991:59).
Tarekat Naqsabandiyyah adalah Tarekat yang dinisbatkan kepada kepada seorang sufi besar, yaitu Muhammad Ibnu Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhori An-Naqsyabandi, dilahirkan di Buhara 1317, wafat l389 M. Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah adalah tarekat hasil unifikasi dari dua tarekat besar yaitu Tarekat Qodiriyyah dan Tarekat Naqsabandiyyah.
Figur sentral dari proses unifikasi ini, tidak dapat dipisahkan dari ketokohan Syekh Ahmad Khotib al-Sambasi sebagai pendirinya. Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat yang memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dari kedua induknya. Perbedaan itu terutama dalam bentuk-bentuk riyadhah dan ritualnya.
Tarekat Qodiriyyah adalah tarekat yang dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Beliau tidak hanya terkenal sebagai wali sufi legendaris, tetapi juga dikenal sebagai ulama teolog dan mujtahid dalam bidang fiqih mazhab Hambali. Di antara karya beliau yang terkenal antara lain Al-Gunyah li Talibi Thariq al-Haq yang membahas tentang beberapa dimensi tasawuf Islam seperti fiqih, tauhid, ilmu kalam (teologi), dan akhlak (Aqib Kharisudin, 1999:48-49). Khusus dalam bidang tasawuf, buah karya beliau yang monumental adalah kitab Sirrul Asrar yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh KH. M. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyab wakil talqin dan mubaligh Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah PP Suryalaya.
Pada tahun 521 H, Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani menerima ijazah dari gurunya Abdul Said Al-Mukharrimi dalam bidang fiqih mazhab Hambali dan Abu Yusuf al-Hamdani dalam bidang tasawuf. Kemudian pada tahun 528 H, beliau memimpin sebuah madrasah dan ribath sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman (fiqih, tauhid dan tasawuf) dan sebagai tempat riyadhah (latihan sufi) bagi para salik.
Setelah beliau wafat (561 H) kepemimpinan madrasah dan ribath dilanjutkan oleh putranya Abdul Wahab (w. 593), kemudian diteruskan oleh anaknya yang lain bernama Abdul Wahab (w. 611 H). Madrasah dan Ribath tersebut tetap berjalan dalam kepemimpinan keluarga Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani sampai hancurnya kota Baghdad pada tahun 656 H/1258 M  oleh serangan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, yang menyebabkan eksistensi madrasah dan ribath itu berakhir. Meskipun demikian, ajaran-ajaran beliau tetap hidup dan berkembang dalam zawiyah-zawiyah (tempat para sufi berlatih diri mengasah jiwa oleh para muridnya ke berbagai negeri Islam, diantaranya Muhamad Al-Hadad (Yaman), Muhamad Al-Bataihi (Siria), dan Muhamad Ibn’Abdus Shama (Mesir).
Berdasarkan penelitian Trimingham, bahwa hingga dewasa ini Tarekat Qodiriyyah masih terbesar di dunia Islam dengan berjuta-juta pengikutnya dan tersebar di berbagai penjuru dunia. Bahkan diperkirakan Tarekat Qodiriyyah sudah menyebar di Indonesia pada abad 26 M, dan  salah satu penyebarnya adalah Syekh Hamzah Fansuri.
Tarekat Naqsabandiyyah adalah dinisbatkan kepada seorang sufi besar yaitu Muhamad Ibn Muhamad Bahaudin al-Uwaisal-Bukhari an-Naqsyabandi. Beliau dilahirkan pada tahun 717 H/1327 M di Desa Hinduan (Arifan) beberapa kilometer dari kota Buhara, dan wafat di tempat yang sama pada tahun 791 H/1389 M. Gelar Naqsyabandi diberikan kepadanya karena beliau pandai memberikan ilustrasi atau lukisan (naqasi) tentang hal-hal yang ghaib kepada murid-muridnya (Aceh, 1994:190).
Menurut Muhamad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub dijelaskan bahwa Bahauddin an-Naqsabandi mengambil tarekat dari Amir Kulal bin Hamzah, yang menerima dari Muhamad Baba as-Sammasi, dari Ali Mitni (Syekh Azizan), dari Muhamad al-Fughawi, Arif ar-Riyukri dari Khudjawin ar-Rai, dari Abu Ya’kub Yusuf al-Hamdani, dari Abu Ali al-Fadhal bin Muhamad at-Thusial-Farmadi, dari Abul Hasan Ali bin Ja’far as-Shadiq, dari Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril a.s.
Pusat perkembangan Tarekat Naqsabandiyyah berada di Asia Tengah kemudian mulai masuk ke India diperkirakan sejak masa pemerintahan Bahur, pendiri kerajaan Mughal (w. 1530 M). Namun perkembangannya secara pesat terjadi pada masa kepemimpinan Muhamad Baqi Billah (w. 1603 M). Para tokoh Tarekat Naqsabandiyyah yang berperan di India antara lain: Ahmad Faruqi Shirhindi (w.1642 M) dan Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi (1762 M). Selanjutnya dari India, Tajuddin bin Zakaria (w. 1050H/1640 M) memperkenalkan tarekat ini ke Mekkah. Memasuki abad ke 19 M, Tarekat Naqsabandiyyah telah memiliki pusat penyebaran di kota Suci ini, seperti halnya tarekat besar lainnya. Snouck Hurgroje memberitakan bahwa pada masa itu terdapat markas besar Tarekat Naqsabandiyyah di kaki gunung Qubais di bawah pimpinan Sulaiman Effendi. Beliau memperoleh banyak pengikut dari berbagai negara melalui jamaah haji, tidak terkecuali dari Indonesia (Dhofier, 1990: 141). Bahkan menurut Trimingham (dalam Zulkarni Jahja, 1991:86) bahwa seorang syekh dari Minangkabau dibaiat di Mekkah pada abad ke 19 M (1840-an) dan diresmikan menjadi pemimpin Tarekat Naqsabandiyyah yang pertama di Indonesia, tiada lain beliau adalah Sulaeman Effendi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa baik Tarekat Qodiriyyah maupun Tarekat Naqsabandiyyah telah mengalami sejarah perkembangan yang panjang sejak kelahirannya pada abad ke-7/8 H (12/13M) sampai sekarang. Melalui peran penting para tokoh pendiri, mursyid dan para khalifahnya, menjadikan kedua tarekat tersebut sebagai tarekat sangat populer, terutama di kalangan Sunni. Sejarah perkembangannya selama beberapa abad, diketahui betapa besar peranan kedua tarekat tersebut di dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya di bidang agama. Peranan kedua Tarekat ini terlihat sangat menonjol terutama dalam upaya penyadaran dan pemantapan keyakinan beragama serta peningkatan kualitas penghayatan spiritual di kalangan ummat Islam.
Meskipun kedua tarekat ini berbeda dan memiliki keunikan tersendiri, namun kemungkinan untuk dilakukan unifikasi menjadi sebuah tarekat yang mandiri di bawah pimpinan seorang syekh (mursyid) dapat saja terjadi. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat adanya sifat keluwesan ajaran Qadiriyyah yang membolehkan muridnya yang sudah mencapai tingkatan mursyid unuk tetap bergabung dengan tarekat gurunya atau memisahkan diri dengan memodifikasi ajaran tarekat lainnya ke dalam tarekat baru yang mau dikembangkannya. Trimingham mencatat sebanyak 29 jenis tarekat yang merupakan modifikasi dari Tarekat Qodiriyyah, dan salah satu diantaranya adalah Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1870-an.
Hurgronje dan Al-Attas (dalam Zulkarni Jahya, 1991:83), menjelaskan keberadaan tarekat tersebut sebagai berikut:
Keberadaan Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah ini tidak dapat dipisahkan dari ketokohan Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar as-Sambasi al-Jawi (w. 1875 M) sebagai pendirinya. Beliau adalah seorang ulama besar yang berasal dari daerah Sambas Kalimantan Barat yang bermukim di Mekkah sejak perempat abad kedua abad ke 19 M. Beliau menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya. Di kota Suci ini pula beliau menimba berbagai ilmu pengetahuan Islam hingga menjadi seorang ulama besar dan mengajar di Masjidil Haram. Spesialisasi Syekh Ahmad Khatib Bin Abdul Ghaffar As-Sambasi Al-Jawi adalah bidang tasawuf. Beliau merupakan pemimpin tertinggi (mursyid) Tarekat Naqsabandiyyah dan sekaligus sebagai Syekh dalam Tarekat Naqsabandiyyah yang berpusat di Mekkah pada abad ke 19 M.

Penyebaran Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah (TQN) di Indonesia diperkirakan sejak paruh kedua abad ke19, yaitu sejak murid-murid Syekh Ahamad Khatib Sambas tiba kembali di tanah air. Syekh Nuruddin (asal dari Filipina) dan Syekh Ahmad Sa’ad (putra Asli Sambas), adalah murid Syekh Ahmad Khatib Sambas yang berperan menyebarkan ajaran Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di Indonesia khususnya di Kalimantan barat. Namun perkembangan Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di wilayah ini tidak mengalami kemajuan yang berarti, dan hanya tersebar di kalangan orang awam, karena penyebaranya tidak melalui lembaga pendidikan formal semacam pondok pesantren (Hawash, 1980:181).
Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di pulau Jawa dikembangkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin langsung oleh para pengikutnya, sehigga perkembanganyapun sangat pesat, dan bahkan kini menjadi tarekat terbesar dan berpengaruh di kawasan ini. Syekh Abdul Karim Banten merupakan ulama yang berjasa dalam penyebaran Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di Pulau Jawa. Beliau adalah murid kesayangan serta diangkat menjadi pimpinan tertinggi Tarekat Qodiriyah di kota Suci Mekkah sepeninggal gurunya (Syekh Ahmad Khatib Sambas) pada tahun 1875 M. Untuk memenuhi tugas tersebut, beliau pun kembali lagi ke Mekkah pada tahun 1876 M, setelah kepulanganya ke tanah air pada awal tahun 1870-an. Guna mensosialisasikan ajaran gurunya tersebut, beliau pun mendirikan pesantren di Banten yang sekaligus berfungsi sebagai pusat penyebaran Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di daerah tersebut. Tarekat Qodiriyah yang sudah lebih dahulu dikenal masyarakat di daerah ini (sekitar abad 16 M), oleh Syekh Hamzah Fanzuri seakan-akan mendapat angin segar, sehingga Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah pun berkembang pesat.
Menurut Dofier (Yahya, 2000:65) lima pondok pesantren di Jawa yang sekarang menjadi pusat penyebaran Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di Indonesia, semuanya menelusuri silsilahnya kepada Syekh Abdul Karim Banten. Kelima pondok pesantren tersebut ialah: 1). Pesantren Pengentongan di Bogor (Jawa Barat), 2) Pesanten Suryalaya di Tasikmalaya (Jawa Barat), 3). Pesantren Manggreng di Semarang (Jawa Tengah), 4). Pesantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur), dan 5). Pesantren Tebuireng (Jawa Timur).
Satu dari pondok pesantren di Jawa Barat ialah Pondok Pesantren Suryalaya yang didirikan oleh Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhamad pada tanggal 07 Rajab 1323 H/05 September 1905 M. beliau menerima Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah dari Syekh Ahmad Tholhah Cirebon, dari Syekh Abdul Karim Banten. Setelah merasa sepuh dan uzur, Syekh Abdullah Mubarak menyerahkan kepemimpinan pesantren Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah kepada putra beliau yakni Syekh Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin, yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom. Pada masa kepemimpinan beliau inilah perkembangan Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah mengalami kemajuan pesat menyebar luas ke seluruh pelosok tanah air, bahkan sampai ke mancanegara dan beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Pondok Pesantren Suryalaya sekarang merupakan pusat kegiatan Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di Jawa Barat, di samping itu juga sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan Islam, baik formal maupun non formal. Untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan formal, didirikan lembaga-lembaga pendidikan hingga jenjang Perguruan Tinggi yaitu Institut Agama Islam Lathifah Mubarokah (IAILM). Pondok Pesantren Suryalaya sebagai pusat pendidikan non formal aktivitasnya berlangsung nonstop selama 24 jam yang dipusatkan di Masjid dan Madrasah Abah Anom. Peserta didiknyapun sangat variatif, mulai dari rakyat biasa, pegawai negeri, pengusaha hingga para artis, bahkan pejabat tinggi negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...