Tarekat adalah
jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran yang
ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh shahabat dan tabi’in,
turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai (Aceh,
1992: 67). Tarekat Qodiriyyah adalah tarekat
yang dinisbatkan kepada seorang ulama sufi yang sangat masyhur karena
kepribadian dan keshalehannya, yaitu Syekh Abdul Qadir al-Jaelani. Beliau dilahirkan
di Jilan (sekarang di wilayah Irak) sejak tahun 470 H/1077 M, dan wafat di
Baghdad pada tahun 561 H/1166 M (Zulkarni, dalam Nasution, 1991:59).
Tarekat Naqsabandiyyah adalah Tarekat yang
dinisbatkan kepada kepada seorang sufi besar, yaitu Muhammad Ibnu Muhammad
Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhori An-Naqsyabandi, dilahirkan di Buhara 1317, wafat
l389 M. Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah adalah tarekat hasil unifikasi dari dua tarekat besar yaitu Tarekat Qodiriyyah dan Tarekat Naqsabandiyyah.
Figur sentral
dari proses unifikasi ini, tidak dapat dipisahkan dari ketokohan Syekh Ahmad Khotib al-Sambasi sebagai
pendirinya. Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi
sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat yang memiliki ciri khas tersendiri
yang berbeda dari kedua induknya. Perbedaan itu terutama dalam bentuk-bentuk
riyadhah dan ritualnya.
Tarekat Qodiriyyah adalah tarekat yang
dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Beliau tidak hanya terkenal sebagai
wali sufi legendaris, tetapi juga dikenal sebagai ulama teolog dan mujtahid
dalam bidang fiqih mazhab Hambali. Di antara karya beliau yang terkenal antara
lain Al-Gunyah li Talibi Thariq al-Haq yang
membahas tentang beberapa dimensi tasawuf Islam seperti fiqih, tauhid,
ilmu kalam (teologi), dan akhlak (Aqib Kharisudin, 1999:48-49). Khusus
dalam bidang tasawuf, buah karya beliau yang monumental adalah kitab Sirrul Asrar yang telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh KH. M. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyab wakil talqin
dan mubaligh Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah PP Suryalaya.
Pada tahun 521
H, Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani menerima ijazah dari gurunya Abdul Said
Al-Mukharrimi dalam bidang fiqih mazhab Hambali dan Abu Yusuf al-Hamdani dalam bidang tasawuf. Kemudian pada tahun
528 H, beliau memimpin sebuah madrasah dan ribath
sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman (fiqih, tauhid dan
tasawuf) dan sebagai tempat riyadhah
(latihan sufi) bagi para salik.
Setelah beliau
wafat (561 H) kepemimpinan madrasah dan ribath dilanjutkan oleh putranya Abdul Wahab (w. 593), kemudian
diteruskan oleh anaknya yang lain bernama Abdul Wahab (w. 611 H). Madrasah dan Ribath tersebut tetap
berjalan dalam kepemimpinan keluarga Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani sampai
hancurnya kota Baghdad pada tahun 656 H/1258 M
oleh serangan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, yang menyebabkan
eksistensi madrasah dan ribath itu berakhir. Meskipun demikian, ajaran-ajaran
beliau tetap hidup dan berkembang dalam zawiyah-zawiyah (tempat para
sufi berlatih diri mengasah jiwa oleh para muridnya ke berbagai negeri Islam,
diantaranya Muhamad Al-Hadad (Yaman), Muhamad Al-Bataihi (Siria), dan Muhamad
Ibn’Abdus Shama (Mesir).
Berdasarkan
penelitian Trimingham, bahwa hingga
dewasa ini Tarekat Qodiriyyah
masih terbesar di dunia Islam dengan berjuta-juta pengikutnya dan tersebar di
berbagai penjuru dunia. Bahkan diperkirakan Tarekat Qodiriyyah sudah menyebar di
Indonesia pada abad 26 M, dan salah satu
penyebarnya adalah Syekh Hamzah Fansuri.
Tarekat Naqsabandiyyah adalah dinisbatkan
kepada seorang sufi besar yaitu Muhamad Ibn Muhamad Bahaudin al-Uwaisal-Bukhari
an-Naqsyabandi. Beliau dilahirkan pada tahun 717 H/1327 M di Desa Hinduan
(Arifan) beberapa kilometer dari kota Buhara, dan wafat di tempat yang sama
pada tahun 791 H/1389 M. Gelar Naqsyabandi diberikan kepadanya karena beliau
pandai memberikan ilustrasi atau lukisan (naqasi)
tentang hal-hal yang ghaib kepada murid-muridnya (Aceh, 1994:190).
Menurut Muhamad Amin
Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul
Qulub dijelaskan bahwa Bahauddin an-Naqsabandi
mengambil tarekat dari Amir Kulal bin Hamzah, yang menerima dari Muhamad Baba as-Sammasi,
dari Ali Mitni (Syekh Azizan), dari Muhamad
al-Fughawi, Arif ar-Riyukri dari Khudjawin ar-Rai, dari Abu Ya’kub Yusuf
al-Hamdani, dari Abu Ali al-Fadhal bin Muhamad at-Thusial-Farmadi,
dari Abul Hasan Ali bin Ja’far as-Shadiq, dari Nabi Muhammad Saw melalui
malaikat Jibril a.s.
Pusat perkembangan
Tarekat Naqsabandiyyah berada di Asia Tengah kemudian mulai masuk ke India
diperkirakan sejak masa pemerintahan Bahur, pendiri kerajaan
Mughal (w. 1530 M). Namun perkembangannya secara pesat terjadi pada masa
kepemimpinan Muhamad Baqi Billah (w. 1603 M). Para tokoh Tarekat Naqsabandiyyah
yang berperan di India antara lain: Ahmad Faruqi Shirhindi (w.1642 M) dan Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi (1762
M). Selanjutnya dari India, Tajuddin bin Zakaria (w. 1050H/1640 M)
memperkenalkan tarekat ini ke Mekkah. Memasuki abad ke 19 M, Tarekat Naqsabandiyyah
telah memiliki pusat penyebaran di kota Suci ini, seperti halnya tarekat besar
lainnya. Snouck Hurgroje memberitakan bahwa pada masa itu terdapat markas besar
Tarekat Naqsabandiyyah di kaki gunung Qubais di bawah pimpinan Sulaiman Effendi. Beliau memperoleh
banyak pengikut dari berbagai negara melalui jamaah haji, tidak terkecuali dari
Indonesia (Dhofier, 1990: 141). Bahkan menurut Trimingham (dalam Zulkarni Jahja,
1991:86) bahwa seorang syekh dari Minangkabau dibaiat di Mekkah pada abad ke 19
M (1840-an) dan diresmikan menjadi pemimpin Tarekat Naqsabandiyyah yang pertama
di Indonesia, tiada lain beliau adalah Sulaeman Effendi.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa baik Tarekat Qodiriyyah
maupun Tarekat Naqsabandiyyah telah mengalami sejarah perkembangan yang panjang
sejak kelahirannya pada abad ke-7/8 H (12/13M) sampai sekarang. Melalui peran
penting para tokoh pendiri, mursyid dan para khalifahnya, menjadikan kedua tarekat
tersebut sebagai tarekat sangat populer, terutama di kalangan Sunni. Sejarah
perkembangannya selama beberapa abad, diketahui betapa besar peranan kedua tarekat
tersebut di dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya di bidang agama. Peranan
kedua Tarekat ini terlihat sangat menonjol terutama dalam upaya penyadaran dan
pemantapan keyakinan beragama serta peningkatan kualitas penghayatan spiritual
di kalangan ummat Islam.
Meskipun kedua tarekat
ini berbeda dan memiliki keunikan tersendiri, namun kemungkinan untuk dilakukan
unifikasi menjadi sebuah tarekat yang mandiri di bawah pimpinan seorang syekh
(mursyid) dapat saja terjadi. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat adanya
sifat keluwesan ajaran Qadiriyyah yang membolehkan muridnya yang sudah mencapai
tingkatan mursyid unuk tetap bergabung dengan tarekat gurunya atau memisahkan
diri dengan memodifikasi ajaran tarekat lainnya ke dalam tarekat baru yang mau
dikembangkannya. Trimingham mencatat sebanyak 29 jenis tarekat yang merupakan
modifikasi dari Tarekat Qodiriyyah, dan salah satu diantaranya adalah Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah
yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1870-an.
Hurgronje dan Al-Attas (dalam
Zulkarni Jahya, 1991:83), menjelaskan keberadaan tarekat tersebut sebagai
berikut:
Keberadaan Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah
ini tidak dapat dipisahkan dari ketokohan Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar as-Sambasi al-Jawi (w. 1875
M) sebagai pendirinya. Beliau adalah seorang ulama besar yang berasal dari
daerah Sambas Kalimantan Barat yang bermukim di Mekkah sejak perempat abad
kedua abad ke 19 M. Beliau menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya. Di kota
Suci ini pula beliau menimba berbagai ilmu pengetahuan Islam hingga menjadi
seorang ulama besar dan mengajar di Masjidil Haram. Spesialisasi Syekh Ahmad
Khatib Bin Abdul Ghaffar As-Sambasi Al-Jawi adalah bidang tasawuf. Beliau
merupakan pemimpin tertinggi (mursyid) Tarekat Naqsabandiyyah dan sekaligus
sebagai Syekh dalam Tarekat Naqsabandiyyah yang berpusat di Mekkah pada abad ke
19 M.
Penyebaran Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah
(TQN) di Indonesia diperkirakan sejak paruh kedua abad ke19, yaitu sejak
murid-murid Syekh Ahamad Khatib Sambas tiba kembali di tanah air. Syekh Nuruddin (asal dari Filipina) dan Syekh
Ahmad Sa’ad (putra Asli Sambas), adalah murid Syekh Ahmad Khatib Sambas
yang berperan menyebarkan ajaran Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di Indonesia
khususnya di Kalimantan barat. Namun perkembangan Tarekat
Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di wilayah ini tidak mengalami kemajuan yang berarti,
dan hanya tersebar di kalangan orang awam, karena penyebaranya tidak melalui
lembaga pendidikan formal semacam pondok pesantren (Hawash, 1980:181).
Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah
di pulau Jawa dikembangkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan
dipimpin langsung oleh para pengikutnya, sehigga perkembanganyapun sangat pesat,
dan bahkan kini menjadi tarekat terbesar dan berpengaruh di kawasan ini. Syekh Abdul Karim Banten merupakan
ulama yang berjasa dalam penyebaran Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di Pulau
Jawa. Beliau adalah murid kesayangan serta diangkat menjadi pimpinan tertinggi Tarekat
Qodiriyah di kota Suci Mekkah sepeninggal gurunya (Syekh Ahmad Khatib Sambas)
pada tahun 1875 M. Untuk memenuhi tugas tersebut, beliau pun kembali lagi ke
Mekkah pada tahun 1876 M, setelah kepulanganya ke tanah air pada awal tahun
1870-an. Guna mensosialisasikan ajaran gurunya tersebut, beliau pun mendirikan
pesantren di Banten yang sekaligus berfungsi sebagai pusat penyebaran Tarekat
Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di daerah tersebut. Tarekat Qodiriyah yang sudah
lebih dahulu dikenal masyarakat di daerah ini (sekitar abad 16 M), oleh Syekh
Hamzah Fanzuri seakan-akan mendapat angin segar, sehingga Tarekat
Qodiriyyah-Naqsabandiyyah pun berkembang pesat.
Menurut Dofier (Yahya, 2000:65) lima
pondok pesantren di Jawa yang sekarang menjadi pusat penyebaran Tarekat
Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di Indonesia, semuanya menelusuri silsilahnya kepada
Syekh Abdul Karim Banten. Kelima pondok pesantren tersebut ialah: 1). Pesantren
Pengentongan di Bogor (Jawa Barat), 2) Pesanten Suryalaya di Tasikmalaya (Jawa Barat),
3). Pesantren Manggreng di Semarang (Jawa Tengah), 4). Pesantren Rejoso di
Jombang (Jawa Timur), dan 5). Pesantren Tebuireng (Jawa Timur).
Satu dari pondok pesantren di
Jawa Barat ialah Pondok Pesantren Suryalaya yang didirikan oleh Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhamad
pada tanggal 07 Rajab 1323 H/05 September 1905 M. beliau menerima Tarekat
Qodiriyyah-Naqsabandiyyah dari Syekh Ahmad Tholhah Cirebon, dari Syekh
Abdul Karim Banten. Setelah merasa sepuh dan uzur, Syekh Abdullah Mubarak
menyerahkan kepemimpinan pesantren Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah kepada
putra beliau yakni Syekh Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin, yang lebih dikenal
dengan sebutan Abah Anom. Pada
masa kepemimpinan beliau inilah perkembangan Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah mengalami
kemajuan pesat menyebar luas ke seluruh pelosok tanah air, bahkan sampai ke mancanegara
dan beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Pondok Pesantren Suryalaya sekarang
merupakan pusat kegiatan Tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah di Jawa Barat, di samping
itu juga sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan Islam, baik formal maupun non
formal. Untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan formal, didirikan
lembaga-lembaga pendidikan hingga jenjang Perguruan Tinggi yaitu Institut Agama
Islam Lathifah Mubarokah (IAILM). Pondok Pesantren Suryalaya sebagai pusat
pendidikan non formal aktivitasnya berlangsung nonstop selama 24 jam yang
dipusatkan di Masjid dan Madrasah Abah Anom. Peserta didiknyapun sangat
variatif, mulai dari rakyat biasa, pegawai negeri, pengusaha hingga para artis,
bahkan pejabat tinggi negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar