Sabtu, 30 Mei 2015

KONSEP INSAN KAMIL



Kata insan merupakan nama lain dari manusia yang berasal dari bahasa arab yakni al-Insan. Kata insan sendiri disebut sebanyak 65 kali dalam al-Qur`an dan istilah ini digunakan dalam kitab suci dalam tiga konteks. Pertama, insan yang dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam dirinya. Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insan tersebut merujuk pada sifat-sifat psikiologis dan spiritual-intelektual terkecuali konteks yang ketiga.[1]
Pada kategori pertama, keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dari makhluk hewani. Menurut al-Quran, insan adalah makhluk yang diberikan ilmu dan diajarkan bahasa konseptual.[2] Dengan mempergunakan istilah insan, al-Quran menjelaskan manusia adalah makhluk yang mengemban amanah. Menurut Fazlur Rahman, amanah itu adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam istilah al-Quran mengetahui nama-nama semuanya, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral insani untuk menciptakan dunia yang baik.[3] Beberapa mufassir menjelaskan makna amanah sebagai predisposisi untuk beriman dan menaati petunjuk Allah, amanah ini yang dalam ayat al-Quran disebut sebagai perjanjian dan komitmen yang digambarkan secara metaforis.[4] 
Berkaitan dengan amanah yang dipikul oleh manusia, insan juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab. Ia diwasiatkan untuk tetap berbuat baik dan seluruh amal perbuatannya akan dicatat untuk diberi imbalan atau balasan. Karena itu, insanlah yang dimusuhi syetan dan ditentukan nasibnya di hari kiamat. [5] Dalam menerapkan amanah Tuhan ini, insan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Bila ditimpa musibah ia cenderung menyembah Allah dengan khidmat, bila mendapat keberuntungan ia cenderung sombong, takabur, bahkan musyrik. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Q.s. At-Taubah: 17
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.”
Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Menurut al-Quran manusia cenderung zalim dan kafir, tergeda-gesa, bakhil, bodoh, suka berbantah dan berdebat dan berdebat, resah gelisah susah dan menderita, tidak berterimakasih, dan suka berbuat dosa serta meragukan hari kiamat.[6] Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, insan menjadi makhluk paradoksal yang berjuang mengatasi konflik antara dua kekuatan yang saling bertentangan yaitu kekuatan untuk mengikuti fitrah (memikul amanah Allah) dan kekuatan untuk mengikuti predisposisi negatif.[7]
Manusia terdiri dari jasad dan ruh. Jasad adalah lembaga ruh dan ruh adalah hakikat manusia, karena hanya dengan ruh, manusia dapat mengetahui sesuatu.[8] Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry tentang manusia, sangat diwarnai oleh ajaran mistik yang dianutnya. Ia memandang manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Arabi sebelumnya bahwa insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna.[9]. Hal ini bukan saja karena manusia itu merupakan khalifah Allah  di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh. Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya dan karena itu ia dijadikan dengan cara tersendiri. Berbeda dengan kejadian makhluk-makhluk lainnya.[10]
Manusia pada hakikatnya bukan jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur itu, akan tetapi ruh yang berada dalam dirinya dan yang selalu mempergunakan jasad dalam melakukan tugasnya.[11] Ruh yang dimaksudkan oleh Syekh Nuruddin ar-Raniry sebagai hakikat manusia adalah sama pengertiannya dengan nafs nāthiqah (jiwa berpikir)[12] yang terdapat dalam filsafat Islam.
Menarik untuk dianalisis proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia itu dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagi insan manusia diciptakan dari tanah liat, sari pati tanah,. Demikian pula, basyar berasal dari tanah liat dan air. Ini menjunjukkan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolik karakteristik basyari dan insani. Menurut Yusuf al-Qardhawi, manusia adalah gabungan dari kekuatan tanah dan hembusan Illahi, yang pertama unsure material dan yang kedua unsure rohani atau yang pertama unsure basyari dan yang kedua unsur insani.[13] Keduanya harus bergabung dalam keseimbangan, seperti apa yang dikatakan Abbas Mahmud al-`Aqqad bahwa “Tidak boleh seorang muslim mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh mengurangi hak ruh untuk memenuhi hak tubuh”.[14]  
Penciptaan manusia menurut Syekh Syamsuddin Sumatrani, merupakan realisasi dari kehendak Tuhan untuk ber-tajalli pada bukan-diri-Nya dengan tajalli yang paling jelas.[15] Hal  ini diperkuat dengan ungkapan yang juga dipandangnya sebagai hadis qudsi, yang berbunyi sebagai berikut, yang artinya “Aku tidak menampakkan diri pada sesuatu seperti penampakan-Ku melalui manusia”.[16]
Manusia bila dilihat dari unsur-unsurnya masuk dalam dua unsur, yakni lahiriah dan batiniah. Unsur lahiriah mencakup tanah, air, udara dan api,  sedangkan unsur batiniah disebut juga “manusia hakiki” yang mencakup wujud, `Ilm, dan syuhud, dengan artian bahwa wujud itu adalah Dzat, `ilm adalah sifat-sifat, nur adalah nama-nama, dan syuhud adalah perbuatan-perbuatan.[17]
Pada diri manusia terdapat potensi yang diciptakan secara fitri, berfungsi sebagai penggerak tingkah laku manusia. Penggerak tingkah laku ini mempunyai peranan penting sekurang-kurangnya dalam dua hal. Pertama, mewarnai corak tingkah laku manusia, kedua, menentukan makna atau nilai perbuatan tersebut. Hal-hal yang menggerakan tingkah laku manusia tersebut adalah fitrah, syahwah, dan hawa. Dalam tinjauan tasawuf, ketiga hal ini yang menjadi dorongan, motivasi, manusia melakukan perbuatan-perbuatan dalam kehidupannya.[18] 
Persoalan penting dengan perbuatan ini adalah bagaimana menjadikan fitrah itu dapat selalu mengarah pada kebenaran, karena sejatinya manusia secara fitrah cenderung hanif (cenderung pada kebenaran).[19] Bagaimana pula menekan syahwah yang sebenarnya netral dapat bertahan pada sikap yang moderat dan tidak melampaui batas serta mengikis habis dorongan hawa yang cenderung pada hal-hal negatif. Persoalan ini yang kemudian menjadi perhatian ilmu tasawuf, logika yang digunakan apabila manusia dapat membersihkan kecenderungan negatif dalam dirinya maka dampaknya akan terlihat pada tingkah lakunya sehari-hari. Ia akan memperlihatkan perbuatan baik sehingga pada gilirannya ia akan mampu menunjukkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Jika manusia berhasil meraih kondisi ini maka dia disebut dengan insan kamil.
Pada satu sisi manusia merupakan hamba (`abd) dan pada sisi lain sebagai khalifah. Sebagai ‘abd (basyr) manusia memiliki keterbatasan, sedangkan sebagai khalifah (insan dan al-nas) manusia memiliki kebebasan yang selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan sosial manusia. Kemanusiaannya akan menjadi utuh ketika ia berhasil menyeimbangkan dimensi kehambaannya dengan dimensi kekhalifahannya. Memisahkan salah satu dari keduanya membuat manusia mengalami keterpecahan pribadi dan mengalami penyakit kejiwaan seperti kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang dan psikosomatik.[20]
Seseorang yang mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah, tanpa perduli dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, akan mengalami kesepian dan tekanan kejiwaan. Ia merasa tidak berharga dihadapan orang lain dan merasa tidak dibutuhkan. Sebaliknya orang yang mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan dan kemanusiaan tanpa peduli dengan perkembangan spiritualitasnya, akan mengalami kehampaan spiritual. Menyeimbangkan antara kedua fungsi `abd dan khalifah tersebut merupakan hal yang perlu dilakukan, mengingat posisi manusia sebagai `abd senantiasa harus menghambakan dirinya kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah yang telah diperintahkan-Nya, sedangkan posisinya sebagai khalifah ia harus senantiasa mengembangkan kreatifitas diri sehingga ia dapat berbuat kebaikan untuk kemanusiaan.
Implikasi dari kesadaran sebagai hamba ini membuat manusia menjadi hamba yang taat kepada Allah SWT dengan banyak melakukan amal-amal baik (amal sholeh) yang bersifat individual maupun sosial. Seluruh ibadah tersebut harus dilaksanakannya dengan kesadaran dengan oreintasi pengabdian kepada Allah (ikhlas). Suasana mental seperti inidalam bahasa al-Qur`an disebut dengan khusu`.[21] Kekhusu`an itu bukan hanya dirasakan sebagai kepuasan spiritual yang dinikmati sendiri tetapi juga memiliki pengaruh sosial yang membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan bermoral.



[1]
[2] Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai dasar Perjuangan (NDP), (Jakarta; Kultura, 2007), Hlm. 69.
[3] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur`an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung; Pusataka, 1983), Hlm. 28.
[4] Ibid., Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir…, Hlm. 69-70.
[5] Lihat Q.s. al-Qiyamah (75): 3, 10, 13, 14 dan Luqman (31): 14.
[6] Ibid., Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim …, Hlm. 134.
[7] Lois Lohaiy, Manusia Makhluk Paradoksal, (Jakarta; Gramedia, 1984), Hlm. 212-213.
[8] Ahmad Daudy, Allah dan Manusia: Dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry, (Jakarta; CV. Rajawali, 1983), Hlm.131.
[9] Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Lihat Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta; Paramadina, 1997), Hlm. 49.
[10] Ibid., Ahmad Daudy, Allah dan Manusia…, Hlm. 131.
[11] Ia dengan tegas membedakan ruh dengan jasad karena ruh berasal dari alam arwah dan memerintah serta mempergunakan jasad sebagai alatnya, sedangkan jasad berasal dari alam khalk (alam ciptaan) yang dijadikan dari anasir materi. Lihat Ibid., Hlm. 133
[12] Ibid.
[13] Ibid., Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab …, Hlm. 70.
[14] Abbas Mahmud al-`Aqqad, Insan Qur`ani Abad Modern, (Yogyakarta; Titian Illahi Pers, 1995), Hlm. 43
[15] Abdul Aziz Dahlan, Penilaian teologis Atas paham Wadatul Wujud, Tuhan, Alam, Manusia: dalam tasawuf syamsuddin sumatrani, (Padang; IAIN-IB Press, 1999), Hlm. 102
[16] Ajarannya tersebut mengandung pengertian bahwa tajalli Tuhan melalui setiapa bagian alam tidaklah sama tingkat kejelasannya, dan yang paling jelas secara umum tajalli itu melalui manusia. Jadi, lebih jelas dari pada melalui bagian-bagian alam yang lain. Dapat dikatakan juga bahwa alam manusia berpotensi untuk dapat membayangkan lebih terang atau lebih banyak sifat-sifat ketuhanan melalui dirinya. Lihat Ibid., Hlm. 102-103.
[17] Ibid., Hlm. 103
[18] Ibid., Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab…, Hlm. 76-77.
[19] Lihat Q.. Ar-Rum (30): 30
[20] Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam al-Qur`an; Solusi Krisis Kemanusiaan Modern, (Jakarta; Paramadina, 2000), Hlm. 8.
[21] Ibid., Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab…, Hlm. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...