Dewasa ini
fenomena intolerenasi dalam kehidupan
agama di Indonesia tampaknya meningkat. Penelitian lembaga studi Center of
Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan toleransi beragama orang
Indonesia tergolong rendah.
Dalam
survei CSIS yang dilakukan pada bulan Februari tahun 2011 di 23 provinsi dan
melibatkan 2.213 responden menunjukkan bahwa meskipun 59,5 persen responden
tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain, namun 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Saat
ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2
persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1
persen yang tidak berkeberatan.[1]
Menurut Laporan Wahid Institute
2012, apabila dibandingkan
dengan tahun 2011,
data - data kasus pelanggaran
kebebasan beragama dan
berkeyakinan yang terjadi
tahun 2012 ini
mengalami peningkatan jumlah
yakni 110 kasus
berbanding 93 kasus
atau meningkat sekitar
8 %. Jika
pada tahun 2011
rata - rata terjadi 7 kasus
pelanggaran perbulan, maka
pada tahun 2012
ini meningkat menjadi
rata- rata 9 kasus perbulan. Bahkan
apabila bulan Desember
tidak dihitung, maka
rata- rata pelanggaran perbulan adalah 10
kasus. Tindakan brutal sekelompok orang yang mengaku ingin menegakkan
agama dengan teror, ancaman, dan cara-cara kekerasan lainnya, sehingga
melanggar kebebasan orang untuk beragama dan berkeyakinan juga masih sering
muncul. Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi dalam pelanggaran kebebasan
beragama yang dilakukan oleh non state
dengan 57 kasus. [2]
Fenomena itu tidak
hanya terjadi di masyarakat tapi juga di lemabaga pendidikan atau sekolah. Survey yang dilakukan oleh PPIM
(Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500
guru pengajar agama Islam di sekolah negeri maupun swasta seluruh Jawa pada
tahun 2008 memperlihatkan bahwa kebanyakan responden menolak pluralisme dan
cenderung mempertahankan pandangan keagamaan konservatif dan radikal. Misalnya
: 68,6 % guru agama menolak non-Muslim menjadi kepala sekolah. 33,8 % menolak
guru non Muslim di sekolah mereka, 87 % mereka meminta muridnya agar tidak
mempelajari agama lain.,47,5% dari mereka juga mendukung hukuman potong tangan
bagi pencuri, sementara 21,3 % dari mereka mem- back up perlunya hukuman mati
bagi Muslim yang murtad. Azyumardi Azra , dalam komentarnya terhadap hasil
survey yang dilakukan oleh PPIM ini mengatakan : the surveyed Islamic
studies teachers had probably never been exposed to pluralistic views. He said
the Religious Affairs Ministry had probably encouraged them to become Islamic
studies teachers , but failed to “refresh” their outdated views on Islam.” It
is actually the ministry’s responsibility to counter such (anti pluralistic)
views. It has to organize regular trainings for these teachers to instill wider
and more comprehensive perspective into their minds.” Said Azyumardi , who is a
former UIN rector. [3]
Dewasa ini juga masih
sering muncul wacana yang mempertentangkan Islam dan demokrasi, Islam dan
Pancasila dengan tujuan melemahkan
konsolidasi demokrasi dan Ideologi
Pancasila. Hizbut Tahrir Indonesia
adalah salah satu contoh kelompok yang sering mempertentangkan secara terbuka
antara syariah dan demokrasi , antara kedualatan Tuhan dan kedaulatan rakyat
yang ujungnya mau menggantikan Negara Pancasila dengan Negara Islam (khilafat) yang cenderung teokratis. [4]
Dewasa ini juga tampak
fenomena menurunnya karakter bangsa yang ditandai dengan budaya instant
dan prilaku korup yang terjadi di
mana-mana. Organisasi
Fund for Peace merilis indeks terbaru mereka mengenai Failed State Index 2012
di mana Indonesia berada di posisi 63. Sementara negara nomor 1 yang dianggap
gagal adalah Somalia. Dalam membuat indeks tersebut, Fund for Peace menggunakan
indikator dan subindikator, salah satunya indeks
persepsi korupsi. Dalam
penjelasan mereka, dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan
indeks korupsi tersebut. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup
berdasarkan indeks lembaga ini, Somalia. Negara yang dianggap paling baik
adalah New Zealand. [5]
Menurut survey yang
dilakukan oleh KPKa (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2011,Kementrian
Agama menduduki ranking pertama dalam hal korupsi diantara 22 kementrian atau
lembaga negara. Kementrian ini hanya mendapat 5.37 point dari 10 point, dibawah
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
yang mendapat 5.44 point dan Kementrian Koperasi dan UKM yang mendapat
5.52 point. Pada tahun 2012 , KPK masih menempatkan Kementrian Agama sebagai
kementrian yang terkorup bersama dengan kementrian Kehutanan.[6]
Tingginya tingkat
korupsi di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam menunjukkan bahwa
karakter amamah/ accountability dan tabligh/ transparency belum menjadi
watak yang melekat pada sebagian bangsa ini termasuk mereka orang Islam yang
sedang dipercaya memegang kekuasaan.
Kondisi demikian
menjadikan lembaga pendidikan juga tidak lepas dari sasaran kritik. Sebab
budaya instan dan prilaku korup juga sedikit banyaknya masuk kedalam di
lingkungan pendidikan melalui prilaku permissive terhadap kecurangan dan
ketidakjujuran. Akhmad Muzakki ketua LP Maarif Nahdlatul Ulama, Jawa Timur yang
juga dosen IAIN Sunan Ampel in Surabaya dalam tulisannya yang berjudul
“Cheating on exams and character education” mengatakan
:
Obviously, cheating is another name for
dishonesty. And, dishonesty is the beginning of all evil. Ineffective
management of a country is precisely a consequence of the loss of honesty. If honesty is no longer maintained in the
practice of education, then education has greatly contributed to the
institutionalization of the crime itself. Therefore, the problems of the
National Examination have to be strongly put within the framework of character
education for the development of the nation.[7]
(Jelaslah, kecurangan
adalah bentuk lain dari ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran adalah awal dari
kejahatan. Manajemen negeri yang tidak efektif adalah sebagai konsekwensi dari
hilangnya kejujuran. Jika kejujuran tidak lagi dipertahankan dalam praktek
pendidikan maka pendidikan akan
memberikan kontribusi besar bagi institusionalisasi kejahatan. Oleh karena itu
problem pada ujian nasional mesti diletakkan dalam kerangka pendidikan karakter
untuk pembangunan bangsa).
Singkatnya, dewasa ini
terdapat fenomena maraknya orang beragama tapi tidak memiliki karakter yang
baik dan fenomena orang yang taat beragama tapi gagal menjadi warganegara yang
baik. Inilah masalah serius yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang dihadapi
lembaga pendidikan yang memang bertugas
mempersiapkan generasi penerus bangsa ini. Sebab jika fenomena ini tidak segera diatasi
bersama maka kesenjangan antara
cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan kenyataan yang dialami oleh rakyat
Indonesia akan terus melebar.
Pada
lingkup dunia pendidikan, internalisasi pendidikan karakter siswa di sekolah
merupakan permasalahan yang belum terpecahkan sejalan dengan kompleksitas
perubahan lingkungan yang begitu cepat dan dinamis, hal ini terjadi karena
belum optimalnya perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan. Internalisasi
nilai-nilai pendidikan karakter siswa terus diupayakan oleh kepala sekolah,
wali kelas, guru Bimbingan dan Konseling, guru, maupun baik melalui kegiatan
pembelajaran (kurikuler) maupun ekstrakurikuler, akan tetapi belum memberikan
dampak yang optimal bagi peningkatan akhlak siswa baik ditinjau dari sisi
proses maupun output pendidikan karakter.
Pendidikan
karakter yang dilakukan guru kurang optimal karena hanya memberikan bimbingan
dan pengarahan, jika siswa tersebut sudah parah dan berbagai cara sudah
dilakukan, akan tetapi siswa tersebut tidak berubah, maka guru PAI menyerahkan
siswa tersebut untuk ditangani oleh wali kelas sesuai dengan tata tertib yang
berlaku di sekolah. Hal ini bukan dikarenakan guru PAI tidak mampu, akan tetapi
guru tidak bisa atau tidak berhak memberikan hukuman karena tugasnya hanya
membimbing dan mengarahkan, bukan menghukum dan yang berhak menghukum adalah
wali kelasnya.
Pada umumnya, guru belum optimal dalam menggerakkan siswa
serta memberikan dorongan agar mereka mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu, masih banyak guru yang
belum memberikan
contoh keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Guru, di samping melaksanakan
tugas mengajar, juga melaksanakan tugas pembinaan bagi peserta didik, membantu
pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak, menumbuhkembangkan keimanan dan
ketakwaan para siswa.
Evaluasi
terhadap karakter siswa masih bersifat subyektif, karena berdasarkan pada nilai
akademik yang diperoleh dari ulangan harian, maupun ujian-ujian lainnya serta
praktek ibadah di sekolah. Dengan kata lain, penilaian guru terhadap karakters
siswa masih pada tataran penilaian kognitif siswa.
Pendidikan
karakter siswa dalam konteks pandangan Islam menyentuh keseluruhan ranah
pendidikan, tidak saja menyampaikan materi pengetahuan agama kepada siswa
tetapi juga membimbingnya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama
yang mengedepankan al-akhlaq al-karimah
sebagai perilaku dasar siswa. Untuk menunjang hal tersebut, di sekolah
diajarkan berbagai ilmu sebagai bekal untuk kehidupan siswa. Pada jenjang
Sekolah Menengah Pertama, para siswa diberikan pelajaran Pendidikan Agama Islam
dengan tujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Dalam pendidikan Islam, Al-Qur’an merupakan
sumber pendidikan yang mengandung aspek keilmuan maupun kemasyarakatan.
Al-Qur’an juga sebagai media penawar hati, penasehat jiwa yang gersang terhadap
perilaku jahiliyah yang amoral dengan hukum rimbanya. Menjadi obat bagi segala
penyakit, bagi mereka yang mengimani dan mengikuti tuntunannya.
Sebagai sumber pedoman bagi umat
Islam, Al Qur’an mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia, begitu pula
dengan nilai yang berkaitan pendidikan. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an
yang mengandung motivasi pendidikan bagi umat manusia. Tapi pada proposal ini
penulis membatasi pada ayat-ayat yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan.
Al-Qur’an yang didalamnya mencakup nilai-nilai
karakter memberikan angin segar bagi semua manusia. Misal-misal yang diberikan
al-Qur’an memberikan inspirasi dan pelajaran berharga bagi mereka yang mau
mendalami kandungannya. Nilai-nilai pendidikan berdasarkan Al-Quran merupakan aktualisasi
kurikulum dalam pembelajaran dan pembentukkan kompetensi serta karakter peserta
didik. asas pendidikan yang harus dijadikan panduan oleh setiap orang tua pada
masa kini.
Kajian ini dimaksudkan untuk
memahami maksud ayat secara mendalam di samping mengetahui garis panduan
pendidikan seperti yang dikehendaki oleh Islam berdasarkan Al-Quran telah
mengutarakan sebuah pendidikan yang baik selaras dengan obyektif pendidikan
Islam. Al-Quran telah mengemukakan kaidah pengajaran dan persembahan isi
pendidikan yang tersusun rapi, mengikuti urutan, mantap serta sangat menarik.
Kaidah yang dikemukakan oleh Al-Quran menekankan perkara perintah dan larangan,
yang diiringi pula dengan alasan munasabah. Aspek perintah meliputi asas
kesempurnaan beragama, kepercayaan kepada hari akhirat dan keutamaan berakhlak
mulia sementara aspek larangan merangkum larangan syirik dan sifat sombong.
Berdasarkan penelitian awal di beberapa
sekolah menunjukkan bahwa masih banyak problema siswa tentang pelanggaran
nilai-nilai/norma yang diyakini, seperti; terjadinya perkelahian antar pelajar,
pergaulan bebas, merokok, narkoba, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain; arus globalisasi (internet), tayangan TV, tokoh
idola fiktif, lingkungan individualis (hilangnya amar ma’ruf nahi mungkar), ketidak-harmonisan
hubungan anggota keluarga, dan sistem pendidikan yang tidak konsisten. Selain
itu, masih banyak ditemukan siswa yang belum bisa baca tulis Al-Quran,
rendahnya pengetahuan mereka terhadap masalah-masalah ibadah seperti tata cara
sholat, wudhu, puasa dan sebagainya.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan diharapkan
tidak hanya sebagai tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan saja, tetapi juga
diharapkan dapat memberi bekal yang cukup dalam membentuk kepribadian siswa
yang tangguh dalam menghadapi era globalisasi. Demikian juga ajaran-ajaran
moral dan tata nilai yang berlaku di masyarakat juga menjadi prioritas yang
tidak dapat diabaikan sekolah untuk ditanamkan kepada siswa.
Guru
sebagai subyek dalam pendidikan yang paling berperan sebagai pengajar dan
pendidik, terutama seorang guru agama dengan misi membangun mental anak bangsa
harus telah menjadi seorang yang beriman, bertaqwa dan berbudi pekerti yang
luhur, tanpa ada kriteria seperti itu, maka akan mustahil akan terwujud manusia
Indonesia seperti yang telah dicita-citakan oleh bangsa ini, karena seorang
guru memberikan ilmu, pengetahuan dan pengalaman kepada anak didiknya ibarat
memberikan sesuatu kepada anak didiknya, maka ia hanya bisa memberikan sesuatu
yang hanya ia miliki. Karena itu untuk mencetak anak didik yang beriman dan
bertqwa maka seorang guru harus terlebih dahulu mempunyai modal iman dan taqwa.
Untuk membentuk
karakter siswa yang baik, diperlukan upaya yang sistematis, seperti halnya
pembinaan karakter siswa berbasis Al-Quran untuk meningkatkan akhlak terhadap
siswa. Dengan kata lain, diperlukan sebuah manajemen khusus yang dikembangkan
pihak sekolah untuk meningkatkan kualitas akhlak siswa.
[1] Sumber
: http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-Orang-Indonesia-Rendah diakses 26 Februari 2013
[2] Lihat . Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir
Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi
2012, The Wahid Institute
[3] Lihat : Erwida
Maulia,” Islamic teachers lack pluralistic perspectives”, The Jakarta Post,
November 27,2008
[4]
Lihat : al-Wa'ie, No. 142 Tahun XII,
1-30 Juni 2012.hlm. 19.
[5] Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/327659-indeks-persepsi-korupsi--indonesia-urutan-100 diakses 26 Februari 2013.
[6] Sumber : “ Religious
Affairs Ministry on graft red alert “,
The Jakarta Post, February 28, 2013.
[7] Lihat. The Jakarta Post 28 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar