Sabtu, 30 Mei 2015

Pendidikan Karakter di Sekolah



Dewasa ini fenomena  intolerenasi dalam kehidupan agama di  Indonesia tampaknya meningkat. Penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. Dalam survei CSIS yang dilakukan pada bulan Februari tahun 2011 di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden menunjukkan bahwa meskipun 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain, namun  33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.[1]
Menurut Laporan Wahid Institute 2012,   apabila  dibandingkan  dengan  tahun  2011,  data - data  kasus  pelanggaran  kebebasan  beragama  dan  berkeyakinan  yang  terjadi  tahun  2012  ini  mengalami  peningkatan  jumlah  yakni  110  kasus  berbanding  93  kasus  atau  meningkat  sekitar  8  %.  Jika  pada  tahun  2011  rata - rata  terjadi  7 kasus  pelanggaran  perbulan,  maka  pada  tahun  2012  ini  meningkat  menjadi  rata- rata  9  kasus perbulan.  Bahkan  apabila  bulan  Desember  tidak  dihitung,  maka  rata- rata  pelanggaran  perbulan adalah  10  kasus. Tindakan brutal sekelompok orang yang mengaku ingin menegakkan agama dengan teror, ancaman, dan cara-cara kekerasan lainnya, sehingga melanggar kebebasan orang untuk beragama dan berkeyakinan juga masih sering muncul. Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh non state  dengan 57 kasus. [2]  
Fenomena itu tidak hanya terjadi di masyarakat tapi juga di lemabaga pendidikan atau  sekolah. Survey yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat)  Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 guru pengajar agama Islam di sekolah negeri maupun swasta seluruh Jawa pada tahun 2008 memperlihatkan bahwa kebanyakan responden menolak pluralisme dan cenderung mempertahankan pandangan keagamaan konservatif dan radikal. Misalnya : 68,6 % guru agama menolak non-Muslim menjadi kepala sekolah. 33,8 % menolak guru non Muslim di sekolah mereka, 87 % mereka meminta muridnya agar tidak mempelajari agama lain.,47,5% dari mereka juga mendukung hukuman potong tangan bagi pencuri, sementara 21,3 % dari mereka mem- back up perlunya hukuman mati bagi Muslim yang murtad. Azyumardi Azra , dalam komentarnya terhadap hasil survey yang dilakukan oleh PPIM ini mengatakan : the surveyed Islamic studies teachers had probably never been exposed to pluralistic views. He said the Religious Affairs Ministry had probably encouraged them to become Islamic studies teachers , but failed to “refresh” their outdated views on Islam.” It is actually the ministry’s responsibility to counter such (anti pluralistic) views. It has to organize regular trainings for these teachers to instill wider and more comprehensive perspective into their minds.” Said Azyumardi , who is a former UIN rector. [3]
Dewasa ini juga masih sering muncul wacana yang mempertentangkan Islam dan demokrasi, Islam dan Pancasila dengan tujuan  melemahkan konsolidasi demokrasi dan  Ideologi Pancasila.    Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu contoh kelompok yang sering mempertentangkan secara terbuka antara syariah dan demokrasi , antara kedualatan Tuhan dan kedaulatan rakyat yang ujungnya mau menggantikan Negara Pancasila dengan Negara Islam (khilafat) yang cenderung teokratis.  [4]
Dewasa ini juga tampak fenomena menurunnya karakter bangsa yang ditandai dengan budaya instant dan  prilaku korup yang terjadi di mana-mana. Organisasi Fund for Peace merilis indeks terbaru mereka mengenai Failed State Index 2012 di mana Indonesia berada di posisi 63. Sementara negara nomor 1 yang dianggap gagal adalah Somalia. Dalam membuat indeks tersebut, Fund for Peace menggunakan indikator dan subindikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Dalam penjelasan mereka, dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan indeks korupsi tersebut. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup berdasarkan indeks lembaga ini, Somalia. Negara yang dianggap paling baik adalah New Zealand. [5]
Menurut survey yang dilakukan oleh KPKa (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2011,Kementrian Agama menduduki ranking pertama dalam hal korupsi diantara 22 kementrian atau lembaga negara. Kementrian ini hanya mendapat 5.37 point dari 10 point, dibawah Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi  yang mendapat 5.44 point dan Kementrian Koperasi dan UKM yang mendapat 5.52 point. Pada tahun 2012 , KPK masih menempatkan Kementrian Agama sebagai kementrian yang terkorup bersama dengan kementrian Kehutanan.[6]
Tingginya tingkat korupsi di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam menunjukkan bahwa karakter amamah/ accountability dan tabligh/ transparency belum menjadi watak yang melekat pada sebagian bangsa ini termasuk mereka orang Islam yang sedang dipercaya memegang kekuasaan.
Kondisi demikian menjadikan lembaga pendidikan juga tidak lepas dari sasaran kritik. Sebab budaya instan dan prilaku korup juga sedikit banyaknya masuk kedalam di lingkungan pendidikan melalui prilaku permissive terhadap kecurangan dan ketidakjujuran. Akhmad Muzakki ketua  LP Maarif Nahdlatul Ulama, Jawa Timur yang juga dosen IAIN Sunan Ampel in Surabaya dalam tulisannya yang berjudul “Cheating on exams and character education  mengatakan
 : Obviously, cheating is another name for dishonesty. And, dishonesty is the beginning of all evil. Ineffective management of a country is precisely a consequence of the loss of honesty.  If honesty is no longer maintained in the practice of education, then education has greatly contributed to the institutionalization of the crime itself. Therefore, the problems of the National Examination have to be strongly put within the framework of character education for the development of the nation.[7] (Jelaslah, kecurangan adalah bentuk lain dari ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran adalah awal dari kejahatan. Manajemen negeri yang tidak efektif adalah sebagai konsekwensi dari hilangnya kejujuran. Jika kejujuran tidak lagi dipertahankan dalam praktek pendidikan  maka pendidikan akan memberikan kontribusi besar bagi institusionalisasi kejahatan. Oleh karena itu problem pada ujian nasional mesti diletakkan dalam kerangka pendidikan karakter untuk pembangunan bangsa).

Singkatnya, dewasa ini terdapat fenomena maraknya orang beragama tapi tidak memiliki karakter yang baik dan fenomena orang yang taat beragama tapi gagal menjadi warganegara yang baik. Inilah masalah serius yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang dihadapi lembaga pendidikan yang memang bertugas  mempersiapkan generasi penerus bangsa ini.  Sebab jika fenomena ini tidak segera diatasi bersama maka  kesenjangan antara cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan kenyataan yang dialami oleh rakyat Indonesia akan terus melebar. 
Pada lingkup dunia pendidikan, internalisasi pendidikan karakter siswa di sekolah merupakan permasalahan yang belum terpecahkan sejalan dengan kompleksitas perubahan lingkungan yang begitu cepat dan dinamis, hal ini terjadi karena belum optimalnya perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan. Internalisasi nilai-nilai pendidikan karakter siswa terus diupayakan oleh kepala sekolah, wali kelas, guru Bimbingan dan Konseling, guru, maupun baik melalui kegiatan pembelajaran (kurikuler) maupun ekstrakurikuler, akan tetapi belum memberikan dampak yang optimal bagi peningkatan akhlak siswa baik ditinjau dari sisi proses maupun output pendidikan karakter.
Pendidikan karakter yang dilakukan guru kurang optimal karena hanya memberikan bimbingan dan pengarahan, jika siswa tersebut sudah parah dan berbagai cara sudah dilakukan, akan tetapi siswa tersebut tidak berubah, maka guru PAI menyerahkan siswa tersebut untuk ditangani oleh wali kelas sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolah. Hal ini bukan dikarenakan guru PAI tidak mampu, akan tetapi guru tidak bisa atau tidak berhak memberikan hukuman karena tugasnya hanya membimbing dan mengarahkan, bukan menghukum dan yang berhak menghukum adalah wali kelasnya.
Pada umumnya, guru belum optimal dalam menggerakkan siswa serta memberikan dorongan agar mereka mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, masih banyak guru yang belum memberikan contoh keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Guru, di samping melaksanakan tugas mengajar, juga melaksanakan tugas pembinaan bagi peserta didik, membantu pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak, menumbuhkembangkan keimanan dan ketakwaan para siswa.
Evaluasi terhadap karakter siswa masih bersifat subyektif, karena berdasarkan pada nilai akademik yang diperoleh dari ulangan harian, maupun ujian-ujian lainnya serta praktek ibadah di sekolah. Dengan kata lain, penilaian guru terhadap karakters siswa masih pada tataran penilaian kognitif siswa.
Pendidikan karakter siswa dalam konteks pandangan Islam menyentuh keseluruhan ranah pendidikan, tidak saja menyampaikan materi pengetahuan agama kepada siswa tetapi juga membimbingnya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama yang mengedepankan al-akhlaq al-karimah sebagai perilaku dasar siswa. Untuk menunjang hal tersebut, di sekolah diajarkan berbagai ilmu sebagai bekal untuk kehidupan siswa. Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, para siswa diberikan pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan tujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Dalam pendidikan Islam, Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan yang mengandung aspek keilmuan maupun kemasyarakatan. Al-Qur’an juga sebagai media penawar hati, penasehat jiwa yang gersang terhadap perilaku jahiliyah yang amoral dengan hukum rimbanya. Menjadi obat bagi segala penyakit, bagi mereka yang mengimani dan mengikuti tuntunannya.
Sebagai sumber pedoman bagi umat Islam, Al Qur’an mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia, begitu pula dengan nilai yang berkaitan pendidikan. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mengandung motivasi pendidikan bagi umat manusia. Tapi pada proposal ini penulis membatasi pada ayat-ayat yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan.
Al-Qur’an yang didalamnya mencakup nilai-nilai karakter memberikan angin segar bagi semua manusia. Misal-misal yang diberikan al-Qur’an memberikan inspirasi dan pelajaran berharga bagi mereka yang mau mendalami kandungannya. Nilai-nilai pendidikan berdasarkan Al-Quran merupakan aktualisasi kurikulum dalam pembelajaran dan pembentukkan kompetensi serta karakter peserta didik. asas pendidikan yang harus dijadikan panduan oleh setiap orang tua pada masa  kini.  
Kajian ini dimaksudkan untuk memahami maksud ayat secara mendalam di samping mengetahui garis panduan pendidikan seperti yang dikehendaki oleh Islam berdasarkan Al-Quran telah mengutarakan sebuah pendidikan yang baik selaras dengan obyektif pendidikan Islam. Al-Quran telah mengemukakan kaidah pengajaran dan persembahan isi pendidikan yang tersusun rapi, mengikuti urutan, mantap serta sangat menarik. Kaidah yang dikemukakan oleh Al-Quran menekankan perkara perintah dan larangan, yang diiringi pula dengan alasan munasabah. Aspek perintah meliputi asas kesempurnaan beragama, kepercayaan kepada hari akhirat dan keutamaan berakhlak mulia sementara aspek larangan merangkum larangan syirik dan sifat sombong.
Berdasarkan penelitian awal di beberapa sekolah menunjukkan bahwa masih banyak problema siswa tentang pelanggaran nilai-nilai/norma yang diyakini, seperti; terjadinya perkelahian antar pelajar, pergaulan bebas, merokok, narkoba, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain; arus globalisasi (internet), tayangan TV, tokoh idola fiktif, lingkungan individualis (hilangnya amar ma’ruf nahi mungkar), ketidak-harmonisan hubungan anggota keluarga, dan sistem pendidikan yang tidak konsisten. Selain itu, masih banyak ditemukan siswa yang belum bisa baca tulis Al-Quran, rendahnya pengetahuan mereka terhadap masalah-masalah ibadah seperti tata cara sholat, wudhu, puasa dan sebagainya.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan diharapkan tidak hanya sebagai tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan saja, tetapi juga diharapkan dapat memberi bekal yang cukup dalam membentuk kepribadian siswa yang tangguh dalam menghadapi era globalisasi. Demikian juga ajaran-ajaran moral dan tata nilai yang berlaku di masyarakat juga menjadi prioritas yang tidak dapat diabaikan sekolah untuk ditanamkan kepada siswa.
Guru sebagai subyek dalam pendidikan yang paling berperan sebagai pengajar dan pendidik, terutama seorang guru agama dengan misi membangun mental anak bangsa harus telah menjadi seorang yang beriman, bertaqwa dan berbudi pekerti yang luhur, tanpa ada kriteria seperti itu, maka akan mustahil akan terwujud manusia Indonesia seperti yang telah dicita-citakan oleh bangsa ini, karena seorang guru memberikan ilmu, pengetahuan dan pengalaman kepada anak didiknya ibarat memberikan sesuatu kepada anak didiknya, maka ia hanya bisa memberikan sesuatu yang hanya ia miliki. Karena itu untuk mencetak anak didik yang beriman dan bertqwa maka seorang guru harus terlebih dahulu mempunyai modal iman dan taqwa.
Untuk membentuk karakter siswa yang baik, diperlukan upaya yang sistematis, seperti halnya pembinaan karakter siswa berbasis Al-Quran untuk meningkatkan akhlak terhadap siswa. Dengan kata lain, diperlukan sebuah manajemen khusus yang dikembangkan pihak sekolah untuk meningkatkan kualitas akhlak siswa.


[2] Lihat . Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tahun Kebebasan  Beragama dan Intoleransi 2012, The Wahid Institute
[3] Lihat : Erwida Maulia,” Islamic teachers lack pluralistic perspectives”, The Jakarta Post, November 27,2008
[4] Lihat : al-Wa'ie, No. 142 Tahun XII, 1-30 Juni 2012.hlm. 19.
[6] Sumber : “ Religious Affairs  Ministry on graft red  alert “,  The Jakarta Post, February 28, 2013. 
[7] Lihat. The Jakarta Post 28 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...