Jumat, 23 Desember 2011

Upaya Meningkatan Mutu Pembelajaran


Paradigma pembelajaran di kelas dewasa ini telah mengalami pergeseran orientasi. Semula, orientasi pembelajaran itu tidak lebih sekedar penyampaian informasi kepada peserta didik. Namun sekarang, pembelajaran lebih diutamakan untuk menggali potensi peserta didik, sehingga memancar daripadanya pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilannya (psikomotor). Strategi yang digunakan pun tidak lagi sekedar pemberian materi, tetapi juga menstimulasi peserta didik agar mampu merumuskan sendiri konsep-konsep yang dipelajarinya.
Adanya pergeseran paradigma itu mejadikan peran guru di kelas berubah, dari peran yang hanya penyampai informasi (transformator) kepada peran sebagai perantara (fasilitator dan mediator). Dengan kata lain, pergeseran dari “teacher centered” ke “student centered“. Adanya pergeseran paradigma tersebut, menuntut guru untuk lebih meningkatkan kompetensinya, baik sebagai seorang profesionalisme maupun sebagai seorang craftmant (tenaga ahli dan terampil).
Meningkatkan kompetensi dilakukan oleh guru baik secara mandiri maupun dengan teman sejawat di sekolahnya. Namun adakalanya upaya secara mandiri dan dengan teman sejawat dalam satu sekolah pun seringkali tidak berjalan efektif dan kurang berkembang. Oleh karena itu diperlukan upaya lain yaitu melalui kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), yang biasanya terdiri dari guru mata pelajaran yang sejenis dari beberapa sekolah dalam satu kawasan.
Selama ini kegiatan MGMP ternyata belum berjalan optimal dan masih bersifat insidental, terutama bila sudah mendekati pelaksanaan Ujian Nasional. Sehingga MGMP hanya sebatas mencari strategi-strategi untuk penyelesaian soal-soal ujian belaka, belum menyentuh pada pembahasan menyeluruh untuk menemukan pemecahan dalam kesulitan belajar. Tidak berjalannya kegiatan MGMP secara optimal belakangan ini terpecahkan dengan digulirkannya kegiatan pelatihan guru berbasis sekolah yang dinamakan dengan Lesson Study.
Kelebihan dari metode ini adalah, peran guru yang dapat berubah-ubah: siapapun dapat berperan sebagai guru pengajar dalam satu waktu dan menjadi guru pengamat di lain waktu. Pergantian peran ini menciptakan rasa saling mengerti serta mendukung di antara guru dan secara efektif meningkatkan mutu proses belajar-mengajar. Bermacam-macam istilah yang digunakan untuk metode sejenis ini di berbagai sumber pustaka, misalnya ”action research“, “coaching“, dan “clinical supervision“. Dalam program ini, lesson study akan digunakan sebagai istilah umum untuk kegiatan yang berusaha untuk mengembangkan profesi guru.
Revolusi pembelajaran yang dilakukan melalui kegiatan Lesson Study telah menunjukkan hasil yang luar biasa. Indikator keberhasilannya dapat dilihat diantaranya:
1.    Tumbuhnya semangat guru dalam mencari dan menerapkan berbagai metoda atau strategi pembelajaran. Hal ini dikarenakan setiap dilaksanakan implementasi lesson study, guru dituntut untuk memilih metoda atau strategi pembelajaran yang lain dari yang pernah dipakai dalam implementasi-implementasi sebelumnya.
2.    Tumbuhnya prinsip kolegalitas diantara guru-guru mata pelajaran, khususnya yang sejenis. Hal ini ditunjukkan dengan semakin efektifnya kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sebelumnya, kegiatan MGMP hanya terbatas bila menghadapi Ujian Nasional saja. Bahkan kegiatan MGMP pun biasanya diselenggarakan oleh sub rayon, bahkan rayon, yang tentu secara domisili kesulitan dijangkau oleh transportasi, terutama di sekolah-sekolah yang berada di pinggiran. Melalui kegiatan MGMP yang diselenggarakan di Base Camp, lebih mudah dijangkau oleh guru-guru anggota MGMP, sehingga silaturrahmi dan kolegalitas, sebagai ruh lesson study.
3.    Dukungan moril dan materil dari pimpinan sekolah semakin kuat. Hal ini bisa dilihat pada setiap kegiatan lesson study melalui MGMP mendapat dukungan dari kepala sekolah. Bahkan hampir setiap kegiatan lesson study dihadiri langsung oleh kepala sekolah-kepala sekolah, khususnya dalam satu base camp. Tentunya dengan dukungan yang besar dari pimpinan akan memberi motivasi bagi untuk mengikuti kegiatan MGMP. Tetapi sebaliknya bila pimpinan sekolah tidak memberi motivasi, maka gurunya pun tidak akan semangat mengikuti kegiatan MGMP.
4.    Guru mendapat banyak pencerahan, selain dari teman sejawat, juga dari para dosen pembimbing (fasilitator) yang setiap pertemuan selalu hadir untuk memberikan dukungan, baik ketika melakukan PLAN (perencanaan), DO (pelaksanaan/implementasi) dan SEE (refleksi). Dengan kehadiran para dosen tersebut, guru semakin banyak mendapat pencerahan serta termotivasi untuk melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran. Hal ini tentu berbeda bila melalui kegiatan MGMP konvensional.
Di samping itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001:87), sebagai berikut:
Dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “online” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb.

Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet.
Menurut Rosenberg (2001; 28), e-learning merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu: (1) e-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau informasi, (2) pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar, (3) memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran dibalik paradigma pembelajaran tradisional. Saat ini e-learning telah berkembang dalam berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti: CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning Syatem), LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training), dan sebagainya.
Untuk dapat memanfaatkan TIK dalam memperbaiki mutu pembelajaran, ada tiga hal yang harus diwujudkan yaitu (1) siswa dan guru harus memiliki akses kepada teknologi digital dan internet dalam kelas, sekolah, dan lembaga pendidikan guru, (2) harus tersedia materi yang berkualitas, bermakna, dan dukungan kultural bagi siswa dan guru, dan (3) guru harus memilikio pengetahuan dan ketrampilan dalam menggunakan alat-alat dan sumber-sumber digital untuk membantu siswa agar mencaqpai standar akademik.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan TIK, maka telah terjadi pergeseran pandangan tentang pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam pandangan tradisional di masa lalu, proses pembelajaran dipandang sebagai: (a) sesuatu yang sulit dan berat, (b) upaya mengisi kekurangan siswa, (c) satu proses transfer dan penerimaan informasi, (d) proses individual atau soliter, (e) kegiatan yang dilakukan dengan menjabarkan materi pelajaran kepada satuan-satuan kecil dan terisolasi, (f) suatu proses linear.
Sejalan dengan perkembangan TIK telah terjadi perubahan pandangan mengenai pembelajaran yaitu pembelajaran sebagai: (1) proses alami, (2) proses sosial, (3) proses aktif dan pasif, (4) proses linear dan atau tidak linear, (5) proses yang berlangsung integratif dan kontekstual, (6) aktivitas yang berbasis pada model kekuatan, kecakapan, minat, dan kulktur siswa, (7) aktivitas yang dinilai berdasarkan pemenuhan tugas, perolehan hasil, dan pemecahan masalah nyata baik individual maupun kelompok.
Semua hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Siswa memerlukan bimbingan baik dari guru maupun dari orang tuanya dalam melakukan proses pembelajaran dengan dukungan TIK. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting dan harus menguasai seluk beluk TIK dan yang lebih penting lagi adalah kemampuan memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber informasi.
Kemajuan teknologi komunikasi ini dikemukakan oleh Gerstmer, Jr. dkk (1995), bahwa:
Di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada.

Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru. Disamping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa.  
Di samping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luar mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas profesionaliemenya.

Filsafat Pendidikan Islam


Filsafat yang dianut dalam pendidikan Islam berdasarkan ajaran Islam. Pendidikan Islam berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikannya atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Al-Syaibany (1979:30), mengemukakan sebagai berikut:
Memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.

Al-Syaibany (1979:31) menegaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut:
(1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; (5) bersifat universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.

Dalam kaitannya dengan alam, menurut Al-Syaibany terdapat beberapa prinsip Filsafat Pendidikan Islam tentang alam, antara lain yakni:
a.       Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa pendidikan Islam sebagai proses pembentukan pengalaman dan perubahan tingkah laku, baik individu maupun masyarakat hanya akan berhasil apabila terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungan alam sekitarnya tempat mereka hidup. Seluruh makhluk, baik benda ataupun alam sekitar, dipandang sebagai bagian alam semesta. Oleh karena itu, proses pendidikan manusia dan peningkatan mutu akhlaknya, bukan sekedar terjadi dalam lingkungan sosial (sesama manusia) semata, tapi juga dalam lingkungan alam yang bersifat material.
b.      Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta atau universe, baik yang materi maupun bukan, memiliki hukumnya sendiri-sendiri. Hal ini harus diteliti dan dipelajari dalam pendidikan Islam agar peserta didik mampu mengenali hukum-hukum yang mengendalikan alam semesta ini sehinga memiliki keteraturan dan keharmonisan dalam kehidupan.
c.       Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta yang terbagi dalam dua kategori (alam materi dan alam ruh), harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu pendidikan Islam harus memperhatikan kedua hal ini secara seimbang, karena kehidupan manusia yang sempurna tidak akan terwujud hanya dengan memperhatikan salah satunya.
d.      Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta yang berjalan dengan teratur ini, harus dipahami sebagai keajaiban dan keagungan Sang Pencipta. Olehnya itu, dari sikap ini diharapkan akan menambah iman atau keyakinan bahwa manusia tidak berdaya dihadapan Allah yang telah membuat dan mengatur alam ini sedemikian harmonis dan teraturnya.
e.       Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta ini bukanlah musuh bagi manusia, dan bukan penghalang bagi kemajuan peradaban manusia, melainkan alam merupakan teman dan alat bagi kemajuan manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus senantiasa diarahkan agar dapat menanamkan pemahaman kepada peserta didik tentang bagaimana mengelola alam dan memanfaatkannya secara bijaksana demi kepentingan umat manusia.
f.       Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta dan seisinya ini bersifat baru (tidak kekal). Prinsip ini dapat dijadikan sebagai pegangan pendidikan Islam bahwa hanya Allahlah yang bersifat kekal dan abadi.

Dengan berpegang dari beberapa prinsip tersebut di atas, filsafat pendidikan Islam akan dapat menentukan arah pemikiran dan implementasi pendidikan Islam di antara filsafat-filsafat pendidikan lainnya. Di samping itu, sebagai sebuah disiplin ilmu maka filsafat pendidikan Islam dapat pula menentukan sikapnya dari permasalahan-permasalahan seputar alam. Sikap ini pada akhirnya akan melahirkan berbagai prinsip yang dapat dijadikan sebagai landasan filosofis dalam menentukan tujuan, metode, kurikulum, dan berbagai komponen lainnya dalam pendidikan Islam.
Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Mulkhan (1993:213), dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan. Obyek formal pendidikan Islam adalah aspek khusus usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan.
Filsafat pendidikan Islam merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan Islam. 
Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Islam dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Dalam berbagai riwayat Nabi Muhammad Saw, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education).
Dari uraian di atas, terlihat bahwa Islam sejak awal telah melakukan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh amat strategis dalam mengangkat martabat kehidupan manusia. Pendidikan dalam Islam merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dari kehinaan menuju kemuliaan, dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Landasan pendidikan Islam sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran “Dan demikian Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya Kami benar-benar benar memberi petunjuk kepada jalan yang benar (QS. Asy-Syura:52). Hadits Nabi Muhammad Saw: “Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan” (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin: 90). Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya mencakup seluruh aspek kehidupan.
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan, memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan semata-mata teknologi, ia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya di dalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya. Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan, akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal.
Sebagai ajaran, Islam mengandung sistem nilai di mana proses pendidikan berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan pendidikan Islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al-Quran dan Hadits, meliputi empat pengembangan fungsi manusia:
1.        Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya di tengah-tengah mahluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2.        Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3.        Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya.
4.        Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap mahluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan mahluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya (Mulkhan, 1993:214).

Filsafat pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Ahmad Tafsir (2000:140 memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan ilmu (sains), dan filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat  ialah jenis pengetahuan manusia yang logis saja, tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu ialah jenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggung jawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.
Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin (2005:65) adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada apa saja potensi yang dimiliki manusia. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits terdapat istilah fitrah, samakah potensi dengan fitrah tersebut. Potensi dan atau fitrah apa dan di mana yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam. Apakah potensi dan atau fitrah itu merupakan pembawaan yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor ajar.
Analisis epistemologis tentang pendidikan Islam terkait dengan landasan dan metode pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya menyentuh filsafat tentang manusia.  Kegiatan pendidikan adalah kegiatan mengubah manusia sehingga mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan oleh manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan hal ini dapat terjadi jika manusia memang “animal educandum, educabile, dan educans”.
Secara epistemologis bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans tersebut merupakan hasil analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Analisis epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan menurut Dimyati (2002:5) telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat khusus. Secara analisis pragmatis, kegiatan pendidikan dipandang sebagai bagian integral kebudayaan; dalam hal ini kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia. Implikasinya, dapat diilustrasikan jika manusia dipandang sebagai mahluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap manusia adalah membuat manusia menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Aksiologi pendidikan Islam bahwa masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muhammad sendiri diutus untuk misi utama memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak umat manusia.
Pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan, tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut. Dalam masalah etika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah dan menyukai keindahan.
Pendidikan Islam sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan seni tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah. Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi.  
Bagi Ahmad Sanusi (2009:iii), ajaran Islam bisa diwujudkan dalam peradaban manusia sehingga rahmatan lil alamin-nya Islam dirasakan di segenap penjuru bumi ini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nilai-nilai keislaman perlu menjadi acuan tindakan untuk segenap tindakan di ruang privat maupun publik. Upaya mewujudkan gagasan dalam dunia sosial itu menggunakan dua perangkat dasarnya yang penting yaitu manajemen strategik yang melihat kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman yang ada di lingkungan eksternal. Di samping menggunakan manajemen mutu terpadu, yang mengajarkan apa yang kita lakukan agar tambah hari tambah baik, tambah bermutu, tambah produktif dan tambah efektif dan efisien.
Konsep evolusi kesadaran yang pada puncaknya tertingginya adalah terbentuknya masyarakat ko-kreatif yang terbentuk dari individu yang berubah paradigmanya, lalu membentuk individu ko-kreatif dan komunitas ko-kreatif. Ko-kreatif ini adalah sama-sama membangun kemaslahatan di tengah-tengah kehidupan. Individu yang berakhlak membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, lalu masyarakat marhamah yang akhirnya membentuk masyarakat atau Negara baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur.

Rabu, 07 Desember 2011

Konsep Dasar Management Strategik


Mintzberg (1990: 179) mengemukakan tentang manajemen strategik sebagai berikut:
Strategic management is a quickly developing field of study that has emerged in response to this environment of increasing turbulence. This field of study looks at the corporation as awhole and attemps to explain why some firms develop and thrive while others stagnate and go bankrupt. The distinguishing characteristic of strategic management is its emphasis on strategic decision making.
David (2006: 5) mendefinisikan manajemen strategik sebagai seni dan ilmu untuk merumuskan, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan strategik lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya.
Robson (1997: 3) dalam mendefinisikan manajemen strategik lebih peduli sebagai:
 a decision making process (often called planning) and a product (often called a strategy). There are many ways of thinking about both the product and the process. The thinking about both is often called strategic management.

Istilah manajemen strategik dalam buku teks digunakan secara umum dalam bidang akademik, sedangkan istilah perencanaan strategis lebih sering digunakan dalam dunia bisnis. Istilah manajemen strategik biasa diasosiasikan dengan tahap formulasi, implementasi, dan evaluasi strategi, sedangkan perencanaan strategis hanya mengacu pada formulasi strategi.
Robson (1997: 45) menegaskan bahwa nilai perencanaan bersifat mutlak. Baginya, kegagalan kita dalam perencanaan sama saja dengan kita merencanakan untuk gagal "if we fail to plan we plan to fail".
Berkenaan dengan perencanaan strategik Castetter (1996: 38) mengemukakan bahwa:
 Planning is humanity's way of projecting intensions. Because it deals with concepts of the future, problems requiring imagination and choice, deliberate forethought, and atttainment by design, it represent a most appealing and challenging endeavor. It is recognized as an organization's most reliable way of realizing goals. It is the antithesis of expediency, laissez-faire, and indirection.

Dengan kata lain, melalui perencanaan strategik terjadi upaya bagi pembentukan masa depan sistem.
Berdasarkan definisi serta uraian tentang manajemen strategik yang dikemukakan di atas maka manajemen strategik dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses manajemen terhadap strategi yang meliputi tahapan-tahapan perumusan, pengimplementasian, dan pengevaluasiannya serta mempersiapkan serangkaian langkah sebagai strategi alternatifnya yang didasarkan pada analisis untuk menentukan faktor-faktor strategisnya, yang mana semua proses tersebut berjalan di seluruh tingkatan hirarki dalam organisasi tersebut.
Ackoff (1970: 2-4) mendefinisikan perencanaan sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang khusus. Ia mengemukakan kekhususannya sebagai  berikut:
 (a) Planning is something we do in advance of taking action, that is,it is anticipatory decision making; (b) Planning is required when the future state that we desire involves a set of interdependent decisions, that is, a system of decisions; and (c) Planning is a process directed toward producting one or more future states that are desired and are not expexted to occur unless something is done.

Manajemen strategik muncul untuk mengatasi meningkatnya kompleksitas, hal-hal baru yang tak terduga dan perubahan yang terjadi dengan cepat di masa depan.
Sementara strategi merupakan pola atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan, dan tindakan yang berurutan dari sebuah organisasi menjadi sebuah kesatuan yang utuh untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Definisi tentang strategi ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hax (1987) yang dikutip Robson (1997: 4), dan Robson (1997: 5).
Definisi strategi juga dapat dikemukakan sebagai penetapan langkah-langkah yang akan ditempuh melalui pengevalusian internal dan eksternal yang melibatkan seluruh komponen organisasi termasuk personilnya untuk mencapai keberlangsungan dan keunggulan organisasi.
Dalam perspektif manajemen strategik, strategi merupakan sebuah langkah dalam suatu tindakan logis berkelanjutan yang menggerakkan sebuah organisasi dari suatu yang tinggi tingkatannya yaitu pernyataan misi menjadi kinerja yang sukses melalui manajer tingkat menengah dan bawah, para pegawai dalam sistem organisasi itu yang berada di garis depan maupun belakang. Dalam organisasi besar, pada dasarnya ada empat tingkatan strategi: korporasi, divisional, fungsional, dan operasional. Tetapi, dalam organisasi kecil, pada dasarnya ada tingkatan strategi: korporasi, fungsional, dan operasional.
 Beberapa aspek penting pandangan tentang strategi yang lebih baru dan berkembang yaitu: Strategi dapat diganti walaupun aspek perencanaan harus tetap, Tahap perumusan dan pengimplementasian strategi saling terkait, Gagasan strategik dapat timbul dari seluruh organisasi, dan Strategi adalah sebuah proses.

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...