Di kalangan NU, pengertian istinbath adalah menggali secara
langsung dari al-qur’an dan hadits, dengan cenderung ke arah perilaku Ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa
sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang didasari oleh mereka. Oleh
karenanya para ulama NU menggunakan Istinbath
ke arah yang tidak mengambil langsung dari sumber aslinya, karena mereka
menganggap lebih praktis dan dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah
memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologi yang baku.
Metode Istinbath yang digunakan Lanjah Bahtsul Masa’il NU tidak mengambil
langsung dari sumber aslinya yakni al-Qur’an dan Hadits melainkan sesuai dengan
sikap dasar bermadzhab NU, dalam memutuskan dan menetapkan suatu masalah
keagamaan dengan Mentathbiqkan
(memberlakukan) secara dinamis dari nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan
yang dicari hukumnya.
Dalam mencari dan
memberikan solusi jawaban terhadap kepastian hukumnya, prosedur yang digunakan
Lajnah Bahtsul Masa’il dapat disusun sesuai dengan urutan-urutannya diantaranya
sebagai berikut:
a.
Untuk menjawab masalah yang
jawabannya cukup dengan menggunakan ‘ibarah
kitab, dan dalam kitab tersebut hanya ada satu qaul/wajah, maka qaul/wajah
yang ada dalam íbarah kitab itulah yang digunakan sebagai
jawaban.
b.
Bila dalam menjawab masalah
masih mampu menggunakan ‘ibarah kitab, tapi
ternyata lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’iy, yang berfungsi untuk memilih satu qaul/wajah.
c.
Bila dalam menjawab masalah
tidak menemukan jawabannya dengan menggunakan ’ibarah kitab, dalam suatu kitab maka yang perlu dilakukan adalah al-ilhaqiy al-masa’il bi nadzair (menyamakan
hukum suatu kasus yang belum ada ketetapan hukumnya) dengan menserupakan serta
menyamakan suatu kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya yang sudah jadi. Dengan
kata lain bisa dikatakan hampir mirip dengan qiyas.
d.
Bila dalam menjawab masalah
tidak ditemukan satu qaul/wajh sama
sekali, dengan menggunakan ’ibarah kitab
sedangkan sudah
menggunakan ilhaqiy hasilnya pun
masih belum bisa untuk disamakan ketetapan hukumnya, maka yang dilakukan adalah
istinbath jama’iy (dengan membahas
dan mengambil keputusan bersama secara kolektif), sesuai dengan mengikuti jalan
pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Dengan kata
lain dapat dikatakan ’ijma.
Terdapat tiga metode dalam pengambilan hukum
di Nahdlatul Ulama, yakni sebagai berikut:
Metode ini adalah suatu cara istinbath hukum yang digunakan oleh
ulama NU, dengan mempelajari masalah-masalah yang dihadapi, kemudian mencari
jawabannya kitab-kitab fiqih dari empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk
secara langsung pada bunyi teksnya. Dengan kata lain mengikuti
pendapat-pendapat yang sudah ada jadi dalam lingkup madzhab tertentu.
Adapun prosedur dalam pelaksanaan metode Qauliy sebagaimana bahwa pemilihan
qaul/wajah ketika dalam suatu masalah dijumpai maka yang dilakukan yakni:
a.
Mengambil pendapat yang
lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
b.
Sedapat mungkin dengan
melaksanakan ketentuan pada Muktamar, bila ada perbedaan pendapat diselesaikan
dengan berurutan pada pengambilan qaul/wajah
dengan kitab-kitab yang mu’tabarah
(diakui).
Contoh penerapan metode qauliy ialah pada keputusan Muktamar I Surabaya, 21-23 September
1926:
Soal:
Bolehkah menggunakan hasil
dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena itu
termasuk “sabilillah” sebagaimana
kutipan Imam al-Qaffal?
Jawaban:
Tidak Boleh. Karena yang
dimaksud dengan “sabilillah” ialah
mereka yang berperang dalam sabilillah.
Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da‟if
(lemah).
Dasar:
Dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al-Munir juz I: “dan
mereka sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan
masjid atau mengafani (membungkus) mayat”
“dan al-Qaffal mengutip dari sebagian
fuqaha‟, bahwa mereka memperbolehkan membelanjakan harta zakat untuk semua segi
kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun benteng dan memakmurkan masjid,
karena firman-Nya. Fi sabilillah (di jalan Allah) itu umum mencakup semuanya. (Tafsir al-Munir)”.
2.
Metode Ilhaqiy
Metode ini digunakan apabila tidak dapat
dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka
dilakukan yakni menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh
kitab mu’tabar (belum ada ketetapan
hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada
ketetapan hukumnya), dan menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”. Adapun
prosedur metode ilhaqiy yang harus
dipenuhi yakni persyaratan (unsur) diantaranya: adanya mulhaq bih (sesuatu yang
belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq
‘alaih (sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya), dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq ‘alaih) oleh para mulhiq
(pelaku ilhaq) yang ahli.
Dalam prakteknya metode ilhaqiy dapat dikatan serupa dengan Qiyas baik dalam prosedur dan persyaratannya. Oleh karenanya, ulama
NU menyebutnya metode qiyasiy versi
NU. Akan tetapi dari keduanya (metode ilhaqiy
dan qiyas) memiliki perbedaan yakni ilhaq menyamakan hukum sesuatu yang
belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya
berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar).
Sedangkan qiyas menyamakan hukum
sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang
sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Contoh penerapan metode ini ialah pada
muktamar II di Surabaya 9-11 oktober 1927 yaitu:
Soal:
Sahkah jual beli petasan
(mercon) untuk merayakan hari raya atau pengantin dan lain-lain sebagainya?
Jawab:
Jual beli tersebut hukumnya
sah!. Karena ada maksud baik, ialah adanya perasaan gembira menggembirakan hati
dengan suara petasan itu.
Dasar:
Dari kitab I‟anah at-Talibin Juz III/121-122: “adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan,
pakaian, hadiah yag tidak sesuai dengannya, maka tidak termasuk sia-sia.
Artinya menurut pendapat terkuat, karena didalamnya mengandung tujuan yang
benar, yaitu mendapatkan pahala atau bersenang-senang. Oleh karenanya dikatakan
dalam hal kebaikan tidak ada yang namanya israf dan tidak ada kebaikan di
dalamnya”.
Kitab al-Bajuriy/ 652-654 bab
perdagangan: “menjual sesuatu yang dapat
dilihat artinya dapat dihadirkan maka diperbolehkan jika memenuhi syarat, yaitu
suci, dapat dimanfaatkan, diserahkan dan dimiliki pembeli”. Kitab Al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab juz
III/24:
“dan benar dalam memberikan dalih bahwasanya rokok dapat
dimanfaatkan oleh pembeli yaitu menghisapnya, mengingat rokok termasuk
diperbolehkan karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka manfaatnya
tergolong boleh. Namun dalam penjelasannya, asy-Syaikh rupanya menetapkan
haramnya, dan karena itu perlu dibedakan antara sedikit dan banyaknya
sebagaimana diketahui dari uraian sebelumnya. Periksalah”.
Dari penjelasan di atas,
hukum jual beli petasan untuk kesenangan dibolehkan, karena membelanjakan harta
untuk kebaikan dan kesenangan diperbolehkan (I’anah),
terdapatnya barang yang diperjual belikan serta suci lagi bermanfaat (al-Bajuriy), dan tidak ada dalil
pengharamannya seperti rokok (al-Jamal).
3.
Metode Manhajiy
Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan keagamaan yang ditempuh
oleh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum
yang telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain, metode Manhajiy bisa dikatakan dengan ber-ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama NU secara Kolektif.
Sebagaimana metode qauliy dan ilhaqiy, sebenarnya metode manhajiy sudah diterapkan oleh para
ulama terdahulu, walaupun tidak dengan istilah manhajiy dan tidak pula diresmikan melalui sebuah keputusan.
Dengan demikian, secara
ringkas dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il
lebih dominan terhadap teks-teks pendapat imam madzhab (Qaul) dari kitab-kitab mu’tabarah
(diakui) dengan dipadukan metode Qauliy yang
sering digunakan sebagai konteks Ijtihad dengan pemahaman metode Bayaniy.
Metode bayaniy adalah suatu cara Istinbath (penggalian dan penetapan)
hukum yang bertumpuan pada kaidah-kaidah Lughawiyyah (kebahasaan) atau makna
lafadz.
Setidaknya dengan metode qauliy yang digunakan Lajnah Bahtsul
Masa’il merupakan metode yang paling dominan dipakai dalam menjawab segala
kebutuhan masyarakat dengan tantang zaman yang semakin berkembang pesat.
Contoh penerapannya ialah
pada Muktamar I 1926 yaitu:
Soal:
Dapat pahalakah sodaqoh
pada mayat?
Jawab:
Dapat.
Dasarnya:
Dalam kitab al-Bukhoriy bab “janazah” dan kitab al-Muhadzdzab bab “wasiyat”: “Ibn Abbas meriwayatkan bahwasanya ada
seseorang bertanya pada Rasulullah SAW; sungguh ibuku telah meninggal, apakah
dia dapat meperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka beliau
menjawab Ya, dapat. Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka
kupersaksikan kepadamu, bahwasanya saya telah menyedekahkannya untuk dia”.
Keputusan di atas
dikategorikan sebagai metode manhajiy
karena merujuk pada hadits yang merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran
yang disusun keempat Imam madzhab. Dalam pelaksanaan Bahtsul Masail sendiri
yang menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan hukum ialah kembali pada
tujuan dari adanya hukum itu sendiri yaitu kemaslahatan. Untuk memperhatikan
nilai-nilai kemaslahatan. Maslahah sendiri ialah sebuah ungkapan yang pada
intinya merupakan keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau
kerugian.
Ukuran atau syarat yang
lebih konkret tentang kemaslahatan jika disimpulkan dari penjelasan Imam
Al-Ghazali dalam al-Mustashfa, Imam
Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan
ulama kontemporer seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf adalah:
a. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqâshid al-syarî‟ah, semangat ajaran,
dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya
b. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya
kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak
meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat;
c. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan
mendatangkan kesulitan yang di luar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa
dilaksanakan.
Berdasarkan penjelasan di
atas ketika ingin memutuskan suatu hukum yang baru tentunya yang menjadi fokus
utama ialah tidak melenceng dari tujuan adanya hukum itu sendiri serta
dampaknya pada masyarakat, apakah hal tersebut akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat
atau justru menimbulkan chaos
(perpecahan), baik antara masyarakat itu sendiri maupun dengan pemerintah.
Serta dapat dengan mudah dilakukan dan tidak terdapat kesulitan yang tidak
wajar di dalamnya, Oleh karena itu kemashlahatan menjadi fokus utama dalam
pengambilan keputusan dalam pelaksanaan Bahtsul Masail.
Seiring berjalannya waktu
sejak pertama kalinya Muktamar dilaksanakan pada tahun 1926 sampai Muktamar saat
ini, Lajnah Bahtsul Masa’il yang semula hanya terbagi dua sub-komisi, kini
telah bertambah satu sub-komisi menjadi tiga sub-komisi, yaitu: Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah
(pengkajian masalah keagamaan aktual yang terjadi dan berkembang di masyarakat
sosial untuk memperoleh kepastian hukumnya), Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Maudhu’iyyah (pengkajian masalah keagamaan konseptual), dan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah Qanunniyyah (pengkajian masalah keagamaan
bentuk perundang-undangan).
Dengan mengambil pembahasan
pada pandangan NU tentang respon Islam terhadap demokrasi, para ulama merumuskannya ke dalam bahasan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Maudhu’iyyah dengan tujuan awal
membina dan membimbing masyarakat
serta menjawab persoalan-persoalan agama yang terjadi dikalangan masyarakat
yang lebih terperinci.
Melihat dari
perkembangannya, situasi kondisi sosial masyarakat saat ini, pengambilan
keputusan pada Lajnah Bahtsul Masa’il khususnya pada kategori al-Maudhu’iyyah mengenai demokrasi,
yakni terlihat liberal karena tidak adanya kutipan-kutipan kitab-kitab klasik.
yang dijadikan referensi atau rujukan dalam pembahasannya. dengan hanya
mengambil dan menggunakan al-Qur’an dan Hadits untuk dijadikan rujukan utama
yang dibahas.