Madrasah,
sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional. Hal itu sejalan
dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan
pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Kata madrasah dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan
tempat" (zharaf makan) dari akar
kata darasa. Secara harfiah madrasah diartikan sebagai "tempat
belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".
Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata
"midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari"
atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga
diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat".
Kata madrasah juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar
kata yang sama yaitu darasa, yang
berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk
belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata madrasah mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata madrasah memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya
kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia,
melainkan dari bahasa asing, yaitu school
atau scola.
Sungguhpun secara teknis,
yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara
formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia
madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang
lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak
didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan
(dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya memang
ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan
ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang
hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata
"madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah"
sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama"
atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
Para ahli sejarah
pendidikan seperti Tibawi dan Nakosteen (1962:227) mengatakan bahwa:
Madrasah
(bahasa Arab) merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang luas di dunia Islam
(klasik) pra-modern. Artinya, secara istilah madrasah di masa klasik Islam
tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia.
Para peneliti sejarah pendidikan Islam menulis kata tersebut secara bervariasi
misalnya, schule atau hochschule
(Jerman), school, college atau academy (Inggris).
Nakosteen (1996:6)
menerjemahkan madrasah dengan kata university
(universitas). Ia
juga menjelaskan bahwa:
Madrasah-madrasah di masa klasik Islam
itu didirikan oleh para penguasa Islam ketika itu untuk membebaskan masjid dari
beban-beban pendidikan sekuler-sektarian. Sebab sebelum ada madrasah, masjid
ketika itu memang telah digunakan sebagai lembaga pendidikan umum. Tujuan
pendidikan menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk-pikuk,
sementara beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhusukan
beribadah.
Itulah sebabnya, kata
Nakosteen, pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam
masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Maka dicarilah lembaga
pendidikan alternatif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum,
dengan tetap berpijak pada motif keagamaan. Lembaga itu ialah madrasah. Makdisi
(1970:257-2650 berpendapat bahwa:
Terjemahan kata "madrasah"
dapat disimpulkan dengan tiga perbedaan mendasar yaitu: Pertama, kata
universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas atau
sekelompok sarjana dan mahasiswa, Kedua; merujuk pada sebuah bangunan tempat
kegiatan pendidikan setelah pendidikan dasar (pendidikan tinggi) berlangsung.
Ketiga; izin mengajar (ijazah al-tadris,
licentia docendi) pada madrasah diberikan oleh syaikh secara personal tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan.
Erat kaitannya dengan
penggunaan istilah '''madrasah" yang menunjuk pada lembaga pendidikan,
dalam perkembangannya kemudian istilah "madrasah" juga mempunyai
beberapa pengertian di antaranya: aliran, mazhab, kelompok atau golongan
filosof dan ahli pikir atau penyelidik tertentu pada metode dan pemikiranyang
sama.
Munculnya pengertian ini
seiring dengan perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menjadi
lembaga penganut dan mengembangkan pandangan atau aliran dan mazdhab pemikiran (school of thought) tertentu.
Pandangan-pandangan atau aliran-aliran itu sendiri timbul sebagai akibat
perkembangan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan ke berbagai bidang yang
saling mengambil pengaruh di kalangan umat Islam, sehingga mereka dan berusaha
untuk mengembangkan aliran atau mazhabnya masing-masing, khususnya pada periode
Islam klasik. Maka, terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok
pemikiran, mazhab, atau aliran tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagian besar
madrasah yang didirikan pada masa klasik itu dihubungkan dengan nama-nama
mazhab yang terkenal, misalnya madrasah Safi'iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan
Hambaliyah. Hal ini juga berlaku bagi madrasah-madrasah di Indonesia, yang
kebanyakan menggunakan nama orang yang mendirikannya atau lembaga yang
mendirikannya.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di
Indonesia merupakan simbiosis mutualistis antara masyarakat Muslim dan madrasah
itu sendiri. Secara historis kelahiran madrasah tidak bisa dilepaskan dari
peran atau partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan. Pendidikan
madrasah di Indonesia yang lahir pada awal abad ke-20 dengan munculnya Madrasah
Mambaul Ulum di Keraton Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan
oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Kuntowijoyo; 1994).
Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan Islam yang telah
ada, yakni antara pengaruh pembaharuan Islam di Timur Tengah, pendidikan Barat
dan tradisi pendidikan Islam di Indonesia (baca pesantren). Pembaharuan
tersebut meliputi tiga hal, yaitu: usaha penyempurnaan sistem pendidikan
pesantren, penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan menjembatani antara
sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat (Karel
Stenbrink, 1984).
Dengan kata lain, munculnya sistem pendidikan madrasah
juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan Hindia Belanda pada
saat itu. Politik pendidikan Hindia Belanda yakni dengan membuka lebih luas
kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula hanya terbatas pada
kaum bangsawan, di samping merupakan politik etik, balas budi, juga merupakan
salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan masyarakat pribumi
melalui jalur pendidikan (Zamakhsyari Dhofier, 1984).
Melihat fenomena ini, maka pada awal abad ke-20 dalam
kehidupan pesantren terjadi suatu perubahan penting, yakni dimasukkannya sistem
madrasah/klasikal ke dalam pesantren. Dalam bahasa yang sederhana dapat
dikatakan bahwa madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga
persekolahan ala Belanda yang diberi muatan agama. Hal ini dianggap sebagai
imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-sekolah yang memakai sistem
pendidikan Barat (Ensiklopedi Islam, 1993).
Madrasah di Indonesia
dalam sejarahnya yang cukup panjang telah mengalami gelombang pasang surut dan
benturan-benturan kepentingan tertentu. Kadang-kadang madrasah dijadikan anak
emas yang dielu-elukan sebagai pengawal moralitas. Pada saat pemilihan anggota
legislatif, pemilihan calon presiden dan pemilihan calon kepala daerah,
komunitas madrasah menjadi primadona, mereka datang silih berganti, ada yang
minta doa sekaligus menarik simpati para kyai dan ustadz untuk kepentingan
politik. Namun setelah usai dan berhasil, terkadang madrasah ditendang, dipaku
dan dianaktirikan dengan alasan otonomi daerah dan tidak ada payung hukum untuk
membantu madrasah.
Sebenarnya, dengan kehadiran UU Nomor 20 tahun 2003, madrasah mendapatkan legitimasi yang cukup meyakinkan, yang diantaranya bahwa madrasah disejajarkan dengan lembaga pendidikan umum.
Sebenarnya, dengan kehadiran UU Nomor 20 tahun 2003, madrasah mendapatkan legitimasi yang cukup meyakinkan, yang diantaranya bahwa madrasah disejajarkan dengan lembaga pendidikan umum.
Penamaan lembaga
pendidikan di Indonesia dewasa ini pada umumnya merupakan pinjaman dari bahasa
Barat, seperti universitas (dari university),
sekolah (dari school), akademi (dari academy), dan lain-lain. Akan tetapi,
tidak demikian halnya dengan madrasah. Penerjemahan kata madrasah ke dalam
bahasa Indonesia dengan mengaitkan pada bahasa Barat dianggap tidak tepat. Di
Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata aslinya, madrasah, kendatipun
pengertiannya tidak lagi persis dengan apa yang dipahami pada masa klasik,
yaitu lembaga pendidikan tinggi, karena bergeser menjadi lembaga pendidikan
tingkat dasar sampai menengah. Pergeseran makna dari lembaga pendidikan tinggi
menjadi lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah itu, tidak saja terjadi
di Indonesia, tetapi juga di Timur Tengah sendiri.
Sejauh ini tampaknya belum
ada data yang pasti kapan istilah madrasah, yang mempunyai pengertian sebagai
lembaga pendidikan, mulai digunakan di Indonesia. Para peneliti sejarah
pendidikan Islam pun pada umumnya lebih tertarik membicarakan sistem pendidikan
atau pengajaran tradisional Islam yang digunakan baik di masjid, surau (Minangkabau), pesantren (Jawa),
dan lain-lain, daripada membicarakan madrasah.
Dalam beberapa hal,
penyebutan istilah madrasah di Indonesia juga seringkali menimbulkan konotasi
"ketidakaslian", dibandingkan dengan sistem pendidikan Islam yang
dikembangkan di masjid, dayah (Aceh),
surau (Minang-kabau), atau pesantren
(Jawa), yang dianggap asli Indonesia. Berkembangnya madrasah di Indonesia di
awal abad ke-20 M ini, memang merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan
Islam yang dilakukan para cendikiawan Muslim Indonesia, yang melihat bahwa
lembaga pendidikan Islam "asli" (tradisional) tersebut dalam beberapa
hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Di samping itu,
kedekatan sistem belajar-mengajar ala madrasah dengan sistem belajar-mengajar
ala sekolah yang, ketika madarash mulai bermunculan, memang banyak dikembangkan
oleh pemerintah Belanda, membuat banyak orang berpandangan bahwa madrasah
sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi muatan dan
corak keislaman.
Pandangan ini diperkuat
oleh kenyataan bahwa masuknya Islam ke bumi Nusantara ini, baik pada gelombang
pertama (abad ke-7 M) maupun gelombang ke-2 (abad ke-13) tidak diikuti oleh
muncul atau berdirinya madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang bermunculan
seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa, ketika itu
ialah pesantren. Dengan alasan itu pula pesantren secara historis seringkali
disebut tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung
makna keaslian Indonesia (indigenous).
Karena itu membicarakan
madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah munculnya lembaga-lembaga
pendidikan tradisional Islam seringkali tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan
mengenai pesantren sebagai cikal-bakalnya. Dengan kata lain, madrasah merupakan
perkembangan lebih lanjut dari pesantren. Karena itu menjadi penting untuk
mengamati proses historis sebagai mata rantai yang menghubungkan perkembangan
pesantren di masa lalu dengan munculnya madrasah di kemudian hari. Menurut
Madjid (1997:3) bahwa:
Lembaga pendidikan yang serupa dengan
pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam
tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada itu.
Namun demikian dalam proses pengislaman itu tidak bisa dihindari terjadinya
akomodasi dan adaptasi. Tegasnya, karena lembaga pendidikan yang serupa dengan
pesantren itu di masa Hindu-Budha lebih bernuansa mistik, maka ajaran Islam
yang disampaikan di pesantren pun pada mulanya bercorak atau bernuansa mistik
pula, yang dalam khasanah Islam lebih dikenal dengan sebutan tasawuf. Pada masa
perkembangan Islam di Indonesia itu, tasawuf memang merupakan gejala umum dan
sangat dominan di Dunia Islam pada umumnya. Karena penduduk Nusantara sebelum
Islam memiliki kecenderungan yang kuat terhadap mistik, maka agama Islam yang
disampaikan dengan pendekatan mistik atau tasawuf itu lebih mudah diterima dan
dianut.
Contoh dari segi mistik
ini misalnya adalah adanya konsep "wirid" dalam pengajian. Seorang
kyai secara konsisten mengaji kitab tertentu pada saat tertentu, misalnya kitab
Sanusiyah pada malam Kamis. Hal itu adalah sebagai wirid yang dikenakan kepada
dirinya sendiri, sehingga menjadi semacam wajib hukumnya yang kalau
ditinggalkan dengan sengaja dianggap akan mendatangkan dosa. Contoh lain dari
suasana mistik ini terlihat pula dalam hubungan kyai-santri yang lebih
merupakan kelanjutan dari konsep hubungan "guru-cantrik" yang telah
ada sebelum Islam datang ke Jawa, yang banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep
Hindu-Budha, atau sekurang-kurangnya konsep stratifikasi masyarakat Jawa
sendiri.
Tetapi lambat laun gejala
itu semakin berkurang bersamaan dengan semakin
mendekatnya pesantren ke dalam jaringan Islam di Haramain, tempat sumber
Islam yang "asli" yang di akhir masa pertengahan menjadi pusat reformasi
Islam, dengan munculnya gagasan rekonsiliasi antara tasawuf dan syari'at.
Persentuhan global dengan pusat Islam di Haramain di akhir abad ke-19 M dan
awal abad ke-20 M itulah, menurut Fadjar (1994:114) bahwa:
Yang memungkinkan para pelaku
pendidikan Islam melihat sistem pembelajaran yang lebih terprogram. Maka diawal
abad ke-20 M di Indonesia secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang pola
pembelajaran Islam yang dikelola dengan sistem madrasi yang lebih modern, yang kemudian dikenal dengan nama "madrasah".
Karena itu sejak awal kemunculannya, madrasah di Indonesia sudah mengadopsi
sistem sekolah modern dengan ciri-ciri: digunakannya sistem kelas,
pengelompokkan pelajaran-pelajaran, penggunaan bangku, dan dimasuk-kannya
pengetahuan umum sebagai bagian dari kurikulumnya.
Ciri-ciri itu tidak
terdapat dalam pesantren yang semula lebih bersifat individual, seperti
terdapat pada sistem weton dan sorogan. Akan tetapi, dalam kurun waktu
terakhir, ketika modernisasi pendidikan masuk ke dunia pesantren, dan
melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai "pesantren modern", maka
semua ciri madrasah yang disebutkan di atas sudah menjadi bagian dari
keberadaan pesantren.
Sebagaimana telah
dikemukakan, secara harfiah madrasah bisa diartikan dengan sekolah, karena
secara teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya
proses belajar-mengajar secara formal. Namun demikian Steenbrink (1986)
membedakan madrasah dan sekolah karena keduanya mempunyai karakteristik atau
ciri khas yang berbeda.
Madrasah memiliki
kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah.
Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di
sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai
religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan
umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.
Perbedaan karakter antara
madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan tujuan antara keduanya
secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya
diadopsi di Indonesia ialah untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain
untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan, sebagai jawaban atau respon
dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen, di samping untuk mencegah memudarnya
semangat keagamaan penduduk akibat meluasnya lembaga pendidikan Belanda itu.
Sekolah untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada
sekitar dasawarsa 1870-an bertujuan untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah
kolonial, dengan maksud untuk melestarikan penjajahan.
Dalam lembaga pendidikan
yang didirikan Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama
sekali. Karena itu tidak heran jika di kalangan kaum pribumi, khususnya di
Jawa, ketika itu muncul resistensi yang kuat terhadap sekolah, yang mereka
pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk
"mem-Belanda-kan" anak-anak mereka.
Pesantren memiliki tujuan
yang lain lagi. Menurut Junus, Djumhur, dan Steenbrink (1982:160), bahwa:
Pesantren didirikan untuk menjadi
basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah. Pesantren merupakan upaya
kalangan pribumi untuk mengem-bangkan sistem pendidikan sendiri yang sesuai
dengan tuntunan agama dan kebudayaan daerah untuk melindungi diri dari pengaruh
sistem pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik balas
budi", atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis".
Namun, meskipun pesantren
berperan lebih dahulu dalam membendung pengaruh pendidikan kolonial, dibandingkan
dengan madrasah, para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tampaknya
mengakui bahwa dalam banyak hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini
mengandung banyak kelemahan, sementara pada sisi lain lembaga pendidikan yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda harus diakui memiliki banyak kelebihan.
Madrasah yang, seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem
pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya
menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu.
Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah
satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Upaya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum itu di madrasah sejak awal
perkembangannya telah mengalami kegagalan. Sebab, penekanan pada ilmu-ilmu
agama (al-'ulum al-diniyyah) terutama
pada bidang fikih, tafsir, dan hadits, ternyata lebih dominan, sehingga
ilmu-ilmu non-agama khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam
posisi pinggiran atau marjinal. Hal itu berbeda dengan madrasah di Indonesia
yang sejak awal pertumbuhannya telah dengan sadar menjatuhkan pilihan pada (a)
madrasah yang didirikan sebagai lembaga pendidikan yang semata-mata untuk
mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang
biasa disebut madrasah diniyah salafiyah; dan (b) madrasah yang didirikan tidak
hanya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, tapi juga
memasukkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang
diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda, seperti Madrasah Adabiyah di
Sumatera Barat, dan madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan
Islam, dan PUI di Majalengka.
Menarik untuk dicatat
bahwa salah satu karakteristik madrasah yang cukup penting di Indonesia pada
awal pertumbuhan-nya ialah bahwa di dalamnya tidak ada konflik atau upaya
mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Perselisihan pendapat
itu biasanya terjadi antara satu organisasi keagamaan dengan organisasi
keagamaan lain yang memiliki faham keagamaan yang berbeda, dan mereka sama-sama
mendirikan madrasah. Misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Tarbiyah
Islamiyah, dan lain-lain, memiliki madrasahnya sendiri-sendiri untuk
mensosialisasikan dan mengembangkan faham keagamaan mereka masing-masing.
Madrasah di Indonesia
secara historis juga memiliki karakter yang sangat populis (merakyat), berbeda
dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga pendidikan tinggi
madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban atau kota.
Madrasah pertama kali didirikan oleh Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M)
di Naisapur kota yang kemudian dikenal sebagai daerah kelahiran madrasah.
Daerah Naisapur mencakup sebagian Iran, sebagian Afghanistan dan bekas Uni
Soviet antara laut Kaspia dan laut Aral. Dengan inisiatif yang datang dari
penguasa ketika itu, maka praktis madrasah tidak kesulitan menyerap hampir
segenap unsur dan fasilitas modern, seperti bangunan yang permanen, kurikulum
yang tertata rapi, pergantian jenjang pendidikan, dan tentu saja anggaran atau
dana yang dikucurkan oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan madrasah di
Indonesia. Kebanyakan madrasah di Indonesia pada mulanya tumbuh dan berkembang
atas inisiatif tokoh masyarakat yang peduli, terutama para ulama yang membawa
gagasan pembaharuan pendidikan, setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di
Timur Tengah. Dana pembangunan dan pen-didikannya pun berasal dari swadaya
masyarakat. Karena inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat, maka
masyarakat sendiri diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan
anak-anak mereka ke madrasah dengan biaya ringan.
Sebagai lembaga pendidikan
swadaya, madrasah menampung aspirasi sosial-budaya-agama masyarakat yang
tinggal di wilayah pedesaan. Tumbuh dan berkembangnya madrasah di pedesaan itu
menjadi petunjuk bahwa masyarakat Indonesia ternyata memiliki komitmen yang
sangat tinggi terhadap pendidikan putra-putri mereka. Dari sudut pandang lain,
hal itu juga berarti ikut meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan.
Dalam hal ini patut dicatat bahwa dari 36.000 jumlah madrasah yang ada (yang
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum), 96% diantaranya dikelola oleh
masyarakat secara swadaya, atau madrasah swasta. Sementara itu madrasah yang
mengkhususkan diri pada mata pelajaran agama, yaitu madrasah diniyah yang
dikelola masyarakat, jumlahnya telah mencapai 22.000 madrasah.
Kini madrasah dipahami
sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem Pendidikan
Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen Agama. Lembaga pendidikan
madrasah ini telah tumbuh dan berkembang sehingga merupakan bagian dari budaya
Indonesia, karena ia tumbuh dan berproses bersama dengan seluruh proses perubahan
dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Kurun waktu cukup panjang
yang dilaluinya, yakni kurang lebih satu abad, membuktikan bahwa lembaga
pendidikan madrasah telah mampu bertahan dengan karakternya sendiri, yakni
sebagai lembaga pendidikan untuk membina jiwa agama dan akhlak anak didik.
Karakter itulah yang membedakan madrasah dengan sekolah umum. Sehingga dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 1989, madrasah
didefinsikan sebagai "sekolah umum dengan ciri khas Islam", sebuah
pengakuan atau sebutan yang cukup simpatik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar