A. Anomali Umum
Terminologi
anomali dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai suatu keganjilan, keanehan atau
penyimpangan dari yang biasa atau dari keadaan normal yang berbeda dari kondisi
mayoritas.[1]
Dengan kata lain anomali adalah penyimpangan terhadap sesuatu yang biasa atau normal
dan telah menjadi kondisi umum atau mayoritas dalam suatu lingkungan tertentu.
Dari pengertian tersebut anomali umum ini mengandung dua dimensi, yaitu dimensi
fisik dan perilaku. Dari dimensi fisik misalnya anomali digambarkan sebagai
suatu penyimpangan yang dapat mengenai seluruh tubuh atau hanya satu bagian
atau alat tubuh manusia.[2]
Namun anomali yang dimaksud dan menjadi fokus kajian dalam studi ini adalah
dari dimensi perilaku.
Anomali
dari dimensi perilaku ini lebih banyak diadaptasi khususnya dalam ilmu
psikologi, sosiologi dan ekonomi. Dalam bidang ilmu psikologi dan sosiologi
anomali merupakan suatu perilaku yang menyimpang, aneh, ganjil dari perilaku
yang biasa atau umum secara pribadi atau individu maupun sosial (C.P. Chaplin,
1989). Dalam bidang ekonomi anomali misalnya dilihat pada keadaan harga yang
berlaku menyimpang dari harga yang seharusnya berlaku.[3]
Adaptasi dalam ilmu politik secara konseptual masih terasa kurang, baru sebatas
pernyataan-pernyataan atau komentar para pengamat maupun ahli, karena itu studi
ini mencoba berusaha mengadaptasinya.
Konsep
anomali umum atau yang biasa ini apabila diadaptasi dalam bidang politik dapat
dipahami dan dilihat dari misalnya dalam lingkungan kondisi mayoritas yang
korup, atau suatu tindakan korup telah menjadi sesuatu hal yang biasa dan
dilakukan oleh mayoritas, maka orang yang tidak melakukan perbuatan korup akan
dianggap anomali. Namun konsep anomali umum ini mengandung kelemahan yaitu
kurang memiliki kekuatan untuk bisa melakukan perubahan ketika kondisi
mayoritas tersebut diperhadapkan pada norma, yaitu ketentuan aturan, hukum
maupun toleransi sosial yang berlaku. Oleh karena itu dalam kaitan dengan tema
permasalahan studi, konsep anomali umum ini tidak sepenuhnya mampu menjelaskan
anomali yang terjadi pada institusi legislatif, karena anomali legislatif lebih
berkaitan dengan penyimpangan terhadap norma.
Anomali
dengan demikian menjadi relevan untuk diterjemahkan tidak sekedar penyimpangan
dari yang biasa/umum atau kondisi mayoritas, tapi lebih luas mencakup
penyimpangan yang terjadi pada fungsi-fungsi pemerintahan dan pelayanan publik
yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan, termasuk didalamnya wakil rakyat
(anggota legislatif).
Penyimpangan terhadap fungsi-fungsi pemerintahan tersebut berkaitan dengan
norma hukum yang berlaku, karena itu dalam kaitan studi ini sangat penting
untuk memahami konsep anomali terhadap norma tersebut.
B. Anomali Terhadap Norma
Konsep
anomali terhadap norma yang sinkron dengan penyimpangan anggota legislatif dapat dirujuk
pada beberapa konsep berikut. Menurut Paul Rock[4]
(Kupper and Kupper, 1996) makna sosiologisnya baru muncul belakangan. Para
ilmuwan sosial mengartikannya sebagai perilaku yang dilarang, dibatasi,
disensor, diancam hukuman, atau yang dianggap buruk, sehingga istilah ini
sering dipadankan dengan ‘pelanggaran aturan’. Sejumlah sosiolog memusatkan
perhatian pada perilaku yang dianggap aneh. Matza sebagaimana yang ditulis Rock
(Kuper and Kupper, 1996) misalnya mengaitkan penyimpangan dengan “evaluasi
majemuk, pergeseran standar penilaian dan ambivalensi moral”. Dalam Becoming
Deviant (Matza, 1969), ia mengupas kontur khusus berbagai perilaku yang
dianggap tak lazim, yang diyakininya merupakan cerminan dari ketidakkonsistenan
dan dinamika sosial.
Garfinkel
(1967), Goffman (1963) dan sejumlah ilmuwan lainnya menyajikan perspektif baru
dengan melihat penyimpangan sebagai cerminan upaya penyesuaian diri masyarakat
dalam mengatasi persoalannya, yang ada kalanya berbenturan dengan
standar-standar umum. Di tengah perdebatan mencari makna hakiki dari
penyimpangan tersebut, ada konsep menarik yang dapat dijadikan dasar dalam
studi mengenai perilaku menyimpang, yaitu apa yang dikatakan Scott (1972)[5]
bahwa ciri penyimpangan terletak pada penilaian pihak lain yang menganggapnya
aneh, dan penyim-pangan dipersoalkan karena dipandang sebagai gangguan.
Dalam
Webster’s New Dictionary of Synonyms,[6]
dikatakan an anomaly is something that is contrary to what it should be.
Anomali juga disinonimkan dengan paradox dan antinomy. Paradox
adalah sesuatu yang berlawanan, sedangkan antinomy adalah sesuatu yang contradiction
between two laws, principles or conclusions. Istilah lain yang sepadan
dengan anomaly adalah deviance/deviant artinya orang yang
meyimpang dari patokan-patokan atau ketentuan-ketentuan. Sedangkan menurut
Albert K. Cohen (Sills, 1968),[7] deviant
behaviour (perilaku menyimpang) adalah perilaku yang melanggar
aturan-aturan normatif, toleransi atau harapan-harapan dari sistim sosial, atau
menurut Soerjono Soekanto (1983)[8]
suatu kecenderungan untuk menyimpang dari suatu norma/tidak patuh pada suatu
norma tertentu, atau menurut W.J.S Poerwadarminta (1976)[9] suatu yang menyimpang, tidak menurut jalan yang betul, melenceng, menyalahi kebiasaan, hukum dan
aturan. Perilaku meyimpang ini pada tingkat yang paling fatal dapat membawa
pada apa yang dinamakan situasi anomie,
yaitu suatu situasi ketiadaan nilai-nilai umum dalam sebuah masyarakat.[10]
Berdasar
paparan konsep pengertian anomali terhadap norma tersebut, membawa kita pada
suatu pengertian dasar tentang anomali yang dimaksud oleh studi ini, yaitu
bahwa anomali adalah suatu bentuk perilaku yang menyimpang dari norma yang
‘seharusnya’, sesuai aturan ketentuan, hukum maupun toleransi sosial dalam
kaitan dengan eksistensi dan kedudukan serta peran seseorang dalam suatu
lingkungan tertentu. Istilah anomali dengan demikian dapat dipakai untuk
menunjukkan adanya perilaku anggota maupun legislatif secara lembaga yang menyimpang dari
norma kelembagaan legislatif dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai
institusi perwakilan politik rakyat. Konsep anomali pada institusi legislatif dengan kata
lain dapat diartikan sebagai tindakan yang menyimpang dari norma kelembagaan legislatif sebagaimana
tertuang dalam ketentuan aturan, hukum maupun toleransi sosial, baik yang
bersifat universal maupun yang spesifik legal Indonesia.
Norma
kelembagaan institusi legislatif secara universal tertuang dalam apa yang disebut
tugas dan fungsi, yaitu: merespon dan mewujudkan aspirasi masyarakat;
menciptakan kebaikan bersama atau kepentingan publik; membawa konflik dalam
masyarakat ke dalam sistem politik; berbicara dan mewakili kehendak rakyat;
bertanggungjawab kepada masyarakat atau konstituen; melaksanakan fungsi
legislasi, pengawasan dan budget; menerapkan good governance;
taat pada ketentuan dan norma kepatutan masyarakat.[11]
Secara
spesifik norma legal institusi legislatif Indonesia mempunyai tugas dan fungsi,
yaitu: melaksanakan pengawasan anggaran dan pelaksanaan kebijakan pemerintah;
memilih pejabat publik; mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan;
menampung dan menindaklanjuti aspirasi masya-rakat; menaati peraturan
perundang-undangan; meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam menjalankan tugas
dan fungsi tersebut para wakil rakyat dibimbing oleh beberapa norma, yaitu:
asas pemerintahan yang baik, yaitu kepastian hukum, tertib penyelenggaraan
negara, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan akuntabilitas;
wajib tidak melakukan perbuatan korupsi dan kolusi; melaksanakan tugas dengan
penuh tanggungjawab, tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk
kepentingan pribadi, keluarga, kroni maupun kelompok.[12]
Dari
penjelasan di atas, maka anomali menjadi relevan untuk diterjemahkan tidak
sekedar penyimpangan dari pengertian yang umum atau biasa atas kondisi
mayoritas, tapi lebih luas mencakup penyimpangan terhadap norma yang terjadi
pada fungsi-fungsi pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat publik, termasuk
wakil rakyat dalam institusi legislatif.
[1] Lihat John M
Echols dan Hasan Sadili, An
English-Indonesian Dictionary (Kamus Inggris-Indonesia), PT Gramedia,
Jakarta 1995, hal 30; Lihat juga C.P. Chaplin, Kamus Lengkap
Psikologi, Rajawali Press, Jakarta, 1989; Juga Ensiklopedi Indonesia I,
PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.
[2] Konsep anomali
ini dikenal dalam bidang ilmu kedokteran. Lihat Ensiklopedi Indonesia I. PT
Ichtiar-Van Hoeve, Jakarta, (tanpa tahun).
[3] Lihat
Ensiklopedi Indonesia I, PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.
[4] Lihat Paul Rock,
Deviance (Penyimpangan), dalam Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensyklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial, Edisi Kedua, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
[5] Scott, R dan
Douglas, J. (eds), Theoritical Perspectives on Deviances, 1972, NY,
Lihat Adam Kupper and Jessica
Kupper, Ensyklopedia Ilmu-Ilmu Sosial
, Edisi Kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996.
[6] A
Merriam-Webster, Webster’s New Dictionary of Synonyms: a dictionary of
discriminated synonyms with antonyms and analogous and contrasted words,
Merriam-Webster Inc., Publisher, Springfield, Massachusetts, USA, 1984,. p.47,
48, 591.
[7] Albert K. Cohen,
Deviant Behaviour, dalam David L. Sills, (Ed), International
Encyclopaedia of The Social Sciences, Vol.3, The Maxmillan Company and Free
Press, NY, Collier-Macmillan Publisher, London, 1968.
[8] Soerjono
Soekanto, Kamus Sosiologi, CV. Rajawali, Jakarta, 1983.
[9] W.J.S
Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta,
1976, hal. 948.
[10] Istilah yang
digunakan oleh ahli Sosiologi Durkheim
untuk mengartikan kedudukan kelompok norma yang tidak jelas, terpadu
demikian lemahnya atau memiliki konflik. Lihat A. Budiardjo, dkk, Kamus
Psikologi, Effhar Group, Dahara Prize, 1987, Semarang, hal.33. Lihat juga
Hugo F Reading, Kamus Ilmu-Ilmu Sosial, CV. Rajawali, Jakarta, 1986,
hal.19;
[11] Lihat Riswandha
Imawan, Fungsi-Fungsi Perwakilan dan Saluran Kepentingan Masyarakat,
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, Yogyakarta; Mirriam Budiardjo, Demokrasi
di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1996; Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat: Dalam
Era Pemerintahan Modern-Industrial, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995.
[12] Lihat
Undang-Undang No.4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR-DPR-DPRD;
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang No.28
Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar