Minggu, 23 Oktober 2011

Akuntabilitas Manajemen Pemerintahan



1. Prinsip Akuntabilitas Pemerintahan
       Arus globalisasi dan  multikrisis mendorong terjadinya  reformasi dalam berbagai aspek kehidupan berbagsa, bernegara dan bermasyarakat baik politik, hukum, administrasi, pemerintahan dan lain sebagainya.   Salah satu aspek penting pembaharuan dalam bidang pemerintahan ” reform of government ” untuk mewujudkan ” good governance dengan penguatan hukum,  demokratis, akuntabilitas, efisiensi, kepemimpinan visioner, efisiensi, responsif dan transaparansi dalam melaksanakan pengaturan, pembangunan dan pemberdayaan serta  pelayanan sivil dan masyarakat. Pembaharuan pemerintahan erat kaitannya dengan  adanya pergeseran paradigma baru pemerintahan yaitu dari paradigma pemerintahan yang sentralisti menuju desentralistik, pemerintahan yang otoritatif menuju demokratis, pemerintahan yang beorrientasi pada pemusatan dimensi kekuasaan ( poitic )  mengarah pada dimensi kemitraan ekonomi ( private ), dimensi  administrasi  ( organization  and management )  dan dimensi sosial-kultural ( civil society ).

        Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dalam bingkai negara kesatuan, maka sistem pemerintahan yang dilandasi dan bersumber pada landasan konstitusional  ( limited government ) dan dikembangkan atas tatanan demokratis sesuai dengan nilai kultural bangsa dalam struktur, proses dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan.  Pemerintahan yang konstitusional dan demokratis dalam struktur, proses dan mekanisme pemerintahannya untuk  membangun pemerintahan yang syah,  terpercaya dan bertanggung jawab bagi  kepentingan dan pelayanan masyarakat ( legitimate, accountable and creadible).  

2. Model Otonomi Daerah
       Pergeseran paradigma pemerintahan dari sentralistik menuju desentralistik dalam konteks sistem pemerintahan, didasarkan pada tujuan, arah,  prinsip dan  asas penyelenggaraan pemerintahan baik dari pendekatan politik, ekonomi, administrasi dan sosial budaya berdasarkan  peraturan perundangan yang  mencerminkan pengaturan  kewenangan, fungsi,  tanggungjawab dan hubungan pemerintahan  antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara  strategis, sinergis dan integralitas. Hal ini dimanifestasikan dalam model otonomi dan desentralisasi pemerintahan yang bersumber pada cita desentralisasi pemerintahan pada konstitusi negara kita.
        Menurut Tjahya Supriatna ( 2001: 99 ) bahwa model pengaturan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1974 menggunakan model ” the structural effieency model ” yang mengutamakan pentingnya pemberian pelayanan secara efisien kepada komunitas masyarakat lokal, tetapi dalam pelaksanaannya intervensi Pemerintah Pusat lebih besar terhadap Pemerintah Daerah.  Pada UU No. 22 Tahun 1999 menganut ” the local democtratic model  dengan format ” split model ” lebih menekankan aspek demokrasi, menghargai nilai local, keanekaragaman dalam kesatuan yang merefleksikan penyelenggaraan pemerintahan daerah atas dasar prinsip, demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilian serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, tetapi dalam pelaksanaan terjadi eforia demokrasi dan lokal, intervensi legislatif daerah, daerahisme serta hubungan pusat dan daerah tidak harmonis.
         Sedangkan pada undang-undang No. 32 tahun 2004 menggunakan model desentralisasi dan otonomi daerah yaitu ” split model ” pada Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom sedangkan provinsi sebagai ” fused model ”, sehingga bersifat ” split and fused model ”  selain daerah otonom ( desentralisasi ) juga wilayah administratif  ( dekonsentrasi )  yang kedudukan kepala daerahnya selain kepala daerah merangkap wakil pemerintah ( dual system ).
         Pelaksanaan model tersebut dengan pertimbangan : 1) Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom dan tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat; 2) Kemandirian daerah Kabupaten/Kota akan lebih terjamin; 3) Kabupaten/Kota realitif kecil, sehingga   dari segi potensi wilayah tidak akan melakukan tindakan  ” disintegrasi ”  dan ” sparatisme ” dari NKRI; 4) Pembinaan,  pengawasan, pengendalian, dan fasilitasi terhadap jalannya penyelenggaraan otonomi daerah kabupaten/kota oleh Gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Walaupun dalam pelaksanaannya sampai saat ini adanya dua daerah otonom yang berjalan dalam suatu wilayah  belum berjalan secara efektif, serasi dan  maksimal karena masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda, sehingga konflik antara kedua daerah otonom sulit untuk dihindarkan. Dualisme otonomi yang berjalan dalam satu wilayah provinsi dan kedudukan dual position  Gubernur tetap akan menjadi hambatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
       Untuk menghindari konflik tersebut, perlu revisi  desentrailisasi dan otonomi daerah kedepan dengan model split model  pada satu daerah otonom yang berfokus pada Provinsi atau Kabupaten / Kota  sebagai  daerah otonom maka provinsi atau kabupaten/kota  sebagai daerah administrasi. Apabila kabupaten/kota sebagai daerah otonom, maka provinsi sebagai wilayah administrasi atau kabupaten/kota sebagai wilayah administrasi maka provinsi sebagai daerah otonom. Berdasarkan pendekatan strategi pemerintahan  dari segi politik, ekonomi, administrasi, sosio-kulturan dan pertahanan dan keamanan makan adalah Provinsi sebagai daerah administrasi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom ( split model otonomi ).

        Berdasarkan pandangan Koeswara ( 2007 : 51 ) bahwa daerah Provinsi yang sekarang mempunyai kedudukan rangkap sebagai daerah otonom dan daerah administrasi, dirubah tidak lagi sebagai daerah otonom, melainkan berstatus sebagai daerah administrasi.  Dengan demikian, di wilayah Provinsi tidak perlu lagi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Wilayah administrasi Provinsi murni sebagai ” alat pemerintah pusat ” yang dikepalai oleh seorang Gubernur yang diangkat dari tenaga profesional yang memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman bidang pemerintahan diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden dan merupakan perpanjangan tangan dari dan memiliki satu garis komando dengan Presiden. Gubernur mempunyai keduduksan, peran dan fungsi yang kuat karena kepada Gubenur diberikan kewenangan Tutelage Power dalam konteks Integrated Prefectoral System  yang berwewenang untuk membina, mengawasi dan mengendalikan jalannya penyelenggaraan otonomi daerah  di daerah kabupaten/kota dalam wilayah pemerintahan provinsi yang bersangkutan. 

3. Makna Akuntabilitas Pemerintahan
       Akuntabilitas ( accuntability ) sebagai paradigma administrasi publik dan prinsip dasar  pemerintahan dalam kurun waktu terakhir ini sangat populer dalam membangun  pemerintahan yang baik dan sehat atau good governance. Para pakar dan praktisi  administrasi publik dan  pemerintahan  mengartikan akuntabilitas pemerintahan sebagai tangungjawab atau tanggunggugat penyelenggaraan pemerintahan dan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh pimpinan pemerintahan ( Pusat, Daerah dan Desa )
a. Arti Akuntabilitas Pemerintahan
       Akuntabilitas seringkali mengundang  kerancuan dengan istilah responsibilitas  ( responcibility )  yang juga sering diartikan dalam atau menjadi tanggungjawab. Akuntabilitas sesungguhnya berbeda dengan responsibilitas dari pimpinan organisasi baik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun bisnis. Secara etimologis, menurut Webster’s New Universal Un Abridge Divtionary  ( 1983 : 13 ) istilah akuntabilitas mengandung arti sebagai berikut : ” Accunability, : the state of being accuntabel, responsible or liabel accountableness. Accuntable: 1. Liable to be called to account, answerable to a superior, as every man is accuntabel to good for his coundact. 2. Capabel of being accounted for explicitable, 3. That may be counted or counted for ( Obs ). Akuntabilitas sebagai suatu yang dipertanggungjawabkan , bertanggungjawab dan akuntabel.
        Makna akuntabel antara lain : Pertama, dapat diperhitungkan, dapat memberi jawaban kepada pimpinan sebagaimana halnya seseorang insan bertanggungjawab kepada Tuhan tentang apa yang dikerjakan sesuai dengan perintahNya. Kedua, memiliki kemampuan untuk dipertanggungjawabkan secara explisit, dan Ketiga, sesuatu yang dapat diperhitungkan atau dipertanggungjawabkan. Adapun Kohler’s Dictionary of Accuntant ( 1984 : 7 ) akuntabilitas dapat di definisikan sebagai berikut :
  1. The obligation of an personnal, agent, or person to supply a satisfactory report, opten periodic or action or failure to act following delegated authority;
  2. Hence ( government accounting ) the saignation of the account or amount  of  a distribution officer’s liability;
  3. The measure of responcibility or liability to another, expressed in term of money, units of proverty or other predetermained basic;
  4. The obligation of evidencing good management, control or other performance ompoced by law, regulation, agreement or custom. Dengan kata lain akuntabilitas dapat dipahami sebagai berikut :
  1. Kewajiban seseorang pegawai, agen atau orang lain untuk memberikan laporan yang memuaskan secara berkala atas tiindakan atau atas kegagalan untuk bertindak berdasarkan wewenang yang dimilikinya;
  2. Tanggungjawab pemerintahan terkait dengan desain yang ditetapkan atau mengenai dasar kemampuannya.     
  3. Pengukuran tanggungjawab  atau kewajiban seseorang yang diekspresikan dalam nilai uang, unit kekayaan atau dasar lainnya yang telah ditentukan terlebih dahulu.
  4. Kewajiban membutkikan manajemen yang baik, pengendalian yang baik atau kinerja yang baik berdasarkan hokum yang berlaku, ketentuan, persetujuan atau kebiasaan.
       Sedangkan konsep responsibilitas menurut Kolher dapat dipahami sebagai the acceptance of assigned authority  atau penerimaaan atas penyerahan wewenang. Mansfield dalam Smith dan Caroll ( 1982:61 ) bahwa akuntabilitas suatu agen melakukan apa yang harus dilakukan, apakah berjalan baik atau buruk. Jangkauan akuntabilitas lebih jauh dari sekedar mentaati intruksi, termasuk responsibilitas atas perilaku dan tindakan-tindaktan yang dinilai dengan criteria seperti kompetensi, integritas, penilaian, kehati-hatian, visi semangat dan lain-lain. Pada dasarnya tidak semuan orang akan dapat memahami arti yang jelas dari akuntabilitas atau bahkan sama sekali  tidak mampu mendefinisikan dengan tepat. Umumnya orang memahami  bahwa akuntabilitas akam memberikan kemampuan yang lebih besar bagi suatu organisasi untuk lebih kompettitif dan meningkatkan kinerjanya.
        Berdasarka batasan pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan  bahwa akuntabilitas pada hakekatnya merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggunggugatkan atau mempertanggungjawabkan keberhasilanm  atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mecapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara priodik. Dalam konteks birokrasi pemerintahan baik pada birokrasi politik maupun birokrasi adminisitrasi dalam suatu institusi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya.

b. Jenis dan Macam  Akuntabilitas Pemerintahan
        Menurut jenisnya, akuntabilitas dapat dibedanya atas akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal seseorang menjalankan tugas dan fungsinya dalam organisasi pemerintahan. Pertanggungjawaban seseorang kepada Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaannya mengenai sesuatu yang dilaksanakannya dipahami sebagai akuntabilitas internal atau akuntabilitas spiritual seseorang. Sedangkan pertanggungjawaban seseorang kepada lingkungannya baik pada lingkungan formal organisasi ( atasan-bawahan ) maupun lingkungan masyarakat ( LAN –RI : 2000 ).    
       Akuntabilitas eksternal seseorang dalam organisasi lebih mudah diukur karena parameter, norma dan standarnya sangat jelas. Pengawasan, pengendalian dan penilaian eksternal secara eksplisit sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja organisasi. Tidak demikian halnya dengan akuntabilitas internal seseorang, karena tidak adanya parameter yang jelas dan dapat diterima oleh semua orang dan tidak ada yang melakukan pengecekan sehingga tidak jelas ukurannya, terkecuali dikaitkan dengan aktivitas dengan lingkungan pemerintahan dan masyarakat. Akuntabilitas eksternal seseorang baik di dalam maupun di luar organisasi merupakan hal yang paling banyak dibicarakan, karena berkaitan dengan kepercayaan dari persepsi, sikap dan  perilakunya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya selaku manusia peribadi, sosial dan organisasi.
        Menurut brautinggam dalam Nizar yang dikutip Joko Widodo ( 2001 : 152 ) bahwa dibedakan tiga jenis akuntabilitas publik dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan yaitu : akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan  dan akuntabilitas hukum. Akuntabilitas Politik  berkaitan erat dengan sistem pemilu, sisten politik ” multi partai ” dinilai lebih mampu menjamin akuntabilitas politik pemerintahan terhadap rakyatnya daripada pemerintahan dengan sistem ” satu partai ” . Akuntabilitas keuangan, berarti aparat pemerintah wajib mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang rakyat dalam anggaran belanjanya yang bersumber dari penerimaan pajak dan retribusi. Akuntabilitas hukum, bahwa rakyat harus memiliki keyakinan bahwa unit-unit  pemerintahan dapat bertanggungjawab secara hukum atas segala tindakannya.
       Menurut Samuel Paul ( dalam Tjahya Supriatna, 2001 : 103 ) akuntabilitas dapat dibedakan atas : democratic accountability, profesional accountability, and legal accountability.  
1. Democratic Accountability,
       Akuntabilitas demokratis merupakan gabungan antara administrative dan politic accountability. Menggarkan pemerintah yang akuntabel atas kinerja dan semua kegiatannya kepada  pemimpin politik. Pada negara-negara demokratis , menteri pada parlemen. Penyelenggaraan pelayanan publik akuntabel kepada menteri/pimpinan instansi masing-masing. Dalam kontek ini pelaksanaan akuntabel dilakukan secara berjenjang dari pimpinan bawah ke pimpinan tingkat tinggi secara herarkhi yaitu Presiden dan Presiden pada MPR.
2. Professional Accountability
       Dalam akuntabilitas profesional, pada umumnya para pakar, profesional dan teknokrat melaksanakan tugas-tugasnya berdasarkan norma-norma dan standar profesinya untuk menentukan public interest  atau kepentingan masyarakat.
3. Legal Accountability
       Berdasarkan berdasarkan katagori akuntabilitas legal ( hukum ), pelaksana ketentuan hukum  disesuaikan dengan kepentingan public goods dan public service  yang merupakan tuntutan ( demand ) masyarakat ( customer ). Dengan akuntabilitas hukum, setiap petugas pelayanan publik dapat diajukan ke pengadilan apabila mereka gagal dan bersalah dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diharapkan masyarakat. Kesalahan dan kegagalan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat akan terlihat pada laporan akuntabilitas legal.
       Pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahanan berkewajiban mempertanggungjawabkan berbagai  kebijakan dan pelayanan publik pada masyarakat. Dalam hal ini Chander dan Plano dalam Joko Widodo ( 2001 : 153 ) membedakan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam lima macam yaitu :
  1. Fiscal accuntability, merupakan tanggungjawab atas dana publik yang digunakan ;
  2. Legal accuntability, tanggung jawab atas ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Program accuntability, tanggung jawab atas pelaksanaan program;
  4. Process accuntability, tanggung jawab atas pelaksanaan prosedur dan mekanisme kerja;
  5. Outcome accountability, tanggungjawab atas hasil pelaksanaan tugas dalam situasi organisasi.
      Sebagai perbandingan terhadap pandangan Chander dan Plano, maka Yango terdapat empat macam akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan  pemerintahan ( Joko Widodo : Ibid ) yaitu :
  1. Regularity Accountability, memfokuskan pada transaksi-transaksi reguler atau transaksi-transaksi fiskal untuk mendapatkan informasi mengenai kepatutan pada peraturan yang berlaku terutama yang terkait dengan peraturan fiskal dan peraturan pelaksanaan administrasi yang sering disebut ” compliance accuntability ”.
  2. Managerial Accountability, menitik beratkan pada efisiensi dan kehematan penggunaan dana, harta kekayaan, sumberdaya manusiadan sumber-sumber daya lainnya.
  3. Program Accountability, menfokuskan pada pencapaian hasil pelaksanaan kegiatan pemerintah.
  4. Process Accountability, memfokuskan pada informasi mengenai tingkat pencapaian kesejahteraan sosial atas pelaksanaan kebijakan dan aktivitas organisasi.
       Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan atau akuntabilitas pemerintahan beragam yang mencerminkan kewajiban, tanggungjawab, sasaran atau tujuan mempunyai manfaat dan dampak bagi kelabcaran, kesehatan dan kepercayaan organisasi dan meningkatkan kepentingan umum. Dalam hal itu, terdapat beragam akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu akuntabilitas hukum, akuntabilitas organisasi dan manajerial, akuntabilitas keuangan, akuntabilitas proses, akuntabilitas program,  akuntabilitas profesional dan akuntabilitas moral.   

  
      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...