1. Prinsip Akuntabilitas Pemerintahan
Arus globalisasi
dan multikrisis mendorong terjadinya reformasi dalam berbagai aspek kehidupan
berbagsa, bernegara dan bermasyarakat baik politik, hukum, administrasi,
pemerintahan dan lain sebagainya. Salah
satu aspek penting pembaharuan dalam bidang pemerintahan ” reform of government ” untuk mewujudkan ” good governance ” dengan
penguatan hukum, demokratis,
akuntabilitas, efisiensi, kepemimpinan visioner, efisiensi, responsif dan
transaparansi dalam melaksanakan pengaturan, pembangunan dan pemberdayaan
serta pelayanan sivil dan masyarakat.
Pembaharuan pemerintahan erat kaitannya dengan
adanya pergeseran paradigma baru pemerintahan yaitu dari paradigma
pemerintahan yang sentralisti menuju desentralistik, pemerintahan yang
otoritatif menuju demokratis, pemerintahan yang beorrientasi pada pemusatan
dimensi kekuasaan ( poitic ) mengarah pada dimensi kemitraan ekonomi ( private ), dimensi administrasi
( organization and management ) dan dimensi sosial-kultural ( civil society ).
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik
dalam bingkai negara kesatuan, maka sistem pemerintahan yang dilandasi dan
bersumber pada landasan konstitusional (
limited government ) dan dikembangkan
atas tatanan demokratis sesuai dengan nilai kultural bangsa dalam struktur,
proses dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan yang konstitusional dan
demokratis dalam struktur, proses dan mekanisme pemerintahannya untuk membangun pemerintahan yang syah, terpercaya dan bertanggung jawab bagi kepentingan dan pelayanan masyarakat ( legitimate, accountable and creadible).
2. Model Otonomi Daerah
Pergeseran paradigma pemerintahan dari
sentralistik menuju desentralistik dalam konteks sistem pemerintahan,
didasarkan pada tujuan, arah, prinsip
dan asas penyelenggaraan pemerintahan
baik dari pendekatan politik, ekonomi, administrasi dan sosial budaya
berdasarkan peraturan perundangan
yang mencerminkan pengaturan kewenangan, fungsi, tanggungjawab dan hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
secara strategis, sinergis dan
integralitas. Hal ini dimanifestasikan dalam model otonomi dan desentralisasi
pemerintahan yang bersumber pada cita desentralisasi pemerintahan pada
konstitusi negara kita.
Menurut Tjahya Supriatna ( 2001: 99 ) bahwa
model pengaturan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan UU No. 5 Tahun
1974 menggunakan model ” the structural
effieency model ” yang mengutamakan pentingnya pemberian pelayanan secara
efisien kepada komunitas masyarakat lokal, tetapi dalam pelaksanaannya
intervensi Pemerintah Pusat lebih besar terhadap Pemerintah Daerah. Pada UU No. 22 Tahun 1999 menganut ” the local democtratic model ” dengan format ” split model ” lebih menekankan aspek demokrasi, menghargai nilai
local, keanekaragaman dalam kesatuan yang merefleksikan penyelenggaraan
pemerintahan daerah atas dasar prinsip, demokratis, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilian serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah,
tetapi dalam pelaksanaan terjadi eforia demokrasi dan lokal, intervensi
legislatif daerah, daerahisme serta hubungan pusat dan daerah tidak harmonis.
Sedangkan pada undang-undang No. 32
tahun 2004 menggunakan model desentralisasi dan otonomi daerah yaitu ” split model ” pada Kabupaten dan Kota sebagai
daerah otonom sedangkan provinsi sebagai ” fused
model ”, sehingga bersifat ” split
and fused model ” selain daerah
otonom ( desentralisasi ) juga wilayah administratif ( dekonsentrasi ) yang kedudukan kepala daerahnya selain kepala
daerah merangkap wakil pemerintah ( dual
system ).
Pelaksanaan model tersebut dengan
pertimbangan : 1) Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom dan tingkatan pemerintahan
yang paling dekat dengan masyarakat; 2) Kemandirian daerah Kabupaten/Kota akan
lebih terjamin; 3) Kabupaten/Kota realitif kecil, sehingga dari segi potensi wilayah tidak akan
melakukan tindakan ” disintegrasi ” dan ” sparatisme ” dari NKRI; 4)
Pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan
fasilitasi terhadap jalannya penyelenggaraan otonomi daerah kabupaten/kota oleh
Gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Walaupun dalam pelaksanaannya sampai
saat ini adanya dua daerah otonom yang berjalan dalam suatu wilayah belum berjalan secara efektif, serasi
dan maksimal karena masing-masing
mempunyai kepentingan yang berbeda, sehingga konflik antara kedua daerah otonom
sulit untuk dihindarkan. Dualisme otonomi yang berjalan dalam satu wilayah
provinsi dan kedudukan dual position Gubernur tetap akan menjadi hambatan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.
Untuk menghindari konflik tersebut,
perlu revisi desentrailisasi dan otonomi
daerah kedepan dengan model split model pada satu daerah otonom yang berfokus pada
Provinsi atau Kabupaten / Kota sebagai daerah otonom maka provinsi atau kabupaten/kota
sebagai daerah administrasi. Apabila kabupaten/kota
sebagai daerah otonom, maka provinsi sebagai wilayah administrasi atau
kabupaten/kota sebagai wilayah administrasi maka provinsi sebagai daerah
otonom. Berdasarkan pendekatan strategi pemerintahan dari segi politik, ekonomi, administrasi,
sosio-kulturan dan pertahanan dan keamanan makan adalah Provinsi sebagai daerah
administrasi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom ( split model otonomi ).
Berdasarkan pandangan Koeswara ( 2007 : 51 ) bahwa
daerah Provinsi yang sekarang mempunyai kedudukan rangkap sebagai daerah otonom
dan daerah administrasi, dirubah tidak lagi sebagai daerah otonom, melainkan
berstatus sebagai daerah administrasi.
Dengan demikian, di wilayah Provinsi tidak perlu lagi Badan Perwakilan
Rakyat Daerah. Wilayah administrasi Provinsi murni sebagai ” alat pemerintah
pusat ” yang dikepalai oleh seorang Gubernur yang diangkat dari tenaga
profesional yang memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman bidang
pemerintahan diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden dan merupakan
perpanjangan tangan dari dan memiliki satu garis komando dengan Presiden.
Gubernur mempunyai keduduksan, peran dan fungsi yang kuat karena kepada Gubenur
diberikan kewenangan Tutelage Power dalam
konteks Integrated Prefectoral System yang berwewenang untuk membina, mengawasi dan
mengendalikan jalannya penyelenggaraan otonomi daerah di daerah kabupaten/kota dalam wilayah
pemerintahan provinsi yang bersangkutan.
3. Makna Akuntabilitas Pemerintahan
Akuntabilitas ( accuntability ) sebagai
paradigma administrasi publik dan prinsip dasar
pemerintahan dalam kurun waktu terakhir ini sangat populer dalam membangun pemerintahan yang baik dan sehat atau good governance. Para pakar dan
praktisi administrasi publik dan pemerintahan
mengartikan akuntabilitas pemerintahan sebagai tangungjawab atau tanggunggugat penyelenggaraan pemerintahan dan
pemerintahan daerah yang dilakukan oleh pimpinan pemerintahan ( Pusat, Daerah
dan Desa )
a. Arti Akuntabilitas Pemerintahan
Akuntabilitas seringkali mengundang kerancuan dengan istilah responsibilitas (
responcibility ) yang juga sering
diartikan dalam atau menjadi tanggungjawab. Akuntabilitas sesungguhnya berbeda
dengan responsibilitas dari pimpinan organisasi baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan maupun bisnis. Secara
etimologis, menurut Webster’s New
Universal Un Abridge Divtionary (
1983 : 13 ) istilah akuntabilitas mengandung arti sebagai berikut : ” Accunability, : the state of
being accuntabel, responsible or liabel accountableness. Accuntable: 1. Liable to be called to account, answerable to
a superior, as every man is accuntabel to good for his coundact. 2. Capabel of
being accounted for explicitable, 3. That may be counted or counted for ( Obs
). Akuntabilitas sebagai suatu yang dipertanggungjawabkan , bertanggungjawab
dan akuntabel.
Makna akuntabel antara lain : Pertama,
dapat diperhitungkan, dapat memberi jawaban kepada pimpinan sebagaimana halnya
seseorang insan bertanggungjawab kepada Tuhan tentang apa yang dikerjakan
sesuai dengan perintahNya. Kedua, memiliki kemampuan
untuk dipertanggungjawabkan secara explisit, dan Ketiga, sesuatu
yang dapat diperhitungkan atau dipertanggungjawabkan. Adapun Kohler’s
Dictionary of Accuntant ( 1984 : 7 ) akuntabilitas dapat di definisikan sebagai
berikut :
- The obligation of an personnal, agent, or person to supply a satisfactory report, opten periodic or action or failure to act following delegated authority;
- Hence ( government accounting ) the saignation of the account or amount of a distribution officer’s liability;
- The measure of responcibility or liability to another, expressed in term of money, units of proverty or other predetermained basic;
- The obligation of evidencing good management, control or other performance ompoced by law, regulation, agreement or custom. Dengan kata lain akuntabilitas dapat dipahami sebagai berikut :
- Kewajiban seseorang pegawai, agen atau orang lain untuk memberikan laporan yang memuaskan secara berkala atas tiindakan atau atas kegagalan untuk bertindak berdasarkan wewenang yang dimilikinya;
- Tanggungjawab pemerintahan terkait dengan desain yang ditetapkan atau mengenai dasar kemampuannya.
- Pengukuran tanggungjawab atau kewajiban seseorang yang diekspresikan dalam nilai uang, unit kekayaan atau dasar lainnya yang telah ditentukan terlebih dahulu.
- Kewajiban membutkikan manajemen yang baik, pengendalian yang baik atau kinerja yang baik berdasarkan hokum yang berlaku, ketentuan, persetujuan atau kebiasaan.
Sedangkan konsep responsibilitas menurut
Kolher dapat dipahami sebagai the
acceptance of assigned authority
atau penerimaaan atas penyerahan wewenang. Mansfield dalam Smith dan Caroll ( 1982:61 )
bahwa akuntabilitas suatu agen melakukan apa yang harus dilakukan, apakah
berjalan baik atau buruk. Jangkauan akuntabilitas lebih jauh dari sekedar
mentaati intruksi, termasuk responsibilitas atas perilaku dan tindakan-tindaktan
yang dinilai dengan criteria seperti kompetensi, integritas, penilaian,
kehati-hatian, visi semangat dan lain-lain. Pada dasarnya
tidak semuan orang akan dapat memahami arti yang jelas dari akuntabilitas atau
bahkan sama sekali tidak mampu mendefinisikan
dengan tepat. Umumnya orang memahami
bahwa akuntabilitas akam memberikan kemampuan yang lebih besar bagi
suatu organisasi untuk lebih kompettitif dan meningkatkan kinerjanya.
Berdasarka batasan pengertian tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa
akuntabilitas pada hakekatnya merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk
mempertanggunggugatkan atau mempertanggungjawabkan keberhasilanm atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi
dalam mecapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media
pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara priodik. Dalam konteks birokrasi
pemerintahan baik pada birokrasi politik maupun birokrasi adminisitrasi dalam
suatu institusi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan misinya.
b. Jenis dan Macam Akuntabilitas Pemerintahan
Menurut jenisnya, akuntabilitas
dapat dibedanya atas akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal
seseorang menjalankan tugas dan fungsinya dalam organisasi pemerintahan.
Pertanggungjawaban seseorang kepada Tuhan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya mengenai sesuatu yang dilaksanakannya dipahami sebagai
akuntabilitas internal atau akuntabilitas spiritual seseorang. Sedangkan
pertanggungjawaban seseorang kepada lingkungannya baik pada lingkungan formal organisasi
( atasan-bawahan ) maupun lingkungan masyarakat ( LAN –RI : 2000 ).
Akuntabilitas eksternal seseorang dalam
organisasi lebih mudah diukur karena parameter, norma dan standarnya sangat
jelas. Pengawasan, pengendalian dan penilaian eksternal secara eksplisit sudah
ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja
organisasi. Tidak demikian halnya dengan akuntabilitas internal seseorang,
karena tidak adanya parameter yang jelas dan dapat diterima oleh semua orang
dan tidak ada yang melakukan pengecekan sehingga tidak jelas ukurannya,
terkecuali dikaitkan dengan aktivitas dengan lingkungan pemerintahan dan
masyarakat. Akuntabilitas eksternal seseorang baik di dalam maupun di luar
organisasi merupakan hal yang paling banyak dibicarakan, karena berkaitan
dengan kepercayaan dari persepsi, sikap dan
perilakunya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya selaku manusia
peribadi, sosial dan organisasi.
Menurut brautinggam dalam Nizar yang
dikutip Joko Widodo ( 2001 : 152 ) bahwa dibedakan tiga jenis akuntabilitas
publik dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan yaitu : akuntabilitas politik,
akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas
hukum. Akuntabilitas Politik berkaitan erat dengan sistem pemilu, sisten
politik ” multi partai ” dinilai lebih mampu menjamin akuntabilitas politik
pemerintahan terhadap rakyatnya daripada pemerintahan dengan sistem ” satu
partai ” . Akuntabilitas keuangan, berarti aparat pemerintah wajib
mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang rakyat dalam anggaran belanjanya yang
bersumber dari penerimaan pajak dan retribusi. Akuntabilitas hukum,
bahwa rakyat harus memiliki keyakinan bahwa unit-unit pemerintahan dapat bertanggungjawab secara
hukum atas segala tindakannya.
Menurut Samuel Paul ( dalam Tjahya
Supriatna, 2001 : 103 ) akuntabilitas dapat dibedakan atas : democratic accountability, profesional
accountability, and legal accountability.
1.
Democratic Accountability,
Akuntabilitas demokratis
merupakan gabungan antara administrative
dan politic accountability. Menggarkan pemerintah yang akuntabel atas
kinerja dan semua kegiatannya kepada pemimpin
politik. Pada negara-negara demokratis , menteri pada parlemen. Penyelenggaraan
pelayanan publik akuntabel kepada menteri/pimpinan instansi masing-masing.
Dalam kontek ini pelaksanaan akuntabel dilakukan secara berjenjang dari
pimpinan bawah ke pimpinan tingkat tinggi secara herarkhi yaitu Presiden dan
Presiden pada MPR.
2. Professional Accountability
Dalam akuntabilitas profesional, pada
umumnya para pakar, profesional dan teknokrat melaksanakan tugas-tugasnya
berdasarkan norma-norma dan standar profesinya untuk menentukan public interest atau kepentingan masyarakat.
3. Legal Accountability
Berdasarkan
berdasarkan katagori akuntabilitas legal ( hukum ), pelaksana ketentuan
hukum disesuaikan dengan kepentingan public goods dan public service yang merupakan tuntutan ( demand ) masyarakat ( customer
). Dengan akuntabilitas hukum, setiap petugas pelayanan publik dapat diajukan
ke pengadilan apabila mereka gagal dan bersalah dalam melaksanakan tugasnya
sebagaimana diharapkan masyarakat. Kesalahan dan kegagalan dalam pemberian
pelayanan kepada masyarakat akan terlihat pada laporan akuntabilitas legal.
Pemerintah dalam penyelenggaraan
pemerintahanan berkewajiban mempertanggungjawabkan berbagai kebijakan dan pelayanan publik pada masyarakat. Dalam hal ini
Chander dan Plano dalam Joko Widodo ( 2001 : 153
) membedakan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam lima macam yaitu :
- Fiscal accuntability, merupakan tanggungjawab atas dana publik yang digunakan ;
- Legal accuntability, tanggung jawab atas ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Program accuntability, tanggung jawab atas pelaksanaan program;
- Process accuntability, tanggung jawab atas pelaksanaan prosedur dan mekanisme kerja;
- Outcome accountability, tanggungjawab atas hasil pelaksanaan tugas dalam situasi organisasi.
Sebagai
perbandingan terhadap pandangan Chander dan Plano, maka Yango terdapat empat
macam akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan ( Joko Widodo : Ibid ) yaitu :
- Regularity Accountability, memfokuskan pada transaksi-transaksi reguler atau transaksi-transaksi fiskal untuk mendapatkan informasi mengenai kepatutan pada peraturan yang berlaku terutama yang terkait dengan peraturan fiskal dan peraturan pelaksanaan administrasi yang sering disebut ” compliance accuntability ”.
- Managerial Accountability, menitik beratkan pada efisiensi dan kehematan penggunaan dana, harta kekayaan, sumberdaya manusiadan sumber-sumber daya lainnya.
- Program Accountability, menfokuskan pada pencapaian hasil pelaksanaan kegiatan pemerintah.
- Process Accountability, memfokuskan pada informasi mengenai tingkat pencapaian kesejahteraan sosial atas pelaksanaan kebijakan dan aktivitas organisasi.
Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan atau
akuntabilitas pemerintahan beragam yang mencerminkan kewajiban, tanggungjawab,
sasaran atau tujuan mempunyai manfaat dan dampak bagi kelabcaran, kesehatan dan
kepercayaan organisasi dan meningkatkan kepentingan umum. Dalam hal itu,
terdapat beragam akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu
akuntabilitas hukum, akuntabilitas organisasi dan manajerial, akuntabilitas
keuangan, akuntabilitas proses, akuntabilitas program, akuntabilitas profesional dan akuntabilitas
moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar