Senin, 03 Oktober 2011

Otonomi Desa


A.    PENDAHULUAN
Otonomi secara mendasar merupakan bentuk pengakuan atau penyerahan kewenangan dari pemerintah-gubernur-camat-desa. Secara teoritis otonomi menyangkut dua hal pokok yaitu otonomi dalam teritorial dan otonomi fungsional.
Pemerintahan desa dalam konteks historis-kultural diberi wewenang dan kekuasaan mutlak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk melalui kewenangan dalam menentukan batas-batas daerahnya. Namun secara kontekstual dengan berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desa dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Desapraja, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka posisi desa merupakan bagian integral dari pemerintahan nasional dan secara empirik merupakan bagian dari pemerintah Kabupaten.
Kewenangan territorial dalam konteks otonomi desa sudah tergradasi oleh sistem nilai yang diwujudkan dalam hukum-kukum positif yang berlaku di Republik Indonesia, namun secara empirik hukum-hukum positif tersebut telah mendukung eksistensi otonomi desa, itulah bentuk-bentuk pengembalian. Dikembalikannya otonomi, reposisi dan redefinisi otonomi desa yang sempat mandiri, oleng dan digerakkan kembali agar normal dan stabil dalam wadah dan bingkai dasar yaitu desa sebagai subsistem dari sistem pemerintahan nasional maupun pemerintahan kabupaten.
Kerangka dasar tersebut menjadi pertimbangan serius bagi pemberdayaan pemerintahan desa. Jika desa berdaya, mandiri dan kuat, cenderung kabupaten melemah dan jika kabupaten kuat, maka provinsi menjadi melemah. Untuk itu, regulasi dan pembagian wewenang  menjadi mutlak dalam konteks otonomi, siapa mengerjakan apa, berbuat apa dan bertanggungjawab pada siapa.
Realita tersebut yang menjadi urgen dalam penataan dan mendudukkan kembali otonomi desa dalam bingkai desa sebagai subsistem dari sistem pemerintahan kabupaten sadar maupun tidak bahwa aturan desa mengalami kegagalan ketika Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 diberlakukan hampir 32 tahun berlaku ketika desa disentuh dan diposisikan sebagai bagian integral dari sistem pemerintahan nasional dengan segala keseragaman dan mengabaikan keragaman dan diberangus dengan sentralisasi pengelolaan desa.

B.    TEORI DESENTRALISASI DAN OTONOMI
Desentralisasi dalam pandangan Ruiter dalam Hoogerwerf (1978:500) dapat diartikan sebagai pengakuan atau penyerahan wewenang badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan serta struktur wewenang yang dimiliki termasuk didalamnya prinsip-prinsip pembagian wewenang.
Prinsip-prinsip pembagian wewenang meliputi: 1) unitarisme dan federal-isme, 2) sentralisasi dan desentralisasi (dalam arti sempit), dan 3) konsentrasi dan dekonsentrasi. Unitarisme dan federalisme berlaku pada negara-negara federal, di mana pemerintahan federal dan pemerintahan negara-negara bagian mendasarkan pelaksanaan wewenangnya atas konstitusi-konstitusi tersendiri yang bersama-sama menjamin suatu pembagian wewenang antara negara federal dan negara bagian. Wewenang-wewenang tersebut tidak saling membawahi, akan tetapi sejajar dengan pembatasan-pembatasan satu sama lain. Sentralisasi dan desentralisasi digunakan pada bersangkutan dengan hubungan-hubungan di negara kesatuan atau dalam suatu negara bagian dari suatu federasi. Negara demikian lebih terdesentralisasi apabila lebih banyak wewenang dan tugas di bidang pelaksanaan kebijakan diserahkan atau ditugaskan kepada badan-badan umum yang tidak langsung berada di bawah pemerintahan pusat. Sedangkan konsentrasi dan dekonsentrasi merupakan kecenderungan untuk menyebarkan fungsi-fungsi pemerintahan pada jenjang tertentu secara meluas kepada organisasi pemerintahan.
Lebih lanjut Ruiter (1983:501) menjelaskan bahwa desentralisasi menurut pendapat umum terbagi dalam dua bentuk yaitu: 1) Desentralisasi teritorial dan 2) fungsional. Desentralisasi teritorial seperti di Nederland, propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja yang terdesentralisasi secara territorial. Propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja merupakan kesatuan-kesatuan dengan identitas publik sendiri. Untuk itu, propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja disebut juga korporasi-korporasi daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional bentuknya antara lain badan-badan urusan pengairan, badan kerja sama kota praja termasuk yang disebut pregewesten.
Ada dua jenis desentralisasi, yakni desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial adalah penyerahan kekuasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi) dan batas pengaturan tersebut adalah daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal pertanahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Desentralisasi juga bermakna sebagai pengembalian harga diri pemerintah pusat. Selain itu, kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah pada dasarnya merupakan koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan unifomisasi pemerintahan yang selama ini berlaku. Pemahaman yang mendalam terhadap posisi strategis otonomi dijelaskan Rasyid (2003:9) sebagai berikut:
Posisi kebijakan otonomi daerah sebagai sebuah proyek pengembalian harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Di masa lalu, banyak masalah di daerah yang tidak tertangani dengan baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah daerah di bidang itu. Ini berkenaan antara lain dengan konflik pertanahan, kebakaran hutan, pengelolaan pertambangan, perizinan investasi, perusakan lingkungan, alokasi anggaran dan dana subsidi pemerintah pusat, penetapan prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan struktural, perubahan batas wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa serta pemilihan kepala daerah.

Keterbatasan wewenang daerah berdampak pada tumpulnya kreativitas untuk mengembangkan sumber daya alam maupun sumber daya manusia, termasuk upaya pemerintah untuk memperkecil rentang kendali beban-beban rutin dan teknis. Lebih jauh Rasyid (2003:9) mengungkapkan bahwa tujuan utama dari kebijakan desentralisasi di satu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi para perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan symbol trust dari pemerintah pusat.
Sejalan dengan pandangan di atas, Gunawan, (2002:79) mengemukakan bahwa desentralisasi menjadi harapan sekaligus tantangan bagi proses demokratisasi Indonesia. Globalisasi di semua belahan dunia menimbulkan anomi, disintegrasi, konflik berbasis lokalitas etnis dan budaya bahkan agama dan ekses idiologi lainnya. Namun di sisi lain globalisasi akan melibas nilai dan konsep budaya lokal yang tidak sesuai dengan norma dan standar nilai internasional.
Sejalan dengan hal tersebut Tjandra (2004:12) mengungkap bahwa pokok-pokok otonomi daerah antara lain: 1) konsep otonomi daerah berkaitan dengan cara pembagian secara vertikal kekuasaan pemerintahan, 2) dasar kerakyatan dalam desentralisasi adalah hak rakyat di daerah untuk menentukan nasibnya sendiri dan mengatur pemerintahan sendiri (zelf bestuur), 3) sistem pelayanan publik yang efektif dan efisien adalah prinsip dasar dari desentralisasi, 4) pemerintahan daerah yang sinergis dengan prinsip Good Governance adalah pemerintahan daerah yang berkarakter terbuka, kerakyatan, akuntabel dan partisipatif.


C.    OTONOMI DESA

Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa-prakarsa desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang dimiliki desa. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sutoro Eko (2005:xiii) mengemukakan bahwa:
Konteks penting yang mendorong desentralisasi dan otonomi desa adalah: 1) secara historis desa telah lama eksis di Indonesia sebagai kesatuan masyarakat hukum dan self-governing community yang memiliki sistem pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam, 2) lebih dari 60% penduduk Indonesia bertempat tinggal di desa, 3) dari sisi ekonomi-politik, desa memiliki tanah dan penduduk selalu menjadi medan tempur antara negara, kapital dan masyarakat, 4) konstitusi maupun regulasi negara memang telah memberikan pengakuan terhadap desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-governing community), tetapi pengakuan ini lebih bersifat simbolik-formalistik ketimbang substantif, dan 5) selama lima tahun terakhir desa tengah bergolak menuntut desentralisasi dan otonomi.

Kejelian pemerintah dalam implementasi kebijakan otonomi desa hendaknya diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses pertumbuhan dan perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal tidak dapat dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan hendak dijadikan sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang ditempuh tidak destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan generasi ke depan.
Sumardjan (1996:5) mengemukakan bahwa desa pada umumnya sebelum mengalami pembangunan mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) sumber penghasilan desa adalah pada tanah, 2) teknologi pertanian dan sebagainya masih rendah, 3) tata hidup dan sosial berkembang untuk sosial subsistence (keperluan sosial sendiri), 4) sistem sosial masyarakat desa lebih kuat karena isolasi fisik dan kultur, dan 5) Tumbuh suatu kesatuan masyarakat adat.
Potensi-potensi tersebut juga banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi desa baik sebagai subsistem pemerintahan maupun sebagai subsistem sosial. Saragi (2004:x-xiv) mengemukakan ada empat tantangan yang menonjol bagi institusi pedesaan yaitu: pertama, dukungan untuk membangkitkan institusi lokal yang berbasis masyarakat, kedua, membangun kepemimpinan baru, ketiga, menempatkan pedesaan secara kokoh sebagai bagian integral dari perkembangan politik nasional, dan keempat, perlu atau tidaknya demokratisasi dalam otonomi daerah. Bagi masyarakat lokal diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan jawaban strategis dalam mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Otonomi desa membuka peluang dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga sosial keagamaan termasuk fungsi-fungsi obyektif masyarakat. Ndraha (2003:442-445) mengungkap fungsi-fungsi obyektif masyarakat sebagai berikut, pertama, peningkatan nilai sumber daya (subkultur ekonomi) seperti: a) membeli semurah mungkin, b) menjual seuntung mungkin, c) membuat sehemat mungkin, kedua, penciptaan keadilan dan kedamaian (subkultur pemerintahan) seperti: a) berkuasa semudah mungkin, b) menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, c) mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal mungkin, dan ketiga, kontrol terhadap kekuasaan (subkultur sosial), seperti a) peduli (suka usil), b) budaya konsumeristik, c) collective behavior ke collective action. Check-and-balance dapat terjadi jika kekuatan antar ketiga subkultur tersebut seimbang, serasi dan selaras, yang satu tidak berada di bawah yang lain, yang satu tidak lebih lemah daripada yang lain, maju bersama ke depan yang kesemua itu membutuhkan kesadaran nasional, rasa tanggungjawab sosial dan kesediaan berkorban pemuka-pemuka masyarakat di berbagai sektor dan tingkat kehidupan (kaum intelektual, alim-ulama, entrepreneur, dan sebagainya) untuk rela tetap berada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat subkultur sosial dan tidak tergoda mengejar kekuasaan untuk tergiur akan kekayaan, kesenangan dan popularitas.
Sinergi ketiga subkultur ekonomi, pemerintahan dan sosial yang kesemua itu menumbuhkan dan menguatkan institusi lokal dan terbangunnya demokratisasi masyarakat desa. Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:ix) mengemukakan bahwa peluang otonomi desa dilihat dari perubahan ke arah interaksi yang demokratik dengan fenomena sebagai berikut: 1) dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya institusi lokal, 2) semangat pengadopsian demokrasi delegatif-liberatif cukup besar, dan 3) semangat partisipasi masyarakat yang sangat ditonjolkan. Lebih lanjut dikemukakan Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:viii) mengungkapkan bahwa:
Perubahan dalam tata hubungan desa dengan pemerintah supra desa tercermin dalam beberapa hal antara lain: 1) pelimpahan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten atau kota, 2) dimungkinkan munculnya variasi di tiap daerah mengenai model pemerintahan di tingkat desa akibat perubahan kebijakan, 3) intervensi pemerintah supra desa dihilangkan dalam pemilihan kepala desa dengan dihapuskannya wewenang Panitia Litsus, 4) asas pembantuan masih dimungkinkan tetapi harus disertai dengan pembiayaan dan prasarana yang memadai, dan 5) adanya peluang diversifikasi penggalian pengelolaan sumber-sumber keuangan desa.

Pola hubungan infra dan supra desa tersebut membutuhkan sinergitas dalam pembangunan. Di samping itu terdapat peluang-peluang lain pada perubahan dalam tata hubungan desa dengan supra desa termasuk pola hubungan antara Kepala Desa – Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan camat.
Tugas utama pemerintah dalam rangka otonomi desa adalah menciptakan kehidupan demokratis, memberi pelayanan publik dan sipil yang cepat dan membangun kepercayaan masyarakat menuju kemandirian desa. Untuk itu desa tidak dikelola secara teknokratis tetapi harus mampu memadukan realita kemajuan teknologi yang berbasis pada sistem nilai lokal yang mengandung tata aturan, nilai, norma, kaidah dan pranata-pranata sosial lainnya.
Potensi-potensi desa berupa hak tanah (tanah bengkok, titisari dan tanah-tanah khas desa lainnya), potensi penduduk, sentra-sentra ekonomi dan dinamika sosial-politik yang dinamis itu menuntut kearifan dan profesionalisme dalam pengelolaan desa menuju optimalisasi pelayanan, pemberdayaan, dan dinamisasi pembangunan masyarakat desa. Sejalan dengan itu, Sutoro Eko (2005:xv) menjelaskan bahwa:
Tujuan yang substansial dari desentralisasi dan otonomi desa itu adalah: pertama, mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat, kedua, memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan, ketiga, menciptakan efisiensi pembiayaan pem-bangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, keempat, men-dongkrak kesejahteraan perangkat desa, kelima, menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa, keenam mem-berikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi desa, ketujuh, menempa kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, kedelapan membuka arena pembelajaran yang sangat bagi pemerintah desa, BPD dan masyarakat dan kesembilan merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal.

Esensi dan substansi rujukan tersebut di atas yaitu kesejahteraan masyarakat, partisipasi aktif dan upaya membangun kepercayaan bersama yang dibingkai dengan sinergitas antara pemerintah dengan yang diperintah. Upaya mengawal tujuan desentralisasi dan otonomi desa itu memerlukan komitmen politik dan keberpihakan kepada desa menuju kemandirian desa. Dan tuntutan kemandirian desa pada hakekatnya adalah terbentuknya daerah otonomi tingkat tiga yang disebut otonomi desa.
Pokok-pokok pikiran tersebut di atas berdampak langsung pada kegiatan pemerintahan pada level desa sebagai subsistem pemerintahan nasional yang dalam kondisi empirik cenderung tidak proporsional. Mengingat kedudukan desa selama ini terkesan dimarginalkan, partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian rekonstruksi penguatan peranan desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang hakiki adalah desentralisasi yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak bagi desa dalam keanekaragaman karakteristiknya untuk secara penuh terlibat dalam perencanaan daerah.
Posisi pemerintahan desa yang dimarginalkan tidak menguntungkan dengan tumbuh dan berkembangnya otonomi desa, bahkan lambat laut desa dan kemandiriannya mengalami stagnan bahkan terjadi degradasi yang cukup signifikan bagi otonomi desa.
Otonomi desa dalam kasus Desa Dompyong Kec. Babakan Kabupaten Cirebon yang dimarginlkan menyangkut nilai-nilai, norma, kaidah hidup bersama dan gotong royong. Sementara itu otonomi desa dalam status dan kedudukan desa, istilah-istilah perangkat desa saat ini seperti Kuwu, Juru Tulis, Ngabihi, Cap Gawe, Lebe dan sebagainya telah terkubur dan baru dibangkitkan kembali ketika berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

D.  UNSUR-UNSUR DESA
Eksistensi dan variasi desa dapat dilihat dari sisi historis, kultural, geografis termasuk unsur dan status desa. Desa secara leksikal berasal dari bahasa Sanskrit yaitu Desi yang artinya tanah asal atau tanah kelahiran. Di Inggris di mana tempat tinggal bersama di sebut dengan “parish” di Belanda disebut “waterschap” di Amerika Serikat disebut “borough”. Demikian pula di Indonesia terdapat beraneka nama untuk kelompok atau kumpulan rumah-rumah misalnya Kampung dan Desa (sebutan di Jawa-Barat), Gampong (Aceh), Huta atau Kuta (Tapanuli), Marga (Sumatera Selatan), Negorij (Maluku), Nagari (Minangkabau), Wanua (Minahasa), Gaukay (Makasar), Banua (Kalimantan Barat) dan lain sebagainya. Soetardjo (1984:16) mengemukakan bahwa:
Desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi hanya dari satu tempat kediaman masyarakat saja, ataupun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana dinamakan pedukuhan, ampean, kampung, cantilan beserta tanah pertanian, tanah perikanan darat (empang, tambak dan sebagainya) tanah hutan dan belukar.

Lebih lanjut Suriadiningrat (1976:3) menegaskan bahwa desa merupakan tempat tinggal bersama yang ditimbulkan oleh unsur-unsur sebagai berikut: manusia sebagai makhluk sosial, unsur kejiwaan, alam sekeliling manusia, kepentingan bersama dan bahaya dari luar.
Pemahaman lebih lanjut tentang unsur-unsur desa dijelaskan oleh Bintarto (1983:14) sebagai berikut: 1) daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat, 2) penduduk, adalah hal yang meliputi jumlah, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat, 3) tata kehidupan, dalam hal ini pola atau tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa (rural society). Unsur-unsur desa merupakan sesuatu yang penting sehingga tidaklah berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara. Sedangkan Ndraha (1984:31) mengemukakan bahwa unsur-unsur desa merupakan komponen pembentuk desa sebagai satuan ketatanegaraan dan komponen-komponen tersebut meliputi wilayah desa, penduduk atau masyarakat desa dan pemerintahan desa.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur desa merupakan perekat utama dalam memposisikan desa sebagai hasil perpaduan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya. Koestoer (1995:6) mengemukakan bahwa hasil perpaduan itu ialah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi. Kecirian fisik ditandai oleh pemukiman yang tidak padat, sarana transportasi yang langka, penggunaan lahan persawahan dan kecirian lain berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan tata kehidupan. Dalam kerangka itu, Ndraha (1989:15) mengungkapkan bahwa memahami desa secara komprehensif dapat dilakukan melalui wilayah, aspek yuridis, sosio-kultural dan aspek kegotong-royongan. Kesemua aspek tersebut banyak mewarnai substansi dan eksistensi desa.
Unsur-unsur desa merupakan elemen utama pembentuk desa. Perpaduan unsur-unsur tersebut yang pada akhirnya membentuk suatu karakteristik tersendiri yang membedakan desa secara umum dengan kota, dan secara khusus membedakan antara desa yang satu dengan lainnya. Unsur-unsur desa tersebut terbentuk dari berbagai unsur yang mewarnai kehidupan desa, seperti unsur sosial, fisiografi, ekonomi, politik dan budaya yang saling berinteraksi.
Unsur-unsur sosial terbangun dalam tata kehidupan dan otonomi Desa Dompyong yaitu kebersamaan dan kekerabatan masyarakat Desa Dompyong secara historis-kultural dari Raden Gentong yang berasal dari Cidahu-Kuningan yang ditandai dengan sungai yang membelah Desa Dompyong. Sementara itu kondisi ekonomi dalam konteks otonomi masyarakat Desa Dompyong antara lain sebagai berikut:
Mata Pencaharian penduduk Desa Dompyong Wetan dan Dompyong Kulon Tahun 2005
NO
MATA PENCAHARIAN
DESA
DOMPYONG WETAN
DOMPYONG KULON
1
Petani
75
220
2
Buruh Tani
1.675
370
3
Nelayan
30
8
4
PNS
108
46
5
Pengrajin
-
6
6
Pedagang
25
61
7
Peternak
12
-
8
Jasa
20
14
9
Montir
5
20
10
Pensiunan POLRI/ TNI
3
5
Sumber: Monografi Desa Dompyong Wetan dan Dompyong Kulon Tahun 2005

Kerangka dasar di atas secara esensial mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi Desa Dompyong didominasi oleh petani. Politik dalam konteks otoomi desa semula mengandalkan tokoh adat, agama, cendikiawan dan tokoh-tokoh dermawan telah mengalami pergeseran kepada nilai-nilai realistis dan pragmatis khususnya yang berkaitan dengan ekonomi, sementara yang berkaitan dengan ekonomi, sementara yang berkaitan dengan tatanan nilai, norma dan kaidah didominasi dan dikendalikan oleh tokoh agama, adat dan Kuwu. Arus informasi mengalir dari masyarakat ke ulama maupun BPD dan LPMD maupun dari Kepala Desa atau Kuwu sebagai mediator maupun komunikator antara pemerintah supra desa dengan infra desa.

E.        DESA SEBAGAI SUBSISTEM PEMERINTAHAN
Desa adalah subsistem dari sistem pemerintahan yaitu bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa atau marga merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan nasional sehingga desa atau marga memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya (HAW. Widjaja, 2001:43).
Pemerintahan desa sebagai badan kekuasaan memiliki dua keunikan yaitu otonomi asli untuk mengatur pemerintahan sendiri sesuai dengan keunikan yang dimiliki dan implementasi terhadap azas dekonsentrasi pelaksanaan kekuasaan pemerintah diatasnya, baik pemerintah kabupaten atau kota, propinsi maupun pemerintah pusat, yang kesemua itu sebagai konsekuensi desa sebagai subsistem dari sistem pemerintahan nasional.
Pemerintah desa sebagai badan terendah menunjukkan pada tugas pekerjaan atau fungsi yang sejalan dengan denyut nadi kehidupan masyarakat atau yang diperintah, hal itu menunjukkan bahwa desa sebagai badan pemerintahan memiliki kepentingan untuk melayani masyarakat atau yang diperintah. Pambudi (2003:18) mengemukakan bahwa pemerintah desa yang dibentuk memiliki tugas utama menggerakkan masyarakat agar bisa menjadi salah satu kekuatan penting dalam proses pembangunan. Sedangkan Jatiman (1995:320-321) mengungkapkan bahwa pembangunan nasional yang menempatkan desa sebagai salah satu sasaran pembangunan menjadikan pemerintah desa menjadi ujung tombak pelaksanaan pembangunan di daerah pedesaan.
Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:33) menjelaskan bahwa pemerintah desa memiliki peranan signifikan dalam pengelolaan proses sosial masyarakat. Tugas utama yang harus diemban pemerintahan desa adalah menciptakan kehidupan demokratis, memberikan pelayanan sosial yang baik sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa tentram dan berkeadilan. Mengingat kedudukan desa selama ini terkesan dimarginalkan, partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian rekonstruksi penguatan peranan desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang hakiki adalah desentralisasi yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak bagi desa dalam keanekaragaman karakteristiknya untuk secara penuh terlibat dalam perencanaan daerah.
Desa yang dijadikan sasaran pembangunan nasional disatu sisi dan di sisi lain desa menjadi sumber-sumber budaya nasional sebagaimana dikemukakan Soetardjo (1984:41) bahwa dasar-dasar kebudayaan nasional sumbernya terdapat di desa. Desa merupakan sumber kekuatan dan tenaga kebangsaan termasuk timbulnya getaran jiwa. Kekuatan-kekuatan tersebut yang terus bergulir memberi warna pada desa sebagai subsistem pemerintahan maupun desa sebagai subsistem sosial.  Fenomena tersebut memposisikan desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri menuju kemandirian desa dengan melibatkan semua elemen masyarakat sebagai perwujudan otonomi desa. Otonomi desa adalah suatu proses peningkatan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi menuju kehidupan masyarakat desa yang diatur dan digerakkan oleh masyarakat dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat. Ini berarti desentralisasi dan otonomi desa adalah demokratisasi. Sejalan dengan itu Rozaki, dkk (2005:16-26) mengemukakan bahwa keleluasaan desa bisa didongkrak bila desa mempunyai sejumlah kewenangan yang diberikan pemerintah melalui skema desentralisasi politik.

F.  DESA SEBAGAI SUBSISTEM SOSIAL 
Desa dewasa ini harus dipandang sebagai bagian dari masyarakat nasional. R. Redfield menyebutnya sebagai part society sebagai suatu sistem masyarakat desa merupakan belahan atau bagian dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat nasional (Rusidi, 1989:77), sedangkan asal-usul dan proses terbentuknya desa diungkap melalui pandangan Suriadiningrat (1976:1) yang menegaskan bahwa tidak diketahui dengan pasti kapan permulaan adanya desa. Menurut ilmu kejiwaan masyarakat, manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang selalu hidup dan berhubungan dengan mahluk lain. Di mana ia berada selalu berhubungan dengan manusia lain.
Manusia juga mempunyai dorongan kodrat diantaranya adalah dorongan sosial, dorongan segregrasi dan dorongan integrasi. Dorongan sosial mendorong manusia untuk hidup bersama dengan manusia lain dalam satu golongan. Dorongan segregrasi membentuk manusia berdasarkan sifat atau kepentingan yang sama dan dorongan integrasi mendorong perorangan atau golongan untuk tunduk, taat dan berlindung kepada seseorang atau golongan keseluruhan. Ketiga dorongan ini mengakibatkan terbentuknya lembaga sosial.
Dorongan segregasi dan integrasi menjadi motor utama bagi individu untuk bersatu dalam menghadapi rintangan dan tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal yaitu kesungguhan untuk bersama, termasuk untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sedangkan secara eksternal yaitu upaya menghadapi tantangan dan menjaga keamanan dari pihak-pihak luar.
Desa sebagai subsistem sosial dipengaruhi oleh paradigma bahwa terdapat banyak potensi masyarakat yang memungkinkan mereka untuk dapat mandiri, partisipasi memerlukan pemahaman, keterbukaan dan kesempatan untuk urung rembug dan masyarakat akan berpartisipasi penuh jika mereka mempercayai pemimpinnya. Selain itu, dalam konteks ini masyarakat merencanakan, memutuskan, mengelola dana dan memper-tanggungjawabkannya kemudian melakasanakan dan mengelola serta memelihara sarana dan prasarana desa. Dari sisi kelembagaan, musyawarah desa adalah forum pengambil keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di desa. Selain itu, pertanggungjawaban pemerintahan desa dan kelembagaan kemasyarakatan kepada masyarakat, adanya lembaga penyelesaian konflik yang diakui lembaga-lembaga lain di desa yang bersangkutan. Berkaitan dengan lembaga kemasyarakatan, Rothman (dalam Cox, et.all, 1974:22-39), mengemukakan tiga model dan praktek lembaga kemasyarakatan yaitu: 1) model pembangunan setempat (locality development), model perencanaan sosial (social planning) dan, 3) model aksi sosial (social action).  Dari ketiga model ini, yang paling cocok digunakan untuk menganalisis pemerintah desa dari sisi lembaga kemasyarakatan adalah model pembangunan setempat.
Kerangka teoritis tersebut di atas terungkap bahwa struktur organisasi pemerintahan desa esensinya sebagai bagian dari sistem pemerintahan kabupaten dengan mediator camat selaku koordiantor pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Struktur organisasi desa yaitu Kuwu, Sekretaris Desa, Para Kepala Urusan dan para Kepala Dusun.

H.  OTONOMI DALAM KONTEKS PEMEKARAN DESA
1.    Esensi Pemekaran
Esensi pemekaran baik menyangkut konsep, kriteria maupun tujuan pemekaran merupakan bagian integral dalam proses perkembangan organisasi pemerintah propinsi, kabupaten maupun pada level desa yang kesemua itu nuansanya pada efisiensi pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan. Sejalan dengan itu Rasyid (1997:122) menjelaskan bahwa pembentukan wilayah-wilayah administratif yang baru menjadi kebutuhan masa depan pemerintahan kita. Ini terutama relevan untuk wilayah-wilayah yang luas. Di samping pemekaran wilayah administrasi itu merupakan jawaban atas kebutuhan untuk pemerataan pembangunan, juga akan lebih menjamin tugas dan fungsi organisasi serta pengelolaan wilayah. Luas wilayah, kondisi penduduk dan efisiensi serta efektivitas pelayanan menjadi titik utama dalam pemekaran wilayah maupun desa.
Pemekaran sejalan dengan perkembangan organisasi pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.84 Tahun 2000, pemerintah daerah diberi kebebasan untuk menyusun organisasinya sendiri sesuai dengan lima kriteria yang ditetapkan yaitu: 1) berdasarkan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah, 2) sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah, 3) sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, 4) sesuai dengan ketersediaan sumber daya aparatur dan 5) kemungkinan pengembangan pola kerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga.
Pemahaman tersebut mengisyaratkan bahwa ke depan, pemekaran dapat menjadi alternatif kebijakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang menyangkut pengelolaan wilayah propinsi, kabupaten atau kota termasuk kawasan wilayah pedesaan. Kebijakan pemerintah dalam memekarkan suatu wilayah pemerintahan propinsi, kabupaten, kota maupun desa diharapkan proses pelayanan agar lebih cepat dan tepat dirasakan masyarakat dan kegiatan pemberdayaan maupun pembangunan lebih efisien dengan tetap mengedepankan partisipasi aktif masyarakat desa. Mekanisme dan norma hukum dalam pemekaran wilayah ditentukan secara hierarki. Pemekaran propinsi dilakukan dengan Undang-Undang, pemekaran wilayah Kabupaten dan Kota oleh Peraturan Pemerintah, pemekaran Kecamatan oleh Keputusan Presiden dan pemekaran desa oleh Peraturan Daerah Kabupaten.
Rasyid (1997:117) mengemukakan bahwa pemekaran wilayah pemerintahan yang memperluas jangkauan pelayanan akan menciptakan dorongan-dorongan baru dalam masyarakat bagi lahirnya prakarsa yang mandiri menuju kemajuan bersama-sama. Pemahaman di atas menunjukkan bahwa pemekaran yang berdampak pada pengembangan organisasi pemerintahan propinsi, kabupaten atau kota termasuk di level pemerintahan desa perlu dilakukan perencanaan yang matang dengan tetap pada orientasi dalam pencapaian tujuan organisasi di satu sisi dan di sisi lain dapat tercapai kesejahteraan masyarakat secara optimal dengan tetap mengacu pada akuntabilitas, legitimasi dan transparansi yang kesemua itu merupakan esensi governance atau pemerintahan.
Desentralisasi dan otonomi daerah termasuk otonomi desa telah ada sejak lahirnya Undang-undang Hindia Belanda tentang desentralisasi tanggal 23 Juli 1903 yang dinamakan dengan desentralisasi wet No. 329, dan ketika Indonesia merdeka desentralisasi dan otonomi daerah dibingkai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yaitu ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang, dan ayat (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Perundang-undangan selanjutnya yang mengatur otonomi desa yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Desa dalam undang-undang tersebut dirancang menjadi Daerah Tingkat III, namun pada tataran implementasi belum menunjukkan hasil yang optimal, mengingat bersamaan dengan itu terjadi peristiwa G.30 S/PKI yang berujung pada pergantian pucuk pimpinan nasional. Namun gagasan kepemimpinan desa, kepala desa dan BPD, memberi nuansa baru bagi pemerintahan desa.
Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang substansi pemerintahan desa, undang-undang tersebut mengangkat desa sebagai subsistem pemerintahan. Untuk itu, pada ayat (a) sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman desa dan ketentuan adat-istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang makin meluas dan efektif, dan ayat (b), bahwa berhubungan dengan itu, dipandang perlu segera mengatur bentuk dan susunan pemerintahan desa dalam suatu Undang-undang yang dapat memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Penyelenggaraan desa secara sentralistik dan seragam memposisikan desa dan istilah pembangunan nasional. Kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi partisipasi aktif dan potensi-potensi lokal yang bersandar pada keragaman desa termasuk menguatnya peran kepala desa dibandingkan dengan lembaga-lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai perwujudan dari perwakilan masyarakat. Kondisi tersebut mulai bergeser ketika terjadi perubahan pemerintahan nasional dengan lahirnya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa. Substansi yang terungkap dalam UU No. 22 Tahun 1999 Bab XI Pasal 93-111 maupun UU No.32 Tahun 2004 Bab X Pasal 200-266 yaitu pengelolaan desa dilakukan secara rasional – regional – lokal, yang mengedepankan keberagaman dan potensi-potensi yang dimiliki desa.
Pola pengelolaan desa secara terstruktur dan sistematis telah memposisikan desa sebagai sub sistem pemerintahan dengan menjalankan aturan-aturan yang sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat termasuk pola penerapan strukturisasi  dan birokrasi dijalankan secara kaku dan statis. Desa sebagai sistem pemerintahan menempatkan pemerintah desa sebagai badan terendah menunjukkan pada tugas pekerjaan atau fungsi yang sejalan dengan denyut nadi kehidupan masyarakat atau yang diperintah. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa desa sebagai badan pemerintahan memiliki kepentingan untuk melayani masyarakat atau yang diperintah. Pambudi (2003:18) mengemukakan bahwa pemerintah desa yang dibentuk memiliki tugas utama menggerakkan masyarakat agar bisa menjadi salah satu kekuatan penting dalam proses pembangunan.
Prinsip-prinsip umum organisasi dikemukakan Fayol (dalam Robbins, 1994:39) ke dalam empat belas prinsip, yaitu sebagai berikut: 1) pembagian kerja, 2) wewenang, 3) disiplin, 4) kesatuan komando, 5) kesatuan arah,    6) mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu, 7) remunerasi, 8) sentralisasi, 9) rantai skalar, 10) tata tertib, 11) keadilan, 12) stabilitas masa kerja pegawai, 13) inisiatif, dan 14) esprit de corps. Sedangkan Ndraha (1997:53) mengemukakan makna organisasi sebagai berikut:
Organisasi dapat juga diamati sebagai living organism seperti halnya manusia dan sebagai produk proses organizing. Sebagai living organism yang sudah ada, suatu organisasi merupakan output proses panjang di masa lalu, sedangkan sebagai produk organizing, organisasi adalah alat atau input bagi usaha mencapai tujuan. Pada umumnya organisasi sebagai input merupakan organisasi formal seperti desa.

Sejalan dengan di atas, organisasi dapat diibaratkan sebuah organisme hidup yang dapat lahir, tumbuh, berkembang dan kemungkinan mati. Agar organisasi dapat survive dalam menghadapi perubahan zaman, maka suatu organisasi harus fleksibel dan memiliki daya adaptasi. Pada sisi lain, organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang menerima dan memberi masukan kepada lingkungan, baik internal maupun eksternal. Dalam konteks organisasi pemerintahan, lingkungan internal yang paling dominan adalah faktor politik, hukum, sosial budaya dan teknologi. Sedangkan faktor eksternal yang ikut mempengaruhi organisasi pemerintahan adalah faktor sosial budaya berupa tata nilai masyarakat dan aparatur di mana organisasi pemerintahan itu berada (Giroth, 2006:142). Sedangkan Kuhn (1976:342) yang membagi organisasi pemerintahan menjadi 5 (lima) tipe yaitu: 1) tipe organisasi kerjasama, 2) tipe organisasi pencari keuntungan, 3) tipe organisasi pelayanan, 4) tipe organisasi penekan dan, 5) tipe organisasi kombinasi.
Bertolak dari tipe organisasi pemerintahan di atas, maka organisasi pemerintah desa termasuk tipe pelayanan dan tipe organisasi kerja sama atau kooperatif. Pelayanan cenderung didominasi kepala desa dan perangkat desa (sekretaris desa, kepala urusan, kepala dusun dan seterusnya) sedangkan organisasi kerja sama atau kooperatif didominasi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD).
Proses perubahan sosial pada masyarakat desa dan perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi berimbas pada upaya pengembangan organisasi desa. Pengembangan organisasi di sini dilihat dari sudut ilmu administrasi yang menekankan kerjasama secara rasional, efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan bersama. Bechard (dalam Sutarto, 2000:245) mengemukakan bahwa pengembangan organi-sasi adalah suatu usaha berencana, meliputi organisasi keseluruhan, diurus dari atas untuk meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melalui pendekatan berencana dalam proses organisasi dengan menggunakan pengetahuan dan ilmu perilaku. 
Menurut Albrecht (1985:xv) yang dimaksud dengan pengembangan organisasi adalah proses menyeluruh perubahan dan peningkatan yang terencana dalam jalannya organisasi secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa pengembangan organisasi mencakup semua dimensi dalam organisasi, bukan hanya dimensi-dimensi tertentu saja. Sedangkan bagi Mc Gill (1993:3-4) pengembangan organisasi adalah suatu proses sadar dan terencana untuk mengembangkan kemampuan suatu organisasi sehingga mencapai dan mempertahankan suatu tingkat optimum prestasi yang diukur berdasarkan efisiensi dan kesehatan organisasi.
Berlakunya UU No.22 Tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2004 mengubah paradigma pemerintahan, termasuk segi kelembagaan pemerintahan yang diwujudkan dalam bentuk pemekaran daerah. Pakar organisasi seperti Grote (2002:10) pada umumnya sepakat bahwa organisasi abad 21 memiliki ciri: lebih kecil (smaller), lebih cepat (faster), lebih terbuka (openness) dan lebih melebar (wideness). Ahli lain, yakni Frank Ostroff (dalam Giroth, 2006:114) mengemukakan pendapatnya bahwa organisasi pada abad 21 bersifat lebih melebar dan mengarah pada bentuk organisasi horizontal. Model organisasi horizontal bertujuan agar lebih banyak anggota organisasi yang diberdayakan agar lebih menjadi mandiri dalam mengambil keputusan.
Agar organisasi dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan maka diperlukan transformasi. Gouillart & Kelly (1995:10) dalam Giroth (2006:116) mengemukakan model transformasi organisasi sebagai berikut; 1) reframing corporate, 2) restructuring the company, 3) revitalizing the enterprise, dan 4) renewing people. Transformasi organisasi sebagaimana dikemukakan Gouillart & Kelly pada intinya mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional dan dimensi kultural. Dari ketiga dimensi tersebut, dimensi kultural adalah yang paling sulit berubah karena berhubungan dengan tata nilai masyarakat yang sudah lama tertanam.

2.   Landasan Normatif Pemekaran Desa
Pemekaran berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 Pasal 1 dan 2 tentang pemerintahan daerah menegaskan bahwa pemekaran daerah adalah pemecahan propinsi, daerah kabupaten atau kota menjadi lebih satu daerah. Secara konteks pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu. Dalam pengembangannya diperlukan pendekatan kebudayaan untuk memahami keinginan masyarakat dan mengantisipasi kericuhan akibat kristalisasi kepercayaan yang tidak mewakili masyarakat sehingga terlepas dari esensi pemekaran. Kesemua itu penting dipahami mengingat cara pandang masyarakat yang berbeda pada setiap wilayah. Kondisi tersebut juga sebagai kekhasan dan ketahanan daerah.
Selain itu dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan bahwa pemekaran harus memiliki syarat administratif, yaitu pemekaran harus bersifat lokal konteks, artinya itikad pemisahan dan otonom berasal dari masyarakat. Teknisnya, yaitu masyarakat mampu membuktikan potenis daerah dan keunggulan daerah. Secara fisik dan kewilayahan harus memiliki dukungan dari daerah dan mempersiapkan sarana dan prasarana. Di samping itu, tetap perlu adanya penyesuaian faktor kultur dengan kehidupan masyarakat bagi daerah tersebut sehingga tidak menyebabkan perubahan cultural shock.
Pemekaran suatu wilayah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Peraturan tersebut memuat tentang pembentukan daerah yaitu pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah propinsi, daerah kabupaten atau kota. Pemekaran daerah adalah pemecahan daerah propinsi, daerah kabupaten atau kota menjadi lebih dari satu daerah dan pembangunan daerah adalah penyatuan daerah yang dihapus kepada daerah lain. Pemekaran secara esensial diharapkan mampu mengembangkan, menciptakan dan memajukan potensi-potensi daerah termasuk aneka ragam sosio-kultural, sentra-sentra ekonomi rakyat dan stabilitas terjamin termasuk kehidupan masyarakat pedesaan.
Kriteria pemekaran ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2002 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Penggabungan Daerah bahwa pemekaran daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1.           Kemampuan ekonomi;
2.           Potensi daerah;
3.           Sosial budaya;
4.           Sosial politik;
5.           Jumlah penduduk;
6.           Luas daerah; dan
7.           Pertimbangan-pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggara-nya otonomi daerah.
Penilaian kriteria pemekaran daerah yang digunakan adalah sistem sharing yang terdiri dari 3 (tiga) macam metode, yaitu: Metode A (metode rata-rata) adalah metode yang membandingkan besaran atau nilai tiap daerah terhadap nilai rata-rata keseluruhan, Metode B (metode distribusi) adalah metode rata-rata yang mempertimbangkan distribusi data dan Metode C (metode kuota) adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota penentuan sharing.
Suatu daerah dikatakan lulus menjadi daerah otonom apabila daerah induk maupun calon daerah yang akan dibentuk mempunyai total skor sama dengan atau lebih besar dari skor minimal kelulusan. Pola pemekaran desa dilakukan secara variatif sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) dengan tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dan tujuan pemekaran. Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:
a.           Peningkatan kesejahteraan kepada masyarakat;
b.          Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
c.           Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
d.          Percepatan pengelolaan potensi daerah;
e.           Peningkatan keamanan dan ketertiban;
f.            Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah termasuk desa.
Muara utama pemekaran yaitu kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat dengan bersandar pada potensi yang dimiliki pemerintah daerah termasuk desa. Kesejahteraan dapat diperoleh melalui sentra-sentra ekonomi rakyat baik pertanian, perdagangan, home industri dan seterusnya. Sedangkan pemberdayaan masyarakat berorientasi pada penguatan-penguatan (enabling) dan perlindungan (protecting) terhadap elemen dan asset-aset institusional sehingga dapat berfungsi secara optimal.
3.   Otonomi dalam Konteks Pemekaran
Kerangka teoritis yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa pemekaran daerah termasuk pemekaran desa yang terjadi yaitu perkembangan organisasi, sumber daya manusia, dana dan faktor lingkungan. Kondisi empirik menunjukkan bahwa proses pemekaran Desa Dompyong menjadi Desa Dompyong Wetan dan Kulon berdampak pada pengembangan organisasi, aparat desa, pembelanjaan dan biaya rutin desa. Sementara itu potensi-potensi desa dalam bentuk tanah sikep, tanah titisara dan tanah bengkok tidak mengalami perubahan.
Perkembangan organisasi menuntut berbagai konsekuensi yaitu berhadapan antara potensi dan kekayaan tidak mengalami perubahan dengan kegiatan dan rutinitas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Fenomena yang cukup menarik tersebut membutuhkan keterlibatan pemerintah kabupaten dalam menjembatani kondisi yang timpang di desa dengan cara memposisikan desa sebagai subsistem dari sistem pemerintahan daerah. Di samping itu desa dibina dengan berbagai kegiatan stimulan yang mampu membangun keberdayaan desa.
Pemekaran desa yang berdampak pada pengembangan organisasi kurang mendukung otonomi desa bahkan hsasil pengamatan menunjukkan bahwa pemekaran desa berhasil dalam memisahkan batas wilayah atau batas desa, rekayasa pemisahan penduduk, tanah sikep, tanah titisara dan tanah bengkok serta sarana umum lainnya, namun pemekaran desa tidak dapat memisahkan kultur dan budaya khas yang melekat pada desa, seperti motivasi hidup bersama, gotong-royong dan berbagai kegiatan desa lainnya.
Berdasarkan pemahaman tersebut bahwa otonomi dalam konteks pemekaran desa tidak menguntungkan karena ada peluang dapat mengikis otonomi desa. Kita menyadari bahwa otonomi desa kurang bergema karena kuatnya hukum positif dalam bentuk Undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah memberi garis embarkasi yang jelas terhadap tugas, fungsi dan wewenang termasuk hak dan kewajiban pemerintah desa.

I.    KESIMPULAN

Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa-prakarsa desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang dimiliki desa. Kejelian pemerintah dalam implementasi kebijakan otonomi desa hendaknya diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses pertumbuhan dan perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal tidak dapat dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan hendak dijadikan sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang ditempuh tidak destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan generasi ke depan.

 
DAFTAR PUSTAKA



A. Hoogerwerf; 1983, Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Erlangga.
Albrecht, Karl, 1985, Pengembangan Organisasi-Pendekatan Sistem yang Menyeluruh untuk Mencapai Perubahan Positif dalam Setiap Organisasi Usaha, Terjemah, Bandung: Penerbit Angkasa.
Bintarto, 1983, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Dwijowijoto., Riant Nugroho, 2001, Reinventing Indonesia; Menata Ulang Mana-jemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, Jakarta: PT. Elek Media Komputindo.
Dwipayana, AAGN. Ari, dkk, 2004, Otonomi Daerah dan Otonomi Desa; Kritik Konsep dan Implementasi dalam Promosi Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press.
______, & Sutoro Eko, 2003, Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta: IRE Press.
Eko, Sutoro, dkk, 2002, Membuat Desentralisasi dan Demokrasi Lokal Bekerja dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, Jakarta: LP3ES.
______, dkk, 2005, Mengkaji Ulang Transformasi Desa, dalam Transformasi Ekonomi Politik Desa, Yogyakarta: APMD Press.
______, 2005, Manifesto Pembaharuan Desa, Yogyakarta: APMD Press.
Grote, Dick, 2002, The Performance Appraisal; Question and Answer Book, a Survival Guide for Managers, New York: Amacom.
Giroth, Lexie, M, 2006, Pamong Praja Kibernologi dan Metakontrologi, Reorien-tasi dan Reinterpretasi Ilmu Pemerintahan, Bandung: Indra Prahasta.
Iver, MC., 1961, The Web of Government, New York: The McMillan Co.
Koestoer, Raldi Hendro & Yanti, 1995, Perspektif Lingkungan Desakota: Teori dan Kasus, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Andi Offset.
______, 2004, Sistem Pengukuran Kinerja Sektor Publik: Telaah Kritis Terhadap Kebutuhan Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah dalam Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan Saran, Yogyakarta: UII Press.
Ndraha, Taliziduhu, 1981, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Jakarta: Bina Aksara.
______, 1990, Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta: Rineka Cipta.
______, 2003, Kybernologi; Ilmu Pemerintahan Baru, Jilid I Jakarta: Rineka Cipta.
_____, 2003, Kybernologi; Ilmu Pemerintahan Baru, Jilid II Jakarta: Rineka Cipta.
_____, 1984, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Jakarta: Bina Aksara.
_____, 1997, Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta.
Pambudi, Himawan S. dkk., 2003, Politik Pemberdayaan, Jalan Mewujudkan Otonomi Desa, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Prasadja, Buddy, 1986, Pembangunan Desa dan Masalah Kepemimpinannya, Jakarta: Rajawali bekerjasama dengan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIS).
Rasyid, Ryaas, 1997, Pembangunan Pemerintahan Indonesia Memasuki Abad 21, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Politik pada Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta: IIP.
______, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta: Yarsif Watampone.
Rozaki, Abdur, dkk. 2004, Mempekuat Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi, Yogyakarta: IRE Press.
______, dkk, 2004, Memperkuat Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi, Yogyakarta: IRE Press.
______, 2004, Parpol dan Pembaharuan Desa dalam Promosi Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press.
Robbins, Stephen P, 1994, Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi, Terjemah, Jakarta: Arcan.
Saragi, Tumpal P, 2004, Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa; Alternatif Pemberdayaan Desa, Yogyakarta: CV. Cipruy.
Sardjono Jatiman, 1995, Dari Kampung Menjadi Desa, Studi Sosiologi Perubahan Pemerintahan Desa di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, Jakarta: Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Soemardjan, Selo, 1989, Otonomi Desa, Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) Vol. Hal.1
Soekanto, Soerjono, 2001, Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soewardi, Herman, 2004, Respons Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian, Terutama Padi, Suatu Kasus yang Terjadi di Jawa Barat, Bandung: Bakti Mandiri.
Soetardjo, 1953, Desa, Jakarta: Balai Pustaka.
Suryaningrat, Bayu, 1976, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Yayasan Beringin Korpri Unit Departemen Dalam Negeri.
Sutarto, 2000, Dasar-dasar Organisasi, Yogyakarta: UGM Press.
Subagyo, Andreas B, 2004, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif, Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan, Bandung: Yayasan Kalam Hidup.
Tjandra, W. Riawan, 2004, Beralih dari Paradigma Desentralisasi Semu dalam Mewujudkan Kabupaten Partisipatif, Yogyakarta: Pembaruan.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance; Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya: Insan Cendikia.
Van Poelje, 1977, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Terjemah, Jakarta: IIP

Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah No.129 Tahun 2000 tentang Pemekaran Wilayah.
Peraturan Pemerintah No.76 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Desa.
Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Desa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...