A. PENDAHULUAN
Otonomi secara mendasar merupakan bentuk pengakuan atau penyerahan
kewenangan dari pemerintah-gubernur-camat-desa. Secara teoritis otonomi
menyangkut dua hal pokok yaitu otonomi dalam teritorial dan otonomi fungsional.
Pemerintahan desa dalam konteks historis-kultural diberi wewenang dan
kekuasaan mutlak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk
melalui kewenangan dalam menentukan batas-batas daerahnya. Namun secara
kontekstual dengan berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desa dan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Desapraja, Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka posisi
desa merupakan bagian integral dari pemerintahan nasional dan secara empirik
merupakan bagian dari pemerintah Kabupaten.
Kewenangan territorial dalam konteks otonomi desa sudah tergradasi oleh sistem nilai yang
diwujudkan dalam hukum-kukum positif yang berlaku di Republik Indonesia, namun
secara empirik hukum-hukum positif tersebut telah mendukung eksistensi otonomi
desa, itulah bentuk-bentuk pengembalian. Dikembalikannya otonomi, reposisi dan
redefinisi otonomi desa yang sempat mandiri, oleng dan digerakkan kembali agar normal dan stabil dalam wadah dan
bingkai dasar yaitu desa sebagai subsistem dari sistem pemerintahan nasional
maupun pemerintahan kabupaten.
Kerangka dasar tersebut menjadi pertimbangan serius bagi pemberdayaan
pemerintahan desa. Jika desa berdaya, mandiri dan kuat, cenderung kabupaten
melemah dan jika kabupaten kuat, maka provinsi menjadi melemah. Untuk itu,
regulasi dan pembagian wewenang menjadi
mutlak dalam konteks otonomi, siapa mengerjakan apa, berbuat apa dan
bertanggungjawab pada siapa.
Realita tersebut yang menjadi urgen dalam penataan dan mendudukkan
kembali otonomi desa dalam bingkai desa sebagai subsistem dari sistem
pemerintahan kabupaten sadar maupun tidak bahwa aturan desa mengalami kegagalan
ketika Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 diberlakukan hampir 32 tahun berlaku
ketika desa disentuh dan diposisikan sebagai bagian integral dari sistem
pemerintahan nasional dengan segala keseragaman dan mengabaikan keragaman dan
diberangus dengan sentralisasi pengelolaan desa.
B. TEORI DESENTRALISASI DAN OTONOMI
Desentralisasi dalam pandangan Ruiter dalam Hoogerwerf (1978:500) dapat
diartikan sebagai pengakuan atau penyerahan wewenang badan-badan umum yang
lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan
berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan
pemerintahan serta struktur wewenang yang dimiliki termasuk didalamnya
prinsip-prinsip pembagian wewenang.
Prinsip-prinsip pembagian wewenang meliputi: 1) unitarisme dan
federal-isme, 2) sentralisasi dan desentralisasi (dalam arti sempit), dan 3) konsentrasi
dan dekonsentrasi. Unitarisme dan federalisme berlaku pada negara-negara
federal, di mana pemerintahan federal dan pemerintahan negara-negara bagian
mendasarkan pelaksanaan wewenangnya atas konstitusi-konstitusi tersendiri yang
bersama-sama menjamin suatu pembagian wewenang antara negara federal dan negara
bagian. Wewenang-wewenang tersebut tidak saling membawahi, akan tetapi sejajar
dengan pembatasan-pembatasan satu sama lain. Sentralisasi dan desentralisasi
digunakan pada bersangkutan dengan hubungan-hubungan di negara kesatuan atau
dalam suatu negara bagian dari suatu federasi. Negara demikian lebih
terdesentralisasi apabila lebih banyak wewenang dan tugas di bidang pelaksanaan
kebijakan diserahkan atau ditugaskan kepada badan-badan umum yang tidak
langsung berada di bawah pemerintahan pusat. Sedangkan konsentrasi dan
dekonsentrasi merupakan kecenderungan untuk menyebarkan fungsi-fungsi
pemerintahan pada jenjang tertentu secara meluas kepada organisasi
pemerintahan.
Lebih lanjut Ruiter (1983:501) menjelaskan bahwa desentralisasi menurut
pendapat umum terbagi dalam dua bentuk yaitu: 1) Desentralisasi teritorial dan
2) fungsional. Desentralisasi teritorial seperti di Nederland,
propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja yang terdesentralisasi secara
territorial. Propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja merupakan
kesatuan-kesatuan dengan identitas publik sendiri. Untuk itu, propinsi-propinsi
dan kota praja-kota praja disebut juga korporasi-korporasi daerah. Sedangkan
desentralisasi fungsional bentuknya antara lain badan-badan urusan pengairan,
badan kerja sama kota praja termasuk yang disebut pregewesten.
Ada dua jenis desentralisasi, yakni desentralisasi territorial dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial adalah penyerahan kekuasan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi) dan batas
pengaturan tersebut adalah daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah
penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas
pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal pertanahan,
kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Desentralisasi juga bermakna sebagai pengembalian harga diri pemerintah
pusat. Selain itu, kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah pada dasarnya
merupakan koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan unifomisasi pemerintahan
yang selama ini berlaku. Pemahaman yang mendalam terhadap posisi strategis
otonomi dijelaskan Rasyid (2003:9) sebagai berikut:
Posisi kebijakan
otonomi daerah sebagai sebuah proyek pengembalian harga diri pemerintah dan
masyarakat daerah. Di masa lalu, banyak masalah di daerah yang tidak tertangani
dengan baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah daerah di bidang itu. Ini
berkenaan antara lain dengan konflik pertanahan, kebakaran hutan, pengelolaan
pertambangan, perizinan investasi, perusakan lingkungan, alokasi anggaran dan
dana subsidi pemerintah pusat, penetapan prioritas pembangunan, penyusunan
organisasi pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, pengangkatan dalam
jabatan struktural, perubahan batas wilayah administrasi, pembentukan
kecamatan, kelurahan dan desa serta pemilihan kepala daerah.
Keterbatasan wewenang daerah berdampak pada tumpulnya kreativitas untuk
mengembangkan sumber daya alam maupun sumber daya manusia, termasuk upaya
pemerintah untuk memperkecil rentang kendali beban-beban rutin dan teknis.
Lebih jauh Rasyid (2003:9) mengungkapkan bahwa tujuan utama dari kebijakan
desentralisasi di satu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang
tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk
mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil
manfaat dari padanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih
mampu berkonsentrasi para perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat
strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke
daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.
Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas
dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi
merupakan symbol trust dari pemerintah pusat.
Sejalan dengan pandangan di atas, Gunawan, (2002:79) mengemukakan bahwa
desentralisasi menjadi harapan sekaligus tantangan bagi proses demokratisasi
Indonesia. Globalisasi di semua belahan dunia menimbulkan anomi, disintegrasi,
konflik berbasis lokalitas etnis dan budaya bahkan agama dan ekses idiologi
lainnya. Namun di sisi lain globalisasi akan melibas nilai dan konsep budaya lokal
yang tidak sesuai dengan norma dan standar nilai internasional.
Sejalan dengan hal tersebut Tjandra (2004:12) mengungkap bahwa pokok-pokok
otonomi daerah antara lain: 1) konsep otonomi daerah berkaitan dengan cara
pembagian secara vertikal kekuasaan pemerintahan, 2) dasar kerakyatan dalam
desentralisasi adalah hak rakyat di daerah untuk menentukan nasibnya sendiri
dan mengatur pemerintahan sendiri (zelf bestuur), 3) sistem pelayanan
publik yang efektif dan efisien adalah prinsip dasar dari desentralisasi, 4)
pemerintahan daerah yang sinergis dengan prinsip Good Governance adalah
pemerintahan daerah yang berkarakter terbuka, kerakyatan, akuntabel dan
partisipatif.
C. OTONOMI DESA
Otonomi desa merupakan
pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa-prakarsa desa
termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang dimiliki
desa. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah
otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sutoro Eko (2005:xiii) mengemukakan bahwa:
Konteks penting yang mendorong desentralisasi dan otonomi
desa adalah: 1) secara historis desa telah lama eksis di Indonesia sebagai
kesatuan masyarakat hukum dan self-governing community yang memiliki
sistem pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam, 2) lebih
dari 60% penduduk Indonesia bertempat tinggal di desa, 3) dari sisi
ekonomi-politik, desa memiliki tanah dan penduduk selalu menjadi medan tempur
antara negara, kapital dan masyarakat, 4) konstitusi maupun regulasi negara
memang telah memberikan pengakuan terhadap desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum (self-governing community), tetapi pengakuan ini lebih bersifat simbolik-formalistik ketimbang
substantif, dan 5) selama lima tahun terakhir desa tengah bergolak menuntut
desentralisasi dan otonomi.
Kejelian pemerintah
dalam implementasi kebijakan otonomi desa hendaknya diarahkan pada
potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses pertumbuhan dan
perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal tidak dapat
dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan hendak dijadikan
sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang ditempuh tidak
destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan generasi ke depan.
Sumardjan (1996:5)
mengemukakan bahwa desa pada umumnya sebelum mengalami pembangunan mempunyai
karakteristik sebagai berikut: 1) sumber penghasilan desa adalah pada tanah, 2)
teknologi pertanian dan sebagainya masih rendah, 3) tata hidup dan sosial
berkembang untuk sosial subsistence (keperluan sosial sendiri), 4)
sistem sosial masyarakat desa lebih kuat karena isolasi fisik dan kultur, dan
5) Tumbuh suatu kesatuan masyarakat adat.
Potensi-potensi
tersebut juga banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi desa baik sebagai
subsistem pemerintahan maupun sebagai subsistem sosial. Saragi (2004:x-xiv)
mengemukakan ada empat tantangan yang menonjol bagi institusi pedesaan yaitu: pertama,
dukungan untuk membangkitkan institusi lokal yang berbasis masyarakat, kedua,
membangun kepemimpinan baru, ketiga, menempatkan pedesaan secara
kokoh sebagai bagian integral dari perkembangan politik nasional, dan keempat,
perlu atau tidaknya demokratisasi dalam otonomi daerah. Bagi masyarakat
lokal diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32
Tahun 2004 merupakan jawaban strategis dalam mendorong proses penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah yang demokratis,
transparan dan akuntabel.
Otonomi desa membuka
peluang dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga
sosial keagamaan termasuk fungsi-fungsi obyektif masyarakat. Ndraha
(2003:442-445) mengungkap fungsi-fungsi obyektif masyarakat sebagai berikut, pertama,
peningkatan nilai sumber daya (subkultur ekonomi) seperti: a) membeli
semurah mungkin, b) menjual seuntung mungkin, c) membuat sehemat mungkin, kedua,
penciptaan keadilan dan kedamaian (subkultur pemerintahan) seperti: a)
berkuasa semudah mungkin, b) menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, c)
mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal mungkin, dan ketiga, kontrol
terhadap kekuasaan (subkultur sosial), seperti a) peduli (suka usil), b) budaya
konsumeristik, c) collective behavior ke collective action. Check-and-balance
dapat terjadi jika kekuatan antar ketiga subkultur tersebut seimbang, serasi
dan selaras, yang satu tidak berada di bawah yang lain, yang satu tidak lebih
lemah daripada yang lain, maju bersama ke depan yang kesemua itu membutuhkan
kesadaran nasional, rasa tanggungjawab sosial dan kesediaan berkorban
pemuka-pemuka masyarakat di berbagai sektor dan tingkat kehidupan (kaum
intelektual, alim-ulama, entrepreneur, dan sebagainya) untuk rela tetap
berada dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat subkultur sosial dan tidak
tergoda mengejar kekuasaan untuk tergiur akan kekayaan, kesenangan dan
popularitas.
Sinergi ketiga
subkultur ekonomi, pemerintahan dan sosial yang kesemua itu menumbuhkan dan
menguatkan institusi lokal dan terbangunnya demokratisasi masyarakat desa.
Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:ix) mengemukakan bahwa peluang otonomi desa
dilihat dari perubahan ke arah interaksi yang demokratik dengan fenomena
sebagai berikut: 1) dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan
dengan menguatnya institusi lokal, 2) semangat pengadopsian demokrasi delegatif-liberatif
cukup besar, dan 3) semangat partisipasi masyarakat yang sangat ditonjolkan.
Lebih lanjut dikemukakan Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:viii) mengungkapkan
bahwa:
Perubahan dalam tata hubungan desa dengan pemerintah
supra desa tercermin dalam beberapa hal antara lain: 1) pelimpahan wewenang
mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah
kabupaten atau kota, 2) dimungkinkan munculnya variasi di tiap daerah mengenai
model pemerintahan di tingkat desa akibat perubahan kebijakan, 3) intervensi
pemerintah supra desa dihilangkan dalam pemilihan kepala desa dengan
dihapuskannya wewenang Panitia Litsus, 4) asas pembantuan masih dimungkinkan
tetapi harus disertai dengan pembiayaan dan prasarana yang memadai, dan 5)
adanya peluang diversifikasi penggalian pengelolaan sumber-sumber keuangan
desa.
Pola hubungan infra
dan supra desa tersebut membutuhkan sinergitas dalam pembangunan. Di samping
itu terdapat peluang-peluang lain pada perubahan dalam tata hubungan desa
dengan supra desa termasuk pola hubungan antara Kepala Desa – Ketua Badan
Perwakilan Desa (BPD) dengan camat.
Tugas utama
pemerintah dalam rangka otonomi desa adalah menciptakan kehidupan demokratis,
memberi pelayanan publik dan sipil yang cepat dan membangun kepercayaan
masyarakat menuju kemandirian desa. Untuk itu desa tidak dikelola secara
teknokratis tetapi harus mampu memadukan realita kemajuan teknologi yang
berbasis pada sistem nilai lokal yang mengandung tata aturan, nilai, norma,
kaidah dan pranata-pranata sosial lainnya.
Potensi-potensi desa
berupa hak tanah (tanah bengkok, titisari dan tanah-tanah khas desa lainnya),
potensi penduduk, sentra-sentra ekonomi dan dinamika sosial-politik yang
dinamis itu menuntut kearifan dan profesionalisme dalam pengelolaan desa menuju
optimalisasi pelayanan, pemberdayaan, dan dinamisasi pembangunan masyarakat
desa. Sejalan dengan itu, Sutoro Eko (2005:xv) menjelaskan bahwa:
Tujuan yang substansial dari desentralisasi dan otonomi
desa itu adalah: pertama, mendekatkan perencanaan pembangunan ke
masyarakat, kedua, memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan
pembangunan, ketiga, menciptakan efisiensi pembiayaan pem-bangunan yang
sesuai dengan kebutuhan lokal, keempat, men-dongkrak kesejahteraan
perangkat desa, kelima, menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan
masyarakat desa, keenam mem-berikan kepercayaan, tanggungjawab dan
tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi desa, ketujuh,
menempa kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, kedelapan
membuka arena pembelajaran yang sangat bagi pemerintah desa, BPD dan
masyarakat dan kesembilan merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat
lokal.
Esensi dan substansi
rujukan tersebut di atas yaitu kesejahteraan masyarakat, partisipasi aktif dan
upaya membangun kepercayaan bersama yang dibingkai dengan sinergitas antara
pemerintah dengan yang diperintah. Upaya mengawal tujuan desentralisasi dan
otonomi desa itu memerlukan komitmen politik dan keberpihakan kepada desa
menuju kemandirian desa. Dan tuntutan kemandirian desa pada hakekatnya adalah
terbentuknya daerah otonomi tingkat tiga yang disebut otonomi desa.
Pokok-pokok pikiran
tersebut di atas berdampak langsung pada kegiatan pemerintahan pada level desa
sebagai subsistem pemerintahan nasional yang dalam kondisi empirik cenderung
tidak proporsional. Mengingat kedudukan desa selama ini terkesan dimarginalkan,
partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian rekonstruksi penguatan peranan
desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang hakiki adalah desentralisasi
yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak bagi desa dalam keanekaragaman
karakteristiknya untuk secara penuh terlibat dalam perencanaan daerah.
Posisi pemerintahan
desa yang dimarginalkan tidak menguntungkan dengan tumbuh dan berkembangnya
otonomi desa, bahkan lambat laut desa dan kemandiriannya mengalami stagnan
bahkan terjadi degradasi yang cukup signifikan bagi otonomi desa.
Otonomi desa dalam
kasus Desa Dompyong Kec. Babakan Kabupaten Cirebon yang dimarginlkan menyangkut
nilai-nilai, norma, kaidah hidup bersama dan gotong royong. Sementara itu
otonomi desa dalam status dan kedudukan desa, istilah-istilah perangkat desa
saat ini seperti Kuwu, Juru Tulis, Ngabihi, Cap Gawe, Lebe dan sebagainya telah
terkubur dan baru dibangkitkan kembali ketika berlaku Undang-Undang No. 32
Tahun 2004.
D. UNSUR-UNSUR DESA
Eksistensi dan
variasi desa dapat dilihat dari sisi historis, kultural, geografis termasuk
unsur dan status desa. Desa secara leksikal berasal dari bahasa Sanskrit yaitu Desi
yang artinya tanah asal atau tanah kelahiran. Di Inggris di mana
tempat tinggal bersama di sebut dengan “parish”
di Belanda disebut “waterschap”
di Amerika Serikat disebut “borough”.
Demikian pula di Indonesia terdapat beraneka nama untuk kelompok atau kumpulan
rumah-rumah misalnya Kampung dan Desa (sebutan di Jawa-Barat), Gampong (Aceh), Huta atau Kuta (Tapanuli),
Marga (Sumatera Selatan), Negorij (Maluku), Nagari (Minangkabau), Wanua
(Minahasa), Gaukay (Makasar), Banua (Kalimantan Barat) dan lain
sebagainya. Soetardjo (1984:16) mengemukakan bahwa:
Desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat
tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa
terjadi hanya dari satu tempat kediaman masyarakat saja, ataupun terjadi dari
satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat hukum
yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri,
kesatuan-kesatuan mana dinamakan pedukuhan,
ampean, kampung, cantilan beserta tanah pertanian, tanah perikanan darat
(empang, tambak dan sebagainya) tanah hutan dan belukar.
Lebih lanjut
Suriadiningrat (1976:3) menegaskan bahwa desa merupakan tempat tinggal bersama
yang ditimbulkan oleh unsur-unsur sebagai berikut: manusia sebagai makhluk
sosial, unsur kejiwaan, alam sekeliling manusia, kepentingan bersama dan bahaya
dari luar.
Pemahaman lebih
lanjut tentang unsur-unsur desa dijelaskan oleh Bintarto (1983:14) sebagai
berikut: 1) daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak
beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang
merupakan lingkungan geografi setempat, 2) penduduk, adalah hal yang
meliputi jumlah, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat, 3)
tata kehidupan, dalam hal ini pola atau tata pergaulan dan ikatan-ikatan
pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa (rural
society). Unsur-unsur desa merupakan sesuatu yang penting sehingga tidaklah
berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara. Sedangkan
Ndraha (1984:31) mengemukakan bahwa unsur-unsur desa merupakan komponen pembentuk
desa sebagai satuan ketatanegaraan dan komponen-komponen tersebut meliputi
wilayah desa, penduduk atau masyarakat desa dan pemerintahan desa.
Pandangan di atas
menunjukkan bahwa unsur-unsur desa merupakan perekat utama dalam memposisikan
desa sebagai hasil perpaduan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya.
Koestoer (1995:6) mengemukakan bahwa hasil perpaduan itu ialah suatu wujud atau
kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial,
ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi. Kecirian fisik ditandai
oleh pemukiman yang tidak padat, sarana transportasi yang langka, penggunaan
lahan persawahan dan kecirian lain berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa
yaitu penduduk dan tata kehidupan. Dalam kerangka itu, Ndraha (1989:15)
mengungkapkan bahwa memahami desa secara komprehensif dapat dilakukan melalui
wilayah, aspek yuridis, sosio-kultural dan aspek kegotong-royongan. Kesemua
aspek tersebut banyak mewarnai substansi dan eksistensi desa.
Unsur-unsur desa
merupakan elemen utama pembentuk desa. Perpaduan unsur-unsur tersebut yang pada
akhirnya membentuk suatu karakteristik tersendiri yang membedakan desa secara
umum dengan kota, dan secara khusus membedakan antara desa yang satu dengan
lainnya. Unsur-unsur desa tersebut terbentuk dari berbagai unsur yang mewarnai
kehidupan desa, seperti unsur sosial, fisiografi, ekonomi, politik dan budaya
yang saling berinteraksi.
Unsur-unsur sosial
terbangun dalam tata kehidupan dan otonomi Desa Dompyong yaitu kebersamaan dan
kekerabatan masyarakat Desa Dompyong secara historis-kultural dari Raden
Gentong yang berasal dari Cidahu-Kuningan yang ditandai dengan sungai yang
membelah Desa Dompyong. Sementara itu kondisi ekonomi dalam konteks otonomi
masyarakat Desa Dompyong antara lain sebagai berikut:
Mata Pencaharian penduduk Desa Dompyong Wetan dan
Dompyong Kulon Tahun 2005
NO
|
MATA PENCAHARIAN
|
DESA
|
|
DOMPYONG WETAN
|
DOMPYONG KULON
|
||
1
|
Petani
|
75
|
220
|
2
|
Buruh Tani
|
1.675
|
370
|
3
|
Nelayan
|
30
|
8
|
4
|
PNS
|
108
|
46
|
5
|
Pengrajin
|
-
|
6
|
6
|
Pedagang
|
25
|
61
|
7
|
Peternak
|
12
|
-
|
8
|
Jasa
|
20
|
14
|
9
|
Montir
|
5
|
20
|
10
|
Pensiunan POLRI/ TNI
|
3
|
5
|
Sumber: Monografi Desa Dompyong Wetan dan Dompyong Kulon
Tahun 2005
Kerangka dasar di
atas secara esensial mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi Desa Dompyong
didominasi oleh petani. Politik dalam konteks otoomi desa semula mengandalkan
tokoh adat, agama, cendikiawan dan tokoh-tokoh dermawan telah mengalami
pergeseran kepada nilai-nilai realistis dan pragmatis khususnya yang berkaitan
dengan ekonomi, sementara yang berkaitan dengan ekonomi, sementara yang
berkaitan dengan tatanan nilai, norma dan kaidah didominasi dan dikendalikan
oleh tokoh agama, adat dan Kuwu. Arus informasi mengalir dari masyarakat ke
ulama maupun BPD dan LPMD maupun dari Kepala Desa atau Kuwu sebagai mediator maupun
komunikator antara pemerintah supra desa dengan infra desa.
E. DESA SEBAGAI SUBSISTEM PEMERINTAHAN
Desa adalah subsistem dari sistem pemerintahan
yaitu bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa atau marga merupakan subsistem
dari sistem penyelenggaraan pemerintahan nasional sehingga desa atau marga
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya (HAW.
Widjaja, 2001:43).
Pemerintahan desa sebagai badan kekuasaan
memiliki dua keunikan yaitu otonomi asli untuk mengatur pemerintahan sendiri
sesuai dengan keunikan yang dimiliki dan implementasi terhadap azas
dekonsentrasi pelaksanaan kekuasaan pemerintah diatasnya, baik pemerintah
kabupaten atau kota,
propinsi maupun pemerintah pusat, yang kesemua itu sebagai konsekuensi desa sebagai
subsistem dari sistem pemerintahan nasional.
Pemerintah desa sebagai badan terendah
menunjukkan pada tugas pekerjaan atau fungsi yang sejalan dengan denyut nadi
kehidupan masyarakat atau yang diperintah, hal itu menunjukkan bahwa desa
sebagai badan pemerintahan memiliki kepentingan untuk melayani masyarakat atau
yang diperintah. Pambudi (2003:18) mengemukakan bahwa pemerintah desa yang
dibentuk memiliki tugas utama menggerakkan masyarakat agar bisa menjadi salah
satu kekuatan penting dalam proses pembangunan. Sedangkan Jatiman
(1995:320-321) mengungkapkan bahwa pembangunan nasional yang menempatkan desa
sebagai salah satu sasaran pembangunan menjadikan pemerintah desa menjadi ujung
tombak pelaksanaan pembangunan di daerah pedesaan.
Dwipayana dan Sutoro Eko, (2003:33)
menjelaskan bahwa pemerintah desa memiliki peranan signifikan dalam pengelolaan
proses sosial masyarakat. Tugas utama yang harus diemban pemerintahan desa
adalah menciptakan kehidupan demokratis, memberikan pelayanan sosial yang baik
sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa tentram dan
berkeadilan. Mengingat kedudukan desa selama ini terkesan dimarginalkan,
partisipasi publik perlu dibangun sebagai bagian rekonstruksi penguatan peranan
desa dalam otonomi daerah. Desentralisasi yang hakiki adalah desentralisasi
yang memberikan ruang inisiatif dan ruang gerak bagi desa dalam keanekaragaman
karakteristiknya untuk secara penuh terlibat dalam perencanaan daerah.
Desa yang dijadikan sasaran pembangunan
nasional disatu sisi dan di sisi lain desa menjadi sumber-sumber budaya
nasional sebagaimana dikemukakan Soetardjo (1984:41) bahwa dasar-dasar
kebudayaan nasional sumbernya terdapat di desa. Desa merupakan sumber kekuatan
dan tenaga kebangsaan termasuk timbulnya getaran jiwa. Kekuatan-kekuatan
tersebut yang terus bergulir memberi warna pada desa sebagai subsistem
pemerintahan maupun desa sebagai subsistem sosial. Fenomena tersebut memposisikan desa untuk
mengatur rumah tangganya sendiri menuju kemandirian desa dengan melibatkan
semua elemen masyarakat sebagai perwujudan otonomi desa. Otonomi desa adalah
suatu proses peningkatan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi menuju
kehidupan masyarakat desa yang diatur dan digerakkan oleh masyarakat dengan
prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat. Ini berarti desentralisasi dan otonomi
desa adalah demokratisasi. Sejalan dengan itu Rozaki, dkk (2005:16-26)
mengemukakan bahwa keleluasaan desa bisa didongkrak bila desa mempunyai
sejumlah kewenangan yang diberikan pemerintah melalui skema desentralisasi
politik.
F. DESA SEBAGAI SUBSISTEM SOSIAL
Desa dewasa ini harus dipandang sebagai
bagian dari masyarakat nasional. R. Redfield menyebutnya sebagai part
society sebagai suatu sistem masyarakat desa merupakan belahan atau bagian
dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat nasional (Rusidi,
1989:77), sedangkan asal-usul dan proses terbentuknya desa diungkap melalui
pandangan Suriadiningrat (1976:1) yang menegaskan bahwa tidak diketahui dengan
pasti kapan permulaan adanya desa. Menurut ilmu kejiwaan masyarakat, manusia
adalah mahluk sosial, mahluk yang selalu hidup dan berhubungan dengan mahluk
lain. Di mana ia berada selalu berhubungan dengan manusia lain.
Manusia juga mempunyai dorongan kodrat
diantaranya adalah dorongan sosial, dorongan segregrasi dan dorongan integrasi.
Dorongan sosial mendorong manusia untuk hidup bersama dengan manusia lain dalam
satu golongan. Dorongan segregrasi membentuk manusia berdasarkan sifat atau
kepentingan yang sama dan dorongan integrasi mendorong perorangan atau golongan
untuk tunduk, taat dan berlindung kepada seseorang atau golongan keseluruhan.
Ketiga dorongan ini mengakibatkan terbentuknya lembaga sosial.
Dorongan segregasi dan integrasi menjadi
motor utama bagi individu untuk bersatu dalam menghadapi rintangan dan
tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal yaitu kesungguhan
untuk bersama, termasuk untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sedangkan secara
eksternal yaitu upaya menghadapi tantangan dan menjaga keamanan dari pihak-pihak
luar.
Desa sebagai subsistem sosial dipengaruhi
oleh paradigma bahwa terdapat banyak potensi masyarakat yang memungkinkan
mereka untuk dapat mandiri, partisipasi memerlukan pemahaman, keterbukaan dan
kesempatan untuk urung rembug dan masyarakat akan berpartisipasi penuh jika
mereka mempercayai pemimpinnya. Selain itu, dalam konteks ini masyarakat
merencanakan, memutuskan, mengelola dana dan memper-tanggungjawabkannya
kemudian melakasanakan dan mengelola serta memelihara sarana dan prasarana
desa. Dari sisi kelembagaan, musyawarah desa adalah forum pengambil keputusan
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di desa. Selain itu,
pertanggungjawaban pemerintahan desa dan kelembagaan kemasyarakatan kepada
masyarakat, adanya lembaga penyelesaian konflik yang diakui lembaga-lembaga
lain di desa yang bersangkutan. Berkaitan dengan lembaga kemasyarakatan,
Rothman (dalam Cox, et.all, 1974:22-39), mengemukakan tiga model dan praktek
lembaga kemasyarakatan yaitu: 1) model pembangunan setempat (locality
development), model perencanaan sosial (social planning) dan, 3)
model aksi sosial (social action).
Dari ketiga model ini, yang paling cocok digunakan untuk menganalisis
pemerintah desa dari sisi lembaga kemasyarakatan adalah model pembangunan
setempat.
Kerangka teoritis tersebut di atas
terungkap bahwa struktur organisasi pemerintahan desa esensinya sebagai bagian
dari sistem pemerintahan kabupaten dengan mediator camat selaku koordiantor
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Struktur organisasi desa
yaitu Kuwu, Sekretaris Desa, Para Kepala Urusan dan para Kepala Dusun.
H. OTONOMI DALAM KONTEKS PEMEKARAN DESA
1. Esensi Pemekaran
Esensi pemekaran
baik menyangkut konsep, kriteria maupun tujuan pemekaran merupakan bagian
integral dalam proses perkembangan organisasi pemerintah propinsi, kabupaten
maupun pada level desa yang kesemua itu nuansanya pada efisiensi pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintahan. Sejalan dengan itu Rasyid (1997:122) menjelaskan
bahwa pembentukan wilayah-wilayah administratif yang baru menjadi kebutuhan
masa depan pemerintahan kita. Ini terutama relevan untuk wilayah-wilayah yang
luas. Di samping pemekaran wilayah administrasi itu merupakan jawaban atas
kebutuhan untuk pemerataan pembangunan, juga akan lebih menjamin tugas dan fungsi
organisasi serta pengelolaan wilayah. Luas wilayah, kondisi penduduk dan
efisiensi serta efektivitas pelayanan menjadi titik utama dalam pemekaran
wilayah maupun desa.
Pemekaran sejalan
dengan perkembangan organisasi pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.84 Tahun 2000, pemerintah daerah diberi kebebasan untuk
menyusun organisasinya sendiri sesuai dengan lima kriteria yang ditetapkan
yaitu: 1) berdasarkan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah, 2) sesuai
dengan karakteristik dan potensi daerah, 3) sesuai dengan kemampuan keuangan
daerah, 4) sesuai dengan ketersediaan sumber daya aparatur dan 5) kemungkinan
pengembangan pola kerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga.
Pemahaman tersebut
mengisyaratkan bahwa ke depan, pemekaran dapat menjadi alternatif kebijakan
untuk menjawab persoalan-persoalan yang menyangkut pengelolaan wilayah
propinsi, kabupaten atau kota termasuk kawasan wilayah pedesaan. Kebijakan
pemerintah dalam memekarkan suatu wilayah pemerintahan propinsi, kabupaten,
kota maupun desa diharapkan proses pelayanan agar lebih cepat dan tepat
dirasakan masyarakat dan kegiatan pemberdayaan maupun pembangunan lebih efisien
dengan tetap mengedepankan partisipasi aktif masyarakat desa. Mekanisme dan
norma hukum dalam pemekaran wilayah ditentukan secara hierarki. Pemekaran
propinsi dilakukan dengan Undang-Undang, pemekaran wilayah Kabupaten dan Kota
oleh Peraturan Pemerintah, pemekaran Kecamatan oleh Keputusan Presiden dan
pemekaran desa oleh Peraturan Daerah Kabupaten.
Rasyid (1997:117)
mengemukakan bahwa pemekaran wilayah pemerintahan yang memperluas jangkauan
pelayanan akan menciptakan dorongan-dorongan baru dalam masyarakat bagi
lahirnya prakarsa yang mandiri menuju kemajuan bersama-sama. Pemahaman di atas
menunjukkan bahwa pemekaran yang berdampak pada pengembangan organisasi
pemerintahan propinsi, kabupaten atau kota termasuk di level pemerintahan desa
perlu dilakukan perencanaan yang matang dengan tetap pada orientasi dalam
pencapaian tujuan organisasi di satu sisi dan di sisi lain dapat tercapai
kesejahteraan masyarakat secara optimal dengan tetap mengacu pada
akuntabilitas, legitimasi dan transparansi yang kesemua itu merupakan esensi governance
atau pemerintahan.
Desentralisasi dan
otonomi daerah termasuk otonomi desa telah ada sejak lahirnya Undang-undang
Hindia Belanda tentang desentralisasi tanggal 23 Juli 1903 yang dinamakan
dengan desentralisasi wet No. 329, dan ketika Indonesia merdeka desentralisasi
dan otonomi daerah dibingkai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yaitu
ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang, dan ayat (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
Perundang-undangan
selanjutnya yang mengatur otonomi desa yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
tentang Desa Praja. Desa dalam undang-undang tersebut dirancang menjadi Daerah
Tingkat III, namun pada tataran implementasi belum menunjukkan hasil yang
optimal, mengingat bersamaan dengan itu terjadi peristiwa G.30 S/PKI yang
berujung pada pergantian pucuk pimpinan nasional. Namun gagasan kepemimpinan
desa, kepala desa dan BPD, memberi nuansa baru bagi pemerintahan desa.
Lahirnya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang substansi pemerintahan desa,
undang-undang tersebut mengangkat desa sebagai subsistem pemerintahan. Untuk
itu, pada ayat (a) sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka
kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan
keragaman desa dan ketentuan adat-istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat
pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya
dalam pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang makin meluas dan
efektif, dan ayat (b), bahwa berhubungan dengan itu, dipandang perlu segera
mengatur bentuk dan susunan pemerintahan desa dalam suatu Undang-undang yang
dapat memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan
demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Penyelenggaraan desa
secara sentralistik dan seragam memposisikan desa dan istilah pembangunan
nasional. Kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi partisipasi aktif dan
potensi-potensi lokal yang bersandar pada keragaman desa termasuk menguatnya
peran kepala desa dibandingkan dengan lembaga-lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LKMD) sebagai perwujudan dari perwakilan masyarakat. Kondisi tersebut mulai
bergeser ketika terjadi perubahan pemerintahan nasional dengan lahirnya
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa. Substansi yang terungkap dalam UU No. 22
Tahun 1999 Bab XI Pasal 93-111 maupun UU No.32 Tahun 2004 Bab X Pasal 200-266
yaitu pengelolaan desa dilakukan secara rasional – regional – lokal, yang
mengedepankan keberagaman dan potensi-potensi yang dimiliki desa.
Pola pengelolaan
desa secara terstruktur dan sistematis telah memposisikan desa sebagai sub
sistem pemerintahan dengan menjalankan aturan-aturan yang sesuai dengan
kebijakan pemerintah pusat termasuk pola penerapan strukturisasi dan birokrasi dijalankan secara kaku dan
statis. Desa sebagai sistem pemerintahan menempatkan pemerintah desa sebagai
badan terendah menunjukkan pada tugas pekerjaan atau fungsi yang sejalan dengan
denyut nadi kehidupan masyarakat atau yang diperintah. Pemahaman tersebut
menunjukkan bahwa desa sebagai badan pemerintahan memiliki kepentingan untuk
melayani masyarakat atau yang diperintah. Pambudi (2003:18) mengemukakan bahwa
pemerintah desa yang dibentuk memiliki tugas utama menggerakkan masyarakat agar
bisa menjadi salah satu kekuatan penting dalam proses pembangunan.
Prinsip-prinsip umum
organisasi dikemukakan Fayol (dalam Robbins, 1994:39) ke dalam empat belas
prinsip, yaitu sebagai berikut: 1) pembagian kerja, 2) wewenang, 3) disiplin,
4) kesatuan komando, 5) kesatuan arah,
6) mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu, 7) remunerasi,
8) sentralisasi, 9) rantai skalar, 10) tata tertib, 11) keadilan, 12)
stabilitas masa kerja pegawai, 13) inisiatif, dan 14) esprit de corps. Sedangkan
Ndraha (1997:53) mengemukakan makna organisasi sebagai berikut:
Organisasi dapat juga diamati sebagai living organism seperti
halnya manusia dan sebagai produk proses organizing. Sebagai living
organism yang sudah ada, suatu organisasi merupakan output proses
panjang di masa lalu, sedangkan sebagai produk organizing, organisasi
adalah alat atau input bagi usaha mencapai tujuan. Pada umumnya
organisasi sebagai input merupakan organisasi formal seperti desa.
Sejalan dengan di
atas, organisasi dapat diibaratkan sebuah organisme hidup yang dapat lahir,
tumbuh, berkembang dan kemungkinan mati. Agar organisasi dapat survive dalam
menghadapi perubahan zaman, maka suatu organisasi harus fleksibel dan memiliki
daya adaptasi. Pada sisi lain, organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang
menerima dan memberi masukan kepada lingkungan, baik internal maupun eksternal.
Dalam konteks organisasi pemerintahan, lingkungan internal yang paling dominan
adalah faktor politik, hukum, sosial budaya dan teknologi. Sedangkan faktor
eksternal yang ikut mempengaruhi organisasi pemerintahan adalah faktor sosial
budaya berupa tata nilai masyarakat dan aparatur di mana organisasi
pemerintahan itu berada (Giroth, 2006:142). Sedangkan Kuhn (1976:342) yang
membagi organisasi pemerintahan menjadi 5 (lima) tipe yaitu: 1) tipe organisasi
kerjasama, 2) tipe organisasi pencari keuntungan, 3) tipe organisasi pelayanan,
4) tipe organisasi penekan dan, 5) tipe organisasi kombinasi.
Bertolak dari tipe
organisasi pemerintahan di atas, maka organisasi pemerintah desa termasuk tipe
pelayanan dan tipe organisasi kerja sama atau kooperatif. Pelayanan cenderung
didominasi kepala desa dan perangkat desa (sekretaris desa, kepala urusan,
kepala dusun dan seterusnya) sedangkan organisasi kerja sama atau kooperatif
didominasi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD).
Proses perubahan
sosial pada masyarakat desa dan perubahan paradigma pemerintahan dari
sentralisasi ke desentralisasi berimbas pada upaya pengembangan organisasi
desa. Pengembangan organisasi di sini dilihat dari sudut ilmu administrasi yang
menekankan kerjasama secara rasional, efektif dan efisien untuk mencapai suatu
tujuan bersama. Bechard (dalam Sutarto, 2000:245) mengemukakan bahwa
pengembangan organi-sasi adalah suatu usaha berencana, meliputi organisasi
keseluruhan, diurus dari atas untuk meningkatkan efektivitas dan kesehatan
organisasi melalui pendekatan berencana dalam proses organisasi dengan
menggunakan pengetahuan dan ilmu perilaku.
Menurut Albrecht
(1985:xv) yang dimaksud dengan pengembangan organisasi adalah proses menyeluruh
perubahan dan peningkatan yang terencana dalam jalannya organisasi secara
keseluruhan. Hal ini berarti bahwa pengembangan organisasi mencakup semua
dimensi dalam organisasi, bukan hanya dimensi-dimensi tertentu saja. Sedangkan
bagi Mc Gill (1993:3-4) pengembangan organisasi adalah suatu proses sadar dan
terencana untuk mengembangkan kemampuan suatu organisasi sehingga mencapai dan
mempertahankan suatu tingkat optimum prestasi yang diukur berdasarkan efisiensi
dan kesehatan organisasi.
Berlakunya UU No.22
Tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2004 mengubah paradigma
pemerintahan, termasuk segi kelembagaan pemerintahan yang diwujudkan dalam
bentuk pemekaran daerah. Pakar organisasi seperti Grote (2002:10) pada umumnya
sepakat bahwa organisasi abad 21 memiliki ciri: lebih kecil (smaller),
lebih cepat (faster), lebih terbuka (openness) dan lebih melebar (wideness).
Ahli lain, yakni Frank Ostroff (dalam Giroth, 2006:114) mengemukakan
pendapatnya bahwa organisasi pada abad 21 bersifat lebih melebar dan mengarah
pada bentuk organisasi horizontal. Model organisasi horizontal bertujuan agar
lebih banyak anggota organisasi yang diberdayakan agar lebih menjadi mandiri
dalam mengambil keputusan.
Agar organisasi
dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan maka diperlukan transformasi.
Gouillart & Kelly (1995:10) dalam Giroth (2006:116) mengemukakan model
transformasi organisasi sebagai berikut; 1) reframing corporate, 2)
restructuring the company, 3) revitalizing the enterprise, dan 4)
renewing people. Transformasi organisasi sebagaimana dikemukakan Gouillart
& Kelly pada intinya mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi struktural,
dimensi fungsional dan dimensi kultural. Dari ketiga dimensi tersebut, dimensi
kultural adalah yang paling sulit berubah karena berhubungan dengan tata nilai
masyarakat yang sudah lama tertanam.
2.
Landasan Normatif Pemekaran Desa
Pemekaran berdasarkan UU No.22 Tahun 1999
Pasal 1 dan 2 tentang pemerintahan daerah menegaskan bahwa pemekaran daerah
adalah pemecahan propinsi, daerah kabupaten atau kota menjadi lebih satu
daerah. Secara konteks pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah
tertentu. Dalam pengembangannya diperlukan pendekatan kebudayaan untuk memahami
keinginan masyarakat dan mengantisipasi kericuhan akibat kristalisasi
kepercayaan yang tidak mewakili masyarakat sehingga terlepas dari esensi
pemekaran. Kesemua itu penting dipahami mengingat cara pandang masyarakat yang
berbeda pada setiap wilayah. Kondisi tersebut juga sebagai kekhasan dan
ketahanan daerah.
Selain itu dalam UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan bahwa pemekaran harus memiliki syarat
administratif, yaitu pemekaran harus bersifat lokal konteks, artinya itikad
pemisahan dan otonom berasal dari masyarakat. Teknisnya, yaitu masyarakat mampu
membuktikan potenis daerah dan keunggulan daerah. Secara fisik dan kewilayahan
harus memiliki dukungan dari daerah dan mempersiapkan sarana dan prasarana. Di
samping itu, tetap perlu adanya penyesuaian faktor kultur dengan kehidupan
masyarakat bagi daerah tersebut sehingga tidak menyebabkan perubahan cultural
shock.
Pemekaran suatu wilayah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang
Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan
Daerah. Peraturan tersebut memuat tentang pembentukan daerah yaitu pemberian
status pada wilayah tertentu sebagai daerah propinsi, daerah kabupaten atau kota. Pemekaran daerah
adalah pemecahan daerah propinsi, daerah kabupaten atau kota menjadi lebih dari satu daerah dan
pembangunan daerah adalah penyatuan daerah yang dihapus kepada daerah lain.
Pemekaran secara esensial diharapkan mampu mengembangkan, menciptakan dan
memajukan potensi-potensi daerah termasuk aneka ragam sosio-kultural,
sentra-sentra ekonomi rakyat dan stabilitas terjamin termasuk kehidupan
masyarakat pedesaan.
Kriteria pemekaran ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2002 tentang Persyaratan Pembentukan dan
Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Penggabungan Daerah bahwa pemekaran daerah
dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1.
Kemampuan
ekonomi;
2.
Potensi
daerah;
3.
Sosial
budaya;
4.
Sosial
politik;
5.
Jumlah
penduduk;
6.
Luas
daerah; dan
7.
Pertimbangan-pertimbangan
lain yang memungkinkan terselenggara-nya otonomi daerah.
Penilaian kriteria pemekaran daerah yang
digunakan adalah sistem sharing yang terdiri dari 3 (tiga) macam metode,
yaitu: Metode A (metode rata-rata) adalah metode yang membandingkan besaran
atau nilai tiap daerah terhadap nilai rata-rata keseluruhan, Metode B (metode
distribusi) adalah metode rata-rata yang mempertimbangkan distribusi data dan
Metode C (metode kuota) adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai
kuota penentuan sharing.
Suatu daerah dikatakan lulus menjadi
daerah otonom apabila daerah induk maupun calon daerah yang akan dibentuk
mempunyai total skor sama dengan atau lebih besar dari skor minimal kelulusan.
Pola pemekaran desa dilakukan secara variatif sesuai dengan Peraturan Daerah
(Perda) dengan tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dan tujuan pemekaran. Tujuan
pemekaran yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:
a.
Peningkatan
kesejahteraan kepada masyarakat;
b.
Percepatan
pertumbuhan kehidupan demokrasi;
c.
Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
d.
Percepatan
pengelolaan potensi daerah;
e.
Peningkatan
keamanan dan ketertiban;
f.
Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
termasuk desa.
Muara utama
pemekaran yaitu kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat dengan bersandar pada
potensi yang dimiliki pemerintah daerah termasuk desa. Kesejahteraan dapat
diperoleh melalui sentra-sentra ekonomi rakyat baik pertanian, perdagangan, home
industri dan seterusnya. Sedangkan pemberdayaan masyarakat berorientasi
pada penguatan-penguatan (enabling) dan perlindungan (protecting) terhadap
elemen dan asset-aset institusional sehingga dapat berfungsi secara optimal.
3. Otonomi dalam Konteks Pemekaran
Kerangka teoritis
yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa pemekaran daerah termasuk pemekaran
desa yang terjadi yaitu perkembangan organisasi, sumber daya manusia, dana dan
faktor lingkungan. Kondisi empirik menunjukkan bahwa proses pemekaran Desa
Dompyong menjadi Desa Dompyong Wetan dan Kulon berdampak pada pengembangan
organisasi, aparat desa, pembelanjaan dan biaya rutin desa. Sementara itu
potensi-potensi desa dalam bentuk tanah sikep, tanah titisara dan tanah bengkok
tidak mengalami perubahan.
Perkembangan
organisasi menuntut berbagai konsekuensi yaitu berhadapan antara potensi dan kekayaan
tidak mengalami perubahan dengan kegiatan dan rutinitas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Fenomena yang cukup menarik
tersebut membutuhkan keterlibatan pemerintah kabupaten dalam menjembatani
kondisi yang timpang di desa dengan cara memposisikan desa sebagai subsistem
dari sistem pemerintahan daerah. Di samping itu desa dibina dengan berbagai
kegiatan stimulan yang mampu membangun keberdayaan desa.
Pemekaran desa yang
berdampak pada pengembangan organisasi kurang mendukung otonomi desa bahkan
hsasil pengamatan menunjukkan bahwa pemekaran desa berhasil dalam memisahkan
batas wilayah atau batas desa, rekayasa pemisahan penduduk, tanah sikep, tanah
titisara dan tanah bengkok serta sarana umum lainnya, namun pemekaran desa
tidak dapat memisahkan kultur dan budaya khas yang melekat pada desa, seperti
motivasi hidup bersama, gotong-royong dan berbagai kegiatan desa lainnya.
Berdasarkan
pemahaman tersebut bahwa otonomi dalam konteks pemekaran desa tidak
menguntungkan karena ada peluang dapat mengikis otonomi desa. Kita menyadari
bahwa otonomi desa kurang bergema karena kuatnya hukum positif dalam bentuk
Undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah memberi garis embarkasi yang
jelas terhadap tugas, fungsi dan wewenang termasuk hak dan kewajiban pemerintah
desa.
I. KESIMPULAN
Otonomi desa
merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan prakarsa-prakarsa
desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang
dimiliki desa. Kejelian pemerintah dalam implementasi kebijakan otonomi desa
hendaknya diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa, untuk itu proses
pertumbuhan dan perkembangan dapat terarah termasuk aktualisasi nilai-nilai
lokal tidak dapat dimaksudkan untuk mengembalikan desa ke zaman lama, melainkan
hendak dijadikan sebagai koridor dalam proses transformasi, agar jalan yang
ditempuh tidak destruktif, melainkan tetap mempertimbangkan kepentingan
generasi ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hoogerwerf; 1983, Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Erlangga.
Albrecht, Karl, 1985, Pengembangan Organisasi-Pendekatan Sistem yang
Menyeluruh untuk Mencapai Perubahan Positif dalam Setiap Organisasi Usaha, Terjemah,
Bandung: Penerbit Angkasa.
Bintarto, 1983, Interaksi
Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Dwijowijoto., Riant
Nugroho, 2001, Reinventing Indonesia;
Menata Ulang Mana-jemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia
Baru dengan Keunggulan Global, Jakarta:
PT. Elek Media Komputindo.
Dwipayana, AAGN. Ari, dkk,
2004, Otonomi Daerah dan Otonomi Desa; Kritik Konsep dan Implementasi dalam
Promosi Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE
Press.
______, & Sutoro Eko, 2003, Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta:
IRE Press.
Eko, Sutoro, dkk, 2002, Membuat Desentralisasi dan Demokrasi Lokal Bekerja
dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, Jakarta: LP3ES.
______, dkk, 2005, Mengkaji Ulang Transformasi Desa, dalam Transformasi
Ekonomi Politik Desa, Yogyakarta: APMD Press.
______, 2005, Manifesto Pembaharuan Desa, Yogyakarta: APMD Press.
Grote, Dick, 2002, The
Performance Appraisal; Question and Answer Book, a Survival Guide for Managers,
New York:
Amacom.
Giroth, Lexie, M, 2006, Pamong
Praja Kibernologi dan Metakontrologi, Reorien-tasi dan Reinterpretasi Ilmu
Pemerintahan, Bandung:
Indra Prahasta.
Iver, MC., 1961, The
Web of Government, New York:
The McMillan Co.
Koestoer, Raldi Hendro
& Yanti, 1995, Perspektif Lingkungan Desakota: Teori dan Kasus, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Mardiasmo, 2002, Otonomi
dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta:
Andi Offset.
______, 2004, Sistem
Pengukuran Kinerja Sektor Publik: Telaah Kritis Terhadap Kebutuhan Pengukuran
Kinerja Pemerintah Daerah dalam Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan,
Evaluasi dan Saran, Yogyakarta: UII Press.
Ndraha, Taliziduhu, 1981, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Jakarta:
Bina Aksara.
______, 1990, Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal
Landas, Jakarta: Rineka Cipta.
______, 2003, Kybernologi; Ilmu Pemerintahan Baru, Jilid I Jakarta:
Rineka Cipta.
_____, 2003, Kybernologi; Ilmu Pemerintahan Baru, Jilid II Jakarta:
Rineka Cipta.
_____, 1984, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Jakarta: Bina
Aksara.
_____, 1997, Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta.
Pambudi, Himawan S. dkk.,
2003, Politik Pemberdayaan, Jalan Mewujudkan Otonomi Desa, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Prasadja, Buddy, 1986, Pembangunan
Desa dan Masalah Kepemimpinannya, Jakarta:
Rajawali bekerjasama dengan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIS).
Rasyid, Ryaas, 1997, Pembangunan
Pemerintahan Indonesia Memasuki Abad 21, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap
Ilmu Politik pada Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta: IIP.
______, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta:
Yarsif Watampone.
Rozaki, Abdur, dkk. 2004, Mempekuat
Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi, Yogyakarta:
IRE Press.
______, dkk, 2004, Memperkuat
Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi, Yogyakarta:
IRE Press.
______, 2004, Parpol dan
Pembaharuan Desa dalam Promosi Otonomi Desa, Yogyakarta:
IRE Press.
Robbins, Stephen P, 1994, Teori
Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi, Terjemah, Jakarta: Arcan.
Saragi, Tumpal P, 2004, Mewujudkan
Otonomi Masyarakat Desa; Alternatif Pemberdayaan Desa, Yogyakarta:
CV. Cipruy.
Sardjono Jatiman, 1995, Dari
Kampung Menjadi Desa, Studi Sosiologi Perubahan Pemerintahan Desa di Kabupaten
Sambas Kalimantan Barat, Jakarta: Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Soemardjan, Selo, 1989, Otonomi Desa, Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu
Sosial (YIIS) Vol. Hal.1
Soekanto, Soerjono, 2001, Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Soewardi, Herman, 2004, Respons Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi
Produksi Pertanian, Terutama Padi, Suatu Kasus yang Terjadi di Jawa Barat, Bandung:
Bakti Mandiri.
Soetardjo, 1953, Desa, Jakarta: Balai Pustaka.
Suryaningrat, Bayu, 1976, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Yayasan
Beringin Korpri Unit Departemen Dalam Negeri.
Sutarto, 2000, Dasar-dasar Organisasi, Yogyakarta: UGM Press.
Subagyo, Andreas B, 2004, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif,
Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan, Bandung: Yayasan Kalam Hidup.
Tjandra, W. Riawan, 2004, Beralih dari Paradigma Desentralisasi Semu dalam
Mewujudkan Kabupaten Partisipatif, Yogyakarta: Pembaruan.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance; Telaah dari Dimensi Akuntabilitas
dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya:
Insan Cendikia.
Van Poelje, 1977, Pengantar
Ilmu Pemerintahan, Terjemah, Jakarta:
IIP
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No.5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa,
Undang-Undang No.22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan
Pemerintah No.129 Tahun 2000 tentang Pemekaran Wilayah.
Peraturan
Pemerintah No.76 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Desa.
Peraturan
Pemerintah No.72 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar