Rabu, 09 November 2011

Pemberdayaan Masyarakat Desa



Berbagai strategi pembangunan selama ini telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan masyarakat desa menjadi masyarakat yang mandiri. Salah satu yang kita kenal saat ini adalah kebijakan pemberdayaan masyarakat desa, dimana fokus perhatiannya adalah masyarakat desa. Sebagai strategi, kebijakan Pemberdayaan masyarakat desa telah berkembang sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia dan telah melalui sejarah yang amat panjang. Sebagaimana Tjokrowinoto (1996 : 34) mengungkapkan bahwa :
Pada awalnya pembangunan desa di Indonesia dikenal sebagai “Rencana Kesejahteraan Kasimo” atau Kasimo Welfare Plan yang dicanangkan pada tahun 1952. Kasimo welfare plan lebih berorientasi pada peningkatan produksi pangan. Strategi ini dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, yang dikenal dengan strategi olie vlek atau percikan minyak. Pada perkembangan berikutnya pada tahun 1959 pembangunan desa lebih dititik beratkan pada pembangunan masyarakat-nya. Pembangunan waktu itu dilaksanakan berdasarkan pada Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 (Undang-undang Nomor 85 Tahun 1958) yang dirumuskan oleh Biro Perancang Negara.

Demikian juga Ndraha (1990 : 81-83) mengemukakan bahwa :
Pada tahun 60-an orang lebih mengarahkan perhatian pada usaha pembangunan masyarakat di perdesaan dengan alasan :
(1)     bagian terbesar penduduk tinggal di daerah pedesaan ….;
(2)    
18
 
keadaan pedesaan yang dianggap timpang jika dibandingkan dengan keadaan perkotaan. … ; dan
(3)     kenyataan bahwa dalam pembangunan masyarakat (community development) sampai saat itu, masyarakat, lebih-lebih masyarakat pedesaan tidak segera mampu menunjukkan prakarsa yang berarti.
Hal-hal di ataslah yang menjadi pendorong bagi banyaknya negara yang sedang berkembang untuk meningkatkan perhatian pada pembangunan masyarakat pedesaan yang disebut pembangunan pedesaan atau pembangunan desa (rural development).

Strategi pembangunan masyarakat yang digunakan diilhami oleh konsep community development.  Konsep ini telah dirumuskan oleh Dewan Sosial Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1956. Rumusan definisi pembangunan masyarakat sebagai berikut (Bhattacharyya, dalam Ndraha, 1990 : 72-73) :
Community development is the processes by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrate these communities into the live of the nation and to enable them to contribute fully to national progress.
This complex of processes is thus made up of two essential     element : the participation of the people themselves in efforts to improve their level of living with as much reliance as possible on their own initiative ; and the provisions of technical and other services in ways which encourage initiative, self-help and mutual help and make these more effective. It is expressed in programmes designed to achieve a wide variety of specific improvements.
These programmes are usually concerned with local communities because of the fact that the people living together in a locality have many and varied interests in common. Some of their interests are expressed in functional groups organized to further a more limited range of interests not primarily determined by locality.”

Rumusan di atas mengandung pengertian sebagai berikut :
1.    Dalam artian “proses” pembangunan masyarakat merupakan semua usaha swadaya digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberi kesempatan yang memungkinkan masyarakat itu sendiri dalam usaha penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa. Proses ini mengutamakandua unsur penting, yakni (a) partisipasi masyarakat itu sendiri dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat; dan (b) pembentukan pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang mendorong timbulnya inisiatif, serta berswadaya dan gotong royong masyarakat
2.    Dalam artian “metode”, pembangunan masyarakat menekankan pada aspek “partisipasi dan keterlibatan langsung  masyarakat dalam proses pembangunan”, dapat diartikan sebagai “gerakan”
Definisi pembangunan masyarakat tersebut telah mewarnai kebijakan awal pembangunan masyarakat desa di Indonesia yang bertujuan :
... meningkatkan taraf penghidupan masyarakat desa, dengan berdasarkan azas kekuatan sendiri daripada masyarakat desa, dengan bimbingan serta bantuan alat-alat pemerintah yang bertindak sebagai suatu keseluruhan (kebulatan) dalam rangka kebijakan umum yang ada.” (Ndraha, dalam Tjokrowinoto, 1986 : 3)

Berdasarkan rumusan serta tujuan pembangunan masyarakat desa tersebut, maka pengelolaan pembangunan masyarakat desa senantiasa didasarkan pada asas-asas : aspirasi masyarakat, swadaya masyarakat, partisipasi masyarakat dan pemufakatan masyarakat, serta bimbingan, pembinaan dan bantuan pemerintah.
Diletakkannya  strategi pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma baru pembangunan, menurut Kartasasmita (1996 : 141-142)  bahwa dasar pandangannya adalah :
Upaya yang dilakukan harus diarahkan pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat  harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendominasikan potensinya , dengan kata lain, memberdayakannya. Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipasif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya.

Pandangan di atas menunjukkan suatu kenyataan bahwa terjadi ketidakseimbangan dalam proses pembangunan di masa-masa lalu. Ketidakseimbangan dimaksud tentunya dalam kesempatan dan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan peluang dalam setiap proses pembangunan, yang mengakibatkan makin lebarnya jurang kesenjangan Kondisi tersebut telah terjadi pada tingkatan masyarakat yang paling bawah, yaitu masyarakat desa.
Seperti yang ditegaskan oleh Johnston dan Clark  (dalam Rondinelli, 1990 : 21-22) dalam analisa mereka tentang program pembangunan wilayah pedesaan, bahwa :
Persepsi yang umumnya diyakini tentang problema pembangunan ternyata jauh berbeda dengan realitas sosial yang sebenarnya. Berbicara tentang masalah pembangunan tentulah bersentuhan dengan tujuan-tujuan padu yang dirumuskan secara mantap, pilihan-pilihan ekslusif yang bersifat timbal-balik, pengambilan keputusan yang bersifat otoritatif dan adanya penanggung jawab yang jelas.

Rondinelli (1990 : 22) perpendapat bahwa :
Persepsi tentang dinamika pembangunan yang demikian akhirnya menguak suatu pendekatan alternatif terhadap analisa kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaan dibanding dengan apa yang sebelumnya dicetuskan oleh orang-orang yang menganut pandangan rasional, teknokratik dan secara  intelektual sangat terarah

Dari kedua pendapat di atas, maka dalam melihat implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat desa, setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, menyangkut “strategi” yang dilakukan oleh pemerintah yaitu upaya pemerintah dalam menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dan memperkuat potensi/daya yang dimiliki masyarakat melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di daerah serta melindungi melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang. Kedua, menyangkut pemberdayaan masyarakat desa sebagai suatu “kebijakan.” Dalam hal ini, bahwa implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat desa sekurang-kurangnya telah melalui tahap perumusan kebijakan, tahap pelaksanaan dan selanjutnya akan melalui tahap penilaian atau evaluasi kebijakan.
Dari kedua sudut pandang di atas, maka sudut pandang yang pertamalah yang paling sering dibahas dalam berbagai literatur maupun penelitian tentang pembangunan desa. Ruang lingkup pembahasannya pun hanya berkisar pada bagaimana kebijakan pemberdayaan itu dilakukan pada kondisi tertentu ; apakah kebijakan pemberdayaan masyarakat desa itu berhasil atau tidak ; program apa yang cocok bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat desa ; atau bagaimana dan strategi apa yang dipakai sehingga masyarakat desa dapat mandiri tanpa ada lagi ketergantungan dengan program atau bantuan dari pemerintah. Disadari atau tidak, kondisi tersebut merupakan penyebab sering terjadinya perubahan strategi pemerintah yang telah beberapa kali terjadi dalam merespon berbagai kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Sependapat dengan hal tersebut, Rondinelli (1990 : 22)             mengemukakan :
Di bawah kondisi interaksi yang sangat kompleks dan kebijakan pembangunan yang serba tidak pasti, program dan proyek paling banter hanya dapat dirancang untuk menyingkirkan aspek-aspek negatif pembangunan yang sangat sederhana dan dapat dikendalikan sekaligus melakukan intervensi yang secara strategis dinilai sebagai cara penting dalam menanggulangi secara inkremental.

Jadi walaupun secara implisit kebijakan pemberdayaan masyarakat desa merupakan kelanjutan dari kebijakan pembangunan desa sebelumnya, namun kenyataannya sangat dirasakan bahwa perubahan kebijakan akan membuat permasalahan semakin rumit.
Contoh kongkrit adalah perubahan istilah kebijakan dan kelembagaan pemerintah yang secara teknis melakukan pembinaan dan menfasilitasi proses penyelenggaraan pembangunan desa, yang saat ini dikenal sebagai “Pemberdayaan Masyarakat Desa.” Paling tidak sudah tiga kali terjadi perubahan yaitu : “pembangunan masyarakat desa (PMD), “Pembangunan Desa (Bangdes)” dan yang terakhir Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Walaupun perubahan tersebut dilatarbelakangi oleh perubahan konsep tentang pembangunan yang juga berubah, namun apabila ditelaah dari sudut kebijakan, maka di antara ketiganya produk kebijakannya hampir sama. Sulit kita memberdakan strategi mana yang mempunyai output yang paling menguntungkan bagi masyarakat desa. Berdasarkan pengalaman, program pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah misalnya Bimas (bimbingan masyarakat), Bantuan Desa, P3KT, PKT dan program lainnya, juga masih dipakai dalam kebijakan-kebijakan berikutnya, yang semuanya bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan masyarakat pedesaan, Namun, ternyata kurang mampu mengatasi kemiskinan secara menyeluruh.
Oleh karena itu, pada sudut pandang yang kedua yaitu implementasi  pemberdayaan masyarakat desa sebagai suatu “kebijakan”, maka yang ditelaah adalah apakah kebijakan pemberdayaan masyarakat desa dapat dilakukan secara berhasil dan faktor apa yang dapat mempengaruhi sehingga kebijakan itu dapat berhasil. Berhasil dalam arti apa yang telah menjadi keputusan pemerintah dapat dilakukan sesuai dengan rencana serta menghasilkan output sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Walaupun demikian harus dimaklumi bahwa pemberdayaan masyarakat desa merupakan suatu proses yang secara terus menerus dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan pemberdayaan masyarakat desa tetap merupakan suatu strategi dalam mengatasi berbagai permasalahan di desa. Untuk itu perlu dilakukan dengan 2 (dua) cara, sebagaimana disampaikan oleh Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negeri pada pembekalan akhir masa studi mahasiswa Institut Ilmu Pemerintahan tanggal 20 Juni 2000,  yaitu : pertama, intervensi Pemerintah ; dan kedua, penyerahan wewenang secara proporsional.  Penjelasannya sebagai berikut :
a. Intervensi Pemerintah.
Maksud dilakukannya intervensi pemerintah melalui berbagai program pembangunan masyarakat, yaitu : (1) untuk mempercepat proses perubahan dan pembaharuan pada tingkat komunitas, (2) mendorong tumbuhnya integrasi masyarakat lokal terhadap masyarakat nasional, serta (3) memberikan iklim yang kondusif bagi warga masyarakat pada tingkat komunitas dalam menciptakan, mengembangkan dan memanfaatkan peluang bagi peningkatan taraf hidupnya.

b. Penyerahan Wewenang Secara Proporsional.
Otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti, Pemerintah menyerahkan wewenang pemerintahan kepada Daerah Otonom (Daerah Kabupaten dan Daerah Kota) sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisai. Dengan diserahkannya kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.Sehingga hubungan antara Daerah Propinsi dengan Daerah Kabupaten dan Kota adalah hubungan dalam kerangka koordinasi, kerjasama, dan atau kemitraan dalam kedudukan masing-masing sebagai daerah otonom.

Berdasarkan pengalaman pembangunan desa di masa lalu, adanya intervensi pemerintah justeru membuat permasalahan bagi pengembangan aspirasi dan inovasi masyarakat untuk secara mandiri melaksanakan pembangunan. Demikian pun kewenangan yang diberikan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum menjamin bagi terciptanya kemandirian masyarakat Desa. Kadang-kadang arogansi Pemerintah Daerah terhadap Desa semakin muncul sebagai dampak diberikannya kewenangan yang begitu besar dari pemerintah pusat. Apa yang disebut aliran “Dana Alokasi Umum” dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tidak terjadi di desa. Istilah yang melekat di desa sebagai “desa otonom” pun akan  sulit terwujud. Padahal beberapa desa yang memiliki kekayaan atau sumber daya alam yang besar, tidak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Semua itu menjadi hak Pemerintah Daerah untuk mengolahnya.
Untuk itu, pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat desa, sebagaimana Kartasasmita (1996 : 163) menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat harus memenuhi beberapa persyaratan pokok, sebagai berikut :
-       Pertama, kegiatan yang dilaksanakan harus terarah bagi atau menguntungkan masyarakat yang lemah, terbelakang, dan tertinggal.
-       Kedua,  pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, dimulai dari pengenalan apa yang ingin dilakukan.
-       Ketiga, karena masyarakat yang lemah sulit untuk bekerja sendiri-sendiri akibat kekurangan keberdayaannya, maka upaya pemberdayaan masyarakat menyangkut pula pengembangan kegiatan bersama (kooperatif) dalam kelompok yang dapat di bentuk atas dasar wilayah tempat tinggal (kelompok arisan, RT, RW, Dusun, desa), jenis usaha (pertanian, industri, perdagangan), atau kesamaan latar belakang (pemuda,wanita).
-       Keempat, menggerakkan partisipasi yang luas dari masyarakat untuk turut serta membantu dalam rangka kesetiakawanan  sosial; disini termasuk keikutsertaan orang-orang setempat yang telah maju, anggota masyarakat mampu lainnya, organisasi-organisasi kemasyarakatan termasuk lembaga swadaya masyarakat setempat, perguruan tinggi dan sebagainya.

Pendapat di atas, memberikan jalan tengah bagi kepentingan masyarakat desa dan juga kepentingan Pemerintah Daerah. Kondisi seperti ini memungkinkan adanya kerjasama yang baik antara Pemerintah Daerah dengan pmerintah desa termasuk partisipasi masyarakat desa. Pembangunan masa lalu yang lebih menekankan pada pendekatan sektoral yang cenderung terpusat, telah menjadikan pemerintah daerah kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kapasitasnya dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat secara optimal. Kapasitas pemerintah daerah yang tidak optimal ini disebabkan oleh kuatnya kendali pemerintah pusat dalam proses pembangunan melalui berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan yang sangat rinci dan kaku. Kuatnya kendali pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah pada masa yang lalu telah menyebabkan pula hilangnya motivasi, inovasi, dan kreativitas aparat daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk dalam pembangunan pedesaan.
Kegagalan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa selama ini terjadi karena tidak adanya persamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat.  Menurut Kartasasmita (1996 : 164) bahwa masalah implementasi kebijakan dapat dilihat pada dua aspek,  yaitu :
1)   Aspek masyarakat. Masalah besar yang dihadapi dalam upaya memberdayakan masyarakat adalah ketidaktahuan (ignorance) di kalangan masyarakat itu sendiri. Hambatan inilah yang pertama-tama harus diterobos agar masyarakat dibangkitkan kesadarannya bahwa kehidupan yang lebih baik dari sekarang, dan bahwa ada harapan serta peluang untuk memperbaiki kehidupan, tetapi untuk itu harus ada usaha dari diri sendiri. Ini adalah pekerjaan yang tidak mudah, tetapi mendasar sifatnya bagi aparat pemerintah sebagai manajer pembangunan.
2)   Aspek aparat pemerintah. Salah satu hambatan utama bagi pembangunan yang berhasil ternyata adalah aparat pemerintah sendiri. Seluruh bidang studi administrasi pembangunan ditujukan untuk mengatasi masalah ini. Ia menyangkut masalah mental, pengetahuan, kecakapan, dan juga kesejahteraan sumberdaya manusianya. Ia juga menyangkut masalah sistem dan pengorganisasian termasuk tatanan, fungsi, prosedur dan sebagainya, dari aparat pemerintah sebagai aparat manager pembangunan.

Untuk menerobos masalah besar yang dihadapi di dalam masyarakat sebagaimana di sebutkan di atas, Hikmat (2001 : 73) mengemukakan perlunya memahami jenis-jenis kekuatan yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Kekuatan tersebut adalah :
-       Kekuatan pendorong. Kekuatan pendorong yang ada dalam suatu masyarakat yang dapat membantu berlangsungnya proses perubahan. Ciri-cirinya adalah : perasaan tidak puas dengan situasi dan kondisi yang telah dirasakan dan biasanya selalu diikuti oleh perasaan adanya sesuatu yang belum terpenuhi, serta rasa bersaing untuk menyesuaikan diri  dengan tuntutan kehidupan. Kesadaran adanya kekurangan, dan karena itu berusaha untuk mengejar kekurangan.
-       Kekuatan bertahan. Kekuatan ini dicerminkan oleh rasa menentang setiap inovasi baru atau mungkin terbatas pada inovasi tertentu yang diduga akan menimbulkan perubahan terhadap sesuatu yang selama ini telah dimiliki dan dipertahankan.
-       Kekuatan pengganggu. Kekuatan ini timbul dan mengakar di dalam masyarakat karena disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu : (1) persaingan untuk memperoleh pengaruh dan dukungan seluruh masyarakat dalam proses pembangunan, sehingga memungkinkan munculnya perpecahan dalam tubuh masyarakat itu sendiri. ; (2) kerumitan inovasi baru yang diperkenalkan untuk menimbulkan perubahan, yang akibatnya masyarakat mengalami kesulitanuntuk menerimanya dengan cepat. ; (3) terbatasnya sumber dayayang diperlukan untuk melaksanakan perubahan, termasuk tenaga, biaya, dan tenaga ahli.

Dari aspek aparat pemerintah, Rondinelli (dalan Supriatna, 2000 : 182) dalam penelitiannya  pada negara berkembang, baik yang berkenaan dengan otonomi maupun pemberdayaan masyarakat dan kapabilitas birokrasi, menyimpulkan bahwa :
Kualitas birokrasi pemerintahan lokal sangat ditentukan oleh perilaku, sikap dan kultur yang kondusif sehingga responsif untuk membuat keputusan, membina dan bertanggung jawab dalam meningkatkan program pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat.

Lebih lanjut Supriatna (2000 : 183) lebih melihat kepada faktor kapabilitas administrasi dan edukatif dari birokrasi pemerintahan di daerah yang didukung oleh kepemimpinan, adaptasi, pendekatan, bimbingan dan pembinaan, pelatihan, metode, keterpaduan, demokratis/proaktif, dan partisipatif yang mengacu pada “human approach.
Peranan pemerintah dalam proses implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat desa tampak dalam cara-cara suatu pemerintahan mengadakan intervensi kebijakan terhadap lingkungannya. Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja (1988 : 124) mengemukakan bahwa proses implementasi kebijakan pemerintah, bisa berupa :
(1)     Kebijakan langsung, yaitu dimana untuk mencapai tujuan-tujuan maksud, pemerintah mengimplementasikan berbagai keputusan, ketentuan dan aturan yang terdapat dalam kebijakan ;
(2)     Kebijakan tak langsung adalah berbagai keputusan atau perundang-undangan, dimana untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan, pemerintah tidak mengimplementasikan sendiri kebijakan tersebut, tetapi hanya mengeluarkan ketentuan atau aturan yang dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan masyarakat sehingga bergerak ke arah yang sesuai dengan tujuan dimaksud ;
(3)     Kebijakan campuran adalah kebijakan dimana untuk mencapai tujuan-tujuan yang dimaksudkan, terbuka kesempatan atau peran yang dapat diimplementasikan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh organisasi kemasyarakatan ataupun campuran keduanya”

Kartasasmita (1996 : 159-160) juga mengungkapkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat desa dalam konsepsi pembangunan masyarakat dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yakni : 1). Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling) ; 2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) ; dan 3) Memberdayakan mengandung pula arti melindungi.
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1.        Enabling. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
2.        Empowering. Dalam rangka  menciptakan iklim dan suasana  meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses kepada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah, dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat di akses oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan tempat terkonsentrasinya penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
3.        Melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya. Dalam rangka ini, adanya peraturan perundangan yang secara jelas  dan tegas melindungi  golongan yang lemah sangat diperlukan. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbangan, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian karena pada dasarnya setiap yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Peran dan tanggung  jawab semua pihak terkait, alokasi anggaran belanja dan sistem koordinasi serta komunikasi  perlu diperjelas. Secara normal, tim yang memfasilitasi pemberdayaan masyarakat desa terdiri dari tim multidispliner.
Mengingat pemberdayaan masyarakat desa adalah sebuah pendekatan yang relatif baru, dibutuhkan perubahan perilaku dan sikap dari semua pihak terkait yang terlibat. Untuk memulai perubahan ini hendaknya dilakukan pada skala kecil. Setelah diperoleh pengalaman dan manfaat yang jelas dari pendekatan ini, maka penyebarluasannya secara lebih luas sudah bisa dimulai. Hal ini bisa dilakukan dalam organisasi yang sama, dan juga pada organisasi demikian juga sektor-sektor lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...