Berbagai strategi pembangunan
selama ini telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan masyarakat
desa menjadi masyarakat yang mandiri. Salah satu yang kita kenal saat ini
adalah kebijakan pemberdayaan masyarakat desa, dimana fokus perhatiannya adalah
masyarakat desa. Sebagai strategi, kebijakan Pemberdayaan masyarakat desa telah
berkembang sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia dan telah melalui sejarah
yang amat panjang. Sebagaimana Tjokrowinoto (1996 : 34) mengungkapkan bahwa :
Pada awalnya pembangunan desa di Indonesia dikenal sebagai “Rencana
Kesejahteraan Kasimo” atau Kasimo Welfare
Plan yang dicanangkan pada tahun 1952. Kasimo
welfare plan lebih berorientasi pada peningkatan produksi pangan. Strategi
ini dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, yang dikenal
dengan strategi olie vlek atau
percikan minyak. Pada perkembangan berikutnya pada tahun 1959 pembangunan desa
lebih dititik beratkan pada pembangunan masyarakat-nya. Pembangunan waktu itu
dilaksanakan berdasarkan pada Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960
(Undang-undang Nomor 85 Tahun 1958) yang dirumuskan oleh Biro Perancang Negara.
Demikian juga Ndraha (1990 : 81-83)
mengemukakan bahwa :
Pada tahun 60-an orang lebih mengarahkan perhatian pada usaha
pembangunan masyarakat di perdesaan dengan alasan :
(1)
bagian terbesar penduduk
tinggal di daerah pedesaan ….;
(2)
keadaan pedesaan yang dianggap timpang jika
dibandingkan dengan keadaan perkotaan. … ; dan
|
(3)
kenyataan bahwa dalam
pembangunan masyarakat (community
development) sampai saat itu, masyarakat, lebih-lebih masyarakat pedesaan
tidak segera mampu menunjukkan prakarsa yang berarti.
Hal-hal
di ataslah yang menjadi pendorong bagi banyaknya negara yang sedang berkembang
untuk meningkatkan perhatian pada pembangunan masyarakat pedesaan yang disebut
pembangunan pedesaan atau pembangunan desa (rural
development).
Strategi pembangunan masyarakat yang digunakan diilhami oleh konsep community development. Konsep ini telah dirumuskan oleh Dewan Sosial
Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1956. Rumusan definisi
pembangunan masyarakat sebagai berikut (Bhattacharyya, dalam Ndraha, 1990 :
72-73) :
Community development is
the processes by which the efforts of the people themselves are united with
those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural
conditions of communities, to integrate these communities into the live of the
nation and to enable them to contribute fully to national progress.
This complex of processes
is thus made up of two essential
element : the participation of the people themselves in efforts to
improve their level of living with as much reliance as possible on their own
initiative ; and the provisions of technical and other services in ways which
encourage initiative, self-help and mutual help and make these more effective.
It is expressed in programmes designed to achieve a wide variety of specific
improvements.
These programmes are
usually concerned with local communities because of the fact that the people
living together in a locality have many and varied interests in common. Some of
their interests are expressed in functional groups organized to further a more
limited range of interests not primarily determined by locality.”
Rumusan di atas mengandung
pengertian sebagai berikut :
1.
Dalam artian “proses” pembangunan masyarakat merupakan
semua usaha swadaya digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna
meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta
mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan memberi kesempatan yang memungkinkan masyarakat itu sendiri
dalam usaha penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa. Proses ini
mengutamakandua unsur penting, yakni (a) partisipasi masyarakat itu sendiri
dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat; dan (b) pembentukan pelayanan
teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang mendorong timbulnya inisiatif, serta
berswadaya dan gotong royong masyarakat
2.
Dalam artian “metode”, pembangunan masyarakat
menekankan pada aspek “partisipasi dan keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pembangunan”, dapat
diartikan sebagai “gerakan”
Definisi pembangunan masyarakat
tersebut telah mewarnai kebijakan awal pembangunan masyarakat desa di Indonesia
yang bertujuan :
... meningkatkan taraf penghidupan masyarakat desa, dengan
berdasarkan azas kekuatan sendiri daripada masyarakat desa, dengan bimbingan
serta bantuan alat-alat pemerintah yang bertindak sebagai suatu keseluruhan
(kebulatan) dalam rangka kebijakan umum yang ada.” (Ndraha, dalam Tjokrowinoto,
1986 : 3)
Berdasarkan rumusan serta tujuan
pembangunan masyarakat desa tersebut, maka pengelolaan pembangunan masyarakat
desa senantiasa didasarkan pada asas-asas : aspirasi masyarakat, swadaya
masyarakat, partisipasi masyarakat dan pemufakatan masyarakat, serta bimbingan,
pembinaan dan bantuan pemerintah.
Diletakkannya strategi pemberdayaan masyarakat sebagai
paradigma baru pembangunan, menurut Kartasasmita (1996 : 141-142) bahwa dasar pandangannya adalah :
Upaya yang dilakukan harus diarahkan pada akar persoalannya, yaitu
meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan
mengembangkan dan mendominasikan potensinya , dengan kata lain,
memberdayakannya. Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya
untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas
rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar
keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat
dan lingkungannya mampu secara partisipasif menghasilkan dan menumbuhkan nilai
tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan
secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga
harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian,
dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan
nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya.
Pandangan di atas menunjukkan suatu
kenyataan bahwa terjadi ketidakseimbangan dalam proses pembangunan di masa-masa
lalu. Ketidakseimbangan dimaksud tentunya dalam kesempatan dan kemampuan masyarakat
dalam memanfaatkan peluang dalam setiap proses pembangunan, yang mengakibatkan
makin lebarnya jurang kesenjangan Kondisi tersebut telah terjadi pada tingkatan
masyarakat yang paling bawah, yaitu masyarakat desa.
Seperti yang ditegaskan oleh Johnston
dan Clark (dalam Rondinelli, 1990 :
21-22) dalam analisa mereka tentang program pembangunan wilayah pedesaan, bahwa
:
Persepsi yang umumnya diyakini tentang problema pembangunan ternyata
jauh berbeda dengan realitas sosial yang sebenarnya. Berbicara tentang masalah
pembangunan tentulah bersentuhan dengan tujuan-tujuan padu yang dirumuskan
secara mantap, pilihan-pilihan ekslusif yang bersifat timbal-balik, pengambilan
keputusan yang bersifat otoritatif dan adanya penanggung jawab yang jelas.
Rondinelli
(1990 : 22) perpendapat bahwa :
Persepsi
tentang dinamika pembangunan yang demikian akhirnya menguak suatu pendekatan
alternatif terhadap analisa kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaan
dibanding dengan apa yang sebelumnya dicetuskan oleh orang-orang yang menganut
pandangan rasional, teknokratik dan secara
intelektual sangat terarah
Dari kedua
pendapat di atas, maka dalam melihat implementasi kebijakan pemberdayaan
masyarakat desa, setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, menyangkut “strategi” yang
dilakukan oleh pemerintah yaitu upaya pemerintah dalam menciptakan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dan memperkuat
potensi/daya yang dimiliki masyarakat melalui pemberian input berupa bantuan
dana, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta
pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di daerah serta
melindungi melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah
persaingan yang tidak seimbang. Kedua,
menyangkut pemberdayaan masyarakat desa sebagai suatu “kebijakan.” Dalam hal
ini, bahwa implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat desa
sekurang-kurangnya telah melalui tahap perumusan kebijakan, tahap pelaksanaan
dan selanjutnya akan melalui tahap penilaian atau evaluasi kebijakan.
Dari kedua
sudut pandang di atas, maka sudut pandang yang pertamalah yang paling sering
dibahas dalam berbagai literatur maupun penelitian tentang pembangunan desa.
Ruang lingkup pembahasannya pun hanya berkisar pada bagaimana kebijakan
pemberdayaan itu dilakukan pada kondisi tertentu ; apakah kebijakan
pemberdayaan masyarakat desa itu berhasil atau tidak ; program apa yang cocok
bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat desa ; atau bagaimana dan strategi apa yang
dipakai sehingga masyarakat desa dapat mandiri tanpa ada lagi ketergantungan
dengan program atau bantuan dari pemerintah. Disadari atau tidak, kondisi
tersebut merupakan penyebab sering terjadinya perubahan strategi pemerintah
yang telah beberapa kali terjadi dalam merespon berbagai kebutuhan dan
kepentingan masyarakat.
Sependapat
dengan hal tersebut, Rondinelli (1990 : 22) mengemukakan :
Di bawah
kondisi interaksi yang sangat kompleks dan kebijakan pembangunan yang serba
tidak pasti, program dan proyek paling banter hanya dapat dirancang untuk
menyingkirkan aspek-aspek negatif pembangunan yang sangat sederhana dan dapat
dikendalikan sekaligus melakukan intervensi yang secara strategis dinilai
sebagai cara penting dalam menanggulangi secara inkremental.
Jadi walaupun
secara implisit kebijakan pemberdayaan masyarakat desa merupakan kelanjutan
dari kebijakan pembangunan desa sebelumnya, namun kenyataannya sangat dirasakan
bahwa perubahan kebijakan akan membuat permasalahan semakin rumit.
Contoh kongkrit
adalah perubahan istilah kebijakan dan kelembagaan pemerintah yang secara
teknis melakukan pembinaan dan menfasilitasi proses penyelenggaraan pembangunan
desa, yang saat ini dikenal sebagai “Pemberdayaan Masyarakat Desa.” Paling
tidak sudah tiga kali terjadi perubahan yaitu : “pembangunan masyarakat desa
(PMD), “Pembangunan Desa (Bangdes)” dan yang terakhir Pemberdayaan Masyarakat
Desa (PMD). Walaupun perubahan tersebut dilatarbelakangi oleh perubahan konsep
tentang pembangunan yang juga berubah, namun apabila ditelaah dari sudut
kebijakan, maka di antara ketiganya produk kebijakannya hampir sama. Sulit kita
memberdakan strategi mana yang mempunyai output
yang paling menguntungkan bagi masyarakat desa. Berdasarkan pengalaman, program
pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah misalnya Bimas (bimbingan
masyarakat), Bantuan Desa, P3KT, PKT dan program lainnya, juga masih dipakai
dalam kebijakan-kebijakan berikutnya, yang semuanya bertujuan untuk
meningkatkan pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan masyarakat
pedesaan, Namun, ternyata kurang mampu mengatasi kemiskinan secara menyeluruh.
Oleh karena
itu, pada sudut pandang yang kedua yaitu implementasi pemberdayaan masyarakat desa sebagai suatu
“kebijakan”, maka yang ditelaah adalah apakah kebijakan pemberdayaan masyarakat
desa dapat dilakukan secara berhasil dan faktor apa yang dapat mempengaruhi
sehingga kebijakan itu dapat berhasil. Berhasil dalam arti apa yang telah
menjadi keputusan pemerintah dapat dilakukan sesuai dengan rencana serta
menghasilkan output sesuai dengan
tujuan yang diinginkan.
Walaupun
demikian harus dimaklumi bahwa pemberdayaan masyarakat desa merupakan suatu
proses yang secara terus menerus dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan
pemberdayaan masyarakat desa tetap merupakan suatu strategi dalam mengatasi
berbagai permasalahan di desa. Untuk itu perlu dilakukan dengan 2 (dua) cara,
sebagaimana disampaikan oleh Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa
Departemen Dalam Negeri pada pembekalan akhir masa studi mahasiswa Institut
Ilmu Pemerintahan tanggal 20 Juni 2000,
yaitu : pertama, intervensi
Pemerintah ; dan kedua, penyerahan
wewenang secara proporsional.
Penjelasannya sebagai berikut :
a. Intervensi
Pemerintah.
Maksud dilakukannya intervensi pemerintah melalui berbagai program
pembangunan masyarakat, yaitu : (1) untuk mempercepat proses perubahan dan
pembaharuan pada tingkat komunitas, (2) mendorong tumbuhnya integrasi
masyarakat lokal terhadap masyarakat nasional, serta (3) memberikan iklim yang
kondusif bagi warga masyarakat pada tingkat komunitas dalam menciptakan,
mengembangkan dan memanfaatkan peluang bagi peningkatan taraf hidupnya.
b. Penyerahan
Wewenang Secara Proporsional.
Otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakasa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
berarti, Pemerintah menyerahkan wewenang pemerintahan kepada Daerah Otonom
(Daerah Kabupaten dan Daerah Kota) sebagai konsekuensi dianutnya asas
desentralisai. Dengan diserahkannya kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sementara itu, dalam
rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.Sehingga hubungan antara Daerah Propinsi
dengan Daerah Kabupaten dan Kota adalah hubungan dalam kerangka koordinasi,
kerjasama, dan atau kemitraan dalam kedudukan masing-masing sebagai daerah
otonom.
Berdasarkan pengalaman pembangunan
desa di masa lalu, adanya intervensi pemerintah justeru membuat permasalahan
bagi pengembangan aspirasi dan inovasi masyarakat untuk secara mandiri
melaksanakan pembangunan. Demikian pun kewenangan yang diberikan pada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum menjamin bagi terciptanya kemandirian
masyarakat Desa. Kadang-kadang arogansi Pemerintah Daerah terhadap Desa semakin
muncul sebagai dampak diberikannya kewenangan yang begitu besar dari pemerintah
pusat. Apa yang disebut aliran “Dana Alokasi Umum” dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, tidak terjadi di desa. Istilah yang melekat di desa sebagai
“desa otonom” pun akan sulit terwujud.
Padahal beberapa desa yang memiliki kekayaan atau sumber daya alam yang besar,
tidak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Semua itu menjadi hak
Pemerintah Daerah untuk mengolahnya.
Untuk itu, pelaksanaan kebijakan
pemberdayaan masyarakat desa, sebagaimana Kartasasmita (1996 : 163) menjelaskan
bahwa pelaksanaan pembangunan yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat
harus memenuhi beberapa persyaratan pokok, sebagai berikut :
-
Pertama, kegiatan yang dilaksanakan
harus terarah bagi atau menguntungkan masyarakat yang lemah, terbelakang, dan
tertinggal.
-
Kedua, pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat itu
sendiri, dimulai dari pengenalan apa yang ingin dilakukan.
-
Ketiga, karena masyarakat yang lemah
sulit untuk bekerja sendiri-sendiri akibat kekurangan keberdayaannya, maka
upaya pemberdayaan masyarakat menyangkut pula pengembangan kegiatan bersama (kooperatif) dalam kelompok yang dapat di
bentuk atas dasar wilayah tempat tinggal (kelompok arisan, RT, RW, Dusun,
desa), jenis usaha (pertanian, industri, perdagangan), atau kesamaan latar
belakang (pemuda,wanita).
-
Keempat, menggerakkan partisipasi yang
luas dari masyarakat untuk turut serta membantu dalam rangka
kesetiakawanan sosial; disini termasuk
keikutsertaan orang-orang setempat yang telah maju, anggota masyarakat mampu
lainnya, organisasi-organisasi kemasyarakatan termasuk lembaga swadaya
masyarakat setempat, perguruan tinggi dan sebagainya.
Pendapat di atas, memberikan jalan
tengah bagi kepentingan masyarakat desa dan juga kepentingan Pemerintah Daerah.
Kondisi seperti ini memungkinkan adanya kerjasama yang baik antara Pemerintah
Daerah dengan pmerintah desa termasuk partisipasi masyarakat desa. Pembangunan
masa lalu yang lebih menekankan pada pendekatan sektoral yang cenderung
terpusat, telah menjadikan pemerintah daerah kurang mendapat kesempatan untuk
mengembangkan kapasitasnya dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
serta pelayanan kepada masyarakat secara optimal. Kapasitas pemerintah daerah
yang tidak optimal ini disebabkan oleh kuatnya kendali pemerintah pusat dalam
proses pembangunan melalui berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan yang
sangat rinci dan kaku. Kuatnya kendali pemerintah pusat terhadap pemerintah
daerah pada masa yang lalu telah menyebabkan pula hilangnya motivasi, inovasi,
dan kreativitas aparat daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi yang menjadi
tanggung jawabnya, termasuk dalam pembangunan pedesaan.
Kegagalan pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat desa selama ini terjadi karena tidak adanya persamaan persepsi
antara pemerintah dan masyarakat.
Menurut Kartasasmita (1996 : 164) bahwa masalah implementasi kebijakan dapat
dilihat pada dua aspek, yaitu :
1)
Aspek masyarakat. Masalah besar yang
dihadapi dalam upaya memberdayakan masyarakat adalah ketidaktahuan (ignorance) di kalangan masyarakat itu
sendiri. Hambatan inilah yang pertama-tama harus diterobos agar masyarakat
dibangkitkan kesadarannya bahwa kehidupan yang lebih baik dari sekarang, dan
bahwa ada harapan serta peluang untuk memperbaiki kehidupan, tetapi untuk itu
harus ada usaha dari diri sendiri. Ini adalah pekerjaan yang tidak mudah,
tetapi mendasar sifatnya bagi aparat pemerintah sebagai manajer pembangunan.
2)
Aspek aparat pemerintah. Salah satu
hambatan utama bagi pembangunan yang berhasil ternyata adalah aparat pemerintah
sendiri. Seluruh bidang studi administrasi pembangunan ditujukan untuk
mengatasi masalah ini. Ia menyangkut masalah mental, pengetahuan, kecakapan,
dan juga kesejahteraan sumberdaya manusianya. Ia juga menyangkut masalah sistem
dan pengorganisasian termasuk tatanan, fungsi, prosedur dan sebagainya, dari
aparat pemerintah sebagai aparat manager pembangunan.
Untuk menerobos masalah besar yang
dihadapi di dalam masyarakat sebagaimana di sebutkan di atas, Hikmat (2001 :
73) mengemukakan perlunya memahami jenis-jenis kekuatan yang ada dan berkembang
di dalam masyarakat. Kekuatan tersebut adalah :
-
Kekuatan pendorong. Kekuatan pendorong
yang ada dalam suatu masyarakat yang dapat membantu berlangsungnya proses
perubahan. Ciri-cirinya adalah : perasaan tidak puas dengan situasi dan kondisi
yang telah dirasakan dan biasanya selalu diikuti oleh perasaan adanya sesuatu
yang belum terpenuhi, serta rasa bersaing untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan. Kesadaran adanya
kekurangan, dan karena itu berusaha untuk mengejar kekurangan.
-
Kekuatan bertahan. Kekuatan ini
dicerminkan oleh rasa menentang setiap inovasi baru atau mungkin terbatas pada
inovasi tertentu yang diduga akan menimbulkan perubahan terhadap sesuatu yang
selama ini telah dimiliki dan dipertahankan.
-
Kekuatan pengganggu. Kekuatan ini timbul
dan mengakar di dalam masyarakat karena disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu : (1)
persaingan untuk memperoleh pengaruh dan dukungan seluruh masyarakat dalam
proses pembangunan, sehingga memungkinkan munculnya perpecahan dalam tubuh
masyarakat itu sendiri. ; (2) kerumitan inovasi baru yang diperkenalkan untuk
menimbulkan perubahan, yang akibatnya masyarakat mengalami kesulitanuntuk
menerimanya dengan cepat. ; (3) terbatasnya sumber dayayang diperlukan untuk
melaksanakan perubahan, termasuk tenaga, biaya, dan tenaga ahli.
Dari aspek aparat pemerintah,
Rondinelli (dalan Supriatna, 2000 : 182) dalam penelitiannya pada negara berkembang, baik yang berkenaan
dengan otonomi maupun pemberdayaan masyarakat dan kapabilitas birokrasi,
menyimpulkan bahwa :
Kualitas
birokrasi pemerintahan lokal sangat ditentukan oleh perilaku, sikap dan kultur yang
kondusif sehingga responsif untuk membuat keputusan, membina dan bertanggung
jawab dalam meningkatkan program pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut Supriatna (2000 : 183) lebih melihat kepada faktor
kapabilitas administrasi dan edukatif dari birokrasi pemerintahan di daerah
yang didukung oleh kepemimpinan, adaptasi, pendekatan, bimbingan dan pembinaan,
pelatihan, metode, keterpaduan, demokratis/proaktif, dan partisipatif yang
mengacu pada “human approach.”
Peranan pemerintah dalam proses
implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat desa tampak dalam cara-cara
suatu pemerintahan mengadakan intervensi kebijakan terhadap lingkungannya.
Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja (1988 : 124) mengemukakan bahwa proses
implementasi kebijakan pemerintah, bisa berupa :
(1)
Kebijakan langsung, yaitu
dimana untuk mencapai tujuan-tujuan maksud, pemerintah mengimplementasikan
berbagai keputusan, ketentuan dan aturan yang terdapat dalam kebijakan ;
(2)
Kebijakan tak langsung adalah
berbagai keputusan atau perundang-undangan, dimana untuk mencapai tujuan yang
dimaksudkan, pemerintah tidak mengimplementasikan sendiri kebijakan tersebut,
tetapi hanya mengeluarkan ketentuan atau aturan yang dapat mempengaruhi
perilaku atau tindakan masyarakat sehingga bergerak ke arah yang sesuai dengan
tujuan dimaksud ;
(3)
Kebijakan campuran adalah
kebijakan dimana untuk mencapai tujuan-tujuan yang dimaksudkan, terbuka
kesempatan atau peran yang dapat diimplementasikan baik oleh instansi
pemerintah maupun oleh organisasi kemasyarakatan ataupun campuran keduanya”
Kartasasmita (1996 : 159-160) juga mengungkapkan bahwa upaya
pemberdayaan masyarakat desa dalam konsepsi pembangunan masyarakat dapat
dilihat dari 3 (tiga) aspek, yakni : 1). Menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling)
; 2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) ; dan 3) Memberdayakan
mengandung pula arti melindungi.
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1.
Enabling. Disini titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena,
kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya
itu dengan mendorong (encourage),
memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness)
akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
2.
Empowering. Dalam rangka menciptakan iklim dan suasana meliputi langkah-langkah nyata, dan
menyangkut penyediaan berbagai masukan (input),
serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses kepada sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.
Pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik,
seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah, dan fasilitas
pelayanan kesehatan, yang dapat di akses oleh masyarakat pada lapisan paling
bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran
di perdesaan tempat terkonsentrasinya penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
3.
Melindungi. Dalam proses pemberdayaan,
harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam
menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan masyarakat,
perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya. Dalam rangka
ini, adanya peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah sangat diperlukan.
Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi karena hal
itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi
harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbangan, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Oleh karena itu pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program
pemberian karena pada dasarnya setiap yang dinikmati harus dihasilkan atas
usaha sendiri, dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Peran dan
tanggung jawab semua pihak terkait,
alokasi anggaran belanja dan sistem koordinasi serta komunikasi perlu diperjelas. Secara normal, tim yang
memfasilitasi pemberdayaan masyarakat desa terdiri dari tim multidispliner.
Mengingat
pemberdayaan masyarakat desa adalah sebuah pendekatan yang relatif baru,
dibutuhkan perubahan perilaku dan sikap dari semua pihak terkait yang terlibat.
Untuk memulai perubahan ini hendaknya dilakukan pada skala kecil. Setelah
diperoleh pengalaman dan manfaat yang jelas dari pendekatan ini, maka
penyebarluasannya secara lebih luas sudah bisa dimulai. Hal ini bisa dilakukan
dalam organisasi yang sama, dan juga pada organisasi demikian juga
sektor-sektor lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar