A. Pendahuluan
Seiring dengan
perubahan paradigma yang menyertai proses reformasi, issue hangat dalam
penyelenggaraan pemerintahan adalah pengawasan terhadap kinerja pelayanan
pemerintah. Prinsip-prinsip pelayanan selama ini selalu dibicarakan sebagai
landasan kinerja, namun faktanya masih sering dijumpai complaint dan kritik tajam
terhadap kinerja tersebut khususnya pada aspek pelayanan yang kurang efektif
dan efisien.
Pelayanan
pemerintahan secara dapat dibagi dua, yaitu: pertama, pelayanan yang langsung bersentuhan dengan publik. Jika
terjadi kasus-kasus di sektor ini efeknya langsung pada kredibilitas
pemerintah. Kedua, kinerja pelayanan
bagi organisasi inter pemerintah. Hal ini masih sering diabaikan, padahal
kinerja peme-rintahan tidak lepas dari kerjasama dan koordinasi yang sinergis
dalam pemerintahan itu sendiri.
Banyak hal
yang berkaitan dengan kinerja pemerintah, salah satunya adalah pengawasan. Pada
frame birokrasi, mekanisme pengawasan internal pemerintah adalah oleh Aparat
Pengawas Intern Pemerintah (APIP) seperti Inspektorat Jenderal di Kementerian dan
mekanisme pengawasan melekat oleh atasan langsung. Adanya penyimpangan merupakan
salah satu titik terlemah dalam pelayanan publik, dimungkinkan terkait dengan
ketidakberdayaan mekanisme pengawasan internal pemerintah itu sendiri, selain
itu berbagai penilaian bahwa Aparat Pengawasan Internal di departemen dan
instansi pemerintah belum siap melakukan reformasi birokrasi.
Pengawasan
dilakukan untuk menilai proses dan realisasi pelaksanaan suatu kegiatan yang
telah direncanakan sebelumnya. Hal ini selaras dengan perubahan para-digma yang
semula hanya sebagai “watchdog”,
kemudian menjadi konsultan dan katalis. Perubahan paradigma ini juga menuntut
per-baikan kinerja dan kompetensi segenap aparat pengawas.
B. Hakikat
Pengawasan
Pengawasan dilaksanakan untuk
menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang
akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan
kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan
secara efektif dan efisien. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana
kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi
dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Mengenai hakikat
pengawas-an, beberapa ahli berpendapat sebagai berikut: Robbins (dalam
Sugandha, 1999:150) menyatakan pengawasan merupakan suatu proses aktivitas yang
sangat mendasar, sehingga membutuhkan seorang manajer untuk menjalankan tugas
dan pekerjaan organisasi.
Dale (dalam Winardi,
2000:224) menyatakan bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan
seksama dan melaporkan hasil kegiatan meng-awasi, tetapi juga mengandung arti
memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa
yang direncanakan.
Sementara itu, Siagian
(1990:107) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan adalah proses
pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar
supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana
yang telah ditentukan sebelumnya.
Berdasarkan pandangan
di atas, pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar
pelaksanaan tujuan dengan tujuan-tujuan perencanaan, meran-cang sistem
informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah
ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta
mengambil tindakan koreksi yang diperlukan.
Pentingnya pengawasan
ter-hadap organisasi disebabkan karena suatu organisasi akan berjalan terus dan
semakin komplek dari waktu ke waktu, banyaknya orang yang berbuat kesalahan dan
guna mengevaluasi atas hasil kegiatan yang telah dilakukan, inilah yang membuat
fungsi pengawasan semakin penting dalam setiap organisasi. Tanpa adanya peng-awasan
yang baik tentunya akan menghasilkan tujuan yang kurang memuaskan, baik bagi
organisasinya itu sendiri maupun bagi para pekerjanya.
Pandangan Winardi
(2000:172) mengemukakan alasan mengapa pengawasan itu penting, diantaranya:
1.
Perubahan dalam lingkungan organisasi;
Berbagai perubahan dalam lingkungan
organisasi terjadi terus-menerus dan tak dapat dihindari, seperti munculnya
inovasi produk dan pesaing baru, diketemukannya bahan baku baru dan sebagainya.
Melalui fungsi pengawasannya manajer mendeteksi perubahan yang berpengaruh pada
barang dan jasa organisasi sehingga mampu menghadapi tantangan atau
memanfaatkan adanya kesempatan yang diciptakan perubahan yang terjadi.
2.
Peningkatan kompleksitas organisasi;
Semakin besar organisasi, makin memerlukan pengawasan
yang lebih formal dan hati-hati. Berbagai jenis produk harus diawasi untuk
menjamin kualitas dan profitabilitas tetap terjaga. Semuanya akan memerlukan
pelaksanaan dari fungsi pengawasan dengan lebih efisien dan efektif.
3.
Meminimalisasi tingginya kesalahan-kesalahan;
Bila para bawahan tidak membuat kesalahan, pimpinan
dapat secara sederhana melakukan fungsi pengawasan. Tetapi kebanyakan anggota
organisasi sering membuat kesalahan. Sistem pengawasan memungkinkan pimpinan
untuk mendeteksi kesalahan tersebut sebelum menjadi kritis.
4.
Kebutuhan pimpinan untuk mendelegasikan
wewenang;
Bila manajer mendelegasikan wewenang kepada
bawahannya tanggung jawab atasan itu sendiri tidak berkurang. Satu-satunya cara
manajer dapat menentukan apakah bawahan telah melakukan tugasnya adalah dengan
mengimplemen-tasikan sistem pengawasan.
Melalui pemahaman tersebut sistem pengawasan terhadap
program dan kegiatan pemerintah, kita mengenal sistem pengawasan dan
pemeriksaan, baik internal maupun eksternal. Secara eksternal terdapat BPK yang
merupakan lembaga negara yang kedudukannya diatur oleh konstitusi. Secara
internal terdapat BPKP, Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama, dan Bawasda
Provinsi, Kabupaten dan Kota yang kedudukannya berada di dalam pemerintahan. Di
lingkungan Sekretariat Negara, kini telah dibentuk Deputi Pengawasan, yang
fungsinya hampir sama dengan Inspektorat Jenderal di Departemen.
C. Dari
Watchdog ke Katalis
Pengawasan
dilakukan untuk mengetahui kinerja, dan tidak sekedar diukur dari banyaknya
temuan penyimpangan, akan tetapi sejauhmana akuntabilitas telah dijalankan. Pengawas
yang diturun-kan, kembali tidak lagi membawa temuan adanya penyimpangan, akan
tetapi juga menemukan keberhasilan tentang akuntabilitas dan peningkatan
kinerja dalam arti yang sebenarnya.
Peran
sebagai konsultan dan katalis memungkinkan pengawas memberikan arti untuk mengawal
tata kelola pemerintahan yang baik. Peran itu menuntut pengembangan kompetensi
dan profesionalitas pengawas serta mengembangkan spesialisasi sesuai bidangnya.
Semakin
banyaknya tugas dan beban kerja harus dihadapi dengan kemauan untuk melakukan
perubahan. Berbagai persoalan dan keterbatasan yang ada tidak sekedar dikeluhkan
tetapi harus dicarikan solusinya dalam bentuk program kerja.
Keberadaan pengawasan (baik internal maupun
eksternal) sudah dikenal dan
diakui kegunaannya dalam manajemen pemerintahan dan dalam dunia profesi
auditor. Saat ini, struktur kelembagaan pengawasan dalam manajemen pemerintahan
di Indonesia terdiri atas lembaga pengawasan eksternal pemerintahan dan
beberapa lembaga pengawasan internal pemerintah.
Peran dan fungsi lembaga pengawasan eksternal (BPK)
dan internal (APIP) meskipun berbeda, tetapi keduanya saling mengisi dan
melengkapi. Keduanya merupakan unsur-unsur penting yang diperlukan dan tidak saling
menggantikan untuk terselenggara-nya good
governance.
Lembaga pengawasan internal dalam Iingkup
pemerintah ber-kembang sebagai konsekuensi
logis dari kompleksitas tugas-tugas pemerintahan
dan luasnya rentang kendali manajemen pemerintah. Fungsi lembaga pengawasan internal berlangsung dalam tiap
tingkatan manajemen pemerintahan baik pusat maupun daerah.
Hasil pengawasan internal yang disampaikan secara
berkala ataupun sesuai dengan kebutuhan, dimanfaatkan oleh manajemen pemerintahan
untuk meningkatkan kinerja, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan. Oleh karena itu, pengawasan internal tidak dilakukan hanya pada
saat akhir proses manajemen saja, tetapi berada pada setiap tingkatan proses manajemen.
Paradigma pengawasan yang telah meluas dari sekedar watchdog yang cenderung lebih berfokus
pada penemuan penyimpangan ke posisi yang lebih luas yaitu pada efektivitas pencapaian
misi dan tujuan organisasi, mendorong pelaksanaan pengawasan ke arah pemberian
nilai tambah yang optimal.
Pengawasan harus menekan-kan pada pemberian bantuan kepada
manajemen dalam melaku-kan pengelolaan terhadap risiko-risiko yang dapat
menghambat pencapaian misi dan tujuan, sekaligus memberikan alternatif
peningkatan efisiensi dan efektivitas, serta pencegahan atas potensi kegagalan sistem
manajemen.
Idealnya pengawasan harus mampu memberikan nilai tambah
terhadap peningkatan kinerja penyelenggaraan manajemen peme-rintahan. Hal tersebut
penting mengingat keberadaan pengawasan adalah untuk menjembatani hubungan antara
pemimpin dengan para manajer dan staf dalam rangka memperkecil ketimpangan
informasi yang berkembang di antara mereka. Itu semua mencerminkan bahwa pengawasan
haruslah berorientasi pada peningkatan mutu (quality
assurance) yang dilakukan secara independen dan objective dengan menggunakan professional
judge-ment sebagai pengawas yang kompeten.
Paradigma
yang lama sebagai watchdog mungkin
berhasil dalam mencari oknum, tetapi semakin banyak oknum yang diberikan
hukuman atau sanksi akan semakin merendahkan nilai trust yang sedang dibangun. Dengan demikian, kepentingan internal pengawas
adalah mengubah paradigma lama-nya suatu organisasi agar tetap berisi
individu-individu yang tidak mau melakukan penyimpangan dengan metode dan
kewenangan yang dimilikinya.
Pengawas dengan paradigma lama adalah
organisasi intern dengan kegiatan yang seolah-olah terpisah dengan organisasi
yang mempekerjakannya. Kemampuan yang ada diupayakan untuk ber-peran sebagai
pihak yang mencari kesalahan dengan melakukan pem-bandingan antara yang
seharusnya berdasarkan kriteria yang diingin-kannya sendiri atau bersama-sama
dengan organisasi dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Namun, ternyata
dalam per-kembangannya, telah terjadi perubahan pandangan terhadap profesi pengawas
dari paradigma lama yang masih berorientasi pada mencari kesalahan (watchdog) menuju paradigma baru yang
lebih mengedepankan peran sebagai konsultan dan katalis. Selain itu telah
terjadi pendekatan baru dalam internal audit yaitu risk based audit approach.
Arief Effendi (2002) mengemukakan ciri-ciri
yang utama dari bentuk pengawasan intern berbentuk watchdog, yaitu:
1.
Proses
kegiatannya adalah audit kepatuhan (compliance
audit);
2. Fokus pemeriksaannya adalah adanya variasi
penyimpangan, kesalahan, kecurangan, atau bentuk negatif lainnya;
3. Dampak yang diakibatkannya adalah bersifat
jangka pendek.
Peran watchdog
meliputi aktivi-tas inspeksi, observasi, perhitungan, cek dan ricek yang
bertujuan untuk memastikan ketaatan atau kepatuhan terhadap ketentuan,
peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan. Audit yang dilakukan adalah compliance audit dan apabila terdapat
penyimpangan dapat dilakukan koreksi terhadap sistem pengendalian manajemen.
Peran watchdog biasanya menghasilkan
saran atau rekomendasi yang mempunyai impact
jangka pendek, misalnya perbaikan sistem dan prosedur atau internal control.
Watchdog adalah peran
tertua dari auditor internal yang mencakup pekerjaan menginspeksi, observasi,
menghitung dan cek dan ricek. Oleh karena sifat pekerjaanya, peran watchdog biasanya
akan meng-hasilkan rekomendasi yang mem-punyai dampak jangka pendek.
Persoalannya kemudian adalah apakah peran watchdog ini harus ditinggalkan sama
sekali, sehingga kita harus berkemas dan segera mengambil peran baru, yaitu
sebagai konsultan atau bahkan sebagai katalis. Barangkali ada persyaratan yang
diperlukan untuk meninggalkan peran lama ini agar dapat segera menggantikannya
dengan peran yang baru. Dapat saja peran lama ini ditinggalkan sama sekali.
Namun, dengan kondisi yang belum ideal untuk dilakukan suatu peran lanjutan, trust yang akan dibangun justru akan
tercoreng dengan adanya kasus-kasus penyelewenangan.
Pengawas
sebagai konsultan akan melihat bahwa selain sebagai watchdog, pengawas
juga internal dapat memberikan manfaat lain berupa saran dalam pengelolaan
sumber daya organisasi yang dapat membantu tugas para manajer. Peran konsultan
membawa pengawas internal untuk selalu meningkatkan pengetahuan baik tentang
profesi auditor maupun aspek bisnis, sehingga dapat membantu manajemen dalam
memecahkan masalah.
Sementara itu,
pengawas dengan peran sebagai Katalis adalah memberikan jasa kepada manajemen
melalui saran-saran konstruktif dan dapat diaplikasikan bagi kemajuan
perusahaan namun tidak ikut dalam aktivitas operasional perusahaan.
Menurut Arif Effendi
(2002) perbedaan pendekatan dalam pengawas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Watchdog:
a.
Pendekatan: seperti detektif
b.
Proses: audit kepatuhan atau compliance
audit;
c.
Fokus; adanya variasi penyimpangan,
kesalahan, kecurangan dan sebagainya;
d.
Impact: jangka pendek
e.
Sikap: seperti polisi
f.
Komunikasi dengan mana-jemen terbatas;
2.
Konsultan
a.
Pendekatan: preventif atau mencegah masalah;
b.
Proses: audit operasional;
c.
Fokus; penggunaan sumber daya (resources);
d.
Impact: jangka menengah;
e.
Sikap: sebagai mitra kerja;
f.
Komunikasi dengan mana-jemen bersifat
reguler.
3.
Katalis
a.
Pendekatan: preventif atau mencegah masalah;
b.
Proses: audit operasional;
c.
Fokus; nilai (values)
d. Impact: bersifat
jangka panjang, karena focus
katalis adalah nilai jangka panjang (longterm values)
dari organi-sasi, terutama berkaitan dengan tujuan organisasi yang dapat
memenuhi kepuasan pelanggan dan stakeholder;
e.
Sikap: sebagai mitra kerja;
f.
Komunikasi dengan mana-jemen bersifat
reguler.
g.
Jenjang karier berkembang luas atau dapat
berkarier pada bagian lain.
Perbedaan
dari ketiga pen-dekatan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Dimensi
|
Watchdog
|
Konsultan
|
Katalis
|
Pen-dekatan
|
Seperti detektif
|
Preventif atau
mencegah masalah
|
Preventif atau
mencegah masalah
|
Proses
|
Audit kepatuhan
atau compliance audit
|
Audit operasional
|
Audit operasional
|
Fokus
|
Adanya variasi
penyim-pangan, kesalahan, kecurangan dan sebagainya
|
Penggunaan sumber
daya (resources)
|
Nilai (values)
|
Impact
|
Jangka pendek
|
Jangka menengah
|
Jangka panjang
|
Sikap
|
Seperti polisi
|
Sebagai mitra
kerja
|
Sebagai mitra
kerja
|
Komuni-kasi
|
Terbatas
|
Reguler
|
Reguler
|
Jenjang karir
|
|
Dapat
berkarier di bagian lain
|
Dapat
berkarier di bagian lain
|
Perubahan
paradigma peran pengawas dari hanya sebagai watchdog menjadi konsultan dan
katalis adalah tuntutan perbaikan kinerja internal. Pengawas sebagai konsultan
diharapkan dalam melaksanakan fungsi pengawasan tidak hanya mampu menyajikan
temuan, namun juga melaksanakan penataan dan penyempurnaan sistem, struktur
kelembagaan, dan prosedur pengawasan yang independen, efektif, efiesien,
transparan, dan memberiakn bimbingan atas kendala dan permasalahan yang
dihadapi dalam pelaksanaan tugas aparatur.
Sedangkan
sebagai katalis, diharapkan mampu mendorong terwujudnya kepemerintahan yang
baik (good governance) melalui
kebijakan pengawasan berupa perbaikan manajemen organisasi dan memberikan keteladanan
bagi pelaksanaan tugas.
Adanya
pergeseran filosofi pengawasan
dari paradigma lama menuju paradigma baru, yang ditandai dengan
perubahan orientasi dan peran pengawas. Saat ini pengawas internal lebih
berorientasi untuk memberikan kepuasan kepada jajaran manajemen
sebagai pelanggan (customer satisfaction). Pengawas
internal tidak dapat lagi hanya berperan sebagai watchdog, namun harus dapat berperan sebagai
mitra kerja bagi manajemen.
D. Model
Pengawasan di Era Baru
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan agar daerah lebih mampu
memberdayakan semua kekuatan yang dimilikinya termasuk pengembangan kreativitas
daerah dan sumberdaya untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi,
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
Kewenangan
yang luas tersebut, tentunya harus diimbangi dengan pelaksanaan pengawasan yang
memadai agar tidak menimbul-kan permasalahan baru di daerah yang dapat
berakibat terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di daerah.
Hampir
satu dasawarsa era otonomi daerah, tentunya perlu dikaji kembali sistem
pengawasan yang ada saat ini, apakah pengawasan telah berjalan secara efektif
dalam mengawal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi? Apakah pengawasan
telah mendorong adanya pengembangan inisiatif dan kreativitas daerah dan sumber
dayanya dalam meningkatkan per-tumbuhan ekonomi daerah dan pelayanan kepada
masyarakat serta pemberdayaan masyarakat yang bebas dari KKN? Untuk menjawab
itu, tentunya diperlukan peran serta semua pihak. Artinya, pengawasan akan
berjalan secara efektif bilamana didukung oleh semua pihak baik pemerintah,
legeslatif, pengusaha dan unsur masyarakat lainnya.
Fakta
empirik menunjukkan bahwa pada sebagian besar daerah, diantaranya masih
lemahnya sistem pembukuan dan pengelolaan keuangan daerah, sumberdaya manusia
yang terbatas baik secara kuantitas dan kualitas serta pelaksanaan pengawasan
internal di daerah yang belum efektif.
Tuntutan
masyarakat terhadap pemerintahan daerah yang didasar-kan prinsip good governance, mengharuskan pembenahan
tata kelola pemerintahan melalui reformasi birokrasi, penegakan hukum, dan
peningkatan kualitas pelayanan publik. Untuk itu, peran dan fungsi pengawasan
internal di daerah sangat diperlukan dan harus ditingkatkan sesuai dengan garis
kewenangan yang dimiliki.
Terkait
dengan pembenahan sistem pengawasan di daerah, secara makro ada 2 (dua) hal
yang menjadi fokus utama pembenahan yaitu pertama,
pembenahan tugas pokok dan fungsi seluruh intansi pengawasan yang ada di daerah
agar menghindari terjadinya tumpang tindih pemeriksaan dan bersifat sinergis
(tidak ego sentral), dapat bekerja secara efisien dan efektif serta memberikan
nilai tambah yang optimal dalam pencapaian misi dan tujuan organisasi (bukan
sekedar watchdog untuk menemukan
penyimpangan) pada setiap tingkatan proses manajemen.
Kedua
pembenahan standar-standar pengendalian intern yang diterapkan secara
menyeluruh. Selama ini implementasi sistem pengendalian intern di pemerintah
belum menunjukkan kondisi yang menggembirakan dan masih ter-dapat kelemahan.
Untuk itu, perlu segera didorong terciptanya sistem pengendalian intern
pemerintah dalam rangka mengurangi terjadinya penyimpangan yang merugikan
daerah.
Sebagai
perbandingan, di dunia bisnis/perusahaan, pengawas ekstern tidak akan melakukan
pemeriksaan ulang (mengurangi biaya audit yang akan dibebankan keperusahaan)
terhadap apa yang telah dilakukan oleh pengawas intern, sepanjang pemeriksaan
tersebut telah dilaksanakan sesuai standar yang sama serta dilandasi kertas
kerja yang memadai. Pengujian yang dilakukan oleh pengawas intern tersebut
biasanya terkait dengan quality assurance
terhadap sistem pengendalian manajemen, sedangkan pengawas ekstern yang
dilakukan adalah dalam rangka memberikan opini keseluruhan terhadap kewajaran
laporan keuangan perusahaan.
Model-model
pengawasan terhadap pemerintah daerah sangat berorientasi kepada akuntabilitas.
Sementara pengawasan yang berorientasi pada kinerja dengan tujuan sebagai
proses belajar masih sangat lemah, padahal tujuan pengawasan sebagai proses
belajar merupakan hal penting bagi organi-sasi yang ingin berkembang ber-dasarkan
belajar dari pengalaman (learning based
organization).
Dari sisi
proses, pengawasan hanya berfokus kepada pengawasan indikator input dan output
tetapi sangat lemah pada pengawasan indikator manfaat dan dampak (produktivitas).
Padahal dalam sistem anggaran satuan kerja, Pemerintah Daerah dituntut untuk
juga melakukan pengawasan terhadap indikator manfaat dan dampak.
Perlunya pengawasan ter-hadap
penyelenggaraan peme-rintahan daerah karena membantu melaksanakan kebijakan
atau program yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, pengawasan menciptakan suatu
sistem penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Selain itu, pengawasan dapat mendeteksi
sejauhmana penyimpangan dari kebijakan atau program yang terjadi dalam
pelaksanaan kerja tersebut, sehingga tidak menggangu rencana. Melalui
pengawasan diupayakan suatu penataan struktur yang meletakkan dasar-dasar kerja
yang sesungguhnya.
E. Penutup
Harus
diakui, dari berbagai kendala yang nyata dalam berorganisasi baik di dalam pemerintahan,
swasta atau lainnya, kendala utamanya terletak pada pengawasan. Pengawasan
harus disikapi luas sebagai sebuah cara yang holistik untuk memandang keberadaan
diri terhadap lingkungan di luar sistem maupun di dalam sistem. Dengan cara
pandang yang menyeluruh tersebut, perbaikan dan perubahan yang dilakukan dapat
menyentuh sisi makro selain sisi mikronya. Pengawasan dapat diadopsi sebagai
budaya saling introspeksi antar personal, antar bagian hingga antar departemen
yang harus disikapi secara utuh oleh segenap stakeholder yang
terlibat.
Kepercayaan
harus terus dibangun pada penyelenggaraan pemerintahan, melalui peningkatan
individu-individu yang sadar akan tempatnya bekerja. Membangun kepercayaan yang
terus-menerus ini juga akan diikuti dengan perubahan paradigma pengawasan dari
para-digma lamanya sebagai watchdog, menjadi paradigma barunya sebagai
konsultan atau bahkan sebagai katalis.
Perubahan
paradigma tidak dapat dilakukan secara drastis tanpa melihat lingkungan dan
budaya organisasi yang melingkupinya. Pergeseran paradigma pengawasan harus
dilakukan secara bertahap sambil terus mengamati dan memantau apakah sudah
memungkinkan untuk dilepaskan sama sekali paradigma lama pengawasan internal sebagai
watchdog.
Perubahan
demi perubahan harus terus dilakukan di semua lini dan level. Perubahan menjadi
keniscayaan bagi siapapun dalam mengarungi waktu, sebab ketika berhenti,
stagnan atau tetap sebagaimana waktu sebelumnya, maka bisa dikatakan telah
’mati’. Oleh karena itu, salah satu bentuk tanda eksistensi kehidupan adalah
adanya perubahan-perubahan.
Perubahan yang dilakukan haruslah
lebih baik atau meningkat dari waktu sebelumnya. Di samping itu, harus
dilakukan berdasar kondisi saat ini dan berkesinambungan, dalam tahap demi
tahap proses selalu dilakukan evaluasi dan penelaahan untuk perbaikan berikut-nya.
Paradigma
baru pengawasan dapat diterapkan secara sepenuh-nya apabila lingkungan
organisasi sudah mencapai kondisi yang ideal. Hal ini disebabkan bahwa dengan
kondisi yang ideal, yaitu saat semua orang dalam organisasi menyadari perannya
dalam organisasi, akan diperlukan peran pengawas untuk membantu mengembangkan
organi-sasi dengan fokus utama pada tujuan organisasi, sehingga pengawas akan
berperan sepenuh-nya sebagai mitra kerja.
Untuk membangun sinergi yang baik,
pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan standar kompetensi, standar
operasi, dan standar pelaporan yang baku. Pengawas harus aktif mengem-bangkan
metode kerja, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pengawasan melalui
pendidikan dan pelatihan.
Daftar Pustaka
Arief Effendi, Paradigma Baru Internal Auditor, Majalah
AUDITOR, Edisi No. 05 tahun 2002.
Eko Prihartono; Transformasi Pengawasan Internal Peme-rintah
Tantangan Dan Harapan; Jurnal Akuntabilitas, Volume 4, No.2 Maret 2005,
29-38
Ilya Avianti, Pentingnya
Penguatan Peran Satuan Pengawasan Intern dalam Menciptakan Value bagi
Perusahaan, Seminar Nasional Audit 2010, Bandung, 2010.
Kasim, Azhar. Sistem Pengawasan Internal dalam
Administrasi Negara Indonesia, makalah, FHUI, 21 Juli 2009.
Sofwan, Irwan: “Peran Internal Auditor dalam Perkembangan Organisasi menjelang abad 21“, bahan pelatihan internal
audit tingkat manajerial, Yayasan Pendidikan Internal Audit (YPIA), Jakarta,
desember 1997.
Samid, Suripto, “Peran Audit Internal sebagai Alat Manajemen untuk mengurangi Risiko“, makalah Seminar FKSPI
BUMN/BUMD, Bandung, 5 September 2002.
Siagian, Sondang P., 1989. Filsafat Administrasi. Jakarta: Haji Mas Agung.
Winardi,
2000, Manajer dan Manajemen. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar