A. PENDAHULUAN
Reformasi yang terjadi
di Indonesia
pada tahun 1997 - 1998
bertujuan untuk mengubah secara mendasar tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara ke arah yang lebih maju dan demokratis. Reformasi seharusnya juga
terjadi pada birokrasi sebagai komponen bangsa baik ditingkat nasional maupun
daerah, sejalan dengan perubahan
komponen bangsa lainnya. Dari berbagai kenyataan empirik yang dapat
ditangkap secara jelas oleh pancaindra terlihat bahwa birokrasi nampaknya
enggan berubah. Mereka enggan meninggalkan ”surga birokrasi” yang terjadi pada
masa Orde Baru.
Disebutkan surga
birokrasi karena pada waktu itu kewenangan birokrasi sangat luas tanpa ada
kontrol dari partai politik maupun masyarakat secara berarti. Penggunaan dana
publik yang diamanahkan kepada mereka juga sangat longgar, bahkan nyaris
seperti uang pribadi, dalam arti dapat digunakan secara leluasa dengan pertanggungjawaban
yang penuh dengan rekayasa. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela di mana-mana,
sedangkan penegak hukum dan penjaga
garda keadilan tidak berdaya karena berada di bawah ketiak presiden, dan
mereka juga sekaligus ikut dalam permainan kotor. Pada masa itu, Indonesia
dikenal sebagai negara yang sangat korup di Asia, tetapi anehnya koruptornya –
terutama yang kelas kakap - tidak ada yang ditangkap.
Melalui
reformasi, dilakukan desentralisasi dalam skala besar. Bahkan perubahannya
dapat dikategorikan sebagai ”revolusi desentralisasi” karena mencakup aspek
yang sangat luas dan mendasar serta dengan kecepatan yang tinggi. Banyak daerah
otonom dengan pemerintah daerahnya tergagap-gagap menghadapi perubahan yang
sangat cepat tersebut. Mereka yang selama ini hanya mengelola dana sangat
terbatas- sekitar puluhan milyard rupiah, secara bertahap kemudian mengelola
dana yang besar – bahkan sudah mencapai trilyunan rupiah. Pada sisi lain,
birokrasi yang biasanya selalu menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis dari pemerintah pusat, dihadapkan pada kebebasan yang luar biasa besar
untuk dapat berinisiatif dan berinovasi sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing.
Berbagai keterkejutan budaya (cultural
shock) menghinggapi birokrasi di daerah. Ada yang menangkap peluang dengan
langkah-langkah besar untuk kemajuan daerah, adapula yang jalan ditempat.
Kesempatan emas
yang sudah digenggam oleh daerah tidak boleh gagal atau lepas. Perlu ada grand design reformasi birokrasi daerah
yang berasal dari keinginan daerah sendiri, bukan sekedar melaksanakan kehendak
dari pemerintah pusat. Grand design
reformasi birokrasi pemerintah daerah sekurang-kurangnya mencakup empat dimensi
yaitu manajemen, organisasi, kepemimpinan
serta sumberdaya manusia yang berada dalam organisasi.
Melalui
desentralisasi, telah terjadi transfer kewenangan dan pembiayaan yang sangat
besar dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Sebagian tanggung jawab
memajukan bangsa negara sekarang erada di tangan pemerintah daerah. Padahal
masih banyak pemerintah daerah yang masih menjalankan birokrasinya secara
tradisional, yang pada gilirannya menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia
dibanding negara-negara lainnya. (lihat data dari makalah Ketua KPK yang
mengutip survey World Economic Forum).
Daya saing
Indonesia yang rendah disebabkan oleh banyak faktor antara lain infrastruktur
yang rusak, inefisiensi birokrasi, korupsi, ketidakpastian hukum. Inefisiensi
birokrasi antara lain ditandai oleh pelayanan publik yang berbelit-belit,
memerlukan prosedur yang panjang, waktu yang lama serta biaya yang tidak jelas.
Data dari The World Bank di bawah ini menggambarkan perbandingan antar negara,
jumlah prosedur, jumlah hari, biaya serta modal minimum yang diperlukan untuk
melakukan bisnis.
Dari prosedur
perijinan sebanyak duabelas macam, ternyata sebagian sudah diserahkan kepada
daerah, yakni mulai ijin prinsip, ijin lokasi, ijin gangguan, ijin lingkungan
hidup dan lain sebagainya.Berdasarkan
gambaran di atas, diperlukan langkah-langkah strategis antara lain melalui
reformasi birokrasi pemerintah daerah, sehingga daya saing bangsa dapat
ditingkatkan.
B. Reformasi Birokrasi Pemerintah
Daerah
Berbagai ahli seperti Drucker ( 1992 ),
Osborne & Gaebler (1992), Barzelay (1992), Mc Leod (1998) secara implisit
menyebutkan bahwa causa prima atau penyebab utama kegagalan negara membawa
kesejahteraan rakyatnya adalah karena kelemahan manajemennya. Manajemen
pemerintahan pada semua dimensi umumnya sudah sangat usang, tertinggal oleh
kemajuan jaman, sehingga alih-alih melayani masyarakat, organisasi pemerintah
malahan lebih banyak menjadi beban. Hal tersebut nampak dari penggunaan
sebagian besar dana publik untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu,
tidaklah berlebihan apabila Ingraham dan Romzek ( 1994 ) menyebutkan bahwa
sektor pemerintah harus belajar dari sektor privat yang sukses. Ingraham dan
Romzek (1994) menawarkan pengelolaan pemerintahan baru yang disebutnya
paradigma ”Hollow State”, dengan ciri
pekerjaan pemerintah yang tidak bersifat stratejik (non-strategic function) dikontrakkan kepada pihak ketiga (contracting-out). Ciri lain dari
paradigma ”Hollow-State” adalah :
1) looking
to the private sector for models of success;
2) the
management environment of public organizations;
3) changing
became the learning organization:
a) the
end of hierarchy;
b) governmental
reliance on external expertise;
c) the
decline of confidence in science;
d) decentralization
of knowledge.
Sektor privat pada umumnya sudah
masuk pada manajemen generasi kelima yakni management
by human networking - dengan dominasi penggunaan teknologi komunikasi dan
informasi. Savage (1990) menyebutkan
bahwa prinsip human networking adalah
“self-empowering”, yakni pemberdayaan
diri sendiri pada setiap orang sehingga mampu mandiri, termasuk di dalam
mengambil keputusan. Pimpinan diperlukan untuk mengkoordinasikan kegiatan
perorangan agar mengarah pada pencapaian tujuan, tetapi tidak bersifat
mengatur. Pada tahap kemandirian, setiap individu telah memiliki kesadaran dan
tanggung jawab tanpa terlampau banyak diawasi atau dikendalikan.
Pada sisi lain, sektor
pemerintah masih berkutat pada manajemen generasi kedua yakni management by direction - dengan
dominasi peran pemimpin. Sang pemimpin menjadi sumber ide dan gagasan,
sedangkan pengikut lebih banyak bertindak sebagai pelaksana. Dengan perkataan
lain, organisasi sektor pemerintah masih memiliki karakteristik berorientasi
pada pemimpin (leader orientation),
belum berorientasi pada sistem (system
orientation). Dengan demikian, maju mundurnya organisasi pemerintah sangat
tergantung pada sang pemimpin.
Anggota
organisasi lebih merupakan bawahan yang lebih banyak menjalankan perintah
atasan, daripada insan-insan yang memiliki kreativitas dan inovasi. PNS dihargai
karena kepatuhan dan loyalitasnya, bukan karena kreativitas dan inovasinya. Birokrasi di Indonesia adalah birokrasi
tanpa karakter. Indikasinya nampak dari berbagai persidangan korupsi pada
Departemen Agama maupun Departemen Kelautan dan Perikanan, dan mungkin nantinya
juga pada departemen-departemen lainnya. Seorang sekretaris jenderal yang
merupakan jabatan tertinggi dalam jajaran birokrasi di Indonesia (golongan IVe)
ternyata tidak memiliki keberanian untuk menolak perintah menteri, meskipun mereka
tahu bahwa perintah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Mereka takut
kehilangan jabatan, karena bagi mereka jabatan adalah segala-galanya. Karena
pada jabatan tersebut melekat kehormatan serta fasilitas baik yang resmi dan
terutama yang tidak resmi. Gaji dan tunjangan resmi eselon I relatif kecil
dibandingkan dengan jenjang jabatan yang setara pada sektor privat. Tetapi apabila fasilitas
penunjang yang diterima dari negara seperti mobil dinas, rumah dinas, sopir
dinas dan lain sebagainya, yang semuanya dibiayai oleh negara dihitung sebagai
pendapatan maka jumlahnya menjadi sangat besar. Belum lagi gratifikasi dari
pihak ketiga yang diterima karena jabatannya.
Sehingga pendapatan yang dibawa pulang (take home pay) setiap bulannya tidak jauh berbeda dengan sektor
swasta.
Apabila pejabat
eselon I yang sudah ikut segala macam pendidikan dan pelatihan di dalam maupun
di luar negeri saja tidak memiliki karakter yang jelas, dapat dibayangkan
bagaimana karakter birokrasi pada tingkat yang lebih rendah. Hal-hal ideal yang
diterima selama mengikuti pendidikan dan pelatihan hanya sekedar wacana, wacana
dan wacana, karena kurang diikuti dengan komitmen untuk perubahan ke arah
kemajuan dan konsisten menjaga komitmen.
Reformasi manajemen
birokrasi diberbagai negara, termasuk Indonesia, diperkuat dengan hadirnya
paradigma good governance yang
dikembangkan oleh Bank Dunia maupun UNDP. Pada hakehatnya tata kepemerintahan
yang baik adalah upaya memperbaiki manajemen dalam berbagai aspkenya dengan
memasukkan nilai-nilai baru yang lebih transparan, akuntabel, demokratis serta
berbasis pada penegakan hukum. Good
governance sendiri adalah cara atau implementasi untuk mengubah keadaan
dari pemerintahan yang jelek (bad
government) menuju pada pemerintahan yang baik (good government) Adapun ciri-ciri bad government dan good government dapat digambarkan sebagai
berikut :
Untuk mengejar
ketertinggalan dibanding sektor
pemerintah di negara lain maupun sektor swasta, manajemen sektor pemerintah di
Indonesia, khususnya pemerintah daerah perlu dibenahi secara menyeluruh dan
berkelanjutan. Pembenahannya mencakup semua fungsi dan aspek manajemen meliputi
perencanaan, organisasi, pelaksanaan, pengawasan sampai pengelolaan konflik dan
kolaborasi.
C.
Reformasi Organisasi Birokrasi Pemerintah Daerah
Telah dipahami
bersama bahwa organisasi
adalah sebuah wadah dan sekaligus
sistem kerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sebagai sebuah
sistem, organisasi harus bersifat ”self-renewing
system”, dalam arti memiliki mekanisme untuk secara terus menerus
memperbaiki dirinya sendiri sesuai perkembangan lingkungan internal dan
eksternalnya. Organisasi yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan,
akan menjadi usang, dan kemudian mati.
Perkembangan
teori organisasi berjalan seiring dengan perkembangan manajemennya, karena
keduanya merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Manajemen hanya ada dalam sebuah organisasi, sebaliknya organisasi tanpa
manajemen hanyalah sebuah kerumunan atau gerombolan.
Pola
organisasi pemerintah daerah yang digunakan pada saat diatur berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2003 masih
memakai model generasi ketiga, dengan mengutamakan kewenangan serta menonjolkan
jabatan struktural.Tetapi PP ini masih sejalan dengan kecenderungan perubahan
global yakni dari downsizing menuju rightsizing, karena membatasi jumlah
maksimal dinas dan lembaga teknis daerah pada Daerah Provinsi maupun Daerah
Kabupaten/Kota. Para ahli organisasi sudah mengingatkan bahwa pada abad ke-21
perlu dilakukan pembaruan dengan lebih menekankan pada keahlian, bukan lagi
pada kekuasaan. Bennis dan Townsend (1995), menyebutkan perubahannya mengarah:
From MACHO to MAESTRO.
Momentum untuk
mengubah organisasi pemerintah daerah menjadi lebih profesional menuju
organisasi generasi keempat sebenarnya terbuka pada saat PP tersebut akan
direvisi. PP penggantinya yakni PP Nomor
41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintah Daerah ternyata mengalami
KEMUNDURAN dari segi konsep, karena PP tersebut mendorong terjadinya
proliferasi birokrasi dengan memberi peluang penambahan jumlah jabatan
struktural. Padahal melalui sistem pemilihan kepala daerah secara langsung
seperti saat ini telah terjadi politisasi birokrasi. Jabatan struktural diisi
oleh kepala daerah yang memenangkan pemilihan tanpa mengindahkan kompetensi
jabatannya. Sebagai contoh kasus di beberapa daerah terdapat kepala dinas
perhutanan dan konservasi tanah diisi oleh sarjana sosial politik, jabatan
sekretaris DPRD diisi oleh sarjana perikanan, kepala kantor arsip dan
perpustakaan daerah diisi oleh sarjana teknik. Praktek semacam itu terjadi juga
diberbagai daerah lainnya di Indonesia. Asas yang dipakai adalah ” SIAPAPUN
DAPAT JADI APAPUN, ASALKAN KEPALA DAERAH MENGHENDAKI”.
Pola
pengembangan karier PNS seperti itu tidak akan pernah membangun birokrasi yang
profesional dalam bidang tertentu, karena PNS tidak pernah dapat merancang
kariernya sendiri. Karier PNS sangat tergantung pada pendekatan politik dan
”garis tangan”. Padahal melalui PP Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, daerah
otonom khususnya kabupaten/kota diberi urusan pemerintahan yang banyak, luas
dan bersifat teknis. Untuk menjalankannya diperlukan birokrasi yang profesional
dalam bidangnya secara spesifik, dan hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui
pengembangan karier melalui jabatan fungsional dalam suatu organisasi
fungsional. Apabila daerah mengembangkan organisasi fungsional, berarti daerah
telah masuk pada organisasi generasi keempat.
Jabatan karier yang bersifat generalis tetap diperlukan, tetapi
jumlahnya tidak sebanyak jabatan karier spesialis.
Best practice di Kabupaten Jembrana menunjukkan
bahwa dengan hanya dua buah badan, tujuh buah dinas dan dua buah kantor,
ternyata mampu membuat rakyat Jembrana menjadi sejahtera. Pendidikan diberikan
secara gratis, setiap penduduk diberikan asuransi kesehatan sehingga pengobatannya
gratis. Padahal APBD Kabupaten Jembrana tidaklah terlampau besar. (Dharma
Santika Putra, dkk, 2006).
D.
Reformasi Sumberdaya Birokrasi Pemerintah Daerah
Di dalam
organisasi, sumber daya manusia memegang peranan kunci, begitu pula di dalam
birokrasi pemerintah daerah. Sumberdaya manusia dalam birokrasi pemerintah
daerah yang biasa disebut sebagai
pegawai negeri sipil adalah abdi negara dan masyarakat. Menurut Bekke, Perry
& Toonen (1996), ada lima tahap perkembangan peran PNS yaitu:
- Tahap pertama, PNS sebagai pelayanan perorangan
- Tahap kedua, PNS sebagai pelayanan negara atau pemerintah
- Tahap ketiga, PNS sebagai pelayan masyarakat;
E. Reformasi Kepemimpinan
Pemerintah Daerah
Kepemimpinan
nasional harus dapat berfungsi mengawal proses pembangunan dan hasil-hasilnya
dapat dirasakan oleh warga bangsa di seluruh wilayah nusantara. Konsepsi
membutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, berkemampuan iptek dan
seni yang dilandasi nilai-nilai ideologi bangsa, serta dapat berinteraksi
dengan komponen bangsa lainnya dalam hidup bersama yang bermanfaat.
Kepemimpinan nasional harus dapat mengawal strategi implementasi reformasi
birokrasi (PURB, 2008) yakni (i) membangun kepercayaan masyarakat, (ii)
membangun komitmen dan partisipasi, (iii) mengubah pola pikir, budaya dan
nilai-nilai kerja dan (iv) memastikan keberlangsungan berjalannya sistem dan mengantisipasi
terjadinya perubahan (Tabel 1).
Strategi
implementasi reformasi birokrasi bukan hal teknis semata, tetapi membutuhkan
kemampuan kepemimpinan extraordinary untuk menjalankannya pada tatanan
Sismennas. Hal ini bisa dilihat dari sisi lain, Sismennas
sesungguhnya menjadi alat bantu yang efektif untuk menjalankan mekanisme business
process kepemimpinan. Lebih penting dari itu, kepemimpinan juga harus
mampu mengawal seluruh SDM senantiasa dalam steady state mengantisipasi
perubahan.
Tabel
1. Strategi Implementasi Reformasi Birokrasi
No
|
Proses
|
Program
|
Dampak
|
1
|
Membangun
kepercayaan masyarakat
|
Program
percepatan (Quick win)
|
Perbaikan
sistem kerja dan perbaikan kualitas produk utama
|
2
|
Membangun
komitmen dan partisipasi
|
Manajemen
Perubahan
|
Mengkomunikasi
perubahan baik kepada pegawai maupun kepada masyarakat dalam rangka
pembentukan perilaku yang diinginkan
|
3
|
Mengubah
pola pikir, budaya dan nilai-nilai kerja
|
Penataan
sistem
|
Perbaikan
organisasi, ketatalaksanaan dan sistem manajemen SDM
|
4
|
Memastikan
keberlangsungan berjalannya sistem dan terjadinya perubahan
|
Penguatan
unit organisasi, deregulasi-regulasi, peningkatan sistem pengawasan,
perbaikan/pengadaan sarana dan prasarana
|
-
Perubahan pola pikir
- Perubahan
budaya kerja
-
Perubahan perilaku
|
Sumber: Peraturan Menpan No:
15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi (PURB)
Berdasarkan
uraian di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah memastikan keadaan kepemimpinan
nasioanal yang visioner untuk menjalankan reformasi birokrasi. Berikut
dideskripsikan tiga masalah pokok.
Pertama, kualitas kepemimpinan belum
memadai. Para pemimpin di pusat atau daerah sebagian masih belum memahami
aspek-aspek kepemimpinan untuk menjalankan Sismennas. Fakta-fakta yang
membuktikan hal itu banyak sekali. Masih banyak para pemimpin nasional
yang berada di daerah lebih berorientasi ke daerahnya masing-masing.
Mereka lebih menyukai putra daerah dibanding putra bangsa terbaik sebagai
calaon pemimpin di daerahnya. Sebagian dari mereka juga tidak tahu
perihal manajemen pembangunan (sismennas) dan tidak menunjukkan keteladanan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Meskipun
keadaan telah berubah dimana massyarakat, pengusaha dan aparatur menuju kepada good
governance, serta fenomena globalisasi sudah terjadi, namun masih banyak
pimpinan daerah masih berperilaku feodal.
Kedua, reformasi birokrasi belum seluruhnya
diterapkan dan masih sedang berjalan. Sekalipun Panduan Reformasi telah
ditetapkan (melalui RPJMN 2010-2014, PURB, 2008; dan Pedoman Pengajuan Dokumen
usulan Reformasi Birokrasi (Gambar 2, PPDURB, 2009)), namun belum banyak
kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang berpartisipasi.
Pencapaian reformasi birokrasi hingga saat ini rata-rata kurang dari 30 persen
dan akan dilanjutkan mencapai 100 persen pada tahun 2014 (melalui RPJMN
2010-2014). Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya untuk
melaksanakan perubahan dan pembaharuan yang mendasar dan menyeluruh terhadap
penyelenggaraan pemerintahan mencakup aspek, organisasi (kelembagaan), ketata
laksanaan (business process) dan SDM aparatur (PURB, 2008). Semua itu
berawal dan bermuara kepada perubahan pola pikir, sikap dan perilaku SDM agar
lebih mementingkan organisasi dibanding kepentingan individu.
Ketiga, penegakan hukum belum efektif.
Sejauh ini instrumen peraturan penegakan hukum untuk pembinaan SDM sudah ada,
baik menyangkut disiplin, pidana, perdata atau korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Namun demikian upaya implementasi secara sungguh-sungguh belum
konsisten pada seluruh instansi. Ada beberapa kemajuan nyata dengan
berjalannya pengadilan tindak pidana korupsi kepada para tersangka pejabat
publik di daerah. Ada juga beberapa PNS terkena pelanggaran
disiplin. Namun masih saja ditemukan pelanggaran hukum yang diduga
melibatkan kolusi dengan aparat penegakan hukum, misalnya kasus Gayus yang
menyuap aparat kepolisian, kejaksanaan dan Mahkamah Agung. Kasus KKN
aparat penegak hukum menjadi sinyal penting belum seriusnya penegakan
hukum. Penegak hukum seyogyanya ‘berubah’ dan membersihkan diri di
lingkungannya sebelum sebelum melaksanakannya kepada orang lain.
Berjalannya
reformasi birokrasi sesungguhnya menjadi momentum penting penegakan
hukum. Mengapa demikian, karena reformasi birokrasi dapat menjadi tolok
ukur untuk membangun komitmen perubahan kepada setiap pimpinan dan seluruh anak
buahnya. Kepada mereka yang ‘mau berubah’ adalah menjadi ukuran penting
kecakapan penguasaan masalah dan peran kepemimpinan, sebagai bagian penting
untuk pembinaan karier dan kaderisasi kepemimpinan. Kepada mereka yang
berperilaku ‘tidak mau berubah’ sesungguhnya mulai dapat diterapkan
penegakan disiplin atau sangsi yang lebih berat. Dalam jangka panjang,
reformasi birokrasi harus menjadikan SDM kualitas menjadi kaya fungsi, yang
menjalankan tugas dan kewajibannya penuh cinta, tanggungjawab dan terukur.
Upaya
pemecahan masalah terhadap persoalan di atas diuraikan sebagai berikut.
Pertama, peningkatan kualitas
kepemimpinan. Hal ini dapat dilaksanakan melalui upaya-upaya: (i)
KemenPAN menyempurnakan peraturan mekanisme seleksi PNS yang kredibel, (ii)
Lemhannas dan KemenPAN melaksanakan pelatihan kepemimpinan kepada aparat
pemerintah, aparat Pemda, tokoh masyarakat/agama/parpol di seluruh
wilayah dan tingkatan, (iii) Lemhannas dan DPR menetapkan aturan tentang Indeks
Kepemimpinan Nasional Indonesia pada setiap organisasi dan proses pemilihan kepemimpinan,
(iv) setiap instansi pemerintah menyusun code of conduct perihal etika
dan etos kerja.
Kedua, percepatan pelaksanaan reformasi
birokrasi. Hal ini dapat dilaksanakan melalui upaya-upaya; (i)
KemenPAN melaksanakan sosialisasi peraturan perundangan reformasi birokrasi
strategi percepatan reformasi birokrasi, (ii) Kementerian/lembaga/Pemda
melaksanakan reformasi birokrasi, (iii) Kementerian/lembaga/Pemda melaksanakan
sosialisasi reformasi birokrasi, (iv) Kementerian/lembaga/Pemda menerapkan
teknologi informasi mendukung reformasi birokrasi, (v) Pemerintah dan DPR
mengalokasikan anggaran untuk pelatihan kepemimpinan dan reformasi birokrasi,
(vi) Depkeu memberikan tunjangan prestasi (remunerasi) kepada aparat
Kementerian/lembaga/Pemda yang melaksanakan reformasi birokrasi.
Ketiga, penegakan hukum reformasi
birokrasi. Hal ini dapat dilaksanakan melalui upaya-upaya; (i)
Polisi, kejaksaan, MA, badan pengawas (BPK) melaksanakan penegakan
disiplin pegawai internal secara konsisten, (ii) setiap instansi melaksanakan
sosialisasi penegakan disiplin pegawai dikaitkan dengan reformasi birokrasi,
(iii) Polisi, kejaksaan, MA, badan pengawas (BPK) melaksanakan penegakan hukum
untuk mendukung reformasi birokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
CBI (Carnegie Bosch Institute).
2009. Leadership and Change Management in
a Multicultural Context. Tepper School of Business, Carnegie Mellon
University, Pittsburgh, Pennsylvania, USA.
Mustopadidjaja, A. R.
2004. Paradigma Pengambilan
Keputusan Dalam Penyelenggaraan NKRI di Abad 21. Majalah Perencanaan
Pembangungan. Bappenas Jakarta. IX (6): 2-8
Pagon, M., E. Banutai and U
Bizjak. 2008. Leadership
Competencies For Successful Change Management. A Preliminary Study Report.
Slovenian Presidency of the EU 2008.
PPDURB (Pedoman Pengajuan Dokumen
Usulan Reformasi Birokrasi). 2009. PermenPAN PER/04/M.PAN/4/2009
tentang Pedoman Pengajuan Dokumen usulan Reformasi Birokrasi.
PURB (Pedoman Umum Reformasi
Birokrasi). 2008. PermenPAN No: PER/15 /M.PAN/7/2008 tentang
Pedoman Umum Reformasi Birokrasi
RPJMN 2010-2014. 2010.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Peraturan Presiden No 5
tahun 2010. Bappenas, Jakarta
Silalahi, T. B. 2010.
Kepemimpinan Visioner Dalam Rangka Reformasi Birokrasi. Materi Ceramah
Kepemimpinan, 7 Juli 2010. Lemhannas, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar