Sabtu, 12 November 2011

Reformasi Birokrasi


A.   PENDAHULUAN


Reformasi  yang  terjadi  di  Indonesia  pada  tahun   1997 - 1998  bertujuan untuk mengubah secara mendasar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih maju dan demokratis. Reformasi seharusnya juga terjadi pada birokrasi sebagai komponen bangsa baik ditingkat nasional maupun daerah, sejalan dengan perubahan  komponen bangsa lainnya. Dari berbagai kenyataan empirik yang dapat ditangkap secara jelas oleh pancaindra terlihat bahwa birokrasi nampaknya enggan berubah. Mereka enggan meninggalkan ”surga birokrasi” yang terjadi pada masa Orde Baru.

Disebutkan surga birokrasi karena pada waktu itu kewenangan birokrasi sangat luas tanpa ada kontrol dari partai politik maupun masyarakat secara berarti. Penggunaan dana publik yang diamanahkan kepada mereka juga sangat longgar, bahkan nyaris seperti uang pribadi, dalam arti dapat digunakan secara leluasa dengan pertanggungjawaban yang penuh dengan rekayasa. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela di mana-mana, sedangkan penegak hukum dan penjaga  garda keadilan tidak berdaya karena berada di bawah ketiak presiden, dan mereka juga sekaligus ikut dalam permainan kotor. Pada masa itu, Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat korup di Asia, tetapi anehnya koruptornya – terutama yang kelas kakap - tidak ada yang ditangkap.

Melalui reformasi, dilakukan desentralisasi dalam skala besar. Bahkan perubahannya dapat dikategorikan sebagai ”revolusi desentralisasi” karena mencakup aspek yang sangat luas dan mendasar serta dengan kecepatan yang tinggi. Banyak daerah otonom dengan pemerintah daerahnya tergagap-gagap menghadapi perubahan yang sangat cepat tersebut. Mereka yang selama ini hanya mengelola dana sangat terbatas- sekitar puluhan milyard rupiah, secara bertahap kemudian mengelola dana yang besar – bahkan sudah mencapai trilyunan rupiah. Pada sisi lain, birokrasi yang biasanya selalu menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat, dihadapkan pada kebebasan yang luar biasa besar untuk dapat berinisiatif dan berinovasi sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing. Berbagai keterkejutan budaya (cultural shock) menghinggapi birokrasi di daerah. Ada yang menangkap peluang dengan langkah-langkah besar untuk kemajuan daerah, adapula yang jalan ditempat.

Kesempatan emas yang sudah digenggam oleh daerah tidak boleh gagal atau lepas. Perlu ada grand design reformasi birokrasi daerah yang berasal dari keinginan daerah sendiri, bukan sekedar melaksanakan kehendak dari pemerintah pusat. Grand design reformasi birokrasi pemerintah daerah sekurang-kurangnya mencakup empat dimensi yaitu manajemen, organisasi, kepemimpinan  serta sumberdaya manusia yang berada dalam organisasi.

Melalui desentralisasi, telah terjadi transfer kewenangan dan pembiayaan yang sangat besar dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Sebagian tanggung jawab memajukan bangsa negara sekarang erada di tangan pemerintah daerah. Padahal masih banyak pemerintah daerah yang masih menjalankan birokrasinya secara tradisional, yang pada gilirannya menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia dibanding negara-negara lainnya. (lihat data dari makalah Ketua KPK yang mengutip survey World Economic Forum).

Daya saing Indonesia yang rendah disebabkan oleh banyak faktor antara lain infrastruktur yang rusak, inefisiensi birokrasi, korupsi, ketidakpastian hukum. Inefisiensi birokrasi antara lain ditandai oleh pelayanan publik yang berbelit-belit, memerlukan prosedur yang panjang, waktu yang lama serta biaya yang tidak jelas. Data dari The World Bank di bawah ini menggambarkan perbandingan antar negara, jumlah prosedur, jumlah hari, biaya serta modal minimum yang diperlukan untuk melakukan bisnis.

Dari prosedur perijinan sebanyak duabelas macam, ternyata sebagian sudah diserahkan kepada daerah, yakni mulai ijin prinsip, ijin lokasi, ijin gangguan, ijin lingkungan hidup dan lain sebagainya.Berdasarkan gambaran di atas, diperlukan langkah-langkah strategis antara lain melalui reformasi birokrasi pemerintah daerah, sehingga daya saing bangsa dapat ditingkatkan.


B.  Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah

    Berbagai ahli seperti Drucker ( 1992 ), Osborne & Gaebler (1992), Barzelay (1992), Mc Leod (1998) secara implisit menyebutkan bahwa causa prima atau penyebab utama kegagalan negara membawa kesejahteraan rakyatnya adalah karena kelemahan manajemennya. Manajemen pemerintahan pada semua dimensi umumnya sudah sangat usang, tertinggal oleh kemajuan jaman, sehingga alih-alih melayani masyarakat, organisasi pemerintah malahan lebih banyak menjadi beban. Hal tersebut nampak dari penggunaan sebagian besar dana publik untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila Ingraham dan Romzek ( 1994 ) menyebutkan bahwa sektor pemerintah harus belajar dari sektor privat yang sukses. Ingraham dan Romzek (1994) menawarkan pengelolaan pemerintahan baru yang disebutnya paradigma ”Hollow State”, dengan ciri pekerjaan pemerintah yang tidak bersifat stratejik (non-strategic function) dikontrakkan kepada pihak ketiga (contracting-out). Ciri lain dari paradigma ”Hollow-State” adalah :

1)   looking to the private sector for models of success;
2)   the management environment of public organizations;
3)   changing became the learning organization:
a)     the end of hierarchy;
b)     governmental reliance on external expertise;
c)      the decline of confidence in science;
d)     decentralization of knowledge.

Sektor privat pada umumnya sudah masuk pada manajemen generasi kelima yakni management by human networking - dengan dominasi penggunaan teknologi komunikasi dan informasi. Savage (1990)  menyebutkan bahwa prinsip human networking adalah “self-empowering”, yakni pemberdayaan diri sendiri pada setiap orang sehingga mampu mandiri, termasuk di dalam mengambil keputusan. Pimpinan diperlukan untuk mengkoordinasikan kegiatan perorangan agar mengarah pada pencapaian tujuan, tetapi tidak bersifat mengatur. Pada tahap kemandirian, setiap individu telah memiliki kesadaran dan tanggung jawab tanpa terlampau banyak diawasi atau dikendalikan.

Pada sisi lain,   sektor pemerintah masih berkutat pada manajemen generasi kedua yakni management by direction - dengan dominasi peran pemimpin. Sang pemimpin menjadi sumber ide dan gagasan, sedangkan pengikut lebih banyak bertindak sebagai pelaksana. Dengan perkataan lain, organisasi sektor pemerintah masih memiliki karakteristik berorientasi pada pemimpin (leader orientation), belum berorientasi pada sistem (system orientation). Dengan demikian, maju mundurnya organisasi pemerintah sangat tergantung pada sang pemimpin.

Anggota organisasi lebih merupakan bawahan yang lebih banyak menjalankan perintah atasan, daripada insan-insan yang memiliki kreativitas dan inovasi. PNS dihargai karena kepatuhan dan loyalitasnya, bukan karena kreativitas dan inovasinya. Birokrasi di Indonesia adalah birokrasi tanpa karakter. Indikasinya nampak dari berbagai persidangan korupsi pada Departemen Agama maupun Departemen Kelautan dan Perikanan, dan mungkin nantinya juga pada departemen-departemen lainnya. Seorang sekretaris jenderal yang merupakan jabatan tertinggi dalam jajaran birokrasi di Indonesia (golongan IVe) ternyata tidak memiliki keberanian untuk menolak perintah menteri, meskipun mereka tahu bahwa perintah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mereka takut kehilangan jabatan, karena bagi mereka jabatan adalah segala-galanya. Karena pada jabatan tersebut melekat kehormatan serta fasilitas baik yang resmi dan terutama yang tidak resmi. Gaji dan tunjangan resmi eselon I relatif kecil dibandingkan dengan jenjang jabatan yang setara pada  sektor privat. Tetapi apabila fasilitas penunjang yang diterima dari negara seperti mobil dinas, rumah dinas, sopir dinas dan lain sebagainya, yang semuanya dibiayai oleh negara dihitung sebagai pendapatan maka jumlahnya menjadi sangat besar. Belum lagi gratifikasi dari pihak ketiga yang diterima karena jabatannya.  Sehingga pendapatan yang dibawa pulang (take home pay) setiap bulannya tidak jauh berbeda dengan sektor swasta.

Apabila pejabat eselon I yang sudah ikut segala macam pendidikan dan pelatihan di dalam maupun di luar negeri saja tidak memiliki karakter yang jelas, dapat dibayangkan bagaimana karakter birokrasi pada tingkat yang lebih rendah. Hal-hal ideal yang diterima selama mengikuti pendidikan dan pelatihan hanya sekedar wacana, wacana dan wacana, karena kurang diikuti dengan komitmen untuk perubahan ke arah kemajuan dan konsisten menjaga komitmen.

Reformasi manajemen birokrasi diberbagai negara, termasuk Indonesia, diperkuat dengan hadirnya paradigma good governance yang dikembangkan oleh Bank Dunia maupun UNDP. Pada hakehatnya tata kepemerintahan yang baik adalah upaya memperbaiki manajemen dalam berbagai aspkenya dengan memasukkan nilai-nilai baru yang lebih transparan, akuntabel, demokratis serta berbasis pada penegakan hukum. Good governance sendiri adalah cara atau implementasi untuk mengubah keadaan dari pemerintahan yang jelek (bad government) menuju pada pemerintahan yang baik (good government) Adapun ciri-ciri bad government  dan good government dapat digambarkan sebagai berikut :
 
Untuk mengejar ketertinggalan  dibanding sektor pemerintah di negara lain maupun sektor swasta, manajemen sektor pemerintah di Indonesia, khususnya pemerintah daerah perlu dibenahi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pembenahannya mencakup semua fungsi dan aspek manajemen meliputi perencanaan, organisasi, pelaksanaan, pengawasan sampai pengelolaan konflik dan kolaborasi.


C.   Reformasi Organisasi Birokrasi Pemerintah Daerah

Telah  dipahami  bersama  bahwa  organisasi  adalah  sebuah wadah dan sekaligus sistem kerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sebagai sebuah sistem, organisasi harus bersifat ”self-renewing system”, dalam arti memiliki mekanisme untuk secara terus menerus memperbaiki dirinya sendiri sesuai perkembangan lingkungan internal dan eksternalnya. Organisasi yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, akan menjadi usang, dan kemudian mati.
 Perkembangan teori organisasi berjalan seiring dengan perkembangan manajemennya, karena keduanya merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Manajemen hanya ada dalam sebuah organisasi, sebaliknya organisasi tanpa manajemen hanyalah sebuah kerumunan atau gerombolan. 
   Pola organisasi pemerintah daerah yang digunakan pada saat diatur  berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2003 masih memakai model generasi ketiga, dengan mengutamakan kewenangan serta menonjolkan jabatan struktural.Tetapi PP ini masih sejalan dengan kecenderungan perubahan global yakni dari downsizing menuju rightsizing, karena membatasi jumlah maksimal dinas dan lembaga teknis daerah pada Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota. Para ahli organisasi sudah mengingatkan bahwa pada abad ke-21 perlu dilakukan pembaruan dengan lebih menekankan pada keahlian, bukan lagi pada kekuasaan. Bennis dan Townsend (1995), menyebutkan perubahannya mengarah: From MACHO to MAESTRO.

Momentum untuk mengubah organisasi pemerintah daerah menjadi lebih profesional menuju organisasi generasi keempat sebenarnya terbuka pada saat PP tersebut akan direvisi.  PP penggantinya yakni PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintah Daerah ternyata mengalami KEMUNDURAN dari segi konsep, karena PP tersebut mendorong terjadinya proliferasi birokrasi dengan memberi peluang penambahan jumlah jabatan struktural. Padahal melalui sistem pemilihan kepala daerah secara langsung seperti saat ini telah terjadi politisasi birokrasi. Jabatan struktural diisi oleh kepala daerah yang memenangkan pemilihan tanpa mengindahkan kompetensi jabatannya. Sebagai contoh kasus di beberapa daerah terdapat kepala dinas perhutanan dan konservasi tanah diisi oleh sarjana sosial politik, jabatan sekretaris DPRD diisi oleh sarjana perikanan, kepala kantor arsip dan perpustakaan daerah diisi oleh sarjana teknik. Praktek semacam itu terjadi juga diberbagai daerah lainnya di Indonesia. Asas yang dipakai adalah ” SIAPAPUN DAPAT JADI APAPUN, ASALKAN KEPALA DAERAH MENGHENDAKI”.

Pola pengembangan karier PNS seperti itu tidak akan pernah membangun birokrasi yang profesional dalam bidang tertentu, karena PNS tidak pernah dapat merancang kariernya sendiri. Karier PNS sangat tergantung pada pendekatan politik dan ”garis tangan”.  Padahal melalui PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, daerah otonom khususnya kabupaten/kota diberi urusan pemerintahan yang banyak, luas dan bersifat teknis. Untuk menjalankannya diperlukan birokrasi yang profesional dalam bidangnya secara spesifik, dan hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui pengembangan karier melalui jabatan fungsional dalam suatu organisasi fungsional. Apabila daerah mengembangkan organisasi fungsional, berarti daerah telah masuk pada organisasi generasi keempat.  Jabatan karier yang bersifat generalis tetap diperlukan, tetapi jumlahnya tidak sebanyak jabatan karier spesialis.

Best practice di Kabupaten Jembrana menunjukkan bahwa dengan hanya dua buah badan, tujuh buah dinas dan dua buah kantor, ternyata mampu membuat rakyat Jembrana menjadi sejahtera. Pendidikan diberikan secara gratis, setiap penduduk diberikan asuransi kesehatan sehingga pengobatannya gratis. Padahal APBD Kabupaten Jembrana tidaklah terlampau besar. (Dharma Santika Putra, dkk, 2006).   


D.   Reformasi Sumberdaya Birokrasi Pemerintah Daerah

Di dalam organisasi, sumber daya manusia memegang peranan kunci, begitu pula di dalam birokrasi pemerintah daerah. Sumberdaya manusia dalam birokrasi pemerintah daerah  yang biasa disebut sebagai pegawai negeri sipil adalah abdi negara dan masyarakat. Menurut Bekke, Perry & Toonen (1996), ada lima tahap perkembangan peran PNS yaitu:

  1. Tahap pertama, PNS sebagai pelayanan perorangan
  2.  Tahap kedua, PNS sebagai pelayanan negara atau pemerintah
  3.  Tahap ketiga, PNS sebagai pelayan masyarakat;


E.    Reformasi Kepemimpinan Pemerintah Daerah

Kepemimpinan nasional harus dapat berfungsi mengawal proses pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dirasakan oleh warga bangsa di seluruh wilayah nusantara. Konsepsi membutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, berkemampuan iptek dan seni yang dilandasi nilai-nilai ideologi bangsa, serta dapat berinteraksi dengan komponen bangsa lainnya dalam hidup bersama yang bermanfaat. Kepemimpinan nasional harus dapat mengawal strategi implementasi reformasi birokrasi (PURB, 2008) yakni (i) membangun kepercayaan masyarakat, (ii) membangun komitmen dan partisipasi, (iii) mengubah pola pikir, budaya dan nilai-nilai kerja dan (iv) memastikan keberlangsungan berjalannya sistem dan mengantisipasi terjadinya perubahan (Tabel 1). 
Strategi implementasi reformasi birokrasi bukan hal teknis semata, tetapi membutuhkan kemampuan kepemimpinan extraordinary untuk menjalankannya pada tatanan Sismennas.   Hal ini bisa dilihat dari sisi lain, Sismennas sesungguhnya menjadi alat bantu yang efektif untuk menjalankan mekanisme business process kepemimpinan.  Lebih penting dari itu, kepemimpinan juga harus mampu mengawal seluruh SDM senantiasa dalam steady state mengantisipasi perubahan.
Tabel 1. Strategi Implementasi Reformasi Birokrasi
No
Proses
Program
Dampak
1
Membangun kepercayaan masyarakat
Program percepatan (Quick win)
Perbaikan sistem kerja dan perbaikan kualitas produk utama
2
Membangun komitmen dan partisipasi
Manajemen Perubahan
Mengkomunikasi perubahan baik kepada pegawai maupun kepada masyarakat dalam rangka pembentukan perilaku yang diinginkan
3
Mengubah pola pikir, budaya dan nilai-nilai kerja
Penataan sistem
Perbaikan organisasi, ketatalaksanaan dan sistem manajemen SDM
4
Memastikan keberlangsungan berjalannya sistem dan terjadinya perubahan
Penguatan unit organisasi, deregulasi-regulasi, peningkatan sistem pengawasan, perbaikan/pengadaan sarana dan prasarana
- Perubahan pola pikir
- Perubahan budaya kerja
- Perubahan perilaku
Sumber: Peraturan Menpan No: 15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi (PURB)
Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah memastikan keadaan kepemimpinan nasioanal yang visioner untuk menjalankan reformasi birokrasi.  Berikut dideskripsikan tiga masalah pokok.
Pertama, kualitas kepemimpinan belum memadai.  Para pemimpin di pusat atau daerah sebagian masih belum memahami aspek-aspek kepemimpinan untuk menjalankan Sismennas.  Fakta-fakta yang membuktikan hal itu banyak sekali.  Masih banyak para pemimpin nasional yang berada di daerah lebih berorientasi ke daerahnya masing-masing.  Mereka lebih menyukai putra daerah dibanding putra bangsa terbaik sebagai calaon pemimpin di daerahnya.  Sebagian dari mereka juga tidak tahu perihal manajemen pembangunan (sismennas) dan tidak menunjukkan keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.   Meskipun keadaan telah berubah dimana massyarakat, pengusaha dan aparatur menuju kepada good governance, serta fenomena globalisasi sudah terjadi, namun masih banyak pimpinan daerah masih berperilaku feodal.
Kedua, reformasi birokrasi belum seluruhnya diterapkan dan masih sedang berjalan.  Sekalipun Panduan Reformasi telah ditetapkan (melalui RPJMN 2010-2014, PURB, 2008; dan Pedoman Pengajuan Dokumen usulan Reformasi Birokrasi (Gambar 2, PPDURB, 2009)), namun belum banyak kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang berpartisipasi.   Pencapaian reformasi birokrasi hingga saat ini rata-rata kurang dari 30 persen dan akan dilanjutkan mencapai 100 persen pada tahun 2014 (melalui RPJMN 2010-2014).  Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya untuk melaksanakan perubahan dan pembaharuan yang mendasar dan menyeluruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan mencakup aspek, organisasi (kelembagaan), ketata laksanaan (business process) dan SDM aparatur (PURB, 2008).  Semua itu berawal dan bermuara kepada perubahan pola pikir, sikap dan perilaku SDM agar lebih mementingkan organisasi dibanding kepentingan individu.
Ketiga, penegakan hukum belum efektif.  Sejauh ini instrumen peraturan penegakan hukum untuk pembinaan SDM sudah ada, baik menyangkut disiplin, pidana, perdata atau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).  Namun demikian upaya implementasi secara sungguh-sungguh belum konsisten pada seluruh instansi.  Ada beberapa kemajuan nyata dengan berjalannya pengadilan tindak pidana korupsi kepada para tersangka pejabat publik di daerah.  Ada juga beberapa PNS terkena pelanggaran disiplin.  Namun masih saja ditemukan pelanggaran hukum yang diduga melibatkan kolusi dengan aparat penegakan hukum, misalnya kasus Gayus yang menyuap aparat kepolisian, kejaksanaan dan Mahkamah Agung.  Kasus KKN aparat penegak hukum menjadi sinyal penting belum seriusnya penegakan hukum.  Penegak hukum seyogyanya ‘berubah’ dan membersihkan diri di lingkungannya sebelum sebelum melaksanakannya kepada orang lain.
Berjalannya reformasi birokrasi sesungguhnya menjadi momentum penting penegakan hukum.  Mengapa demikian, karena reformasi birokrasi dapat menjadi tolok ukur untuk membangun komitmen perubahan kepada setiap pimpinan dan seluruh anak buahnya.  Kepada mereka yang ‘mau berubah’ adalah menjadi ukuran penting kecakapan penguasaan masalah dan peran kepemimpinan, sebagai bagian penting untuk pembinaan karier dan kaderisasi kepemimpinan. Kepada mereka yang berperilaku ‘tidak mau berubah’  sesungguhnya mulai dapat diterapkan penegakan disiplin atau sangsi yang lebih berat.  Dalam jangka panjang, reformasi birokrasi harus menjadikan SDM kualitas menjadi kaya fungsi, yang menjalankan tugas dan kewajibannya penuh cinta, tanggungjawab dan terukur.

Upaya pemecahan masalah terhadap persoalan di atas diuraikan sebagai berikut. 
Pertama, peningkatan kualitas kepemimpinan.  Hal ini dapat dilaksanakan melalui upaya-upaya: (i) KemenPAN menyempurnakan peraturan mekanisme seleksi PNS yang kredibel, (ii) Lemhannas dan KemenPAN melaksanakan pelatihan kepemimpinan kepada aparat pemerintah,  aparat Pemda, tokoh masyarakat/agama/parpol di seluruh wilayah dan tingkatan, (iii) Lemhannas dan DPR menetapkan aturan tentang Indeks Kepemimpinan Nasional Indonesia pada setiap organisasi dan proses pemilihan kepemimpinan, (iv) setiap instansi pemerintah menyusun code of conduct perihal etika dan etos kerja.
Kedua, percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi.  Hal ini dapat dilaksanakan melalui upaya-upaya;  (i) KemenPAN melaksanakan sosialisasi peraturan perundangan reformasi birokrasi strategi percepatan reformasi birokrasi, (ii) Kementerian/lembaga/Pemda melaksanakan reformasi birokrasi, (iii) Kementerian/lembaga/Pemda melaksanakan sosialisasi reformasi birokrasi, (iv) Kementerian/lembaga/Pemda menerapkan teknologi informasi mendukung reformasi birokrasi, (v) Pemerintah dan DPR mengalokasikan anggaran untuk pelatihan kepemimpinan dan reformasi birokrasi, (vi) Depkeu memberikan tunjangan prestasi (remunerasi) kepada aparat Kementerian/lembaga/Pemda yang melaksanakan reformasi birokrasi.
Ketiga, penegakan hukum reformasi birokrasi.  Hal ini dapat dilaksanakan melalui upaya-upaya;  (i) Polisi, kejaksaan, MA, badan pengawas (BPK) melaksanakan  penegakan disiplin pegawai internal secara konsisten, (ii) setiap instansi melaksanakan sosialisasi penegakan disiplin pegawai dikaitkan dengan reformasi birokrasi, (iii) Polisi, kejaksaan, MA, badan pengawas (BPK) melaksanakan penegakan hukum untuk mendukung reformasi birokrasi.





DAFTAR  PUSTAKA

CBI (Carnegie Bosch Institute).  2009. Leadership and Change Management in a Multicultural Context.  Tepper School of Business, Carnegie Mellon University, Pittsburgh, Pennsylvania, USA.
Mustopadidjaja, A. R.  2004.  Paradigma Pengambilan Keputusan Dalam Penyelenggaraan NKRI di Abad 21.  Majalah Perencanaan Pembangungan.  Bappenas Jakarta.  IX (6): 2-8
Pagon, M., E. Banutai and U Bizjak.  2008.  Leadership Competencies For Successful Change Management. A Preliminary Study Report. Slovenian Presidency of the EU 2008.
PPDURB (Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi).  2009.  PermenPAN PER/04/M.PAN/4/2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen usulan Reformasi Birokrasi.
PURB (Pedoman Umum Reformasi Birokrasi).   2008.  PermenPAN No: PER/15 /M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi
RPJMN 2010-2014.  2010.  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.  Peraturan Presiden No 5 tahun 2010.  Bappenas, Jakarta
Silalahi, T. B.  2010.  Kepemimpinan Visioner Dalam Rangka Reformasi Birokrasi.  Materi Ceramah Kepemimpinan, 7 Juli 2010.   Lemhannas, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...