Tidak dapat dibayangkan seandainya jumlah penduduk
Indonesia apabila tidak dapat dikendalikan, apalagi negara sedang mengalami
krisis seperti saat ini. Penduduk yang
bertambah pesat dapat menyebabkan kekurangan pangan, karena dengan jumlah
penduduk sekitar 227 juta jiwa saat ini saja pemerintah mengalami kesulitan
menyediakan pelayanan dasar termasuk pangan. Berbagai kajian yang telah
dilakukan menggambarkan adanya hubungan yang “kuat-signifikan-negatif” antara pertumbuhan penduduk dengan laju
pertumbuhan ekonomi. Penurunan kelahiran yang bermakna dapat memberikan
kontribusi bagi upaya penurunan kemiskinan[1].
Kofi Anan (2002), mantan Sekretaris Jenderal PBB, menyatakan betapa pentingnya
penanganan masalah kependudukan dan Keluarga Berencana dalam rangka pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)
khususnya penanggulangan kemiskinan dan kelaparan sebagaimana berikut: “The Millenium Development Goals,
particularly the eradication of extreme poverty and hunger, cannot be achieved
if questions of population and reproductive health are not squarely addressed.
And that means stronger efforts to promote women’s rights, and greater
investment in education and health, including reproductive health and family
planning”
Kajian yang dilakukan Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, UNFPA dan Lembaga Demografi Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (LDFE-UI, 2005), tentang dampak yang terjadi
apabila ada perubahan dalam komitmen terhadap program Keluarga Berencana dapat
digambarkan dalam skenario kependudukan sebagai berikut:
Skenario 1, Komitmen
Tinggi, artinya jika program Keluarga Berencana dapat meningkatkan pemakaian
kontrasepsi modern sekitar 1 (satu) persen per tahun, maka pada tahun 2015,
penduduk Indonesia hanya akan bertambah 10,8 juta saja atau sekitar 238 juta
pada tahun 2015 (Proyeksi Badan Pusat Statistik sebesar 248 juta jiwa).
Skenario 2, Komitmen
Sedang, artinya jika program Keluarga Berencana hanya mampu mempertahankan
kesertaan Keluarga Berencana seperti saat ini (stagnan), maka penduduk Indonesia akan meningkat menjadi 256 juta
atau di atas proyeksi pemerintah. Dengan demikian, berarti pertambahannya
sekitar 28,5 juta jiwa.
Skenario 3, Komitmen
Rendah, apabila program Keluarga Berencana tidak mampu mempertahankan kesertaan
Keluarga Berencana dan terjadi ”drop-out”
setiap tahunnya sekitar 0,5%, maka penduduk Indonesia tahun 2015 diperkirakan
menjadi 264,4 juta jiwa atau jauh di atas rancangan atau proyeksi pemerintah
sebesar 248 juta jiwa. Namun kondisi ini nampaknya dimentahkan dengan Sensus
Penduduk 2010. Dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 diketahui bahwa jumlah
penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa, artinya sudah melampaui skenario I
tahun 2015. Banyak ahli dalam bidang kependudukan menyatakan telah terjadi
kegagalan di bidang kependudukan dan Keluarga Berencana. Berbagai pihak
berpandangan bahwa hal ini disebabkan karena faktor kepemimpinan dan kesiapan
aparatur khususnya setelah program Keluarga Berencana diserahkan urusannya
kepada pemerintah kabupaten/kota, dalam menindaklanjuti kebijakan Keluarga
Berencana yang ada ke dalam implementasi kebijakan yang baik.
Masalah kependudukan pada
umumnya juga terjadi berbagai negara di belahan dunia ini. Secara khusus,
Speidel (2009) menulis joint report sebuah policy
paper berjudul ”Making the Case for
US International Family Planning Assistance” yang ditujukan kepada
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama untuk mengambil peran
dengan memberikan investasi dalam program Keluarga Berencana di negara
berkembang secara lebih nyata dan ”as
soon as possible” dengan jumlah bantuan lebih dari dua kali lipat sebagai
upaya pengurangan kemiskinan global dan pencapaian tujuan pembangunan untuk
menghindari penurunan kemampuan ekonomi secara luas di dunia. Dikemukakan pula bahwa banyak ”policy makers” atau para pemimpin
sebagai pembuat kebijakan kurang memahami manfaat program Keluarga Berencana: ”While
some countries such as Korea and Thailand recognized early the importance of
family planning to their overall development, others have been slow to
recognize the catalitic role of family planning in improving women’s health and
wellbeing, stimulating economic development and rising standards of living”.
Lebih lanjut, Speidel, dkk.
(2009:10) mengemukakan bahwa melalui Keluarga Berencana akan membuat keluarga
lebih sejahtera karena para keluarga akan lebih mampu untuk menyediakan pangan,
pendidikan dan kesehatan baik untuk diri sendiri maupun keluarganya, sebagaimana telah ditemukan dari hasil studi di 29
negara.
Pada prinsipnya, pelaksanaan
kebijakan Keluarga Berencana Nasional sesuai dengan UU Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga bertujuan untuk
mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan,
melalui promosi dan pemberdayaan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk
menjadikan keluarga yang berkualitas. Dalam hubungan ini, keluarga berkualitas
adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan
sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan
kedepan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tataran pragmatis, Undang-Undang ini
diterjemahkan ke dalam program-program dan kegiatan yang intinya, pertama, memberikan advokasi dan KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi) untuk merubah perilaku; kedua, memberikan pelayanan yang
berkualitas dalam keluarga berencana. Jadi intinya penggarapan dari sisi
permintaan (demand) dan penggarapan
dari sisi pelayanan (supply).
Hakekat UU Nomor 52 Tahun 2009
sejalan dengan konsep yang dikembangkan Bertrand dan Escudero (2002) bahwa
proses perubahan tingkah laku seseorang (perpaduan demand dan supply) untuk
mengadopsi pelayanan kesehatan atau Keluarga Berencana. Kerangka konsep
tersebut menggambarkan adanya tiga faktor utama yang mempengaruhi pemanfaatan
pelayanan (service utilization) yaitu
adanya faktor implementasi kebijakan (policy
implementation), faktor kepemimpinan (Women’s
status & empowerment serta functional
areas) yang mampu menggerakkan masyarakat dan aparat
pemerintahan, serta faktor pemberdayaan aparatur (functional areas) sehingga mampu memberikan pelayanan (service utilization, health/FP behaviors & health/FP outcomes) yang
berkualitas.
Peran pemerintahan dalam
implementasi kebijakan desentralisasi Keluarga Berencana diharapkan mampu
menterjemahkan berbagai makna filosofis otonomi daerah ke dalam berbagai
kebijakan operasional yang memungkinkan dapat menggerakkan peranserta dan kepedulian masyarakat sejak tahap formulasi kebijakan
operasional sampai pemanfaatan hasil implementasi Keluarga Berencana. Di tangan
birokrasi, peran serta masyarakat dalam formulasi, implementasi dan evaluasi
serta pemanfaatan hasil-hasil kebijakan daerah diartikulasi, diakomodir dan
diagregasikan. Jadi implementasi kebijakan program tersebut sangat tergantung
pada kapasitas, kapabilitas, kuantitas dan kualitas dari pola kepemimpinan
pemerintahan yang ada, khususnya pada era otonomi daerah lebih banyak terletak
pada kualitas kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota merupakan aktor yang
menentukan berhasil atau tidaknya implementasi berbagai kebijakan Keluarga Berencana yang ada. Oleh karena itu, dituntut pemimpin yang menguasai teknis,
konsepsi dan kemampuan interpersonal agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya
secara baik. Kemampuan kognitif diperlukan agar pemimpin mampu menganalisa
persoalan, mengembangkan kreativitas dalam pemecahan masalah, mengidentifikasi
kecenderungan dan pola yang terjadi di wilayahnya dan mengembangkan secara
efektif perubahan sikap sesuai kebutuhan. Kemampuan interpersonal diperlukan
agar pemimpin mampu menggerakkan masyarakat, membangun hubungan kerja sama,
mengembangkan dan memelihara jaringan, mengerti kemampuan staf, memfasilitasi
kerja sama tim dan memecahkan konflik secara baik. Kemampuan teknis diperlukan
agar mengerti dan menjalankan setiap proses aktivitas termasuk keperluan yang
menyangkut pelayanan di bidang Keluarga
Berencana dan teknologi informasi yang diperlukan
(Yukl, 2006:446).
Pemerintahan kabupaten/kota harus berusaha
mengembangkan keunggulan komperatif dalam setiap pelayanan terhadap publiknya.
Oleh karena itu, proses-proses sehubungan dalam pengkajian dan penerapan strategi-strategi
akan sangat tergantung pada siapa yang menjadi pimpinan serta kultur dari
daerah tersebut. Menurut beberapa pengalaman tidak ada kiat atau resep yang
dijamin pasti dan paling efektif dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Namun
aspek yang penting bagi semua organisasi adalah adanya kesadaran strategis di
mana pimpinan memahami betul sampai seberapa baiknya urusan pemerintahan yang
diserahkan pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik.
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007,
bahwa urusan pemerintahan bidang Keluarga
Berencana merupakan urusan wajib yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Untuk itu urusan pemerintahan tersebut
perlu diatur melalui
kebijakan publik pemerintahan tingkat lokal (by local government) sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) yang telah ditetapkan. Tercapainya
implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah
sangat tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi formulasi dan
implementasi kebijakan otonomi daerah. Sebagai urusan wajib
pemerintahan, bidang Keluarga Berencana menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam kebijakan pemerintah, terutama dalam menanggulangi laju pertumbuhan
penduduk di daerah.
[1]
Mason, Andrew ( 2004), dalam ”The
Demographic Devident and Poverty Reduction” in Proceedings of the Seminar on the Relevance of Population
Aspects for the Achievement of the Millenium Development Goals, penurunan fertilitas sebagai bagian dari transisi
demografi dapat meningkatkan tabungan nasional dan pertumbuhan ekonomi melalui menurunnya
proporsi beban ketergantungan anak dan meningkatnya jumlah penduduk usia
produktif, dan ini yang menghasilkan ”demographic
devidend”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar