Kamis, 13 Februari 2014

Guru Mismatch



Mismatch adalah ketidaksesuaian antara kompetensi dan latar pendidikan guru dengan bidang yang diajarkannya. Problema ini terjadi karena munculnya bidang-bidang baru dari kurikuler tidak cepat disuplai oleh lembaga penyedia guru atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan kata lain, adjusment (penyesuaian diri) dari LPTK tidak cepat dalam merespon perubahan kurikulum. (Ditjen Dikti, 2010).
Sebagai contoh, meskipun matapelajaran di SD/ MI dan SMP/MTs untuk rumpun ilmu-ilmu social (IPS) dan untuk rumpun ilmu-ilmu alam dinamakan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), namun sampai sekarang di LPTK masih belum menggambarkan sebagai sebuah program studi IPS atau IPA yang terintegrasi. Program studi yang dikembangkan masih terpisah sendiri-sendiri, misalnya Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia, Pendidikan Biologi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Geograsi, Pendidikan Sejarah, dan lain-lain. Belum lagi kalau kita bicara kebutuhan baru tentang teknologi komunikasi dan informasi (TIK), juga kebutuhan terhadap kemampuan bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar.
Jadi ada gap yang mencolok antara suplai dengan demand. Tuntutan perkembangan yang dicerminkan oleh kurikulum tampak semakin beragam, namun LPTK tidak mampu memberikan suplai dengan cepat. Khusus di pendidikan madrasah, kondisi mismatch ini lebih berat dibanding di sekolah umum. Hal ini karena pendidikan di madrasah dulu selalu diidentikkan dengan pendidikan agama. Oleh karena itu, kebanyakan guru yang direkrut adalah lulusan pendidikan agama Islam. Ketika masuk dalam system pendidikan nasional yang memasukkan matapelajaran umum, maka madrasah tersebut memanfaatkan guru berlatar belakang pendidikan agama Islam yang dimilikinya untuk mengajar matapelajaran-matapelajaran lain, walaupun bukan keahliannya.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menegaskan bahwa guru harus bersertifikat profesi pendidik, termasuk guru-guru madrasah, maka masalah mismatch ini harus dicari terobosan untuk mengatasinya. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah mismatch guru-guru madrasah, Departemen Agama menggulirkan program yang disebut dengan dual competency (kompetensi ganda). Kompetensi pertama sebagai sarjana pendidikan agama tetap mereka miliki, lalu diperkuat kompetensi kedua.  
Data Ditjen PMPTK Depdiknas, lebih sepertiga dari 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar karena mismatch, ialah kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar. Mismatch dari sisi kualifikasi akademik dapat dirujuk pada UU Guru dan Dosen. Pasal 9 menyebutkan, kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan program sarjana atau diploma empat. Dengan kata lain, guru dikatakan memenuhi kualifikasi akademik apabila berpendidikan serendah-rendahnya S-1 atau D-IV. Ketentuan UU ini tidak memandang apakah ia guru TK, SD, SMP ataupun SMA/K.
Fakta di lapangan menunjukkan, rata-rata guru TK dan SD berpendidikan SPG, D-I atau D-II. Bahkan dapat ditemukan guru TK dan SD lulusan SMA atau SMK. Tidak sedikit guru SMP dan SMA/K yang berpendidikan D-I, D-II, PGSLP, PGSLA, sarjana muda dan D-III. Ditjen Dikti, 2010).
Terlebih jika ketidaksesuaian mengampu matapelajaran dijadikan indikator mismatch. Banyak guru yang mengampu matapelajaran tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Guru matematika dengan latar belakang pendidikan fisika, atau guru sosiologi berasal dari latar belakang pendidikan geografi masih banyak ditemukan di sekolah. Guru bimbingan dan konseling yang tidak berpendidikan bimbingan dan konseling hampir dapat ditemui di setiap sekolah.
Seringnya kurikulum dirubah diperkirakan menjadi salah satu sebab guru mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan. Perubahan kurikulum selalu diikuti oleh hilangnya matapelajaran tertentu dan munculnya matapelajaran baru. Ketika matapelajaran baru muncul dan LPTK belum menyiapkan guru untuk matapelajaran dimaksud, maka dengan terpaksa sekolah memanfaatkan guru yang ada, termasuk di dalamnya untuk maksud memberi tugas kepada guru yang matapelajarannya hilang.
Jika dicermati pada banyak kasus, sebenarnya bukan kekurangan guru yang terjadi, tetapi pendistribusian guru yang tidak efektif. Beberapa guru mempunyai kelas yang sangat kecil dan yang lainnya ada guru yang mempunyai kelas yang terlalu banyak siswa, dan kedua-duanya tidak efektif dan efisien. Umumnya,  jumlah guru pada daerah perkotaan cukup bahkan pada beberapa sekolah berlebih. Terkonsentrasinya guru di perkotaan menyebabkan sekolah di pedesaan mengalami kekurangan guru. Kenyataan sekarang ini, rasio guru dan siswa di Indonesia 1 : 14, berarti sudah ideal karena melampaui rasio guru dan murid di negara maju seperti Korea Selatan 1 : 30, Jepang 1 : 20, dan Malaysia 1 : 25. Namun, karena pendistribusian guru yang tidak merata mengakibatkan menumpuknya guru-guru di sekolah perkotaan, sedangkan di sekolah pedesaan masih kekurangan guru. Sekitar 76 % sekolah di perkotaan mengalami kelebihan guru, sementara 83 % sekolah di pelosok dan pedesaan kekurangan guru (Ditjen Dikti, 2010).
Persoalan distribusi guru hampir terjadi di seluruh Indonesia. Akibatnya, pada daerah yang kekurangan guru, guru harus mengajarkan beberapa mata pelajaran dan harus mengajar lebih dari satu kelas. Sebaliknya, pada daerah yang kelebihan guru, pemberlakuan jumlah jam mengajar 24 jam tatap muka per minggu bagi guru bersertifikat pendidik tidak dapat terpenuhi. Jumlah guru yang telah lulus sertifikasi sampai dengan tahun 2010 sebanyak 753.155 orang (PMPTK, 2010). Ternyata bagi guru yang sudah disertifikasi pun muncul masalah karena kesulitan memenuhi jumlah jam mengajar yang merupakan kewajibannya sebanyak 24 jam mengajar per minggu. Akibat lain dari persoalan distribusi dan kesulitan pemenuhan 24 jam tatap muka per minggu tersebut adalah terjadinya mismatch. Menurut data yang dikeluarkan PMPTK (2007) terdapat  16,22% guru-guru yang mismatch. Dari lima bidang studi yang diteliti saat itu terdapat mismatch pada PKN 15,22%; Pendidikan Agama sebesar 20,80%; Tata Niaga sebesar 27,88%; Fisika sebesar 15,53%; dan Seni sebesar 52,93%. (Ditjen Dikti, 2010).
Dampak tidak terpenuhinya kewajiban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu produktivitas guru menjadi rendah dan ketidakefisienan anggaran. Selain itu, mismatch berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan secara nasional.
Alternatif solusi yang dapat ditempuh adalah menambah jumlah rombongan belajar (rombel) dan atau guru mencari (sendiri) tambahan jam mengajar ke sekolah lain. Dari dua alternatif itu, solusi pertama adalah yang paling tepat, namun sulit untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan penambahan rombel akan berdampak pada diperlukannya ruang kelas baru, perangkat teknis lain, seperti sarana pembelajaran seperti buku penunjang, laboratorium, dan alat-alat peraga pembelajaran. Selain itu, pemekaran jumlah rombel juga berdampak pada membengkaknya dana operasional  sekolah dan rendahnya tingkat ketercapaian proses pembelajaran.

2 komentar:

  1. Maaf pak., ada rekomendasi buku yg memebahas khusus mismatch guru?? Soalnya ada teman mau nyusun tesis tentang ini pak.. terimakasih

    BalasHapus
  2. Ada tidak referensi buku tentang guru mismatch

    BalasHapus

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...