Mismatch adalah
ketidaksesuaian antara kompetensi dan latar pendidikan guru dengan bidang yang
diajarkannya. Problema ini terjadi karena munculnya bidang-bidang baru dari
kurikuler tidak cepat disuplai oleh lembaga penyedia guru atau Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan kata lain, adjusment
(penyesuaian diri) dari LPTK tidak cepat dalam merespon perubahan kurikulum. (Ditjen Dikti, 2010).
Sebagai contoh, meskipun matapelajaran di SD/ MI dan SMP/MTs untuk
rumpun ilmu-ilmu social (IPS) dan untuk rumpun ilmu-ilmu alam dinamakan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), namun sampai sekarang di LPTK masih belum menggambarkan
sebagai sebuah program studi IPS atau IPA yang terintegrasi. Program studi yang
dikembangkan masih terpisah sendiri-sendiri, misalnya Pendidikan Fisika, Pendidikan
Kimia, Pendidikan Biologi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Geograsi, Pendidikan
Sejarah, dan lain-lain. Belum lagi kalau kita bicara kebutuhan baru tentang
teknologi komunikasi dan informasi (TIK), juga kebutuhan terhadap kemampuan
bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar.
Jadi ada gap yang mencolok antara suplai dengan demand. Tuntutan
perkembangan yang dicerminkan oleh kurikulum tampak semakin beragam, namun LPTK
tidak mampu memberikan suplai dengan cepat. Khusus di pendidikan madrasah,
kondisi mismatch ini lebih berat dibanding di sekolah umum. Hal ini karena
pendidikan di madrasah dulu selalu diidentikkan dengan pendidikan agama. Oleh
karena itu, kebanyakan guru yang direkrut adalah lulusan pendidikan agama Islam.
Ketika masuk dalam system pendidikan nasional yang memasukkan matapelajaran
umum, maka madrasah tersebut memanfaatkan guru berlatar belakang pendidikan
agama Islam yang dimilikinya untuk mengajar matapelajaran-matapelajaran lain, walaupun
bukan keahliannya.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, yang menegaskan bahwa guru harus bersertifikat profesi pendidik, termasuk
guru-guru madrasah, maka masalah mismatch ini harus dicari terobosan untuk mengatasinya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah mismatch guru-guru madrasah, Departemen
Agama menggulirkan program yang disebut dengan dual competency (kompetensi ganda).
Kompetensi pertama sebagai sarjana pendidikan agama tetap mereka miliki, lalu diperkuat
kompetensi kedua.
Data Ditjen
PMPTK Depdiknas, lebih sepertiga dari 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak
mengajar karena mismatch, ialah kualifikasi dan kompetensinya tidak
mencukupi untuk mengajar. Mismatch dari sisi kualifikasi akademik dapat
dirujuk pada UU Guru dan Dosen. Pasal 9 menyebutkan, kualifikasi akademik guru
diperoleh melalui pendidikan program sarjana atau diploma empat. Dengan kata
lain, guru dikatakan memenuhi kualifikasi akademik apabila berpendidikan
serendah-rendahnya S-1 atau D-IV. Ketentuan UU ini tidak memandang apakah ia
guru TK, SD, SMP ataupun SMA/K.
Fakta di
lapangan menunjukkan, rata-rata guru TK dan SD berpendidikan SPG, D-I atau
D-II. Bahkan dapat ditemukan guru TK dan SD lulusan SMA atau SMK. Tidak sedikit
guru SMP dan SMA/K yang berpendidikan D-I, D-II, PGSLP, PGSLA, sarjana muda dan
D-III. Ditjen Dikti, 2010).
Terlebih jika
ketidaksesuaian mengampu matapelajaran dijadikan indikator mismatch. Banyak
guru yang mengampu matapelajaran tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikannya. Guru matematika dengan latar belakang pendidikan fisika, atau
guru sosiologi berasal dari latar belakang pendidikan geografi masih banyak
ditemukan di sekolah. Guru bimbingan dan konseling yang tidak berpendidikan
bimbingan dan konseling hampir dapat ditemui di setiap sekolah.
Seringnya
kurikulum dirubah diperkirakan menjadi salah satu sebab guru mengajar tidak
sesuai dengan latar belakang pendidikan. Perubahan kurikulum selalu diikuti
oleh hilangnya matapelajaran tertentu dan munculnya matapelajaran baru. Ketika
matapelajaran baru muncul dan LPTK belum menyiapkan guru untuk matapelajaran
dimaksud, maka dengan terpaksa sekolah memanfaatkan guru yang ada, termasuk di
dalamnya untuk maksud memberi tugas kepada guru yang matapelajarannya hilang.
Jika dicermati pada banyak kasus, sebenarnya bukan
kekurangan guru yang terjadi, tetapi pendistribusian guru yang tidak efektif.
Beberapa guru mempunyai kelas yang sangat kecil dan yang lainnya ada guru yang
mempunyai kelas yang terlalu banyak siswa, dan kedua-duanya tidak efektif dan
efisien. Umumnya, jumlah guru pada
daerah perkotaan cukup bahkan pada beberapa sekolah berlebih. Terkonsentrasinya guru di
perkotaan menyebabkan sekolah di pedesaan mengalami kekurangan guru. Kenyataan
sekarang ini, rasio guru dan siswa di Indonesia 1 : 14, berarti sudah
ideal karena melampaui rasio guru dan murid di negara maju seperti Korea
Selatan 1 : 30, Jepang 1 : 20, dan Malaysia 1 : 25. Namun, karena
pendistribusian guru yang tidak merata mengakibatkan menumpuknya guru-guru di
sekolah perkotaan, sedangkan di sekolah pedesaan masih kekurangan guru. Sekitar
76 % sekolah di perkotaan mengalami kelebihan guru, sementara 83 % sekolah di
pelosok dan pedesaan kekurangan guru (Ditjen Dikti, 2010).
Persoalan distribusi guru hampir
terjadi di seluruh Indonesia. Akibatnya, pada daerah yang kekurangan guru, guru
harus mengajarkan beberapa mata pelajaran dan harus mengajar lebih dari satu
kelas. Sebaliknya, pada daerah yang kelebihan guru, pemberlakuan
jumlah jam mengajar 24 jam tatap muka per minggu bagi guru bersertifikat
pendidik tidak dapat terpenuhi. Jumlah guru yang telah lulus sertifikasi sampai
dengan tahun 2010 sebanyak 753.155 orang (PMPTK, 2010). Ternyata bagi guru yang
sudah disertifikasi pun muncul masalah karena kesulitan memenuhi jumlah jam
mengajar yang merupakan kewajibannya sebanyak 24 jam mengajar per minggu.
Akibat lain dari persoalan distribusi dan kesulitan pemenuhan 24 jam tatap muka
per minggu tersebut adalah terjadinya mismatch.
Menurut data yang dikeluarkan PMPTK (2007) terdapat 16,22% guru-guru yang mismatch. Dari lima bidang studi yang diteliti saat itu terdapat mismatch pada PKN 15,22%; Pendidikan
Agama sebesar 20,80%; Tata Niaga sebesar 27,88%; Fisika sebesar 15,53%; dan
Seni sebesar 52,93%. (Ditjen Dikti, 2010).
Dampak
tidak terpenuhinya kewajiban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu
produktivitas guru menjadi rendah dan ketidakefisienan anggaran. Selain itu, mismatch berdampak pada rendahnya kualitas
pembelajaran yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan secara
nasional.
Alternatif
solusi yang dapat ditempuh adalah menambah jumlah rombongan belajar (rombel)
dan atau guru mencari (sendiri) tambahan jam mengajar ke sekolah lain. Dari dua
alternatif itu, solusi pertama adalah yang paling tepat, namun sulit untuk
dilaksanakan. Hal ini dikarenakan penambahan rombel akan berdampak pada
diperlukannya ruang kelas baru, perangkat teknis lain, seperti sarana
pembelajaran seperti buku penunjang, laboratorium, dan alat-alat peraga
pembelajaran. Selain itu, pemekaran jumlah rombel juga berdampak pada
membengkaknya dana operasional sekolah
dan rendahnya tingkat ketercapaian proses pembelajaran.
Maaf pak., ada rekomendasi buku yg memebahas khusus mismatch guru?? Soalnya ada teman mau nyusun tesis tentang ini pak.. terimakasih
BalasHapusAda tidak referensi buku tentang guru mismatch
BalasHapus