Kamis, 13 Februari 2014

Pesantren



Pondok pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama. Menurut Madjid (1997:3) bahwa:
Lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada itu. Namun demikian dalam proses pengislaman itu tidak bisa dihindari terjadinya akomodasi dan adaptasi. Tegasnya, karena lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren itu di masa Hindu-Budha lebih bernuansa mistik, maka ajaran Islam yang disampaikan di pesantren pun pada mulanya bercorak atau bernuansa mistik pula, yang dalam khasanah Islam lebih dikenal dengan sebutan tasawuf. Pada masa perkembangan Islam di Indonesia itu, tasawuf memang merupakan gejala umum dan sangat dominan di dunia Islam pada umumnya. Karena penduduk Nusantara sebelum Islam memiliki kecenderungan yang kuat terhadap mistik, maka agama Islam yang disampaikan dengan pendekatan mistik atau tasawuf itu lebih mudah diterima dan dianut.

Contoh dari segi mistik ini misalnya adalah adanya konsep "wirid" dalam pengajian. Seorang kyai secara konsisten mengaji kitab tertentu pada saat tertentu, misalnya kitab Sanusiyah pada malam Kamis. Hal itu adalah sebagai wirid yang dikenakan kepada dirinya sendiri, sehingga menjadi semacam wajib hukumnya yang kalau ditinggalkan dengan sengaja dianggap akan mendatangkan dosa. Contoh lain dari suasana mistik ini terlihat pula dalam hubungan kyai-santri yang lebih merupakan kelanjutan dari konsep hubungan "guru-cantrik" yang telah ada sebelum Islam datang ke Jawa, yang banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Hindu-Budha, atau sekurang-kurangnya konsep stratifikasi masyarakat Jawa sendiri.
Tetapi lambat laun gejala itu semakin berkurang bersamaan dengan semakin  mendekatnya pesantren ke dalam jaringan Islam di Haramain, tempat sumber Islam yang "asli" yang di akhir masa pertengahan menjadi pusat reformasi Islam, dengan munculnya gagasan rekonsiliasi antara tasawuf dan syari'at. Persentuhan global dengan pusat Islam di Haramain di akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M itulah, menurut Fadjar (1994:114) bahwa:
Yang memungkinkan para pelaku pendidikan Islam melihat sistem pembelajaran yang lebih terprogram. Maka diawal abad ke-20 M di Indonesia secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang pola pembelajaran Islam yang dikelola dengan sistem madrasi yang lebih modern, yang kemudian dikenal dengan nama "madrasah". Karena itu sejak awal kemunculannya, madrasah di Indonesia sudah mengadopsi sistem sekolah modern dengan ciri-ciri: digunakannya sistem kelas, pengelompokkan pelajaran-pelajaran, penggunaan bangku, dan dimasuk-kannya pengetahuan umum sebagai bagian dari kurikulumnya.

Ciri-ciri itu tidak terdapat dalam pesantren yang semula lebih bersifat individual, seperti terdapat pada sistem weton dan sorogan. Akan tetapi, dalam kurun waktu terakhir, ketika modernisasi pendidikan masuk ke dunia pesantren, dan melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai "pesantren modern", maka semua ciri madrasah yang disebutkan di atas sudah menjadi bagian dari keberadaan pesantren.
Sebagaimana telah dikemukakan, secara harfiah madrasah bisa diartikan dengan sekolah, karena secara teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar secara formal. Namun demikian Steenbrink (1986) membedakan madrasah dan sekolah karena keduanya mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda.
Pesantren memiliki tujuan yang lain lagi. Menurut Junus, Djumhur, dan Steenbrink (1982:160), bahwa:
Pesantren didirikan untuk menjadi basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah. Pesantren merupakan upaya kalangan pribumi untuk mengem-bangkan sistem pendidikan sendiri yang sesuai dengan tuntunan agama dan kebudayaan daerah untuk melindungi diri dari pengaruh sistem pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik balas budi", atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis".

Namun, meskipun pesantren berperan lebih dahulu dalam membendung pengaruh pendidikan kolonial, dibandingkan dengan madrasah, para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tampaknya mengakui bahwa dalam banyak hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini mengandung banyak kelemahan, sementara pada sisi lain lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda harus diakui memiliki banyak kelebihan.
Perkataan pesantren berasal dari bahasa Sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik (Abdullah, 1983:328).
Sementara itu, Timur Jailani (1982:51) memberikan batasan pesantren
adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren
diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab
dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok
berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan
atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau Jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Selanjutnya Zamaksari Dhofier (1982:18) memberikan batasan tentang pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang
mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...