Selasa, 12 Mei 2015

Teori Pemerintahan

Pemerintahan dalam konteks penyelenggaraan negara menunjukkan adanya badan pemerintahan (institusional) kewenangan pemerintah (authority) cara memerintah (methods), wilayah pemerintahan (state, local, district, rural dan urban) dan sistem pemerintahan dalam menjalankan fungsi pemerintahannya. Pemerintahan tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan pemerintah untuk memerintah yang merupakan keharusan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan tujuan pemerintahan.
Suryaningrat (1990:10) menjelaskan bahwa unsur yang menjadi ciri khas mendasar memerintah atau perintah adalah: 1) adanya keharusan yang menunjukkan kewajiban apa yang diperintahkan; 2) adanya dua pihak, yaitu yang memberi perintah dan menerima perintah; 3) adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan menerima perintah; 4) adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah. Sedangkan Rasyid (1995) mengatakan bahwa pemerintahan mengandung makna mengatur, mengurus, dan memerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan bagi kepentingan rakyat.
Pemerintahan pada prinsipnya mengandung makna penyelenggaraan urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat bersumber pada pemerintahan demokratis, pemerintahan otoriter, pemerintahan sentralistis dan pemerintahan desentralistis, pemerintahan diktator, pemerintahan monarkhi dan lain  sebagainya. Pemerintahan secara filosofis mengandung unsur yang berkaitan erat dengan badan publik (pemerintah) yang sah secara konstitusional; kewenangan untuk melaksanakan pemerintahan; cara dan sistem pemerintahan dan fungsi pemerintahan yang sesuai dengan kewenangan urusan pemerintahan serta dalam lingkup wilayah pemerintahan.
Strong dalam Koswara (2003:247) memberikan makna pemerintahan sebagai berikut:
Government in the broad sence is charge with the maintenance of the peace and society of state within and wihtout. Its is must therefore, have firt, militery power the control or  the control of armed forces, secondary, legislative power or the mean of making law, thirdly, from the community to defray cost of depending the state and the of enforcing the law it make`s behalf “. 

Pemerintahan menujukkan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat digunakan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara baik ke dalam maupun ke luar. Untuk melaksanakan itu, pemerintah harus mempunyai kekuatan tertentu dibidang milier atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, kekuatan legislatif atau pembuatan UU serta kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan pemerintahan dalam membiayai keberadaan negara untuk pelaksanaan peraturan, semua kekuatan tersebut dilakukan dalam rangka kepentingan negara.  
Menurut Ermaya (1988:6) bahwa pemerintahan terdapat dua pengertian yaitu pemerintahan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti luas adalah seluruh kegiatan pemerintah (badan publik atau pemerintah) baik yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam arti sempit adalah segala kegiatan badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif. Pemerintahan berkaitan erat dengan kewenangan pihak badan publik yang terpercaya atau sah untuk menyelenggarakan fungsi dalam urusan pemerintahan kepada pihak lainnya yaitu usaha swasta dan masyarakat atas dasar hubungan timbal balik secara fungsional dalam mencapai tujuan negara.
Pemerintahan pada suatu negara sebagai bentuk kontrak sosial atau perjanjian masyarakat melalui pendekatan ilmiah. Pemerintahan dari pandangan atau pendekatan filosofis harus dilihat dari keajegan (consistency) dan kebenaran secara ilmiah dari pengetahuan, metode dan fenomena serta fakta empirisnya. Dalam arti bahwa pemerintahan harus mempunyai taraf keajegan ilmiah dengan memenuhi persyaratan yang bermuatan ontologi (keberadaan), epsitemologi (pengetahuan) dan aksiologi (penerapannya/aplikasinya). Manifestasi muatan pemerintahan sebagai kebenaran ilmiah mencerminkan makna secara koherensi, korespondensi dan pragmatis dalam berbagai peristiwa pemerintahan (Tjahya, 2000).
Suatu pandangan  filosofis yang dikemukakan pemikir aliran filsafat rasionalisme yaitu Descrates bahwa agar pengetahuan mencapai kebenaran ilmiah berkaitan dengan fokus dan obyeknya (obyek forma dan materia) baik pengetahuan yang bersifat sosial, alam maupun humaniora, tidak harus semata-mata dikembangkan berdasarkan pengalaman, tetapi harus dikembangkan secara metodologis berdasarkan evidiensi empiris, sehingga bermanfaat dan berguna bagi kepentingan umat manusia.
Mengkaji pemerintahan mempunyai relevansi yang signifikan dengan negara. Negara dibentuk atas dasar  kontrak sosial.  Pemerintahan negara bentuk organisasi masyarakat yang terbesar. Pemerintahan suatu negara mencakup berbagai dimensi baik demografis, geografis politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, agama maupun pertahanan keamanan yang bersifat lingkungan pemerintahan (environmental) dan integral. Dalam konsep negara, pemerintahan (badan dan urusan) menjadi persyaratan unsur strategis dan penting bersamaan dengan unsur wilayah, penduduk, pengakuan negara lain. Pemerintahan dalam arti urusan, badan, teknik atau cara serta sistem pemerintahan. Pemerintahan pada dasarnya  berkaitan erat dengan  sistem, bentuk, prinsip, azas, fungsi, badan,  urusan, teknik dan cara pemerintahan dalam rangka memerintah yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat atau masyarakat pada suatu negara.
Ndaha (2007:127) mengemukakan bahwa pemerintahan adalah hasil  dan proses ”memerintah”. Pemerintahan (governance) terdapat di mana-mana  berlangsung pada suatu waktu  di dalam setiap masyarakat. Di dalam masyarakat negara, pelaku yang terlibat dalam proses itu dua pihak yaitu pemerintah (government) dan yang diperintah pada masa dan tempat tertentu”. Prinsip penyelenggaraan fungsi dan urusan pemerintahan yang dilakukan pemerintah (badan publik) berdimensi pengaturan berdasarkan peraturan (rulling) melalui kebijakan; pengurusan atau penataan dalam rangka (governing) dengan pengarahan, pembinaan, pemberdayaan dan  fasilitasi; melaksanakan pelayanan masyarakat (serving) dalam rangka kepentingan dan kebutuhan  masyarakat. Dalam penyelenggaraan fungsi dan urusan pemerintahan dengan berbagai dimensi, ruang dan waktu akan yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan dan pelayanan publik terhadap rakyat atau masyarakatnya senantiasa mengalami perubahan atau pembaharuan pemerintahan (reform governance) dengan pendekatan paradigma baru pemerintahan (new paradigms for governance) (Tjahya, 2010).
Kewenangan pemerintahan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang melekat pada badan publik untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mewujudkan berbagai urusan pemerintahan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, keteraturan dan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan pemerintahan berdimensi secara esennsi atau mendasar berkenaan dengan tanggungjawab, distribusi, delegasi dan lain sebagainya dalam penyelenggaraan pemerintahan bagi kepentingan masyarakat.
Setiap kewenangan pemerintahan dalam badan publik melekat tanggungjawab dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan (authority and responcibility). Kewenangan sebagai deripasi dari hak dan tanggung jawab yang mencerminkan kewajiban untuk melaksnakan dan dilaksanakan secara institusional, manajerial dan profesional (individual). Keduanya antara kewenangan dan tanggungjawab harus dilakukan secara seimbang dan saling penguatan guna menumbuhkan satu kesatuan dalm mewujudkan kelancaran penyelenggaraan urusan pemerintahan yang baik atas dasar kualifikasi, kompetensi dan profesionalisasi.
Dalam perubahan yang cepat, transparan dan sinergi, suatu pemerintahan membutuhkan penataan dan pembaharuan pemerintahan dalam berbagai bidang kehidupan yang berfokus pada good governance, sebagaimana dikemukakan Ingraham dkk (1994: 15) bahwa:
The many efforts at government reform of the past two decades had important common themes is reinventing government  the attention given to this movement suggest new paradigms for reforming government  based on principle public administration, utilizing private sector reform model  and limited local “.  

Pembaharuan pemerintahan menunjukkan adanya paradigma baru pemerintahan dari governance as is it   yang berorientasi governance can be sold be pada sektor pemerintah, swasta dan masyarakat sesuai dengan tuntutan serta kebutuhan paradigma pemerintahan yang sesuai.    
Paradigma dapat dimaknai sebagai model masalah dan pola penyelesaiannya bahkan sebagai teori dasar, cara pandang yang fundamental, dilandasi nilai-nilai tertentu yang berintikan teori, konsep dan metode pendekatan yang digunakan untuk menanggapi permasalahan  dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan  dalam upaya pemecahan masalah bagi kemajuan kehidupan manusia (Mustopadijaya & Tjokromaidjoyo, 2000). Pembaharuan pemerintahan dengan paradigma baru sebagaimana digambarkan oleh Patricia (1994) bahwa USA dan beberapa negara mempunyai aktivitas pemerintahan yang kompleks dan luas, memerlukan usaha pembaharuan, didasarkan pada structural and performance oriented change  pada level pemerintahan nasional dan lokal secara kontinyu dengan mereduksi size of government, continue privatization dan flecibility of government managemen and organization is reinventing government.
Fokus pendekatan baru pemerintahan (governance) menurut Ndraha (2007:241) bahwa pendekatan lama terhadap fenomena pemerintahan yaitu pendekatan dari sudut kekuasaan, berubah dan sekarang nyaris berakhir. Pendekatan baru dari sudut HAM, lingkungan dan kebutuhan  eksistensi manusia semakin kuat. Setiap masyarakat, dibentuk dan digerakkan oleh tiga sub kultur  yaitu sub kultur ekonomi (SKE), sub kultur kekuasaan (SKK) dan sub kultur pelanggan (SKP). Sub kultur adalah peran, bukan orang. Seseorang pada suatu saat berperan sebagai SKP  pada saat lain sebagai SKK. 
Paradigma baru pemerintahan dalam reform government dalam pendekatan administrasi publik dapat dibahas dan dikaji dari konsep beberapa pandangan ahli antara lain: Reinventing Government: New Public Administration: Efisiency, Economic and Social Equity (Henderson, 1998);   The Spirit Entrepeuneurship Government (Osborne dan Gaebler, 1992),  Bunisching Bureucracy: The Five Strategy for Reinventing Government  (Osborne dan Plastrik, 1992), New Paradigma for Government  (Patricia W. Ingraham, Barbara S. Romzek dan Associates, 1994), Managing The New   Public Service: Management, Leadership (David Parnhan dan Sylvia Horton); Breacking Bureucracy: Strategic Management and Model Government Organization (Barzeley, 1995), Good Governance: Domain Sector  dan Principle of Government (UNDP, 2000 ), From Government to Governance: Administrasi Negara, Administrasi atau Manajemen Pembangunan, Reinventing Government dan Banisching Bureaucracy, Good Governance (Tjokroamidjojo, 2004), dan lain-lain. Pandangan konsep paradigma pemerintahan tersebut, sudah barang tentu membutuhkan adaptasi, seleksi kesesuaian dan komitmen dalam proses dan implementasi kebijakan dengan nilai fundamental sistem pemerintahan negara dalam rangka perubahan secara konsepsional, gradual dan berkelanjutan. ***

Daftar Pustaka
Hamdi Muchlis. 2002. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta: Yarsif  Watampone.
Haynes, Robet J. 1980. Organisation Theory and Local Government. London: George Allen & Urwin.
Hidayat, Paidi. 2012. Analisis Daya Saing Ekonomi Kota Medan. Jurnal Keuangan dan Bisnis. Vol. 4 No. 3 November 2012. Hal 228-238.
Islami, Irfan. 1994. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Irawati, Ira, dkk. 2012. Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah Berdasarkan Variabel Perekonomian daerah, Variabel Infrastruktur Dan Sumberdaya Alam Serta Variabel Sumberdaya Manusia Di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Teknik Planologi Institut Teknologi Nasional Bandung Vol. VII No. 1 Januari 2012.
Jeddawi, Murtir. 2012. Reformasi Birokrasi: Antara Konsep dan Kenyataan. Yogyakarta: Total media.
Komisi Pemberantasan Korupsi. 2013. Laporan Hasil Kajian: Relasi Dana Bansos dan Hibah APBD dengan Pilkada. Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengembangan.
Kotler, Philip.1994. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Terjemahan Supranto. Jakarta: Printece Hall Edisi Indonesia.
Makka, A. Makmur. 2006. Reformasi Birokrasi. Jakarta: The Habibie Center.
M.S. Hamsul H.  2004. Governance and Bureaucracy in Singapore: Contemporary Reforms and Implications. London, Thousand Oaks, CA and New Delhi: International Political Science Association SAGE Publications.
Mustopadidjadja, A. R. 2000. Perkembangan Penerapan Study Kebijakan. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Nawawi, Hadari, dan Martini Hadari. 1989. Ilmu Administrasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ndraha, Talizidhu. 2003a. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
_________. 2003b. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Osborne, David and Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik. Terjemahan PPM. Jakarta.
Pamudji, S. 1992. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Praticia W. Ingraham, at all. 1994. “New Paradigms For Government, Issues For the Charging Public Service”. Sanfransisco California: Joosey Bass, Inc.
Porter, Michael E. 2000. The Competitive Advantage Of Nations. World Economic Forum Journal. The Free Press
Rasyid, Muhammad Ryaas. 1996. Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Yarsif Watampone.
_________. 1998. Nasionalisme & Demokrasi di Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone.
_________. 1999. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: PT. Yarsif Watampone.
 

Konsep Perilaku



Hemphill dan Coon (dalam Yukl, 2006 : 5), mengatakan  bahwa  perilaku  adalah  aktivitas  untuk  mencapai  sasaran.  Myers  menjelaskan bahwa perilaku adalah sikap yang diekspresikan (Expressed attitudes). Perilaku dengan sikap saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Kurt  Lewin  yang  dikutip  Sarwono  (2001:67) merumuskan  satu  model  hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E), dengan rumus B = f (P,E). Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi  pula  dengan  faktor-faktor  lingkungan  dalam  menentukan  perilaku.
Faktor Lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar dari pada karakteristik individu.  Santosa, (2008 : 59) berpendapat bahwa perilaku merupakan interaksi atau berfungsinya  antara  motivasi  (m),  kemampuan  (k)  dan  persepsi  (p)  pada  diri seseorang. Dengan Rumus sebagai berikut : P = f (m, k, p). Perilaku atau aktivitas pada  individu  atau  organisma  tidak  timbul  dengan  sendirinya,  tetapi  sebagai akibat  dari  stimulus  yang  diterima  oleh  organisma  yang  bersangkutan  baik stimulus  internal  maupun  stimulus  eksternal.  Perilaku  individu  dapat mempengaruhi individu itu sendiri, di samping itu perilaku juga berpengaruh pada lingkungan.  Dalam  perspektif  psikologi,  perilaku  manusia  (human  behavior) dipandang  sebagai  reaksi  yang  dapat  bersifat  sederhana  maupun  bersifat kompleks. Berdasarkan  uraian mengenai  perilaku  di  atas, maka  dapat  diperoleh informasi bahwa perilaku adalah tindakan, reaksi, tanggapan dari setiap organisme sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. 
Membahas perilaku individu pegawai dalam organisasi, dapat diartikan dengan membahas perilaku manusia dalam organisasi, dan itu juga berarti perilaku organisasi. Menurut Thoha (2003: 33), perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Sedangkan perilaku organisasi pada hakikatnya adalah hasil-hasil interaksi antara individu-individu dalam organisasi.
Tujuan praktisnya adalah untuk mendeterminasi bagaimanakah perilaku manusia mempengaruhi usaha pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Oleh karena itu, untuk memahami perilaku organisasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu individu-individu sebagai pendukung organisasi.  Setiap individu dalam organisasi memiliki karakteristik, seperti: kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan, dan pengalaman masa  lalunya. Organisasi juga mempunyai beberapa karakteristik, seperti keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian (reward system), sistem pengendalian, dan sebagainya. Jikalau karakteristik  individu berinteraksi dengan karakteristik organisasi, maka akan terwujud perilaku individu dalam organisasi. Dengan demikian, perila-ku adalah fungsi dari interaksi antara sesama individu denganlingkungannya. Ancok (1995: 6) mengatakan bahwa perilaku adalah kegiatan yang sudah dilakukan, atau niat yang sudah direalisasikan dalam bentuk  tingkah laku yang tampak.
Menurut Suit dan Almasdi (1996: 16), perilaku pada dasarnya merupakan produk dari sikap mental atau realisasi dari setiap keputusan yang telah diambil oleh sikap mental orang yang bersangkutan.  Adapun sikap adalah gambaran kepribadian seseorang, yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Menurut Umar (2000: 25) sikap adalah evaluasi, perasaan dan kecenderungan seseorang yang relatif konsisten terhadap sesuatu objek atau gagasan. Sikap akan menempatkan seseorang ke dalam satu pikiran menyukai atau tidak menyukai sesuatu, bergerak mendekati atau menjauhi sesuatu tersebut. Dalam melahirkan sikap, dapat dilakukan dalam  bentuk ungkapan pemikiran atau tanggapan melalui pembicaraan (lisan) atau dalam bentuk tulisan, yang wujudnya dilahirkan dalam dua kondisi, yaitu sikap dualisme. Artinya, lain yang yang terkandung dalam pikiran atau nurani, lain pula yang dilahirkan sesuai dengan yang ada dalam pikiran.

Rabu, 15 April 2015

Pemetaan Sekolah (School Mapping)

Pemetaan sekolah (School Mapping) dalam perencanaan pendidikan, semula dikembangkan oleh perencana pendidikan di Perancis tahun 1959, dalam usaha memecahkan persoalan pembaharuan struktur pendidikan di negara tersebut serta kegiatan riset untuk memenuhi kebutuhan riil. Kemudian secara intensif diuji coba oleh IIEP (International Institute for Education Planning). Akhirnya disadari dan diakui kegunaannya oleh UNESCO baik dalam rangka penggunaan sumber-sumber pembiayaan pendidikan yang terbatas secara seefisien mungkin, maupun untuk mendorong meningkatkan perlakuan yang sama atau pemerataan dalam suatu sistem pendidikan.
Pemetaan sekolah merupakan suatu usaha yang membantu dalam perencanaan pendidikan daerah. Di dalamnya mencakup dua pengertian, yaitu proses dan produk atau hasil, jadi bukan hanya peta. Produk pemetaan yaitu gambaran tentang situasi pendidikan suatu daerah dalam hal variabel pendidikan yang kuantitatif, data demografi, keadaan geografis dan keadaan yang diharapkan pada masa yang akan datang. Proses pemetaan merupakan kegiatan yang tahapannya meliputi:
1.         Penyusunan data statistik yang diperlukan, data rutin dan yang bukan rutin;
2.         Pengadaan peta dalam skala tertentu;
3.         Penetapan standar tentang sekolah, luas ruangan dan peralatan yang diperlukan, sasaran yang harus dicapai pada waktu tertentu dan standar lain yang relevan;
4.         Kegiatan mempersiapkan format-format;
5.         Penganalisaan data yang dikumpulkan dan membandingkannya dengan standar untuk menyusun rekomendasi-rekomendasi tentang upaya pengembangan sarana dan prasarana pendidikan secara kuantitatif dan kualitatif (pada tahap kegiatan inilah lokasi sekolah ditentukan).
Melihat luasnya masalah yang digarap dalam pemetaan sekolah dapat dipikirkan betapa banyaknya jenis disiplin atau ilmu pengetahuan yang turut memberikan bantuan. Pemetaan sekolah sangat tergantung kepada sistem pendidikan, peraturan-peraturan atau ketetapan yang ada, keadaan sosial ekonomi dan sebagainya.
School Mapping erat hubungannya dengan perencanaan alokasi dan lokasi sekolah. Yang dimaksud dengan alokasi sekolah adalah jumlah sekolah tertentu yang telah direncanakan atau ditentukan bagi suatu daerah untuk mencapai targetnya. Sedangkan yang dimaksud dengan lokasi sekolah yaitu letak atau site sekolah. Artinya menentukan letak fasilitas sekolah yang baru agar fasilitas itu dapat dipergunakan secara optimal sesuai dengan keadaan setempat. Perencanaan lokasi dan alokasi sekolah dapat mencapai sasaran yang optimal jika memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) membangun Sekolah Dasar (SD) di tempat yang banyak anak usia SD, (b) membangun Sekolah Menengah Pertama (SMP) di mana terdapat banyak lulusan SD, dan (c) membangun Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/SMK) pada jaringan yang terdapat banyak lulusan SMP.
Pemetaan sekolah dalam rangka penyediaan tempat belajar bagi mereka yang tergolong usia sekolah dan merencanakan perubahan struktur organisasi sistem persekolahan. Pemetaan sekolah adalah suatu pendekatan perencanaan makro atau regional yang mempergunakan peta geografis sebagai alat untuk meragakan dan menjelaskan rencana.
Pemetaan sekolah merupakan suatu usaha membantu perencanaan pendidikan di daerah. Produk pemetaan sekolah berupa gambaran tentang situasi persekolahan suatu daerah secara kuantitatif, data demografi, keadaan geografis dan keadaan (sekolah) yang diharapkan pada masa yang akan datang.

Proses pemetaan sekolah meliputi hal-hal sebagai berikut: (a) penyusunan data statistik persekolahan, (b) pembuatan peta, (c) Penetapan standar tentang persekolahan, dan (d) menganalisis data tentang pengembangan sarana dan prasarana sekolah. Luasnya lingkup yang digarap pemetaan sekolah terkadang tergantung pada sistem persekolahan, peraturan atau ketetapan, keadaan sosial ekonomi, dan perencanaan yang lebih rasional.

Dikutip dari berbagai sumber

Senin, 06 April 2015

Langkah-Langkah Pendidikan Karakter



Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah, tetapi mencakup proses pembiasaan (habituation) tentang perilaku yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik. Sehingga tebentuklah tabi’at  yang baik. Menurut ajaran Islam, pendidikan karakter identik dengan pendidikan ahlak. Walaupun pendidikan ahlak sering disebut tidak ilmiah karena terkesan bukan sekuler, namun sesungguhnya antara karakter dengan spiritualitas memiliki keterkaitan yang erat. Dalam prakteknya, pendidikan akhlak berkenaan dengan kriteria ideal dan sumber karakter yang baik dan buruk, sedangkan pendidikan karakter berkaitan dengan metode, strategi, dan teknik pengajaran secara operasional.
Unsur-unsur ideal dalam pendidikan karakter berkenaan dengan moral knowing, moral loving dan moral doing (acting). Moral knowing berkenaan dengan kesadaran (awareness), nilai-nilai (values), sudut pandang (perspective taking), logika (reasoning), menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral loving berkenaan dengan kepercayaan diri (self esteem), kepekaan terhadap orang lain (emphaty), mencintai kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Moral doing berkenaan dengan perwujudan dari moral knowing dan moral loving yang berbentuk tabi’at reflektif dalam perilaku keseharian.
Prinsip-prinisip dalam penerapan pendidikan karakter sebagaimana diungkapkan dalam Character Education Quality Standards  merekomendasikan sebelas prinsip untuk dijadikan panduan masyarakat dunia untuk dijadikan landasan pendidikan karakter yang efektif. Unsur-unsur  dan prinsip-prinsip tersebut sebetulnya dalam ajaran Islam berkenaan dengan nilai-nilai dan moral mengenai  mukasyafah, musyahadah, dan  muqarabah,  dalam bentuk tahaqquq, ta’alluq, dan takhalluq. Jadi, tidak ada bedanya dengan konsep dan teori yang dikembangkan di dunia barat. Mengapa kita tidak kembali ke nilai-nilai dan moral yang diajarkan agama? Bukankah ajaran agama sudah tidak diragukan lagi kebenarannya?
Untuk sampai kepada bentuk karakter reflektif diperlukan strategi manajemen pembelajaran yang logis dan sistematis. Berdasarkan pengamatan saya pada sekolah terdapat dua pendekatan dalam proses pendidikan karakter, sekolah berbasis akhlak, yaitu: (1) Akhlak yang diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri; dan (2) Akhlak yang built-in  dalam setiap mata pelajaran. Sampai saat ini, pendekatan pertama ternyata lebih efektivitas dibandingkan pendekatan kedua. Salah satu alasan pendekatan kedua kurang efektif, karena para guru mengajarkan masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran mencakup aspek konsep, teori, metode dan aplikasi. Sama halnya dalam pengajaran dalam ajaran Islam yang mensyaratkan unttuk memahami hakekat, syare’at, tharekat, dan ma’rifat dari setiap aspek yang dipelajarinya. Atau dalam pandangan nilai dan moral tentang kepribadian harus memahami zat, sifat, asma dan af’al-nya. Jika para guru sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif melalui konsep, teori, metodologi dan aplikasi setiap mata pelajaran atau bidang studi, maka kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektifi dalam menunjang pendidikan karakter. 
Kerangka pembelajaran dalam pendidikan karakter dapat dilakukan dengan tiga langkah, yaitu: membekali siswa dengan alat dan media untuk memiliki pengetahuan, kemauan dan keterampilan; membekali siswa pemahaman tentang berbagai kompetensi tentang nilai dan moral;  dan membiasakan  siswa untuk selalu melakukan keterampilan-keterampilan berperilaku baik.
Langkah ke-1,  dimaksudkan agar siswa memahami secara benar dan menyeluruh tentang potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Potensi diri difokuskan kepada nilai dan moral yang dapat didayagunakan untuk belajar, berhubungan dan berusaha. Sedangkan peluang yang ada di lingkungan dijadikan sumber motivasi agar siswa mau melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran atau merekayasa sendiri proses pembelajaran yang dibutuhkannya.
Potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitar meliputi segenap nilai dan moral yang ada dan diperkirakan dapat dicapai dan didayagunakan untuk pembelajaran dan penerapan hasil pembelajaran yang diikutinya.  Berdasarkan pemahaman ini, peserta didik difasilitasi untuk memiliki dan mengembangkan kerangka atau pola pikir yang komprehensif tentang pendayagunaan dan pengembangan potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya bagi perilakunya kesehariannya. Dalam tahapan ini tujuan pembelajaran di arahkan pada kompetensi dalam membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela, memahami secara logis tentang pentingnya akhlak mulia dan bahayanya akhlak tercela dalam kehidupan, mengenal sosok manusia yang berakhlak mulia untuk diteladai dalam kehidupan. Kegiatan utama guru pada tahap ini adalah:
a.    merancang proses pembelajaran yang diarahkan pada pemahaman tentang klarifikasi nilai (value clarification), dan
b.    membekalinya berbagai alat (instrument) dan media yang dapat digunakan secara mandiri baik secara individual ataupun kelompok.
Langkah ke-2,  diarahkan pada kepemilikan kepekaan kemampuan dalam mendayagunakan dan mengembangkan potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Kompetensi dalam arti nilai-nilai dan moral yang dituntut untuk dimiliki oleh para siswa yang sesuai dengan kondisi dan peluang yang dihadapinya. Berbagai kompetensi itu perlu dikaji dan diapresiasi oleh para siswa sampai mereka memiliki cukup pilihan dalam menetapkan keputusan kompetensi mana yang paling dibutuhkan sesuai kondisi potensi dan peluang yang sedang dihadapinya. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Sasarannya ialah dimensi-dimensi emosional siswa yaitu  qolbu dan jiwa, sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, kebutuhan dan kemauan untuk memiliki dan mempraktekan nilai-nilai akhlak tersebut. Melalui tahap ini pun siswa diharapkan mampu menilai dirinya sendiri (muhasabah), semakin tahu kekurangan-kekurangannya. Proses pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh guru ialah belajar menemukan (learning discovery) sehingga nilai-nilai dan moral yang dipelajari itu dapat dihayati. Proses penemuan dan penghayatan itu akan membentuk kedalaman apresiasi, sehingga nilai-nilai dan moral yang dimilikinya itu benar-benar dibutuhkan dalam kehidupannya.
Langkah ke-3,  merupakan muara penerapan kompetensi-kompetensi yang telah dimiliki para siswa melalui proses pembelajaran pada tahapan sebelumnya. Arah pembelajaran pada tahap ini adalah pendampingan kemandirian siswa agar memiliki kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai dan moral dalam perilaku keseharian sampai berbentuk tabi’at reflektif pribadi. Ruang lingkup nilai dan moral yang perlu dikuasai murid pada tahap ini erat kaitannya dengan instrumen pendukung dalam berperilaku bagi para siswa. Pendampingan terutama diarahkan untuk menguatkan kemampuan mereka tentang nilai dan moral dalam berperilaku sehingga berdampak positif terhadap sikap dan kemandiriannya di lingkungan hidup dan kehidupannya.

Jumat, 27 Maret 2015

EVALUASI KOMPREHENSIF BEASISWA KEMENAG

Tanggal 26-28 Maret 2018, Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia mengadakan kegiatan Evaluasi Komprehensif Penyelenggaraan Bantuan Beasiswa (Angkatan I). Kegiatan tersebut berlangsung di Hotel Sukajadi Bandung, dengan diikuti oleh 70 orang peserta dari berbagai Perguruan Tinggi Islam, baik Negeri maupun Swasta di seluruh Indonesia.

Acara tersebut dimaksudkan untuk menggali berbagai persoalan dan menemukan solusi yang tepat dalam pengelolaan Bantuan Beasiswa Kemenag baik pada jenjang S1 maupun S2. Di samping itu, kegiatan tersebut merupakan ajang silaturrahmi bagi para Rektor, Direktur Pasca, Dekan dan pengelola program.

KONTRIBUSI PEMIKIRAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA

Lembaga Bahtsul Masail ialah sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas pe...